Makalah Git Edit.docx

  • Uploaded by: Rosada
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Git Edit.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,944
  • Pages: 32
BAB I PENDAHULUAN

Sakit perut berulang merupakan gejala yang paling sering dialami oleh anak di seluruh dunia, ditemukan pada lebih dari 10% anak dan menyebabkan tingginya tingkat absensi anak di sekolah. Kondisi yang tidak kunjung membaik dan mengganggu menimbulkan ketidakpastian diagnosis, kronisitas dan tingginya kecemasan orang tua. Sakit perut berulang biasanya terjadi pada anak usia 5 hingga 14 tahun, frekuensi tertinggi pada usia 5-10 tahun. Di Inggris, nyeri perut pada anak terjadi pada 10-12% anak laki-laki usia 5-10 tahun dan menurun setelah usia itu. Sakit perut berulang oleh kelainan fungsional saluran cerna jarang ditemukan pada anak dibawah 5 tahun. Pada umumnya, anak tidak dapat mengatakan secara pasti apa yang dirasakan, sehingga kelainan organik sulit dipastikan. 1 Kelainan gastro intestinal yang sering terjadi pada anak antara lain GERD, Ulcus peptikum dan Inflammatory Bowel Disease (IBD). Kelainan pada masalah saluran pencernaan (seperti esofagitis, gastritis, gastropathy, dan duodenitis) paling tidak telah mengenai 5% anak yang mengeluhkan rasa sakit pada perutnya. Namun, angka prevalensi ini masih terbilang jauh lebih rendah jika dibandingkan angka kejadian pada orang dewasa.2 Ulkus peptikum primer biasanya muncul pada usia anak 8-17 tahun, rata-rata pada usia 12 tahun, sementara ulkus peptikum

1

sekunder terjadi pada semua umur. GERD dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun.3 Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kelainan idiopatik yang berhubungan dengan peradangan pada gastrointestinal. IBD terdiri dari dua penyakit yaitu penyakit Crohn (PC) dan kolitis ulseratif (KU). Insiden IBD di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara barat. Hal ini diduga selain disebabkan faktor imunologi, lingkungan dan genetik, juga mungkin karena sulitnya menegakkan diagnosis IBD yang memerlukan pemeriksaan penunjang radiologi, endoskopi, dan histologi yang di Indonesia masih jarang.4 Untuk itu, Tinjauan Pustaka ini bertujuan untuk menelaah Gastro intestinal diseases pada anak

mulai dari

etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik pada rongga mulut, dan terapinya.

2

BAB II KELAINAN GASTROINTESTINAL PADA ANAK

2.1

Gastroesofageal Reflux Disease (GERD)

2.1.1

Definisi Refluks gastroesofagus adalah pasase isi lambung ke dalam esofagus yang

berlangsung secara involunter. Refluks esofagus merupakan fenomena yang sering dijumpai pada bayi dengan gejala klinis bervariasi, mulai dari gejala yang ringan berupa gumoh yang terjadi setelah makan atau minum (regurgitasi) sampai menolak minum dan gagal tumbuh (penyakit refluks gastroeosfagus). Penyakit refluks gastroesofagus dihubungkan dengan paparan isi lambung atau asam lambung dengan frekuensi dan intensitas yang berlebihan.5 Isi lambung yang masuk ke dalam esofagus tidak hanya makanan atau minuman yang baru saja dikonsumsi, tetapi dapat pula disertai asam, pepsin, atau empedu yang bersifat korosif sehingga dapat merusak mukosa esofagus (esofagitis). Kerusakan mukosa esofagus diperlihatkan secara klinis oleh anak dengan keluhan nyeri perut terutama ulu hati, mual, muntah, dan menolak makan karena sakit menelan. Pada anak yang lebih besar mengeluh nyeri di daerah dada. Paparan asam lambung yang berlangsung kronis dapat menyebabkan perubahan epitel esofagus dari stratified squamous menjadi epitel simple collumnar (Barret’s esophagus). Esofagitis yang berat dapat menyebabkan komplikasi perdarahan dan struktur esofagus.5

3

Sfingter esofagus bagian bawah (SEB) merupakan barier anti-refluks terpenting. Pada keadaan normal, SEB akan mengalami relaksasi sebagai respons terhadap proses menelan sehingga minuman atau makanan akan masuk ke dalam lambung. Relaksasi sementara SEB (transient LES relaxation=TLSR), yaitu relaksasi sfingter esofagus yang tidak berhubungan dengan proses menelan merupakan mekanisme utama yang menyebabkan isi lambung kembali ke dalam esofagus.5 Klirens esofagus merupakan rangkaian proses, (1) pengeluaran asam di dalam esofagus oleh gerakan peristaltik esofagus sehingga sisa asam yang tertinggal sangat sedikit; (2) netralisasi sisa asam yang tertinggal oleh air liur yang tertelan. Semakin lama durasi episode refluks berlangsung semakin terganggu mekanisme klirens esofagus. Selain itu, daya gravitasi juga memegang peran dalam mekanisme klirens esofagus. Isi refluks yang bersifat korosif dan ketahanan mukosa esofagus merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi ketahanan mukosa esofagus.5 Gejala klinis nyeri, pada umumnya timbul akibat paparan asam berlebihan atau telah berlangsung lama. Bayi akan menjadi rewel, cengeng, dan kadangkadang menjerit. Bayi juga sering memperlihatkan posisi hiperekstensi pada tulang belakang pada saat atau setelah makan (back arching). Pada esofagitis berat dijumpai darah pada isi muntahan, nyeri atau gangguan menelan, dan darah pada tinjanya. Refluks gastroesofagus patologik yang berlangsung terus menerus dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Gagal tumbuh terjadi apabila jumlah masukan kalori lebih sedikit dibanding jumlah yang keluar. Makin lama

4

regurgitasi berlangsung, makin banyak orangtua menyatakan bahwa RGE merupakan masalah.5 Refluks gastroesofagus yang berlangsung lama atau terlalu sering berulang dapat menyebabkan kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi. Walaupun tidak ada kerusakan mukosa esofagus bukan berarti tidak ada PRGE, karena sering kali memperlihatkan kelainan pada pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi, yang dikenal sebagai non-erosive reflux disease (NERD).5 Kriteria Los Angeles merupakan salah satu cara untuk menentukan derajat atau tingkat kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) yang banyak digunakan oleh pusat pelayanan kesehatan anak di dunia, termasuk di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Hasil penelitian

51/58 pasien (87,9%) mengalami

kerusakan mukosa esofagus; 14/18 (77,8%) berusia 0-24 bulan, 12/14 (85,7%) berusia >24-60 bulan, dan 25/26 (96,1%) berusia >60 bulan.

Data tersebut

memperlihatkan bahwa semakin bertambah usia, semakin besar prevalens kerusakan mukosa esophagus. Mulyani dkk menemukan 90% anak berusia 12-60 bulan dengan kesulitan makan mengalami esofagitis.5 GERD adalah kondisi patologis dimana sejumlah isi lambung berbalik (refluks) ke esofagus melebihi jumlah normal, dan menimbulkan keluhan. Terdapat dua kelompok GERD, yang pertama adalah GERD erosif (esophagitis erosif), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan untuk diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas. Tipe kedua adalah penyakit

5

refluks non erosif (non erosive refluks disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan gejala-gejala refluks tipikal tanpa kerusakan mukosa esofagus saat pemeriksaan endoskopi saluran cerna. 3

2.1.2

Etiologi Tidak terdapat korelasi antara infeksi H. pylori dan esofagitis, tetapi

infeksi galur (strain) virulen organisme tersebut, yang ditandai oleh CagA positif, berbanding terbalik dengan esofagitis, esofagus Barrett (dengan atau tanpa displasia) dan adenokarsinoma esofagus. Setiap pengaruh infeksi H. pylori pada GERD terkait dengan gastritis yang ditimbulkannya dan efeknya pada sekresi asam lambung. Efek eradikasi H. pylori pada gejala refluks dan GERD bergantung pada dua faktor yaitu distribusi anatomis gastritis dan ada tidaknya GERD sebelumnya.6

2.1.3

Patofisiologi Patogenesis GERD meliputi ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan

faktor defensif dari bahan refluksat. Faktor defensif antara lain ‘disfungsi’ SEB atau sfingter esophagus bawah (lower esophageal sphincter/LES), bersihan asam dari lumen esofagus, dan ketahanan epitel esophagus. Bentuk anatomik SEB yang melipat berbentuk sudut, dan kekuatan menutup dari sfingter, menjadikan SEB berperan penting dalam mekanisme antirefluks. Peningkatan tekanan intra abdomen (misalnya saat batuk), proses gravitasi saat berbaring, dan kelainan

6

anatomis seperti sliding hernia hiatal mempermudah terjadinya refluks. Bersihan asam dari lumen esofagus adalah kemampuan esofagus untuk membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Kemampuan esofagus ini berasal dari peristaltik esofagus primer, peristaltik esofagus sekunder (saat menelan), dan produksi saliva yang optimal. Ketahanan epitel esofagus berasal dari lapisan mukus di permukaan mukosa, produksi mukus, dan mikrosirkulasi aliran darah di post epitel.3 Faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung, beberapa kondisi patologis yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan pengosongan lambung seperti obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying. Simptom khas GERD adalah heartburn, yaitu rasa terbakar di dada disertai nyeri dan regurgitasi (rasa asam pahit dari lambung terasa di lidah). Salah satu dari keduanya cukup untuk mendiagnosis PRGE secara klinis. Selain kedua gejala tersebut, GERD dapat menimbulkan keluhan nyeri atau rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bawah, disfagia (kesulitan menelan makanan), odinofagia (rasa sakit waktu menelan), mual dan rasa pahit di lidah. Keluhan ekstraesofageal yang juga dapat ditimbulkan oleh GERD adalah nyeri dada non kardiak, suara serak, laringitis, erosi gigi, batuk kronis, bronkiektasis, dan asma.3

2.1.4

Penatalaksanaan Modifikasi gaya hidup tidak direkomendasikan sebagai pengobatan primer

GERD. Penelitian objektif belum memperlihatkan bahwa alkohol, diet, dan faktor psikologis berperan signifikan dalam GERD. Modifikasi gaya hidup dapat mengurangi episode refluks individual; pasien yang mengalami eksaserbasi gejala

7

refluks yang berhubungan dengan makanan atau minuman tertentu dapat direkomendasikan untuk menghindari makanan atau minuman bergantian.6 Sasaran

pengobatan

GERD

adalah

menyembuhkan

esofagitis,

meringankan gejala, mempertahankan remisi, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah komplikasi. Terapi medikamentosa untuk memperingan gejala GERD mencakup pemberian antasida, prokinetik, H2-receptor antagonis (H2-RA), dan PPI. Untuk mengontrol gejala dan penyembuhan esofagitis pada GERD erosif, saat ini PPI merupakan pilihan yang paling efektif.6 Secara umum obat yang digunakan untuk kasus GERD dibagi menjadi 4 golongan yaitu : golongan pertama adalah obat prokinetik seperti betanekol, metoklopramid, domperidon, dan cisaprid. Golongan kedua adalah golongan protektif mukosa seperti sukralfat dan asam alginat. Golongan ketiga adalah golongan antasid seperti aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Golongan keempat adalah golongan obat supresi asam seperti Antagonis H2reseptor dan PPI. Proton-pump Inhibitors merupakan inhibitor selektif terhadap enzim H+K+-Adenosin trifoafat (ATPase) yang mengkatalisis langkah akhir sekresi asam lambung. Lima jenis obat yang termasuk dalam Proton-pump Inhibitors adalah pantoprazol, omeprazol, esomeprazol, lansoprazol dan rabeprazol. Pada semua jenis PPI terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah obat terpapar dengan respon farmakodinamik yang dihasilkan.7

8

Tabel 1. Obat yang digunakan pada kasus GERD untuk bayi dan anak7

Efektivitas obat golongan PPI dalam mengobati luka lambung, GERD dan infeksi Helicobacter pylori sudah terbukti untuk anak berusia diatas 1 tahun. Bagi pasien anak yang berusia di bawah 1 tahun efektivitas obat golongan PPI belum terbukti kecuali omeprazol pada kasus erosif esofagitis. Pengobatan jangka panjang pada pasien anak dengan kasus GERD tidak menimbulkan kanker dan kelainan yang signifikan. Pernyataan diatas diperkuat dengan penelitian yang melibatkan anak usia 3 sampai 12 bulan dengan kasus GERD atau esofagitis yang diberikan omeprazol selama 4 minggu. Penelitian ini

menyatakan bahwa

omeprazol mereduksi paparan asam esofagus dibandingkan dengan plasebo secara signifikan. Data lain menyatakan bahwa esomeprazol memiliki sifat farmakologi

9

yang lebih baik dari omeprazol. Esomeprazol juga memiliki kemampuan yang sama dengan omeprazol untuk mengobati kasus GERD pada anak.7 Obat golongan PPI dapat digunakan pada kasus GERD untuk anak dengan usia diatas 1 tahun sedangkan anak usia dibawah 1 tahun bisa menggunakan obat golongan prokinetik seperti metoklopramid dan obat golongan antagonis H2reseptor seperti ranitidin.7

2.2

Peptic Ulcer Disease(PUD)

2.2.1

Definisi Peptic ulcer disease, atau dikenal juga sebagai ulkus peptikum dalam

bahasa Indonesia, merupakan penyakit infeksi yang dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Ulkus peptikum terbagi ke dalam dua kategori, primer dan sekunder. Ulkus peptikum primer lebih bersifat kronis, disertai adanya debris fibrinopurulent, sedangkan ulkus peptikum sekunder biasanya bersifat akut, dipengaruhi oleh kondisi psikologis, konsumsi obat-obatan, dan juga tidak disertai jaringan fibrotik. Ulkus peptikum primer lebih sering mengenai duodenum, sedangkan ulkus peptikum sekunder lebih sering terjadi pada lambung.2 Rasa sakit pada perut merupakan hal yang cukup sering dikeluhkan oleh anak-anak dan hal ini merupakan tanda awal yang paling sering terjadi pada ulkus peptikum. Kelainan pada masalah saluran pencernaan (seperti esofagitis, gastritis, gastropathy, dan duodenitis) paling tidak telah mengenai 5% anak yang

10

mengeluhkan rasa sakit pada perutnya. Namun, angka prevalensi ini masih terbilang jauh lebih rendah jika dibandingkan angka kejadian pada orang dewasa.2 Ulkus peptikum primer biasanya muncul pada usia anak 8-17 tahun, ratarata pada usia 12 tahun, sementara ulkus peptikum sekunder terjadi pada semua umur. Anak usia di bawah 12 tahun mungkin belum dapat menentukan lokasi rasa sakit yang ditimbulkan oleh penyakit ini, dan mungkin juga disertai dengan anoreksia dan turunnya nafsu makan. Gejala lain yang sering muncul adalah anemia, nausea, sering muntah, dan turunnya berat badan.2

2.2.2

Etiologi Kebanyakan ulkus terjadi jika sel-sel mukosa usus tidak menghasilkan

produksi mukus yang adekuat sebagai perlindungan terhadap asam lambung. Penyebab penurunan produksi mukus dapat termasuk segala hal yang menurunkan aliran darah ke usus, menyebabkan hipoksia lapisan mukosa dan cedera atau kematian sel-sel penghasil mukus. Ulkus jenis ini disebut ulkus iskemik. Penurunan aliran darah terjadi pada semua jenis syok. Jenis khusus ulkus iskemik yang timbul setelah luka bakar yang parah disebut ulkus Curling (Curling Ulcer). Penurunan produksi mukus di duodenum juga dapat terjadi akibat penghambatan kelenjar penghasil mukus di duodenum, yang disebut kelenjar Brunner. Aktivitas kelenjar Brunner dihambat oleh stimulasi simpatis. Stimulasi simpatis meningkat pada keadaan stres kronis sehingga terdapat hubungan antara stres kronis dan pembentukan ulkus.

11

Penyebab utama penurunan produksi mukus berhubungan dengan infeksi bakterium H.pylori membuat koloni pada sel-sel penghasil mukus di lambung dan duodenum, sehingga menurunkan kemampuan sel memproduksi mukus. Sekitar 90% pasien ulkus duodenum dan 70% ulkus gaster memperlihatkan infeksi H.pylori. Infeksi H.pylori endemik di beberapa negara berkembang. Infeksi terjadi dengan cara ingesti mikroorganisme. Penggunaan beberapa obat, terutama obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID), juga dihubungkan dengan peningkatan risiko berkembangnya ulkus. Aspirin menyebabkan iritasi dinding mukosa, demikian juga dengan NSAID lain dan glukokortikosteroid. Obat-obat ini menyebabkan ulkus dengan menghambat perlindungan prostaglandin secara sistemik atau di dinding usus. Sekitar 10% pasien pengguna NSAID mengalami ulkus aktif dengan persentase yang tinggi untuk mengalami erosi yang kurang serius. Perdarahan lambung atau usus dapat terjadi akibat NSAID.

2.2.3

Patofisiologi Ulkus peptikum terjadi pada mukosa gastroduodenal karena jaringan ini

tidak dapat menahan kerja asam lambung pencernaan (asam hidroklorida dan pepsin). Erosi yang terjadi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dan kerja asam peptin, atau berkenaan dengan penurunan pertahanan normal dari mukosa. Mukosa yang rusak tidak dapat mensekresi mukus yang cukup bertindak sebagai barier terhadap asam klorida.

12

Gambar 2.1 Lokasi peptic ulceration8

Gambar 2.2 Peptic ulcer pada duodenum8

Sekresi lambung terjadi pada 3 fase yang berupa : 1. Fase sefalik Fase pertama ini dimulai dengan rangsangan seperti pandangan, bau atau rasa makanan yang bekerja pada reseptor kortikal serebral yang pada gilirannya merangsang saraf vagal. Intinya, makanan yang tidak menimbulkan nafsu makan menimbulkan sedikit efek pada sekresi lambung. Inilah yang menyebabkan

13

makanan sering secara konvensional diberikan pada pasien dengan ulkus peptikum. Saat ini banyak ahli gastroenterology menyetujui bahwa diet saring mempunyai efek signifikan pada keasaman lambung atau penyembuhan ulkus. Namun, aktivitas vagal berlebihan selama malam hari saat lambung kosong adalah iritan yang signifikan. 2. Fase lambung Pada fase ini asam lambung dilepaskan sebagai akibat dari rangsangan kimiawi dan mekanis terhadap reseptor dibanding lambung. Refleks vagal menyebabkan sekresi asam sebagai respon terhadap distensi lambung oleh makanan. 3. Fase usus Makanan dalam usus halus menyebabkan pelepasan hormon (dianggap menjadi gastrin) yang pada waktunya akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, sekresi lambung adalah campuran mukokolisakarida dan mukoprotein yang disekresikan secara kontinyu melalui kelenjar mukosa. Mucus ini mengabsorpsi pepsin dan melindungi mukosa terhadap asam. Asam hidroklorida disekresikan secara kontinyu, tetapi sekresi meningkat karena mekanisme neurogenik dan hormonal yang dimulai dari rangsangan lambung dan usus. Bila asam hidroklorida tidak dibuffer dan tidak dinetralisasi dan bila lapisan luar mukosa tidak memberikan perlindungan, asam hidroklorida bersama dengan pepsin akan merusak lambung. Asam hidroklorida kontak hanya dengan sebagian kecil permukaan lambung. Kemudian menyebar ke dalamnya dengan lambat. Mukosa yang tidak dapat dimasuki disebut barier mukosa lambung. Barier ini

14

adalah pertahanan utama lambung terhadap pencernaan yang dilakukan oleh sekresi lambung itu sendiri. Faktor lain yang memengaruhi pertahanan adalah suplai darah, keseimbangan asam basa, integritas sel mukosa, dan regenerasi epitel. Oleh karena itu, seseorang mungkin mengalami ulkus peptikum karena satu dari dua faktor, yaitu hipersekresi asam pepsin dan kelemahan barier mukosa lambung.

2.2.4

Penatalaksanaan Salah satu segi pengobatan ulkus duodenalis atau ulkus gastrikum adalah

menetralkan atau mengurangi keasaman lambung. Proses ini dimulai dengan menghilangkan iritan lambung (misalnya obat anti peradangan non-steroid, alkohol dan nikotin). Makanan cair tidak mempercepat penyembuhan maupun mencegah kambuhnya ulkus. Tetapi penderita hendaknya menghindari makanan yang tampaknya menyebabkan semakin memburuknya nyeri dan perut kembung. Antasid mengurangi gejala, mempercepat penyembuhan dan mengurangi jumlah angka kekambuhan dari ulkus. Sebagian besar antasid bisa diperoleh tanpa resep dokter. Kemampuan antasid dalam menetralisir asam lambung bervariasi berdasarkan jumlah antasid yang diminum, penderita dan waktu yang berlainan pada penderita yang sama. Pemilihan antasid biasanya berdasarkan kepada rasa, efek terhadap saluran pencernaan, harga dan efektivitasnya. Tablet mungkin lebih disukai, tetapi tidak seefektif obat sirup. Ulkus biasanya diobati minimal selama 6 minggu dengan obat-obatan yang mengurangi jumlah asam di dalam lambung dan duodenum. Obat ulkus bisa

15

menetralkan atau mengurangi asam lambung dan meringankan gejala, biasanya dalam beberapa hari. Beberapa obat untuk meredakan ulkus diantaranya: 1. sucralfate 2. Antagonis H2 3. Omeprazole dan Lansoprazole 4. Antibiotika 5. Misoprostol

2.3

Inflammatory Bowel Disease (IBD)

2.3.1

Definisi & Epidemiologi Inflammatory Bowedl Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang

melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu kolitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori type unclassified ( dahulu disebut indeterminate colitis). Sekitar satu hingga dua juta orang di Amerika Serikat diperkirakan mengalami KU ataupun PC, dengan insindens berkisar 70-150 kasus per 100.000 individu. Sedangkan di Eropa, insidens KU berkisar 7.3 kasus per 100.000. penduduk dan insidens PC sekitar 5.8 kasus per 100.000 penduduk.9 Di Indonesia sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai IBD, data masih didasarkan laporan rumah sakit saja (hospital based). Simadibrata dari Jakarta pada tahun 2002 melaporkan 5.2% kasus PC dan KU dari seluruh total

16

kasus kolonoskopi yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo. Dari data di unit endoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta (RSCM, RS Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) terdapat kesan bahwa kasus IBD berkisar 12.2% kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3.9% kasus hematoschezia, 25.9% kasus diare kronik, berdarah dan nyeri perut, sedangkan pada kasus nyeri perut didapatkan sekitar 2.8%. Data ini juga menyebutkan bahwa secara umum, kejadian KU lebih banyak daripada kasus PC. 9 Secara global dikatakan bahwa insidens IBD adalah 10 kasus per 100.000 penduduk, KU 2.2–14.3 kasus per 100.000 penduduk dan PC 3.1–14.6 kasus per 100.000 penduduk.9 Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap dekade kehidupan.10 Penyakit ini terjadi pada semua umur, tapi sangat jarang terjadi pada anak di bawah umur 1 tahun. Insiden IBD paling sering terjadi pada anak umur di atas 10 tahun.4

2.3.2

Etiologi Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya dimengerti. Banyak

teori diajukan namun belum ada kausa tunggal yang diketahui sebagai penyebab IBD. Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada individu yang memang rentan secara genetis. IBD diyakini merupakan hasil respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada flora normal usus yang berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus. Kondisi ini didukung dengan adanya temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan diidentifikasinya

17

gen CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya IBD. Secara genetis, disebutkan bahwa adanya mutasi pada gen NOD2 (gen IBD1) atau CARD15 (gen NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan dengan terjadinya IBD (terutama untuk PC). Meski demikian, gen-gen ini tidak disebutkan bersifat kausal terhadap IBD.9 Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.9

2.3.3

Gambaran Klinis Pada KU, proses peradangan dimulai di rektum dan meluas ke proksimal

secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan seluruh bagian kolon. Lesi biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus. Inflamasi hampir tidak pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis juga terdapat peradangan. Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada KU, tidak adanya skip area yakni area normal di antara daerah lesi menjadi penanda khas KU sehingga dapat dijadikan pembeda dengan PC.9 Pada PC, peradangan dapat melibatkan seluruh mukosa saluran cerna dimulai dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas yakni adanya peradangan, striktur, dan fistula. Berbeda dengan KU, lesi pada PC tidak hanya melibatkan mukosa dan submukosa namun juga dapat transmural. Hal ini menjadi penanda patologis yang khas untuk PC. Selain itu, lesi pada PC bersifat diskontinu sehingga akan ditemukan skip area.9

18

Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah, dan nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna (ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat dijumpai gambaran sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti anemi, demam, gangguan nutrisi. Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan klinis IBD bersifat kronik-eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan fase remisi.9 Pemahaman atas proses infl amasi yang terjadi pada patogenesis IBD akan membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas IBD. Misalnya kita akan menemui keluhan yang lebih seragam pada KU dibandingkan PC karena distribusi anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon sedangkan pada PC lebih bervariasi. Perbedaan gambaran klinis antara KU dan PC disajikan dalam tabel 1. Namun perlu diingat bahwa terkadang sulit membedakan gambaran IBD dengan penyakit lain yang kerap ditemukan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yakni kolitis infeksi dan tuberkulosis usus.9 IBD pada anak harus dibedakan dengan penyakit lainnya seperti: infeksi usus karena bakteri atau parasit, alergi makanan, penyakit imunodefisiensi primer atau didapat, kelainan vaskulitis, massa abdomen, dan tuberkulosis usus.4

19

Tabel 1. Gambaran Klinis KU dan PC

Gambar 2.3. Ulserasi mukosa intestinal pada Crohn disease.8

2.3.4

Penatalaksanaan Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga macam pendekatan, yakni rencana

diagnostik, rencana terapeutik, dan rencana edukasional. Pemeriksaan endoskopi berperan sangat penting dalam penegakan diagnosis sekaligus terapi IBD dengan akurasi diagnostik berkisar 89%.4 Umumnya, pemeriksaan endoskopi diikuti dengan

20

pemeriksaan histopatologi sediaan biopsi. Pemeriksaan lain seperti pencitraan dengan kontras ganda dapat dilakukan sebagai alat konfirmasi endoskopi.9 Fokus utama rencana Terapeutik adalah upaya penghambatan kaskade proses infl amasi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Secara umum, prinsip terapi IBD adalah (1) mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat hingga tercapai remisi; (2) mencegah peradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3) mengobati serta mencegah komplikasi. Sayang tidak semua lini kesehatan memiliki fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu algoritma penatalaksanaan terutama pada lini kesehatan primer. Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap terakhir jika medikamentosa gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi misalnya perforasi usus, perdarahan persisten, stenosis usus fi brotik, obstruksi, degenerasi maligna ataupun megakolon toksik yang sering terjadi pada KU.9 Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000 mg per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit, terutama PC. Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi antibiotik. Antibiotika untuk PC pada anak, yaitu Metronidazol dengan dosis: 10-20 mg/kg/ hari. Sedangkan untuk KU Antibiotika digunakan sangat terbatas karena meningkatnya risiko kejadian kolitis pseudomembran yang berhubungan dengan antibiotika.4 Antibiotik diberikan dengan latar belakang bahwa salah satu agen proinfl amasi disebabkan oleh bakteri intraluminal. Sebagian besar bakteri intraluminal bersifat komensal dan tidak menginduksi reaksi inflamasi namun mereka masih mampu memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel intestinal untuk menekan kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin proinfl amasi dan meningkatkan produksi interleukin 10. Interaksi antara bakteri pejamu ini dikenal dengan istilah disbiosis. Pemberian probiotik seperti laktobasilus berperan dalam upaya mencapai kondisi 85% remisi klinis dan endoskopis pada pasien pasca kolektomi.9

21

Dua golongan obat yang dikenal luas untuk mengobati radang aktif IBD bertujuan menginduksi remisi secepat mungkin adalah kortikosteroid dan asam amino salisilat. Dosis untuk anak 5-Aminosalisilat : 50-100 mg/kgBB/ hari.4 Untuk mencegah peradangan berulang, dilakukan upaya mempertahankan masa remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang bersifat individual atau mengganti obat steroid pada fase peradangan akut dengan obat-obatan golongan imunosupresif, anti-tumor necrosis antibody, dan probiotik.9 Kortikosteroid untuk anak kasus PC yaitu Metilprednisolon dengan dosis 2 mg/kgBB setiap 12 jam atau Hidrokortison 100 mg setiap 8 jam. Untuk kasus PC, Prednison dengan dosis 40-60 mg/hari peroral dan diturunkan secara bertahap (5 mg per minggu) setelah gejala terkontrol.4

22

BAB III MANIFESTASI PENYAKIT GASTRO INTESTINAL PADA RONGGA MULUT

3.1

Gatroesophageal reflux disease (GERD) Gatroesophageal reflux disease (GERD) dihasilkan dari pergerakan isi

lambung cephalad, melintasi sfingter esofagus bawah, esofagus, dan sfingter esofagus bagian atas dan bergerak ke rongga mulut. Temuan oral pada pasien dengan GERD termasuk peningkatan periodik dalam salivasi, xerostomia (mulut kering), sensasi terbakar, sensitivitas lidah, halitosis, eritema palatal, ulkus oral (gingiva), dysgeusia (rasa busuk), gingivitis, periodontitis, sensitivitas panas gigi dan atau pulpitis, serta erosi gigi.11 Erosi gigi didefinisikan sebagai hilangnya substansi gigi oleh proses kimia (eksposur asam) yang tidak melibatkan bakteri. Paparan gigi yang berulang atau berkepanjangan terhadap asam menyebabkan pembubaran selektif komponen tertentu dari permukaan gigi, dengan akhirnya kehilangan substansi gigi, hipersensitivitas, gangguan fungsional, dan bahkan fraktur gigi. Tingkat erosi gigi akibat GERD berhubungan dengan tingkat penyakit, frekuensi refluks, pH dan jenis asam, serta kuantitas dan kualitas air liur.11 Distribusi erosi pada pasien dengan GERD mempengaruhi permukaan oklusal gigi mandibular posterior dan permukaan palatal gigi anterior rahang atas. Gigi yang terkena menunjukkan email yang terkikis, halus dan mengkilap serta seperti kaca. Mereka mungkin tampak kuning dan menjadi sensitif terhadap

23

perubahan suhu sebagai dentin yang menjadi terbuka. Tahapan erosi gigi yang lebih lanjut mengungkapkan perubahan morfologi gigi, menghasilkan cekungan pada email, lebar yang jelas melebihi kedalamannya. Perkembangan lebih lanjut dari erosi oklusal mengarah ke pembulatan cups dan, pada kasus yang parah, morfologi oklusal keseluruhan menghilang dan eksposur pulpa dapat terjadi.11 Erosi gigi bersifat ireversibel dan mungkin memerlukan perawatan restorasi gigi. Jaringan lunak temuan oral biasanya akan diselesaikan dengan manajemen medis GERD.11

Gambar 3.1 Erosi gigi pada pasien dengan GERD. Permukaan palatal dari gigi superior anterior memperlihatkan area erosi, yang memberi mereka penampilan buram.11

Gambar 3.2. Erosi gigi pada pasien dengan GERD, perubahan morfologi oklusal menghasilkan cekungan pada enamel.11

24

3.2.

Peptic ulcer disease (PUD) Penggunaan antibiotik pada perawatan peptic ulcer disease (PUD) bisa

berakibat pada candidiasis pada rongga mulut. Dokter gigi harus berhati-hati untuk mengidentifikasi infeksi jamur pada ronga mulut, termasuk median rhomboid glossitis. 12

Gambar 3.3 Median rhomboid glossitis yang disebabkan penggunaan antibiotika12

Vascular malformation pada bibir dan erosi pada enamel juga manifestasi dari PUD. Erosi enamel disebabkan oleh persisten regurgitasi

dari cairan

lambung ke dalam mulut ketika terjadi pyloric stenosis. 12

Gambar 3.4 Kerusakan pada enamel palatal gigi insisivus rahang atas pada pasien persisten regurgitasi12

25

3.3

Inflammatory Bowel Diseases (IBD) Inflammatory bowel dieases (IBDs), terutama penyakit Crohn dan kolitis

ulseratif, adalah penyakit usus primer. Gejala ekstraintestinal IBD dapat mengenai organ seperti mata, kulit, sendi, ginjal, dan hati. Hal ini bisa menjadi sumber morbiditas yang dominan pada beberapa penderita. Manifestasi ekstraintestinal pada IBD diperkirakan terjadi pada sekitar 25-35% penderita.4 Manifestasi ini mungkin merupakan presentasi awal penyakit, dan perjalanan lesi mungkin tergantung pada atau tidak tergantung pada aktivitas penyakit usus. Insiden lesi oral di IBD diperkirakan 20% hingga 50%; lesi paling sering terlihat pada anakanak dengan penyakit crohn. Prevalensi lesi oral berkisar antara 0,5% hingga 20% pasien CD. Kebanyakan manifestasi oral dari CD terjadi pada pasien dengan penyakit usus aktif, dan keberadaannya sering berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Pada 60% pasien, gejala mulut pra-cede manifestasi usus. Ulkus aphthous rekuren adalah manifestasi oral CD yang paling umum.11 Perubahan granulomatosa yang merupakan ciri khas CD diamati dalam PV, bentuk “cobblestone” mukos, dan penyakit saluran kelenjar saliva kecil. Pasien CD mengalami pembengkakan difus pada bibir dan wajah, hiperplasia inflamasi mukosa mulut dengan pola”cobblestone”, lesi berbentuk polipoid seperti lesi di area vestibulum dan retromolar, dan ulserasi linear mendalam yang persisten dengan margin hiperplastik. Lesi oral dapat menimbulkan nyeri, mengganggu fungsi oral yang tepat, atau bahkan menyebabkan masalah psikologis. Temuan klinis lainnya dalam CD adalah pucat, angular cheilitis,

26

glossitis, kandidiasis, dermatitis perioral, reaksi lichenoid, dan peningkatan risiko karies gigi.11 Lesi oral dapat diobati dengan bilasan paliatif, salep, dan steroid topikal. Pasien harus diberi tahu bahwa penggunaan steroid topikal secara jangka panjang akan menghasilkan atrofi mukosa, dan peningkatan insidensi kandidiasis mukosa.11 Kolitis ulseratif dapat menyebabkan aphthous ulcers atau beberapa pustula yang disebut pyostomatitis vegetans. Ulkus dari yang muncul pada vestibulum anterior atas dan bawah, palatum lunak, dan palatum posterior keras. Vegetasi pyostomatitis cenderung muncul pada pasien dengan kolitis ulseratif yang tidak terdiagnosis atau aktif. Meskipun paling sering dikaitkan dengan kolitis ulseratif, vegetans pyostomatitis kadang-kadang dapat timbul pada penyakit Crohn Pyoderma gangrenosum, yang bermanifestasi sebagai ulkus mukosa nekrotik soliter juga telah dilaporkan dalam mulut pada kasus yang jarang terjadi.13 Pyostomatitis gangrenosum merupakan varian lain yang cukup hebat dengan ulser yang besar, destruktif, dan bertahan lama yang menimbulkan jaringan parut yang sangat nyata. Perawatan keduanya baik lesi seperti aphtousa ataupun pyostomatitis vegetans memerlukan kontrol coilitisnya. Lesi oral yang persisten setelah penggunaan obat anti inflamasi biasanya berespon pada aplikasi topikal steroid yang berulang.

27

Gambar 3.5 Ulserasi oral yang berhubungan dengan ulcerative coilitis.8

Gambar 3.6 Pyostomatitis vegetans.8

Gambar 3.7 Lesi pyostomatitis vegetans pada labial, vestibular mucosa dan gingiva cekat.14

28

Gambar 3.8 Tampilan “cobblestone” pada Crohn disease11

Gambar 3.9 Candidiasis (pseudomembranous)11

29

BAB IV SIMPULAN

1.

Keluhan sakit perut pada anak yang terus menerus bisa dicurigai

merupakan kelainan gastro intestinal pada anak. Meski prevalensi tidak sebesar pada orang dewasa, penyakit gastro intestinal pada anak perlu diketahui. 2.

Ulcus peptikum dan IBD merupakan penyakit gastro intestinal yang

memiliki manifestasi pada rongga mulut anak, meskipun pada GERD berdasarkan beberapa penelitian bisa berakibat erosi email dan halitosis. 3.

Penatalaksanaan

penyakit

gastro

intestinal

dengan

menggunakan

antibiotika yang tidak sesuai juga bisa mengakibatkan kelainan pada rongga mulut pada anak.

30

DAFTAR PUSTAKA 1.

Yusri Dianne Jurnalis LF. Sakit Perut Berulang Pada Anak. Cdk. 2014;41(8):589–94.

2.

Dohil R, Hassall E. Peptic ulcer disease in children. Bailliere’s Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2000;14(1):53–73.

3.

Ndraha S. Penyakit Refluks gastroesofageal. Medicinus. 2014;27(1):5–7.

4.

Yosy D, Salwan H. Inflammatory Bowel Disease Pada Anak. Maj Kedokt Sriwij [Internet]. 2014;(2):158–63. Available from: http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/view/2698

5.

Hasibuan B, Hegar B, Kadim M. Derajat kerusakan mukosa esofagus pada anak dengan penyakit refluks gastroesofagus. Sari Pediatr. 2012;14(1):19– 23.

6.

Bestari MB. Penatalaksanaan Gastroesophageal Refluks Disease (GERD). CDK. 2011;38(7):490–2.

7.

Syaripuddin M. Penggunaan Poton-Pump Inhibitors (PPI) Pada Anak Dengan Kasus Gastroesophageal Reflux Disease. Farmasains. 2014;2014(4):154–8.

8.

James W. Little DMD,MS, Craig S Miller DMD, MS and NLRDM. Gastrointestinal disease. In: Dental Management of the Medically Compromised Patient. Elsevier inc; 2018. p. 176–91.

9.

Firmansyah MA. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Imflammatory Bowel Disease. Cermin Dunia Kedokt. 2013;40(4):247–52.

10.

Patogenesa KD, Utara US, Ariestine DA. Kolitis Ulsoratif Ditinjau Dari Aspek. 2008;1–12.

11.

Mejia LM. Oral Manifestations of Gastrointestinal Disorders. Atlas Oral

31

Maxillofac Surg Clin North Am [Internet]. 2017;25(2):93–104. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.cxom.2017.04.002 12.

James W. Little DMD,MS, Craig S Miller DMD, MS, and Nelson L. Rhodus DMD M. Gastrointestinal disease. In: Dental Management of the Medically Compromised Patient. Elsevier inc; 2018. p. 176–91.

13.

Leão JC, Gomes VB, Porter S. Ulcerative lesions of the mouth: an update for the general medical practitioner. Clinics (Sao Paulo). 2007;62(6):769– 80.

14.

Islam NM, Bhattacharyya I, Cohen DM. Common oral manifestations of systemic disease. Otolaryngol Clin North Am. 2011;44(1):161–82.

32

Related Documents

Makalah Git Edit.docx
October 2019 8
Git
December 2019 47
Git
November 2019 36
Git-github.pptx
December 2019 37
Derma Git
November 2019 32
103 Git
April 2020 7

More Documents from ""