HUBUNGAN ILMU, FILSAFAT, DAN AGAMA
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Dosen Pengampu: Bapak Dr. Dadan Anugrah, M. Si.
Muhamad Maulana Yusuf (1164020103)
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2018 M/1439 H
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii KATA PENGANTAR ................................................................................................. iii BAB I ............................................................................................................................ 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 4 1.3 Tujuan .................................................................................................................. 4 BAB II ........................................................................................................................... 5 PEMBAHASAN ........................................................................................................... 5 2.1. Hakikat Ilmu ....................................................................................................... 5 2.2. Hakikat Filsafat ................................................................................................... 6 2.3. Hakikat Agama ................................................................................................... 9 2.4. Hubungan Ilmu, Filsafat, dan Agama ............................................................... 11 BAB III ....................................................................................................................... 15 PENUTUP ................................................................................................................... 15 3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 15 3.2 Saran .................................................................................................................. 16 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 17
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dengan pembahasan tentang “Hubungan Ilmu, Filsafat, dan Agama”. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi penulis pada khususnya dan bagi semua kalangan pada umumnya. Penulis membuat makalah ini dari kumpulan buku dan internet sebagai pedoman membuat makalah. Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen mata kuliah Filsafat Ilmu yaitu Bapak Dr. Dadan Anugrah, M. Si. Kepada teman mahasiswa yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan motivasi dalam pengembangan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan perlu ditingkatkan lagi mutunya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.
Bandung, 16 Maret 2019
Penulis,
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang M Anshari (1987: 12) menyimpulkan beberapa perbedaan mendasar antara manusia dengan hewan yang telah dipaparkan oleh para ahli seperti Julien Offroy De Lamettrie, Charles Robert Darwin, Haeckel, Ibn Khaldun, Prof. Dr. N. Driyankara S.J dan lain-lain. Perbedaan mendasar tersebut antara lain: pertama, manusia adalah “sejenis” hewan juga. Kedua, manusia mempunyai perbedaan “tertentu” dibandingkan dengan hewan. Ketiga, ditinjau dari segi “jasmaniah”, perbedaan antara manusia dengan hewan adalah “gradual, tidak asasi”. Keempat, ditinjau dari segi “ruhaniah”, maka keistimewaan manusia dibandingkan dengan hewan terlihat dalam kenyataan bahwa: manusia adalah “seseorang”, suatu “pribadi” makhluk yang berakal sehat, sadar diri, berbicara berdasarkan akal fikirannya, pandai membandingkan dan menafsirkan, tukang bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu, punya kehendak dan kemauan bebas, mengenal norma, dapat merasa malu, berpolitik, berkreasi, berproduksi. Tegasnya, manusia itu makhluk yang berkebudayaan. Dibandingkan dengan makhluk lain, melalui daya-daya psikis yang dimiliki manusia memiliki kelebihan, yaitu mampu menghadapi setiap persoalan kehidupannya. Dengan potensi akal pikiran yang dimiliki oleh manusia, manusia mampu mengatasi persoalan kehidupannya secara matematis menurut asas-asas penalaran (logic) deduktif dan induktif. Dengan potensi rasa, manusia mampu mengatasi persoalan kehidupannya dengan pendekatan estetik menurut asas perimbangan. sedangkan dengan potensi karsa yang dimiliki, manusia mampu mengatasi persoalan kehidupannya melalui pendekatan perilaku menurut asas-asas etika. Melalui tiga cara inilah manusia menemukan nilainilai kebenaran, keindahan dan kebaikan (Suhartono, 2005: 31).
1
Setiap manusia berfikir dan mempunyai hasrat untuk memperoleh pengetahuan yang sempurna, yang dapat dijangkau dengan pengamatan yang cermat, pemeriksaan yang teliti, penalaran yang luas, dengan berfikir yang sedalam-dalamnya, tentang kenyataan yang sebenar-benarnya (Ihsan, 2010:141). Menurut Paryana Suryadipura (1958) bahwa kenyataan yang sebenarnya itu disebut hakikat. Kegiatan hasrat memperoleh hakikat, ialah berfikir dengan landasan yang benar. Berfikir dengan landasan dasar yang benar membutuhkan tarekat, dengan demikian mencari hakekat ialah bukan memikirkan sesuatu tentang kenyataan yang dapat disaksikan dengan kemampuan panca indera saja, melainkan berpikir mengenai hubungan antara kenyataan yang ada dengan keseluruhannya, terhadap semesta alam dan dengan pusat asasnya (sang pencipta). Hubungan yang seperti itu dinamakan ma’rifat. Jalan manusia untuk memperoleh kebenaran dapat dicari melalui ilmu, filsafat dan agama. Ketiga jalan tersebut mempunyai ciri-ciri tersendiri dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran. Ketiganya mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung antara satu dengan yang lainnya. Ilmu merupakan dasar berpijak bagi seseorang untuk berbuat, lebih dari itu ilmu digunakan untuk mengembangkan diri manusia sehingga kadar kualitas manusia dan pengembangan kepribadian manusia akan tergantung pada kadar keilmuan yang dimiliki oleh manusia. Ilmu dapat dipandang sebagai produk, sebagai proses dan sebagai paradigma etnika yang pada kenyataannya amat rumit untuk diuraikan dan pada dasarnya bersifat misterius dengan taraf pemahaman terhadap kebenaran ilmu itu sendiri yang provisional. Artinya, ilmu mempunyai kemampuan untuk memprediksi suatu dasar penemuan berlandaskan pengembangan logika, sehingga senantiasa terbuka untuk diuji dan dibatalkan oleh penemuan formulasi dengan klasifikasi yang sahih. Kemampuan meramal yang dimiliki oleh ilmu berperan sebagai sarana pencapaian ideologi dengan segala kunsekuensi yang didapat.
2
Sedangkan filsafat akan lahir dan berkembang pada diri setiap orang pada saat orang mulai memikirkan dirinya, asal mula, keberadaan dan tujuan hidup dan kehidupannya, maka pada saat itu filsafat mulai tumbuh dan berkembang. Adapun perkembangan filsafat pada tiap orang jelas tidak sama. Hal ini tergantung taraf kecenderungan batin sejauh mana keingintahuan itu berbatas dan sejauh mana taraf pemikiran (kemampuan berfikir) seseorang itu dapat dikembangkan (Suhartono, 2007: 34). Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang memiliki peran penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan berusahan untuk mencari kearifan dan kebajikan. Kearifan merupakan buah yang dihasilkan filsafat dari usaha mencapai hubungan-hubungan antara berbagai pengetahuan, dan menentukan implikasinya baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam kehidupan (Sadullah, 2011: 18). Filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia. jawaban itu merupakan hasil pemikiran yang sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Sedangkan agama dapat menjadi petunjuk, pegangan serta pedoman hidup bagi manusia dalam menempuh hidupnya dengan penuh harapan tentang keamanan, kedamaian, kesejahteraan. Manakala manusia menghadapi masalah yang rumit dan berat maka timbullah kesadaran bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak berdaya untuk mengatasinya, maka dari itu timbullah kepercayaan dan keyakinan. Mengenai self evident dan kebenaran yang pasti dari pemikiran manusia serta tuntutan keadilan sosial, akal harus diimbangi oleh ego yang berkembang dalam kesadaran menganai tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan itu. hal ini menurutnya perlu agar akal murni tidak mudah digoyahkan oleh vested interest, distorsi sosial dan kemauan penguasa (Zainuddin, 2006: 57).
3
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Apakah hakikat dari ilmu? 2. Apakah hakikat dari filsafat? 3. Apakah hakekat dari agama? 4. Bagaimanakah hubungan antara ilmu, filsafat, dan agama? 1.3 Tujuan Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui hakikat dari ilmu, filsafat, dan agama. Selain itu juga untuk mengetahui hubungan diantara ilmu, filsafat, dan agama. Serta dibuatnya makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu, dan sebagai bahan referensi bagi para mahasiswa khususnya dan pembaca pada umumnya yang ingin mempelajari materi terkait kegiatan menulis.
4
BAB II PEMBAHASAN 2.1. Hakikat Ilmu Kata ilmu berasal dari bahasa arab (alima) yang artinya pengetahuan. Pemakaian kata itu dalam bahasa Indonesia ekuivalen dengan istilah science. Science berasal dari bahasa latin: scio, scire yang juga berarti pengetahuan. Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat berwujud penelaahan (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau pencarian (search). Berikut ini akan dipaparkan definisi ilmu menurut para ahli: The Liang Gie (1987) mendefinisikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistemetis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia (Surajiyo, 2009: 56). Mohamad Hatta dalam Sakwati (2011), mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya yang tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam. Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana (Sakwati: 2011). Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji (Sakwati: 2011).
5
Harsojo, guru besar Antropologi Unviersitas Padjajaran menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia (Sakwati: 2011). J. Arthur Thompson dalam bukunya “An Introduction to Science” menuliskan bahwa ilmu adalah deskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiric yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah-istilah yang sederhana mungkin (Yudhim: 2008). S.
Hornby mengartikan ilmu sebagai: Science is organized knowledge
obtained by observation and testing of fact (ilmu adalah susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta (Yudhim: 2008). Menurut Ihsan (2010: 58) ilmu adalah pengetahuan. Tetapi ada berbagai pengetahuan. Ilmu mengandung tiga kategori isi: hipotesis, teori dan dalil hukum. Ilmu merupakan perkembangan lanjut dan mendalam dari pengetahuan indera. Ilmu haruslah sistematis dan berdasarkan metodologi dan berusaha mencapai generalisasi. 2.2. Hakikat Filsafat Sejarah kefilsafatan di kalangan filsuf menjelaskan tentang tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu kekaguman atau keheranan, keraguan atau kegengsian dan kesadaran akan keterbatasan. Filsafat secara etimologi Poedjawijatna (1974: 1) menyatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya adalah philosophia. Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan kata
6
majemuk yang terdiri atas philo dan sophia; philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin dan karena itu lalu berusaha mencapai apa yang diinginkan tersebut sedangkan sophia artinya kebijaksanaan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam (Tafsir, 2012: 9). Filsafat secara terminologi Secara terminologi adalah arti yang dikandung oleh filsafat. Dikarenakan batasan dari filsafat itu banyak maka sebagai gambaran perlu diperkenalkan beberapa batasan-batasan, yaitu: Harold Titus dalam (Jalaluddin dan Said, 1994: 9) mengemukakan pengertian filsafat adalah sebagai berikut: -
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis.
-
Filsafat ialah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
-
Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Filsafat ialah analisis logis dari bahasan dan penjelasan tentang arti konsep.
-
Filsafat ialah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat. Nasution (1973: 24) dalam Jalaluddin & Idi (2007: 16), filsafat adalah berfikir
menurut tata tertib (logika), bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan. Louis O. Kattsoff: mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, menertibkan dan mengetur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita pada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak (Suhartono, 2007: 49).
7
Plato (427 SM – 347 SM) seorang filsuf Yunani mendefinisikan arti filsafat yaitu pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli) (Ihsan, 2010: 9). Menurut Aristoteles (384 SM – 322 SM) filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda) (Ihsan, 2010: 10). Filsafat menurut Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43 SM) seorang politikus dan ahli pidato Romawi adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al faraby (wafat 950 M), filsuf muslim terbesar sebelum Ibnu Sina dalam Ihsan (2010: 10), mengatakan: filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakekat yang sebenarnya. Prof. Dr. Fuad Hasan seorang guru besar Psikologi UI dalam Ihsan (2010: 10) menyimpulkan filsafat adalah suatu ikhtisar untuk berfikir radikal artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana filsafat adalah berfikir dengan insaf, maksudnya berfikir dengan teliti menurut suatu aturan yang pasti (Bakhtiar, 2009: 8). Filsafat menurut Fung Yu Lan, filsuf dari dunia timur adalah pikiran yang sistematis dan refleksi tentang hidup (Bakhtiar, 2009: 9). Ali Mudhofir (1996) dalam Surajiyo (2009: 3) memberikan arti filsafat sangat beragam yaitu: -
Filsafat sebagai suatu sikap.
-
Filsafat sebagai suatu metode.
-
Filsafat sebagai kelompok persoalan.
8
-
Filsafat sebagai kelompok teori atau sistem pemikiran.
-
Filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelsan makna istilah.
-
Filsafat merupakan usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh.
2.3. Hakikat Agama Agama atau religion (bahasa Inggris) maupun religie (bahasa Belanda), keduanya berasal dari bahasa induk yaitu bahasa Latin: relegere, to treat carefully – menggarap secara seksama; (Cicero, De Nat. Deorum ii, 28); religare, to bind together – menyatukan (Lactantius, Instif. Div. Iv, 28) atau religere, to recover – bebas sembuh (Agustine, De Cevitate Dei. X. 3)” (Anshari, 1979: 10). Terdapat dua macam agama menurut Anshari (1979: 3) yaitu, pertama, agama wahyu, agama langit, agama samawi, agama profetis dan kedua. agama ra’yu, agama bumi, agama thabi’i, agama budaya, agama filsafat. Berikut ini pengertian agama yang dikemukakan oleh para ahli: Definisi agama menurut Tafsir (2012: 9) dapat dibedakan menjadi dua kelompok, pertama, definisi agama yang menekankan segi rasa iman atau kepercayaan. Kedua, menekankan segi agama sebagai peraturan tentang cara hidup. Agama adalah sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut, atau bisa juga diartikan agama adalah peraturan tentang cara hidup, lahir batin. Pandangan Marx terhadap agama diambil dari Feurbach yang menyatakan bahwa agama merupakan aliensi berdasarkan proyeksi. (Praja, 2010: 166). Dalam Everymen’s Encyclopedia rumusan tentang religion diartikan sebagai berikut: “religion ... may broadly be defined as acceptance of obligations toward powers higher than man himself” atau agama dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari pada kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia itu sendiri (Anshari, 1979: 11).
9
Fergilius Ferm, seorang ahli ilmu pengetahuan keagamaan dan perbandingan agama mendefinisikan agama sebagai berikut: “a religion is a set of meanings and behaviours having reference to the individuals who are or were or could be religious” atau agama adalah seperangkat makna dan kelakuan yang berasal dari individuindividu yang religius (Anshari, 1979: 12). Dalam Ensiklopedia Indonesia (Anshari, 1979: 15) pengertian agama adalah: Agama (umum), manusia mengakui dalam agama adanya Yang Suci: manusia itu insaf, bahwa ada suatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada. Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau Khalik segala yang ada. Tentang kekuasaan ini bermacam-macam bayangan yang terdapat pada manusia, demikian pula cara membayangkannya. Demikianlah Tuhan diaggap oleh manusia sebagai tenaga gaib diseluruh dunia dan dalam unsur-unsurnya atau sebagai Khalik rohani. Tenaga gaib ini dapat menjelma dalam alam (animisme), dalam buku suci (Torat) atau dalam manusia (Kristen). W.J.S Poerdarminta dalam “kamus”nya mendefinisikan agama sebagai segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dsb) serta dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (Anshari, 1979: 15). Menurut E. B Tylor dalam Bakhtiar (2009: 11) agama adalah kepercayaan terhap wujud yang spiritual (the believe in spiritual beings). J. G. Frazer dalam Bakhtiar (2009: 12) mendefinisikan agama sebagai penyembahan kepada kekuatan yang lebih agung dari manusia, yang dianggap mengatur dan menguasai jalannya alam semesta. Durkheim dalam Bakhtiar (2009: 12) berpendapat bahwa agama adalah alam gaib yang tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia sendiri
10
Prof. Mustafa Abd Raziq dalam Bakhtiar (2009: 13) mendefinisikan agama adalah terjemahan dari kata dîn yang berarti peraturan-peraturan yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan yang berhubungan dengan keadaan-keadaan yang suci. Pengertian agama menurut Al-Syahrastani dalam Abdullah (2004:5) adalah kekuatan dan kepatuhan yang terkadang bisa diartikan sebagai pembalasan dan perhitungan (amal perbuatan di akhirat). Definisi agama menurut Prof. Dr. Bouquet dalam Ahmadi (1984:14) ialah hubungan yang tetap antara diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan sipernatur, yang bersifat berbeda dengan sendirinya dan yang mempunyai kekuasaan absolut yang disebut Tuhan. 2.4. Hubungan Ilmu, Filsafat, dan Agama Berdasarkan pengetahuannya, terdapat beberapa jenis manusia dalam kehidupan ini, sebagaimana di pantunkan seorang filsuf: 1. Ada orang yang tahu di tahunya. 2. Ada orang yang tahu di tidak tahunya. 3. Ada orang yang tidak tahu di tahunya. 4. Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, maka ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah pula apa yang kau tidak tahu. Pengetahuan di mulai dari rasa ingin tahu. Kepastian dimulai dari rasa ragu-ragu. Filsafat dimulai dari rasa ingin tahu dan keragu-raguan. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui (Soetriono & Hanafie, 2007: 19). Jika ditinjau lebih mendalam lagi filsafat bukan lagi hanya sekedar ilmu logika yang lebih mengedepankan rasionalitas, karena filsafat merupakan pondasi awal dari segala macam disiplin keilmuan yang ada. Sedangkan ilmu merupakan suatu cabang pengetahuan yang berkembang dengan sangat pesat dari waktu ke waktu. Hampir
11
seluruh aspek kehidupan manusia menggunakan ilmu seperti agama, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan lain sebagainya. Manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom, pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonik jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat. Pikirannya mempunyai kecenderungan terhadap nilai “kebenaran”; perasaannya berkecenderungan terhadap adanya nilai “keindahan”; dan kemauannya selalu tertuju kepada nilai “kebaikan”. Nilai kebenaran memberikan pedoman dalam hal ketetapan tingkah laku, sehingga setiap perbuatan selalu diawali dengan perhitungan-perhitungan logis. Sedangkan nilai keindahan memberikan suasana ketenangan dalam perbuatan, sehingga setiap perbuatan selalu memiliki daya tarik tertentu. adapaun nilai kebaikan memberikan pedoman untuk mengukur apakah suatu tindakan itu berguna atau tidak (Suhartono, 2007: 32). Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat. Sementara itu ilmu pengetahuan melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangkan ide-ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu (Praja, 2010: 13). Filsafat lebih mementingkan hubungan-hubungan antara fakta-fakta khusus dengan bagian yang lebih besar. Ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen, dan pengalaman inderawi,sedangkan filsafat berusaha menghubungkan penemuanpenemuan ilmu dengan maksud menemukan hakikat kebenarannya (Praja, 2010: 14). Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah kepercayaan, melainkan penyelidikan sendiri hasil pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Dalam filsafat untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, manusia harus mencarinya sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin.
12
Sedangkan dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran hakiki manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan atau percaya atau iman (Praja, 2010: 16). Agama beralatkan kepercayaan sedangkan filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan potensi manusiawi, dan meyakininya sebagai satu-satunya alat ukur kebenaran, yaitu akal manusia. Menurut Prof. Nasroen, S.H dalam Pamungkas (2011) filsafat yang sebenarnya haruslah berdasar pada agama karena filsafat terkandung dalam agama. Bila filsafat tidak terkandung dalam agama maka filsafat itu memuat kebenaran yang sifatnya objektif, hal ini disebabkan segala sesuatu yang bersumber dari filsafat lahir dari akal pikiran manusia. Sedangkan kemampuan akal yang dimiliki oleh manusia terbatas, ada kalanya pikiran manusia tidak mampu menjangkau hal-hal tertentu yang dimiliki oleh agama. Sementara itu menurut Anshari (2005) baik ilmu, filsafat dan agama mempunyai tujuan yang sama yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metode yang dimiliki berusaha mencari kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan ciri khasnya sendiri berusaha mencari kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula agama, dengan karakteristiknya memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan. Baik ilmu maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah. Terdapat hubungan yang sangat erat antara ilmu, filsafat dan agama karena ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia karena berhubungan dengan akal, rasa dan keyakinan manusia. Ilmu mendasar pada akal, filsafat mendasar pada otoritas akal murni secara radikal pada kenyataan sedangkan agama berasal dari wahyu Tuhan.
13
Wilayah agama, wilayah ilmu pengetahuan, dan wilayah filsafat memang berbeda. Agama mengenai soal kepercayaan dan ilmu mengenai soal pengetahuan. Pelita agama ada di hati pelita ilmu ada di otak. Meski areanya berbeda sebagaimana dijelaskan di atas, ketiganya saling berkait dan berhubungan timbal balik. Agama menetapkan tujuan, tapi ia tidak dapat mencapainya tanpa bantuan ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu yang kuat dapat memperkuat keyakinan keagamaan. Agama senantiasa memotifasi pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan membahayakan umat manusia jika tidak dikekang dengan agama. Dari sini dapat diambil konklusi bahwa ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh.
14
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Ilmu merupakan hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu pengindraannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental. Filsafat adalah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu, karena masalah-masalah tersebut diluar atau di atas jangkauan dari ilmu. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat sarwa yang ada tentang hakikat Tuhan, hakikat alam semesta dan hakikat manusia serta sikap manusia termaksud sebagai kunsekuensi dari pada faham tersebut. Agama merupakan sistem kredo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia, satu sistema ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu, satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan. Ditinjau dari sumbernya, agama dibagi menjadi dua bagian yaitu agama samawi (agama langit, agama wahyu, agama profetis, revealed religion, din as samawi) dan agama budaya (agama bumi, agama filsafat, agama ra’yu, non-revealed religion, natural religion, din at-thabi’i, din al ardhi ). Terdapat hubungan yang sangat erat antara ilmu, filsafat dan agama karena ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia karena berhubungan dengan akal, rasa dan keyakinan manusia. Ilmu mendasar pada akal, 15
filsafat mendasar pada otoritas akal murni secara radikal pada kenyataan sedangkan agama berasal dari wahyu Tuhan. Wilayah agama, wilayah ilmu pengetahuan, dan wilayah filsafat memang berbeda. Agama mengenai soal kepercayaan dan ilmu mengenai soal pengetahuan. Pelita agama ada di hati pelita ilmu ada di otak. Meski areanya berbeda sebagaimana dijelaskan di atas, ketiganya saling berkait dan berhubungan timbal balik. Agama menetapkan tujuan, tapi ia tidak dapat mencapainya tanpa bantuan ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu yang kuat dapat memperkuat keyakinan keagamaan. Agama senantiasa memotifasi pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan membahayakan umat manusia jika tidak dikekang dengan agama. Dari sini dapat diambil konklusi bahwa ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh. 3.2 Saran Demikianlah makalah yang telah penulis susun. Penulis berharap makalah ini berguna sebagaimana mestinya dan dapat diterima dengan baik. Tapi, sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan, Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sehingga sebagai penulis dapat memperbaiki kekurangan dan mempertahankan kelebihan yang ada pada makalah inii. Terima kasih.
16
DAFTAR PUSTAKA Anshari, Endang Saifuddin. 1987. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta. Jalaluddin & Idi, Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jogjakarta: Ar Ruzz Media. Rose, Fitria. 2012. Hubungan Antara Ilmu, Filsafat dan Agama. [Online]. Tersedia: https://www.pdfcoke.com/document/128349563/Hubungan-Antara-Ilmu-Filsafat-danAgama [Diakses 16 Maret 2019]. Suhartono, Suparlan. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar Ruzz Media. Suhartono, Suparlan. 2007. Dasar-dasar Filsafat. Jogjakarta: Ar Ruzz Media. Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. Uyoh, Sadullah. 2011. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfa Beta. Yudhim. 2008. Hubungan Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama. [Online]. Tersedia: http://yudhim.blogspot.com/2008/01/hubungan-ilmu-pengetahuan-filsafat-dan.html [Diakses 16 Maret 2019]. Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Prestasi Pustaka.
17