Makalah Gadar Trauma Muskuloskletal.docx

  • Uploaded by: setiawan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Gadar Trauma Muskuloskletal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 16,004
  • Pages: 92
TRAUMA MUSKULOSKLETAL

Disusun oleh: Kelompok VI

Dosen Pembimbing: Ns. Wiyadi, S.Kep., M.Sc

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR PROGRAM STUDI PROFESI NERS TAHUN 2018

i

TRAUMA MUSKLULOSKLETAL

Disusun oleh: Kelompok VI 1. Indah Nur Imamah 2. M. Setiawan 3. Sri Rahayu

Dosen Pembimbing: Ns. Wiyadi, S.Kep., M.Sc

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR PROGRAM STUDI PROFESI NERS TAHUN 2018

i

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan makalah “Trauma Muskuloskletal” dapat kami selesaikan. Shalawat beriring salam semoga dilimpahkan kepada Baginda Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang istiqamah di jalan-Nya hingga akhir zaman. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata ajar keperawatan gawat darurat. Selain itu, agar pembaca dapat memperluas ilmu yang berkaitan dengan judul makalah, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber dan hasil kegiatan yang telah dilakukan. Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait, terutama kepada dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Dan kami menyadari masih banyak kekurangan yang mendasar dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami memohon keterbukaan dalam pemberian saran dan kritik agar lebih baik lagi untuk ke depannya. Samarinda, Desember 2018

Kelompok V

i

DAFTAR ISI COVER ................................................................................................................... i HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A.

Latar Belakang ........................................................................................................ 1

B.

Rumusan Masalah ................................................................................................... 2

C.

Tujuan ..................................................................................................................... 3

D.

Manfaat ................................................................................................................... 3

E.

Sistematika Penulisan ............................................................................................. 4

BAB II TELAAH PUSTAKA .............................................................................. 5 A.

Fraktur ..................................................................................................................... 5

B.

Dislokasi ............................................................................................................... 20

C.

Sindrom Kompartemen ......................................................................................... 32

D.

Amputasi ............................................................................................................... 51

E.

Strain ..................................................................................................................... 61

F.

Sprain (Keseleo).................................................................................................... 67

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 85 A.

Kesimpulan ........................................................................................................... 85

B.

Saran ..................................................................................................................... 86

LAMPIRAN

ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena salah satu sebab. Penyebab utama trauma adalah kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta penduduk Amerika Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis. 3,6 juta membutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Didapatkan 300 ribu di antaranya mendapatkan kecacatan yang bersifat menetap (1%) dan 8,7 juta menderita kecacatan sementara ( 30% ) dan menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang per tahun (0,5%). Berdasarkan hasil RIKESDAS 2013 bahwa penyebab cedera yang menunjukkan penurunan proporsi terlihat pada kasus jatuh yaitu dari 58 persen menjadi 40,9 persen dan terkena benda tajam/tumpul dari 20,6 persen menjadi hanya 7,3 persen. Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas lebih kurang 12 ribu orang per tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi, hilangnya waktu kerja yang banyak sehingga biaya perawatan yang besar, dan 67frkecacatan sementara dan permanen. Trauma muskuloskeletal biasanya menyebabkan disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya.

Gangguan

yang

paling

sering

terjadi

akibat

trauma

muskuloskeletal adalah kontusio, strain, sprain, dislokasi dan subluksasi serta fraktur (Muttaqin, 2008). Cedera sistem musculoskeletal cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan mengancam kehidupan kita (Rasjad C,2003). Walaupun cedera musculoskeletal umumnya jarang menyebabkan kematian, tapi dapat menimbulkan penderitaan fisik, stress mental dan kehilangan banyak waktu. Jadi dalam hal ini, cedera muskuloskeletal akan meningkatkan angka morbiditas dibanding angka mortalitas (Salter, R. B. , 1999). Pelayanan gawat darurat bertujuan menyelamatkan kehidupan penderita, hingga sering di manfaatkan untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan. Penyebab tingginya

1

angka kematian dan kecacatan akibat kegawatdaruratan adalah tingkat keparahan akibat kecelakaan, kurangnya pengetahuan perawat terhadap peran dalam penanganan pasien gawat darurat kecelakaan lalu lintas kurang memadainya peralatan dan sikap perawat UGD dalam menangani pasien gawat darurat kecelakaan lalu lintas (Humardani, 2013). Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang memerlukan pertolongan segera karena apabila tidak mendapat pertolongan dengan segera maka dapat mengancam jiwanya atau menimbulkan kecacatan permanen. Keadaan gawat darurat yang sering terjadi di masyarakat antara lain keadaan seseorang yang mengalami henti nafas dan henti jantung, tidak sadarkan diri, kecelakaan, cedera misalnya patah tulang, pendarahan, kasus stroke dan kejang, keracunan dan korban bencana. Penyebab kejadian gawat darurat yang sering terjadi dalam sehari-hari yaitu karena terjadinya karena terjadinya kecelakan lalu lintas, kasus gawat darurat karena kecelakaan lalu lintas penyebab kematian utama di daerah perkotaan (Asculap M. 2007). Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan juga harus meningkatkan profesionalisme dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Perawat juga dituntut untuk melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan standart profesinya. Profesi perawat sangat penting dalam penanganan pertolongan pertamadalam kecelakaan, seperti yang diketahui bahwaperan perawat salah satunya adalah sebagai care giver yaitu perawat memberikan pelayanan kesehatan berdasarkan diagnosis keperawatan sehingga dapat menentukan perencanaan dan evaluasi dari masalah tersebut (Manurung, 2009). B. Rumusan Masalah Bagaimana

asuhan

keperawatan

Muskuloskletal?

2

gawat

darurat

Trauma

C. Tujuan 1. Tujuan Umum Mahasiswa/ (i) dapat menerapkan dan mengembangkan pola pikir berbagai

konsep

asuhan

keperawatan

gawat

darurat

Trauma

Muskuloskletal. 2. Tujuan Khusus Agar mahasiswa/ (i) mampu mengetahui dan memahami tentang: a. Fraktur b. Disokasi c. Sindrom Kompartemen d. Amputasi e. Strain f. Sprain D. Manfaat 1. Bagi Penulis Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan pengetahuan dalam penerapan konsep asuhan keperawatan gawat darurat Trauma Muskuloskletal. 2. Bagi Institusi Pelayanan Menjadi acuan dalam memberikan asuhan keperawatan terutama dalam asuhan keperawatan gawat darurat Trauma Muskuloskletal. 3. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan dan sebagai masukan dalam peningkatan asuhan keperawatan melalui konsep asuhan keperawatan gawat darurat Trauma Muskuloskletal.

3

E. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu: Bab I

: Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang belakang, rumusan masalah, tujuan dan sistematika penulisan.

Bab II

: Berisi telaah pustaka yang terdiri dari konsep Fraktur, Disokasi, Sindrom Kompartemen, Amputasi, Strain, Sprain

Bab III

: Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

4

BAB II TELAAH PUSTAKA

A. Fraktur 1. Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2013). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim (Brunner & Sudarth, 2014). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007). Fraktur

adalah

diskontinuitas/terganggunya

kesinambungan

jaringan tulang dan atau tulang rawan karena adanya trauma. Fraktur terjadi bila daya traumanya lebih besar dari daya lentur tulang. Fraktur dapat terjadi karena peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulangulangatau kelemahan abnormal pada tulang fraktur patologis (Hardisman, 2014) Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi. 2. Klasifikasi a. Berdasarkan tempat: Fraktur Humerus, Tibia, Klavikula, Ulna, Radius, dst.

5

b. Berdasarkan komplit dah ketidak komplitan fraktur 1) Fraktur komplit Garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang. Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat. 2) Fraktur tidak komplit Bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang. Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick. Menurut Price dan Wilson (2012) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu 1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. 2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga. 3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh trauma rotasi. 4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang kea rah permukaan lain. 5) Fraktur Afulsi: fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

6

d. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah 1) Fraktur komunitif, garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. 2) Fraktur segmental, garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. 3) Fraktur multipel, garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. e. Berdasarkan posisi fragmen 1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser), garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh 2) Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen tulang. f. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan) 1) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan duni aluar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: a) Tingkat 0, fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak, b) Tingkat 1, fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan, c) Tingkat 2, fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan, d) Tingkat 3, cedera berat dengna kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartemen. 2) Fraktur terbuka (open/compound fracture), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu: a) Grade I, luka bersih panjangnya kurang dari 1 cm,

7

b) Grade II, luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan luak yang ekstensi, c) Grade

III, sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan

jaringan lunak ekstensif. g. Berdasarkan posisi Fraktur 1) fraktur 1/3 proksimal 2) fraktur 1/3 medial 3) fraktur 1/3 distal h. Fraktur Kelelahan: Fraktur yang terjadi akibat tekanan yang berulangulang. i. Fraktur Patologis: Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. 3. Etiologi a. Trauma langsung/ direct trauma Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan dan pukulan yang mengkibatkan patah tulang). b. Trauma tidak langsung/ indirect trauma Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pergelangan tangan. c. Trauma ringan Terjadi bila tulang itu sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari yang biasanya disebut dengan fraktur patologis. d. Kekerasan akibat tarikan otot Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekanan, dan penarikan. 4. Patofisiologi Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekatan dan gaya begas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah

8

terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematom di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur dibagi menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik; tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur, dan faktor intrinsik; kapasitas absorbsi, tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan tulang. 5. Manifestasi Klinis a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot. c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontrasksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Framgmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 – 5 cm. d. Saat ekstremitas diperiksa secara palpasi, teraba adanya krepitasi yang terjadi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.

9

e. Pembengkakkan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikut fraktur. Tanda ini dapat terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. 6. Pemeriksaan Penunjang a.

X-ray, untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.

b.

Bone scans, Tomogram atau MRI scans.

c.

Arteriogram, dlakukan bila ada kerusakan vaskuler.

d.

CCT, apabila diduga terjadi kerusakan otot.

e.

Pemeriksaan darah lengkap.

7. Komplikasi a. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis. 1) Syok Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra. 2) Sindrom emboli lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak pada aliran darah. 3) Sindroma Kompartement

10

Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian syaraf yang mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan.resiko terjadinya sinrome kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur

11

yang terlalu dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan hilangnya fungsi secara permanen atau hilangnya ekstremitas dapat terjadi. (Corwin 2012) 4) Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. 5) Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. 6) Avaskuler nekrosis Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2013). b.

Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union, dan non union 1) Malunion Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring. Conyoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerakan rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan. Akibatnya sesudah gibs dibung ternyata anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam atau ke luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan tubuhnya untuk berada

12

dalam posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat dicegah dengan melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan reduksi, dan mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin terutama pada masa awal periode penyembuhan. Gibs yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmenfragmen tulang yang patah dan bergeser sesudah direduksi harus diketahui sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan kembali dengan reduksi berulang dan imobilisasi, atau mungkin juga dengan tindakan operasi. 2) Delayed Union Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang. 3) Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada

sisi

fraktur

yang

membentuk

sendi

palsu

atau

pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang merupakan faktor predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi yang tidak benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah tetap tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan cara terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak (biasanya otot) diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera jaringan lunak yang sangat berat, infeksi, pola spesifik peredaran darah dimana tulang yang patah tersebut dapat merusak suplai darah ke satu atau lebih fragmen tulang.

13

8. Penatalaksanaan Medis Terdapat empat tujuan utama dalam penatalaksanaan medis pada kasus fraktur, yaitu: a. Menghilangkan rasa nyeri Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena adanya luka di sekitar jaringan tulang yang patah. Untuk mengaurangi nyeri tersebut, dapat diberika obat penghilang rasa nyeri dan dengan teknik imobilisasi, yang dapat dicapai dengan cara pemsangan gips atau bidai. b. Menghasilkan dan Mempertahankan Posisi yang Ideal dari Fraktur Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan lagi teknik yang lebih baik seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi internal, atau fiksasi eksternal tergantung dari dari jenis frakturnya sendiri. c. Penyatuan Tulang Kembali Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna daam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang. d. Mengembalikan Fungsi Seperti Semula Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendiri. Maka dari itu, diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin dengan menggunakan alat bantu mobilisasi seperti walker, cruck, dan lainnya. 9. Prinsip 4 R pada Fraktur Menurut Price (2012) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. a. Rekognisi (Pengenalan ) Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai

14

akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. b. Reduksi (manipulasi/ reposisi) Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2007). c. Retensi (Immobilisasi) Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, at au di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2007).

15

d. Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2007). 10. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma. b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur: juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. c. Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma. d. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. e. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. f. Profil Koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel, atau cedera hati (Dongoes, 2012) 11. Asuhan Keperawatan Pengkajian Pengkajian Primer a) Airway Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan secret akibat kelemahan reflek batuk b) Breathing Kelemahan

menelan/batuk/melindungi

jalan

napas,

timbulnya

pernapasan yang sulit dan atau tak teratur, suara napas terdengar ronchi/aspirasi

16

c) Circulation TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membrane mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut Pengkajian Sekunder a) Aktivitas/istirahat 1) Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena 2) Keterbatasan mobilitas b) Sirkulasi 1) Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas) 2) Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah) 3) Takikardi 4) Penurunan nadi pada bagian distal yang cedera 5) CRT melambat 6) Pucat pada bagian yang terkena 7) Masa hematoma pada sisi cedera c) Neurosensori 1) Kesemutan 2) Deformitas, krepitasi, pemendekan 3) Kelemahan d) Kenyamanan 1) Nyeri tiba-tiba saat cidera 2) Spasme/kram otot e) Keamanan 1) Laserasi kulit 2) Perdarahan 3) Perubahan warna 4) Pembengkakan local Diagnosa Keperawatan a) Nyeri akut b) Kerusakan integritas jaringan

17

c) Hambatan mobilitas fisik Intervensi Keperawatan a) Nyeri akut Tujuan: Nyeriberkurang/hilang setelah diberikan tindakan keperawatan Kriteria hasil: 1) Klien menyatakan nyeri berkurang/hilang 2) Terlihat rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat 3) TD normal 4) Tidak ada peningkatan nadi dan RR Intervensi: 1) Kaji ulang lokasi, intensitas dan tipe nyeri 2) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring 3) Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan 4) Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi 5) Jelaskan prosedur sebelum memulai 6) Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif 7) Dorong menggunakan teknik manajemen stress: relaksasi napas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan 8) Observasi TTV 9) Kolaborasi pemberian analgetik b) Kerusakan integritas jaringan Tujuan: Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah dilakukan keperawatan Kriteria hasil: 1) Penyembuhan luka sesuai waktu 2) Tidak ada laserasi, integritas kulit baik Intervensi 1) Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau draine

18

2) Monitor suhu tubuh 3) Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol 4) Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh 5) Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan 6) Masase kulit sekitar akhir gips dengan alcohol 7) Gunakan tempat tidur busa atau Kasur udara sesuai indikasi 8) Kolaborasi pemberian antibiotic c) Hambatan mobilitas fisik Tujuan: Hambatan mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan Kriteria hasil: 1) Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin 2) Mempertahankan posisi fungsional 3) Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit 4) Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas Intervensi: 1) Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan 2) Tinggikan ekstremitas yang cidera 3) Instruksikan klien/bantu dalam latihan rentang gerak pada ekstremitas yang sakit dan tak sakit 4) Beri penyangga pada ekstremitas yang sakit diatas dan dibawah fraktur ketika bengkak 5) Jelaskan keterbatasan dalam aktivitas 6) Kolaborasi fisioterapi/okupasi terapi

19

B. Dislokasi 1. Dislokasi Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi) (Brunner&Suddarth. 2014). Dislokasi adalah keluarnya bongkol sendi dari mangkuk sendi. Biasanya disebabkan trauma berat pada sendi dan sering disertai fraktur. Tempat tersering terjadinya dislokasi ini adalah sendi bahu, sendi siku, jari, ibu jari, panggul dan rahang (Hardisman, 2014). 2. Klasifikasi a. Berdasarkan bagian yang keluar dari mangkuk sendi 1) Dislokasi: keluarnya kepala sendi dari mangkuk sendi 2) Sublukasi: keluarnya sebagian kepala sendi b. Berdasarkan lokasi terjadinya 1) Dislokasi sendi rahang Penyebab: a. Menguap atau tertawa terlalu lebar b. Terkena pikulan keras ketika rahang sedang terbuka Penatalaksanaannya: a) Balut jari dengan kain bersih atau kasa dengan tebal b) Ibu jari tersebut diletakkan pada geraham kanan paling belakang c) Tekan rahang kebawah dengan ibu jari tersebut d) Tekanan tersebut harus mantap tetapi pelan-pelan sementara itu jari-jari lain mengangkat dagu korban e) Tindakan dikatakan berhasil bila rahang menutup dengan cepat dank eras f) Untuk beberapa saat penderita tidak dibolehkan membuka mulutnya lebar-lebar

20

2) Dislokasi sendi jari Dislokasi sendi jari sangat sering terjadi dan bila tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan menjadi kaku. Sendi jari dapat mengalami dislokasi kea rah telapak atau punggung tangan. Penatalaksanaannya: a) Tariklah ujung jari yang cedera dengan tarikan cukup kuat dan tidak disentakkan b) Sambil menarik, sendi yang terpeleset ditekan dengan ibu jari dan telunjuk c) Untuk sementara waktu jari tersebut dibidai dalam kedudukan

setengah

melingkar,

seolah-olah

hendak

membentuk huruf O dengan ibu jari d) Apabila tidak berhasil, maka mungkin ada urat yang terjepit diantara 2 tulang yang membentuk sendi tersebut. Ini hanya bias diperbaiki di RS, demikian pula dislokasi ibu jari sebaiknya langsung dibawa ke RS. 3. Dislokasi sendi bahu Disebabkan lepasnya kaput sendi humerus ke dari mangkuk glenoid. Keadaan ini sering pada pria usia muda dihubungkan dengan kebiasaan berolahraga. Gejala/tanda: a) Nyeri hebat disertai gangguan pergerakan sendi bahu b) Pasien merasa sendinya keluar dan tidak mampu menggerakkan lengannya c) Lengan yang cedera ditopang oleh tangan sebelahnya d) Posisi badan penderita miring kea rah sisi yang sakit e) Kontur bahu berubah f) Sumbu humerus tidak menusuk ke bahu Penatalaksanaannya: a) Teknik Stimson: penderita dibaringkan tertelungkup dengan anggota gerak yang dislokasi dibiarkan menggantung di tepi

21

tempat tidur, tangan menggantung kebawah. Kemudian diberikan beban pada pergelangan tangan yang menggantung tersebut seberat 2 kg selama 30 menit atau tergantung dari kekuatan otot penderita. Si penderita disuruh relaks untuk beberapa jam. b) Teknik Hennipen: korban duduk/berbaring dengan posisi 45o, siku ditahan oleh tangan kanan penolong dan tangan kiri penolong melakukan rotasi eksterna 90o dengan lembut dan perlahan. Jika korban merasa nyeri, rotasi eksterna untuk sementara dihentikan sampai terjadi relaksasi otot kemudian baru dilanjutkan kembali. 4. Dislokasi sendi panggul Disebabkan keluarnya kaput femur dari mangkuk acetabulum di panggul. Gejala/tanda: a. Tungkai terlihat lebih pendek b. Setiap usaha menggerakkan panggula akan menimbulkan nyeri c. Caput femur dapat teraba pada panggul Penatalaksanaannya: a) Stabilisasi ABC dan imobilisasi tulang belakang b) Jika dilapangan ditemukan dislokasi panggul maka korban ditempatkan pada tempat yang datar dan diperbolehkan memposisikan kakinya ke posisi yang paling nyaman c) Segera bawa korban ke rumah sakit. Usaha perbaikan hanya dapat dilakukan di RS. Jadi, segera kirim korban ke RS dengan memberi bantal dibawah lutut dan kakinya untuk membatasi pergerakan selama perjalanan Pasien dengan dislokasi panggul biasanya mengalami komplikasi lain yang lebih diutamakan untuk ditangani, baik di lapangan maupun di RS. Reduksi di lapangan sangat dianjurkan. Di rumah sakit dapat dilakukan penanganan sebagai berikut:

22

a) Metode Allis Pasien diposisikan terlentang di atas lantai atau pada meja datar dengan

dokter

berdiri

di

atasnya.

Seorang

asisten

mengimobilisasi tulang panggul dengan menahan ujung iliaka. Lakukan tarikan sejajar deformitas dengan fleksi panggul 90o secara perlahan. Perhatikan tarikan, lanjutkan dengan rotasi eksternal, abduksi dan ekstensi panggul. Asisten melakukan traksi (tarikan) pada paha ke arah lateral. b) Metode Stimpson Pasien diposisikan telungkup diatas meja datar dengan panggul lemas di tepi meja. Tarikan di lakukan pada panggul dengan penekanan pada posterior lutut baik dengan tangan maupun lutut penolong. Rotasi interna dan eksternal dilakukan dengan tangan sebelahnya. Seorang asisten membantu reduksi dengan secara langsung mengarahkan kaput femur ke arah posisi reduksi. c) Metode Whistler Penolong berdiri pada sisi dislokasi dan menempatkan lengannya di bawah lutut kaki yang cedera dan berpegangan pada lutut yang normal. Tangan lain ditempatkan pada daerah anterior mata kaki. Lalu, lengan tangan penolong diangkat dan daya tarikan dilakukan pada paha korban. Telapak tangan pada lutut yang normal akan menghasilkan tekanan berlawanan. Lakukan rotasi eksternal dan internal panggul dengan lutut fleksi oleh tangan satunya akan mempermudah reduksi dan menciptakan suatu titik tumpu kuat untuk mereduksi dislokasi yang terjadi. 5. Etiologi Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi, diantaranya : a. Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir b. Trauma akibat kecelakaan

23

c. Trauma akibat pembedahan ortopedi d. Terjadi infeksi di sekitar sendi 6. Manifestasi Klinis a. Nyeri b. Perubahan kontur sendi c. Perubahan panjang ekstremitas d. Kehilangan mobilitas normal e. Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi f. Deformitas g. Kekakuan 7. Patofisiologi Penyebab terjadinya dislokasi sendi ada tiga hal yaitu karena kelainan congenital yang mengakibatkan kekenduran pada ligamen sehingga terjadi penurunan stabilitas sendi. Dari adanya traumatic akibat dari gerakan yang berlebih pada sendi dan dari patologik karena adanya penyakit yang akhirnya terjadi perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut, menyebabkan dislokasi sendi. Dislokasi mengakibatkan timbulnya trauma jaringan dan tulang, penyempitan pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas sehingga terjadi perubahan struktur. Dan yang terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari dislokasi sendi, perlu dilakukan adanya reposisi dengan cara dibidai.

24

Cedera Olahraga/ Trauma

Patologis

Kongenital

Gerakan Berlebih pada Sendi

Penyakit Mempengaruhi Sendi

Kekenduran Ligamen

Terlepasnya Kompresi Jaringan Tulang dari Mangkuk Sendi

Terjadi Perubahan Struktur Sendi dan Trauma Jaringan Sekitar

Merusak Sendi & Ligamen

Vasokontriksi pada Pembuluh Darah

Kompresi Jaringan Tulang ke Depan

Perubahan Panjang Ekstremitas

Penurunan Stabilitas Sendi Perubahan Struktur Sendi Tulang Berpindah/ Terlepas dari Mangkuk Sendi

Merobek Kapsul Tepi Genodoid Teravulsi Tulang Berpindah/ Terlepas dari Mangkuk Sendi

DISLOKASI Trauma Jaringan Sekitar

Perubahan Struktur Sendi Perubahan Panjang Ekstremitas

↓ Stabilitas Sendi

Vasodilatasi pada Pembuluh Darah

Deformitas

Disfungsi Sendi

Deformitas

Tulang Terlepas dari Mangkuk Sendi

Kekakuan

MK: Gg. Citra Tubuh (D.0083)

MK: Nyeri Akut (D.0077)

MK: Gg. Mobilitas Fisik (D.0054)

6. Pemeriksaan diagnostic a. Foto X-ray : untuk menentukan arah dislokasi dan apakah disertai fraktur b. Foto

rontgen

:

menentukan

luasnya

degenerasi

dan

mengesampingkan malignasi c. Pemeriksaan radiologi : tampak tulang lepas dari sendi d. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap dapat dilihat adanya tanda-tanda infeksi seperti peningkatan leukosit

25

7. Asuhan Keperawatan Pengkajian a. Pengkajian primer 1) Airway Adanya

sumbatan/obstruksi

jalan

napas

oleh

adanya

penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk. 2) Breathing Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi 3) Circulation TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut. b. Pengkajian sekunder 1) Aktivitas/istirahat a) Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena b) Keterbatasan mobilitas 2) Sirkulasi a) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas) b) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah) c) Tachikardi d) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera e) Capilary refil melambat f) Pucat pada bagian yang terkena g) Masa hematoma pada sisi cedera 3) Neurosensori a) Kesemutan b) Kelemahan

26

c) Deformitas lokal, agulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi. d) Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri / anxietas 4) Kenyamanan a) Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang, dapat berkurang deengan imobilisasi) tak ada nyeri akibat keruisakan syaraf. b) Spasme / kram otot (setelah immobilisasi). 5) Keamanan a) laserasi kulit b) perdarahan c) perubahan warna d) pembengkakan local Diagnosa Keperawatan a. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera pada jaringan lunak, pemasangan alat / traksi. b. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka : bedah permukaan ; pemasangan kawat, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi eksresi atau sekret / immobilisasi fisik. c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur dan kerusakan rangka neuromuskuler. d. Resiko

tinggi

terhadap

disfungsi

neurovaskuler

perifer

berhubungan dengan aliran darah; cedera vaskuler langsung, edema berlebih, hipovolemik dan pembentukan trombus. e. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit dan trauma jaringan. f. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.

27

Tujuan : Pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga bertambah. Intervensi Keperawatan a. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera pada jaringan lunak, pemasangan alat / traksi. Tujuan : Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan. Kriteria Hasil : 1) Klien menyatakan nyeri berkurang. 2) Klien menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas terapetik sesuai indikasi untuk situasi individual. 3) Edema berkurang / hilang. 4) Tekanan darah normal. 5) Tidak ada peningkatan nadi dan pernapasan. Intervensi : 1) Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya, dan intensitas (skala 0 – 10). Perhatikan petunjuk verbal dan non-verbal 2) Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pembebat, dan traksi. 3) Tinggikan dan sokong ekstremitas yang terkena. 4) Bantu pasien dalam melakukan gerakan pasif/aktif. 5) Berikan alternatif tindakan kenyamanan (massage, perubahan posisi). 6) Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contohnya relaksasi progresif, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi dan sentuhan terapeutik. 7) Lakukan kompres dingin/es selama 24-48 jam pertama dan sesuai indikasi. 8) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik.

28

2. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka : bedah permukaan ; pemasangan kawat, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi eksresi atau sekret / immobilisasi fisik. Tujuan: Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi. Kriteria Hasil : 1) Penyembuhan luka sesuai waktu. 2) Tidak ada laserasi, integritas kulit baik. Intervensi : 1) Kaji kulit untuk luka terbuka, kemerahan, perdarahan, perubahan warna. 2) Massage kulit dan tempat yang menonjol, pertahankan tempat tidur yang kering dan bebas kerutan. 3) Rubah posisi selang seling sesuai indikasi. 4) Gunakan bed matres / air matres. 3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur dan kerusakan rangka neuromuskuler. Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang. Kriteria Hasil : 1) Klien akan meningkat/ mempertahankan mobilitas pada tingkat kenyamanan yang lebih tinggi. 2) Klien mempertahankan posisi /fungsional. 3) Klien meningkatkan

kekuatan /fungsi

yang sakit

dan

mengkompensasi bagian tubuh. 4) Klien menunjukkan teknik yang mampu melakukan aktifitas. Intervensi : 1) Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi. 2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/rekreasi dan pertahankan rangsang lingkungan. 3) Instruksikan dan bantu pasien dalam rentang gerak aktif/pasif pada ekstremitas yang sakit dan yang tak sakit.

29

4) Tempatkan dalam posisi telentang secara periodik bila mungkin, bila traksi digunakan untuk menstabilkan fraktur tungkai bawah. 5) Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan (contoh mandi dan mencukur). 6) Berikan/bantu dalm mobilisasi dengan kursi roda, kruk dan tongkat sesegera mungkin. Instruksikan keamanan dalam menggunakan alat mobilisasi. 7) Awasi TD dengan melakukan aktivitas dan perhatikan keluhan pusing. 8) Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk/napas dalam. 9) Auskultasi bising usus. 10) Dorong penigkatan masukan cairan sanpai 2000-3000 ml/hari. 11) Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan atau rehabilitasi spesialis. 4. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan aliran darah; cedera vaskuler langsung, edema berlebih, hipovolemik dan pembentukan trombus. Tujuan : Disfungsi neurovaskuler perifer tidak terjadi. Kriteria Hasil : 1) Mempertahankan perfusi jaringan yang ditandai dengan terabanya pulsasi. 2) Kulit hangat dan kering. 3) Perabaan normal. 4) Tanda vital stabil. 5) Urine output yang adekuat Intervensi : 1) Kaji kembalinya kapiler, warna kulit dan kehangatan bagian distal dari fraktur. 2) Kaji status neuromuskuler, catat perubahan motorik / fungsi sensorik.

30

3) Kaji kemampuan dorso fleksi jari-jari kaki. 4) Monitor posisi / lokasi ring penyangga bidai. 5) Monitor vital sign, pertahanan tanda-tanda pucat/cyanosis umum, kulit dingin, perubahan mental. 6) Pertahankan elevasi dari ekstremitas yang cedera jika tidak kontraindikasidengan adanya compartemen syndrome. 5. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit dan trauma jaringan. Tujuan : Resiko infeksi tidak terjadi dan tidak menjadi actual. Kriteria Hasil : 1) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu. 2) Bebas drainase purulen, eritema dan demam. 3) Tidak ada tanda-tanda infeksi. Intervensi : 1) Inspeksi kulit untuk mengetahui adanya iritasi atau robekan kontinuitas. 2) Kaji sisi pen/kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri/rasa terbakar atau adanya edema, eritema, drainase/bau tak enak. 3) Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan. 4) Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tak enak/asam. 5) Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara. 6) Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasan gerakan dengan oedema lokal/eritema ektremitas cedera. 7) Lakukan prosedur isolasi. 8) Berikan obat sesuai indikasi seperti antibiotik IV/topikal dan Tetanus toksoid. 6. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, salah interpretasi informasi,

31

tidak

mengenal

sumber

informasi.

Tujuan : Pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga bertambah. Kriteria Hasil : 1) Menyatakan pehaman kondisi, prognosis dan pengobatan. 2) Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan. Intervensi : 1) Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang. 2) Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapis fisik bila diindikasikan. 3) Buat daftar aktivitas dimana pasien dapat melakukannya secara mandiri dan yang memerlukan bantuan. 4) Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dab di bawah fraktur. 5) Diskusikan pentingnya perjanjian evaluasi klinis. 6) Informasikan pasien bahwa otot dapat tampak lembek dan atrofi (massa otot kurang). Anjurkan untuk memberikan sokongan pada sendi di atas dan di bawah bagian yang sakit dan gunakan alat bantu mobilitas, contoh verban elastis, bebat, penahan, kruk, walker atau tongkat.

C. Sindrom Kompartemen 1. Definisi Sindrom Kompartemen merupakan suatu kondisi yang bisa mengakibatkan kecacatan hingga mengancam jiwa akibat terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasia yang tertutup. Sebagian besar terjadi pada daerah lengan bawah dan kaki. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. (ENA, 2000).

32

Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak. Paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan aktivitas yang berulang-ulang, misalnya pelari jarak jauh, pemain basket, pemain sepak bola dan militer. Beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan terjadinya hipoksia pada sindrom kompartemen adalah: a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen. b. Theori of critical closing pressure. c. Tipisnya dinding vena. 2. Klasifikasi Berikut

merupakan

klasifikasi

sindrom

kompartemen

berdasar

penyebabnya : a. Sindrom kompartemen Intrinsik : merupakan sindrom kompartemen yang berasal dari dalam tubuh,seperti : pendarahan,fraktur. b. Sindrome kompartemen ekstrinsik : merupakan sindrome kompartemen yang berasal dari luar tubuh : gift, penekanan lengan terlalu lama. 3. Etiologi Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain:

33

a. Penurunan volume kompartemen Kondisi ini disebabkan oleh: 1) Penutupan defek fascia 2) Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas b. Peningkatan tekanan eksternal Kondisi ini disebabkan oleh : 1) Balutan yang terlalu ketat 2) Berbaring di atas lengan 3) Gips c. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain: 1) Pendarahan atau Trauma vaskuler 2) Peningkatan permeabilitas kapiler 3) Penggunaan otot yang berlebihan 4) Luka bakar 5) Operasi 6) Gigitan ular 7) Obstruksi vena Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah. 4. Manifestasi Klinis a. Pain (nyeri) Nyeri

yang

hebat

saat

peregangan

pasif

pada

otot-otot

yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.

34

b. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut. c. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi ) d. Parestesia (rasa kesemutan) e. Paralysis Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom. Pasien dengan sindroma kompartemen kronik mempunyai gejala yang khas. Gejala utama berupa nyeri yang ditimbulkan akibat berolah raga. Biasanya hal ini muncul setelah sekitar 20 menit berlari sebelum dirasakan semakin nyeri hingga dimana orang tersebut tidak dapat melanjutkan aktivitasnya. Nyeri dirasakan seperti kram dimana akibat dari vasokonstriksi pembuluh darah sehingga darah dan oksigen tidak dapat mencapai otot-otot tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan permanent pada jaringan. Biasanya, nyeri bersifat sementara atau tidak menetap dan akan sembuh dengan beristirahat dalam waktu 15-30 menit dari penghentian latihan. Parestesia dari saraf pada kompartemen bilateral pada sekitar 82 % pasien. Dapat juga terjadi kelemahan dan atrofi otot. Regangan pasif pada otot yang terkena setelah latihan dapat meningkatkan nyeri. Dan yang paling pasti bahwa dapat terjadi peningkatan tekanan kompartemen. Pengukuran tekanan secara langsung merupakan cara yang objektif untuk menegakkan diagnosa sindroma kompartemen. Pengukuran intra kompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak sadar, pasien yang tidak kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan pasienpasien dengan multiple trauma seperti trauma kepala, medulla spinalis atau trauma saraf perifer. Normalnya tekanan kompartemen adalah nol. Perfusi yang tidak adekuat dan iskemia relative ketika tekanan meningkat antara 10-30 mmHg dari tekanan diastolic. Tidak ada perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan diastolic.

35

Prosedur pengukuran tekanan kompartemen antara lain: a. Teknik pengukuran langsung dengan teknik injeksi Teknik adalah criteria dignostik standard seharusnya menjadi prioritas utama jika diagnosis masih penuh tanda tanya. Tonometer tekanan stryker banyak digunakan untuk mengukur tekanan jaringan yang tidak membutuhkan alat khusus. Alat yang dibutuhkan spoit 20 cc, three way tap, tabung intra vena, normal saline sterile, manometer air raksa untuk mengukur tekanan darah. Pertama, atur spoit dengan plunger pada posisi 15 cc. Tandai saline sampai mengisi setengah tabung , tutup three way tap tahan normal saline dalam tabung. Kedua, anestesi local pada kulit, tapi tidak sampai menginfiltrasi otot. Masukkan jarum 18 kedalam otot yang diperiksa, hubungkan tabung dengan manometer air raksa dan buka three way tap. Ketiga, Dorong plunger dan tekanan akan meningkat secara lambat. Baca manometer air raksa. Saat tekanan kompartemen tinggi, tekanan air raksa akan naik. b. Teknik Wick kateter Teknik menggunakannya adalah: 1) Pertama, masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot 2) Kedua, tarik jarum dan masukkan kateter wick melalui sarung plastic 3) Dan ketiga, balut wick kateter ke kulit, dan dorong sarung plastik kembali, isi system dengan normal saline yang mengandung heparine dan ukur tekanan kompartemen dengan transducer recorder. Periksa ulang patensi kateter dengan tangan menekan pada otot. Hilangkan semua tekanan external pada otot yang diperiksa dan ukur tekanan kompartemen, jika tekanan mencapai 30 mmHg, indikasi fasciotomi.Tekanan arteri rata-rata yang normal pada kompartemen otot adalah 8,5+6 mmHg. Selama tekanan pada salah satu kompartemen kurang dari 30 mmHg (tekanan pengisian kapiler diastolic), kita tidak perlu khawatir tentang sindroma kompartemen. Tekanan lebih dari 10 mmHg dalam kompartemen yang baru bisa

36

menimbulkan sindroma kompartemen, dan berarti memerlukan terapi yang segera.

5. Patofisiologi

6. Komplikasi Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain: a. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen b. Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawa. c. Trauma vascular d. Gagal ginjal akut e. Sepsis f. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) 7. Pemeriksaan Diagnostik a. Kreatinin ginjal : sebagai penentu tingkat kerusakan jaringan. b. Blood urea nitrogen (BUN) c. Pemeriksaan darah lengkap

37

d. Pemeriksaan urin e. Laboratorium Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya. 1) Complete Metabolic Profile (CMP) 2) Hitung sel darah lengkap 3) Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin 4) Serum myoglobin 5) Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya. 6) Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis. 7) Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTTT) f. Imaging 1) Rontgen : pada ekstremitas yang terkena. 2) USG: USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi 3) Deep Vein Thrombosis (DVT)

8. Langkah penanganan Kegawatdaruratan sindrom kompartemen a. Singkirkan semua tekanan dari luar. b. Hilangkan hal-hal yang mengganggu sirkulasi c. Hindarkan penggunaan kompres es,karena akan mengakibatkan vasokontriksi. d. Hindarkan meninggikan ekstermitas : bisa memperburuk aliran arteri. e. Siapkan dan bantu hal-hal yang dapat meminimalisasi fraktur jika diindikasikan. f. Berikan analgetik bila diinstruksikan.

38

g. Siapkan

untuk

oprasi

faciotomi

untuk

memperbaiki

fungsi

neuromuscular. h. Berikan pengetahuan pada pasien dan keluarga. (ENA, 2000). 9. Terapi atau pengobatan sindrom kompartemen Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan bedah dekompresi. Tindakan nonoperatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti menghilangkan selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan operasi dekompresi perlu dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen memiliki individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindakinya. Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom sederhana yaitu fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. Penanganan sindroma kompartemen meliputi : a. Terapi Medikal/non operatif Pemilihan secara medical terapi digunakan apabila masih menduga suatu sindroma kompartemen, yaitu : 1) Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia. 2) Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas. 3) Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindroma kompartemen. 4) Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.

39

5) Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol

dapat

mengurangi

tekanan

kompartemen.

Manitol

mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas. b. Terapi pembedahan / operatif Terapi operatif untuk sindroma kompartemen apabila tekanan intrakompartemen lebih dari 30 mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya, kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang dilanjutkan hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Tidak ada keuntungan yang utama dari kedua teknik ini. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke empat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit ( tanpa regangan ), atau dilakukan pencangkokan kulit. Terapi untuk sindrom kompartemen akut maupun kronik biasanya adalah operasi. Insisi panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan

40

debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka ini. Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi antara lain 1) Adanya tanda-tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat dan Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi (pasien koma, pasien dengan masalah psikiatrik, dan dibawah pengaruh narkotik) dengan tekanan jaringan lebih dari 30 mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan jaringan yang normal. 2) Bila ada indikasi, operasi dekompresi harus segera dilakukan karena penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan intrakompartemen sebagaimana terjadinya komplikasi. Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran tekanan dan konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan secepatnya. Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap yang berpotensi membatasi ruang, termasuk kulit, dibuka di sepanjang daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah prosedur selesai. Debridemant otot harus seminimal mungkin selama operasi dekompresi kecuali terdapat otot yang telah nekrosis. a. Fasciotomi untuk sindrom kompartemen akut. 1) Fasciotomi tungkai atas a) Teknik Tarlow : Insisi lateral dibuat mulai dari distal garis intertrocanterik sampai ke epikondilus lateral. disesksi

41

subkutaneus digunakan untuk mengekspos daerah iliotibial dan dibuat insisi lurus sejajar dengan insisi kulit sepanjang fascia iliotibial. Perlahan-lahan dibuka sampai vastus lateralis dan septum intermuskular terlihat, perdarahan ditangani bila ada. Insisi 1-5 cm dibuat pada septum intermuskular lateral, perpanjang ke proksimal dan distal. Setelah kompartemen anterior dan posterior terbuka, tekanan kompartemen medial diukur. Jika meningkat,

dibuat insisi

membebaskan

setengah medial

kompartemen

untuk

adductor.

Ada 3 pendekatan fasciotomi untuk kompartemen tungkai bawah: fibulektomy, fasciotomi insisi tunggal perifibular, dan fasciotomi insisi ganda. b) Fibulektomi adalah prosedur radikan dan jarang dilakukan, dan jika ada, termasuk indikasi pada sindrom kompartemen akut. Insisi tunggal dapat digunakan untuk jaringan lunak pada ektremitas. Teknik insisi ganda lebih aman dan efektif. i. Fasciotomi insisi tunggal (davey, Rorabeck, dan Fowler): Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal caput fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial.

Dibuat

fasciotomy

longitudinal

pada

kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke bagian posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen

posterior

superficial.

Batas

antara

kompartemen superficial dan lateral dan interval ini diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang.

42

Kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis posterior ke fibula dan dilakukan inisisi secara longitudinal. Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara fibula dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen. Insisi tranversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan identifikasi nervus peroneal superficial

pada bagian posterior septum.

Buka

kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada garis tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula. Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia. Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena dan nervus saphenus ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal

untuk

mengidentifikasi

kompartemen posterior

septum

antara

profunda dan superficial.

Kemudian dibuka fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen posterior profunda. Setelah kompartemen posterior dibuka, identifikasi kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan tekanan pada kompartemen ini, segera dibuka. b. Fasciotomi pada lengan bawah 1) Pendekatan volar (Henry) Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat dilakukan dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen dapat

43

diukur selama operasi untuk mengkonfirmasi dekompresi. Tidak ada penggunaan torniket. Insisi kulit mulai dari medial ke tendon bicep, bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial tangan dan diperpanjang kea rah distal sepenjang brachioradialis,

dilanjutkan

ke

palmar.

Kemudian

kompartemen fleksor superficial diinsisi, mulai pada titik 1 atau 2 cm di atas siku kearah bawah sampai di pergelangan. Kemudian

nervus

radialis

diidentifikasi

dibawah

brachioradialis, keduanya kemudian ditarik ke arah radial, kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus fleksor pollicis longus, pronatus quadratus, dan pronatus teres. Karena sindrom kompartemen biasanya melibatkan kompartemen fleksor profunda, harus dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut untuk memastikan bahwa dekompresi yang adekuat telah dilakukan. 2) Pendekatan Volar Ulnar Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Henry. Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bisep, melewati lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan sampai ke carpal tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris diinsisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris, yang harus dicari dan dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor profunda kemudian diinsisi.

44

3) Pendekatan Dorsal Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi, harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih baik ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada kompartemen dorsal yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan.Batas antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis diidentifikasi kemudian dilakukan fasciotomi. 2. Fasciotomi untuk sindrom kompartemen kronik a. fasciotomi insisi tunggal : Teknik Fronek Dibuat sebuah insisi 5 cm pada pertengahan fibula dan kaput tibia atau melalui defek fascia jika terdapat hernia muskuler pada daerah keluarnya nervus peroneal. Nervus peroneal segera dicari dan lewatkan fasciotom ke kompartemen anterior pada garis otot tibialis anterior. Pada kompartemen lateral, fasciotome diarahkan ke posterior nervus peroneal superficial pada garis fibular. Tutup kulit dengan cara biasa dan pasang pembalut steril. b. Fasciotomi insisi ganda: Teknik Rorebeck Dibuat 2 insisi pada tungkai bawah 1 cm dibelakang garis posteromedial tibia. Kemudian dicari vena saphenus pada insisi proksimal dan tarik ke anterior bersama dengan saraf. Masuk dan dibuka kompartemen superficial. Fascia profunda kemudian diinsisi. Kompartemen profunda diekspos, termasuk otot digitorum longus dan tibialis posterior dangan merobek sambungan soleus. Kumparan neurovaskuler dan tendo tibialis

45

posterior kemudian diinsisi ke proksimal dan distal fascia pada terdon tersebut. Tibialis posterior adalah kunci dekompresi kompartemen posterior dan biasanya berkontraksi ke proksimal antara fleksor hallucis longus, lebarkan batas antaranya untuk memeriksa kontraksinya. Tutup luka diatas drain untuk meminimalkan pembentukan hematom. c. Perawatan pasca operasi Luka harus dibiarkan terbuka selama 5 hari, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan itu sehat, luka dapat dijahit (tanpa tegangan), atau dilakukan pencangkokan kulit atau dibiarkan sembuh dengan intensi sekunder. 2. Asuhan Keperawatan Pengkajian a. Primery survey 1) Airway Look: pasien dapat berbicara dengan spontan, tidak terlihat adanya kesulitan bernapas, tidak agitasi, tidak sianosis, tidak ada retraksi. Listen: tidak ada suara napas tambahan (seperti: mendekur, berkumur, ataupun besiul), tidak ada disfonia, tidak berkata-kata kasar (gaduh gelisah) Feel: trakea berada ditengah. 2) Breathing Look: pernapasan pasien spontan dan teratur, tampak pergerakan hemithoraks kiri dan kanan simetris, tidak ada dispnea. Listen: suara napas vesikuler, tidak ada takipnea Feel: teraba gerakan kedua hemithoraks simetris dengan RR 1620x/menit 3) Circulation Look: pasien sadar, kulit tidak pucat Listen: -

46

Feel: teraba nadi 60-100x/menit, teratur, isi cukup, equal kanan dan kiri, akral hangat, crt <2 detik, tekanan darah 120/80 mmHg. 4) Disability Look: dapat membuka mata spontan , dapat bergerak mengikuti perintah,pupil isokor, reflek cahaya langsung +/+, reflek cahaya tidak langsung +/+ Listen: dapat berkomunikasi benar Feel: 5) Exposure Look: tampak pembengkakan dan memar pada ektremitas bawah. Listen: Feel: Nyeri tekan (+) pada lengan kiri bawah,suhu tubuh normal. b. Secondary Survey 1) Head to toe : a) B1 Tidak ada sumbatan jalan napas Jalan napas RR : 20x/i b) B2 Tekanan darah: 120/80 mmHg N : 90x/i c) B3 Kesadaran composmentis GCS : 15 d) B4 Tidak ada distensi di bagian abdomen Tidak ada perdarahan di bagian abdomen e) B5 Pemantauan haluaran urine f) B6 Terjadi pembengkakan di bagian ekstremitas bawah 2) Periksa semua lubang : Tidak ada perdarahan

47

3) Tanda-tanda vital TD

: 120/80 mmHg

N

: 90 x/i

RR

: 20x/i

T

: 36,6 OC

4) Anamnesis Keluhan

: kaki terasa nyeri

Obat

: tidak ada

Makanan

: sekitar 5 jam yang lalu pada pagi hari

Penyakit

: tidak ada penyakit penyerta

Alergi : tidak ada alergi Kejadian

: ketika memperbaiki atap rumah

5) Pemeriksaan penunjang Foto rontgen. Diagnosa keperawatan a. Gangguan perfusi jaringan perifer b. Nyeri b/d agen injury fisik c. Kekurangan volume cairan d. Resiko syok e. Gangguan mobilitas fisik Intervensi a. Dx : Gangguan perfusi jaringan berkurangnya aliran darah akibat adanya trauma jaringan atau tulang Intervensi : a. Pantau nadi distal dari fraktur setelah satu atau dua jam, observasi terhadap warna dan suhu. b. Kaji pengisian kapiler laporkan temuan normal bandingkan dengan eksterimitas yang fraktur c. Pertahankan Kesejajaran tubuh observasi terhadap tanda-tanda sindroma kompertemen (warna jaringan pucat, nadi lemah, nyeri, pati rasa, sianosis).

48

d. Observasi perubahan tanda-tanda vital. e. Observasi tanda-tanda iskemi (penurunan suhu dan peningkatan rasa) f. Observasi posisi dan lokasi bidai jangan sampai menekan pembuluh darah. b) Dx : Nyeri b/d agen injury fisik Intervensi : 1) Lakukan pegkajian nyeri secara kompherensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi. 2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 4) Ajarkan tentang tehnik non farmakologi : nafas dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat dan kompres dingin 5) Kolaborasi analgetik untuk mengurangi nyeri 6) Tingkatkan istirahat 7) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik pertama kali. c) Dx : Kekurangan Volume cairan Intervensi : 1) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat 2) Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan 3) Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin, albumin, total protein) 4) Monitor vital sign setiap 15menit – 1 jam 5) Kolaborasi pemberian cairan IV 6) Monitor status nutrisi 7) Berikan cairan oral 8) Atur kemungkinan tranfusi 9) Pasang kateter jika perlu 10) Monitor intake dan urin output setiap 8 jam

49

d) Dx : Resiko Syok Intervensi : 1) Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung, HR, dan ritme, nadi perifer, dan kapiler refill. 2) Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan 3) Monitor suhu dan pernafasan 4) Monitor input dan output 5) Pantau nilai labor : HB, HT, AGD dan elektrolit 6) Monitor hemodinamik invasi yng sesuai 7) Monitor tanda dan gejala asites 8) Monitor tanda awal syok 9) Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi untuk peningkatan preload dengan tepat 10) Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas 11) Berikan cairan IV dan atau oral yang tepat e) Dx : Gangguan Mobilitas Fisik Intervensi : 1) Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan 2) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan 3) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera 4) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi 5) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi 6) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan. 7) Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps. 8) Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.

50

9) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan. D. Amputasi 1. Definisi Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”.Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi (Daryadi, 2012). Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sisten cardiovaskuler. Labih lanjut ia dapat menimbulkan madsalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas. 2. Penyebab / faktor predisposisi terjadinya amputasi Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi : a. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki. b. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki. c. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat. d. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya. e. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif. f. Deformitas organ.

51

3. Metode Amputasi Amputansi di lakukan sebagian kecil samapi dengan sebagian besar dari tubuh dengan metode : a. Metode terbuka guilottone amputasi ini di lakukan pada klien dengan infeksi yang mengembang atau berat di mana pemotongan di lakukan pada tinggkatyang samabentuknya benar benar terbuka dan di pasang drainage agar luka bersih dan luka dapat di tutup setelah infeksi b. Metode tertutup di lakukan dalam kondisi yang lebih mungkin pada metode ini kulit tepi ditarik atau di buat skalfuntuk menutupi luka pada atas ujung tulang dan di jahit pada daerah yang di amputansi 4. Jenis Amputasi Berdasarkan pelaksanaan amputasi menurut Brunner & Suddart (2014) dibedakan menjadi: a. Amputasi Elektif/Terencana Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir b. Amputasi Akibat Trauma Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien. c. Amputasi Darurat Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti

pada

trauma

dengan

patah

tulang

multiple

dan

kerusakan/kehilangan kulit yang luas. Jenis amputasi secara umum menurut (Daryadi,2012), adalah : a. Amputasi Terbuka Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama.

52

b. Amputasi tertutup Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan protese (mungkin). Berdasarkan pada gambaran prosedur tindakan pada klien yang mengalami amputasi maka perawat memberikan asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan kompetensinya. 5. Manifestasi klinik Manifestasi klinik yang dapat di temukan pada pasien dengan post operasi amputasi antara lain; a. Nyeri akut b. Keterbatasan fisik c. Pantom snydrome d. Pasien mengeluhkan adanya perasaan tidak nyaman e. Adanya gangguan citra tubuh mudah marah , cepat tersinggung pasien cenderung berdiam diri

53

6. Patofisiologi

7. Pemeriksaan Diagnostik Menurut (Daryadi,2012), pemeriksaan diagnostik pada klien Amputasi meliputi : a. Foto rongent, Untuk mengidentifikasi abnormalitas tulang b. CT scan, Mengidentifikasi lesi neoplestik, osteomfelitis, pembentukan hematoma c. Angiografi dan pemeriksaan aliran darah mengevaluasi perubahan sirkulasi / perfusi jaringan dan membantu memperkirakan potensial penyembuhan jaringan setelah amputansi d. Kultur luka mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab e. Biopsy mengkonfirmasi diagnosa benigna / maligna f. Led peninggian mengidentifikasi respon inflamasi

54

g. Hitung darah lengkap / deferensial peningian dan perpindahan ke kiri di duga proses infeksi 8. Penatalaksanaan Ada beberapa penatalaksanaan pada amputasi antara lain : a. Tingkatan amputasi Amputasi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat mencapai penyembuhan dengan baik. Tempat amputasi ditentukan berdasarkan dua faktor : peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan fungsional misalnya (sesuai kebutuhan protesis), status peredaran darah eksterimtas dievaluasi melalui pemerikasaan fisik dan uji tertentu. Perfusi otot dan kulit sangat penting untuk penyembuhan.Floemetri dopler penentuhan tekanan darah segmental dan tekanan persial oksigen perkutan (pa02). Merupakan uji yang sangat berguna angiografi dilakukan bila refaskulrisasi kemungkinan dapat dilakukan. Tujuan pembedahan adalah memepertahankan sebanyak mungkin tujuan ekstrmitas konsisten dengan pembasmian proses penyakit. Mempertahankan lutut dan siku adalah pilihan yang diinginkan. Hampir pada semua tingkat amputasi dapat dipasangi prosthesis. Kebutuhan energi dan kebutuhan kardovaskuler yang ditimbulkan akan menigktkan dan mengunaka kursi roda ke prostesis maka pemantauan kardivaskuler dan nutrisi yang kuat sangat penting sehingga batas fisiologis dan kebutuhan dapat seimbang. b. Penatalaksanaan sisa tungkai Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka amputasi menghasilkan sisa tungkai puntung yang tidak nyeri tekan dan kuli yang sehat untuk pengunaan prostesis, lansia mungkin mengalami keterlambatan penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan masalah kesehatan lainnya.

55

Perawatan pasca amputasi a. Pasang balut steril tonjolan-tonjolan hilang dibalut tekan pemasangan perban elastis harus hati-hati jangan sampai konstraksi putung di proksimlnya sehingga distalnya iskemik b. Meningikan pungtung dengan mengangkat kaki jangan ditahn dengan bantal sebab dapat menjadikan fleksi kontraktur pada paha dan lutut c. Luka ditutup drain diangkat setelah 48-72 jam sedangkan putung tetap dibalut tekan, angkta jahitan hari ke 10 sampai 11 d. Amputasi bawah lutut tidak boleh mengantung dipinggir tempat tidur atau berbaring atau duduk lama dengan fleksi lutut e. Amputasi diatas lutut jangan dipadang bantal diantara paha atau memberikan abdukasi putung, mengatungnya waktu jalan dengan kruk untuk mencegah kostruktur lutut dan paha. 9. Komplikasi Komplikasi amputasi meliputi perdarahan infeksi dan kerusakan kulit.Karena da pembuluh darah besar yang dipotong dapat terjadi perdarahan masif. Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan dengan peredaran darah buruk atau kontaminasi luka setelah amputasi traomatika resiko infeksi meningkat peyembuhan luka yang buruk dan iritasi akibat protesis dapat menyebabkan kerusakan kronik. 10. Asuhan Keperawatan Pengkajian a. Identitas Diri Klien Meliputi tanggal pengkajian, ruangan, nama (inisial), nomor MR, umur, pekerjaan, agama, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk RS, alasan masuk RS, cara masuk RS, penanggung jawab.

56

b. Riwayat Kesehatan 1) Keluhan Utama Biasanya pada klien dengan amputasi keluhan utamanya yaitu klien mengatakan nyeri pada luka, mengalami gangguan pada sirkulasi dan neurosensori, serta memiliki keterbatasan dalam beraktivitas. 2) Riwayat Kesehatan Sekarang Kita kaji kapan timbul masalah, riwayat trauma, penyebab, gejala (tiba-tiba/perlahan), lokasi, obat yang diminum, dan cara penanggulangan 3) Riwayat Kesehatan Dahulu Kaji apakah ada kelainan muskuloskeletal (jatuh, infeksi, trauma dan fraktur), kaji apakah ada riwayat penyakit Diabetes Mellitus, penyakit jantung, penyakit gagal ginjal dan penyakit paru. 4) Pengkajian primer a) Airway Adanya

sumbatan/obstruksi

jalan

napas

oleh

adanya

penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk. b) Breathing Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi

c) Circulation TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.

57

6) Pengkajian sekunder a) Aktivitas/istirahat (1) Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (2) Keterbatasan mobilitas 7) Sirkulasi (1) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas) (2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah) (3) Tachikardi (4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera (5) Capilary refil melambat (6) Pucat pada bagian yang terkena (7) Masa hematoma pada sisi cedera 8) Neurosensori (1) Kesemutan (2) Kelemahan (3) Deformitas lokal, agulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi. (4) Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri / anxietas 9) Kenyamanan (1) Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang, dapat berkurang deengan imobilisasi) tak ada nyeri akibat keruisakan syaraf. (2) Spasme / kram otot (setelah immobilisasi). 5) Keamanan (1) laserasi kulit (2) Perdarahan (3) perubahan warna (4) pembengkakan local Diagnosa Keperawatan

58

a) Nyeri akut b) Hambatan mobilitas fisik c) Ganguan citra tubuh Intervensi Keperawatan No

1

2

Diagnosa

NOC NIC  Pain level Pain Management  Pain control comfort  Lakukan level pengkajian nyeri secara Kriteria Hasil :  Mampu mengontrol komprehensif nyeri  Observasi reaksi  Mampu mengenali nonverbal dari Nyeri akut nyeri ketidaknyamanan  Mampu menggunakan  Gunakan teknik teknik non komunikasi farmakologi untuk teraupetik mengurangi nyeri  Evaluasi  Melaporkan bahwa pengalaman nyeri nyeri berkurang masa lampau dengan menggunakan  Ajarkan teknik manajemen nyeri relaksasi  Menyatakan rasa  Kolaborasi dengan nyaman setelah nyeri dokter dalam berkurang pemberian therapy Exchercise Therapy : Hambatan mobilitas  Self care : ADLs Ambulation fisik  Mobility level  Pantau TTV sebelum dan Kriteria Hasil :  Klien meningkat sesudah latihan dalam aktivitas fisik  Ajarkan pasien  Mengierti tujuan dari tentang teknik peningkatan mobilitas ambulasi  Bantu untuk  Latih pasien dalam mobilisasi (walker) memenuhi kebutuhan ADLs secara mandiri

59

3.

Gangguan citra tubuh

 Body image  Self esteem Kriteria Hasil :  Body image positif  Mampu mengidentifikasi kekuatan personal  Tidak terjadi pengurangan berat badan yang berarti

60

Nutrion Management  Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya  Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit  Dorong klien mengungkapkan perasaannya

E. Strain 1. Definisi Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau tidak langsung (overloading). Pada cidera strain rasa sakit adalah nyeri yang menusuk pada saat terjadi cedera, terlebih jika otot berkontraksi. Strain adalah regangan atau robekan pada otot atau tendon yang terjadi akibat stress yang berlebihan. Tendon adalah jaringan penyambung yang menghubungkan otot dengan tulang. Strain terjadi kalau otot atau tendon teregang secara berlebihan atau dipaksa berkontraksi melebihi batas rentangnya. Contohnya strain pada otot-otot paha bagian depan, strain pada otot-otot betis (Hardisman, 2014). Strain adaalah tarikan otot akibat penggunaan berlebihan, peregangan berlebihan, atau stress yang berlebihan. Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplet dengan perdarahan ke dalam jaringan. Pasien mengalami rasa sakit dan nyeri mendadak dengan nyeri tekan local pada pemakaian otot dan kontraksi isometric. (Brunner & suddarth, 2014) Strain

akut

pada

struktur

muskulotendious

terjadi

pada

persambungan antara otot dan tendon. Tipe cedera ini sering terlihat pada pelari yang mengalami strain pada hamstringnya. Beberapa kali cedera terjadi secara mendadak ketika pelari dalam melangkahi penuh. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa strain adalah kerusakan pada jaringan otot yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung akibat dari peregangangan atau penggunaan otot yang berlebihan. 2. Klasifikasi a. Derajat I/Mild Strain (Ringan) Terjadi regangan yang hebat, tetapi belum sampai terjadi robekan pada jaringan otot maupun tendon. 1) Gejala yang timbul : a) Nyeri local b) Meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot

61

2) Tanda-tandanya : a) Adanya spasme otot ringan b) Bengkak c) Gangguan kekuatan otot d) Fungsi yang sangat ringan. 3) Komplikasi a) Strain dapat berulang b) Tendonitis c) Perioritis 4) Perubahan patologi Adanya inflasi ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon namun tanda perdarahan yang besar. 5) Penanganan Biasanya sembuh dengan cepat dan pemberian istirahat, kompresi dingin secara intermitten pada 24 jam pertama kemudian pengompresan hangat, dan elevasi, terapi latihan yang dapat membantu mengembalikan kekuatan otot. Analgesic ringan dan obat anti inflamasi. b. Derajat II/Moderate Strain (sedang) Terdapat robekan pada otot maupun tendon. Tahap ini menimbulkan rasa nyeri dan sakit sehingga terjadi penurunan kekuatan otot. 1) Gejala yang timbul a) Nyeri local b) Meningkat apabila bergerak/apabila ada tekanan otot c) Spasme otot sedang d) Bengkak e) Tenderness f)

Gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang.

2) Komplikasi sama seperti pada derajat I : a) Strain dapat berulang

62

b) Tendonitis c) Perioritis 3) Terapi Penangannannya sama dengan strain derajat pertama, kecuali pada penggunaan es digunakan secara intermediet selama lebih dari 48 jam, setelah kompres hangat dilakukan. Mobilitas dibatasi selama 46 minggu, kemudian diikuti latihan yang bertahap. Tindakan pembedahan diperlukan pada kasus berat. 4) Perubahan patologi : Adanya robekan serabut otot c. Derajat III/Strain Severe (Berat) Terjadi rupture muskulotendinous secara keseluruhan dengan atau tanpa retraksi dari otot yang rusak. Biasanya ini terjadi akibat kontraksi yang tiba-tiba terhadap benturan. Retraksi dari serat dapat berakibat efek pada palpasi atau masa pada jaringan lunak disekitarnya. 1) Gejala : a) Nyeri yang berat b) Adanya stabilitas c) Spasme d) Kuat e) Bengkak f) Tendernes g) Gangguan fungsi otot. 2) Komplikasi : Distabilitas yang sama. 3) Perubahan patologi Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon. 4) Terapi : Imobilisasi dengan kemungkinan pembedahan untuk mengembalikan fungsinya. Penanganannya sama dengan derajat kedua. Strain ringan ditandai dengan kontraksi otot terhambat karena nyeri dan teraba pada bagian otot yang mengaku. Strain total didiagnosa sebagai otot tidak bisa berkontraksi dan terbentuk benjolan. Cidera strain membuat

63

daerah sekitar cedera memar dan membengkak. Setelah 24 jam, pada bagian memar terjadi perubahan warna, ada tanda-tanda perdarahan pada otot yang sobek, dan otot mengalami kekejangan. 3. Etiologi dan faktor Resiko Sebagai penyebabnya adalah persendian tulang dipaksa melakukan suatu gerak yang melebihi jelajah sendi atau range of movement normalnya. Trauma langsung ke persendian tulang, yang menyebabkan persendian bergeser ke posisi persendian yang tidak dapat bergerak. Ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak Pada strain kronis : Terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan yang berlebihan/tekanan berulangulang,menghasilkan tendonitis (peradangan pada tendon). 4. Patofisiologi Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah, kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi ,otot belum siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha), hamstring (otot paha bagian bawah), dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cedera memar dan membengkak. 5. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan Pasien Prinsip

utama

penatalaksanaan

sprain

adalah

mengurangi

pembengkakan dan nyeri yang terjadi. Langkah yang paling tepat sebagai penatalaksanaan tahap awal (24-48 jam) adalah prinsip RICE (rest, ice, compression, elevation), yaitu : a. Rest (istirahat) Kurangi aktifitas sehari-hari sebisa mungkin. Jangan menaruh beban pada tempat yang cedera selama 48 jam. Dapat digunakan alat bantu seperti crutch (penopang/penyangga tubuh yang terbuat dari kayu atau besi) untuk mengurangi beban pada tempat yang cedera.

64

b. Ice (es) Letakkan es yang sudah dihancurkan kedalam kantung plastik atau semacamnya. Kemudian letakkan pada tempat yang cedera selama maksimal 2 menit guna menghindari cedera karena dingin. c. Compression (penekanan) Untuk mengurangi terjadinya pembengkakan lebih lanjut, dapat dilakukan penekanan pada daerah yang cedera. Penekanan dapat dilakukan dengan perban elastik. Balutan dilakukan dengan arah dari daerah yang paling jauh dari jantung ke arah jantung. d. Elevation (peninggian) Jika memungkinkan, pertahankan agar daerah yang cedera berada lebih tinggi daripada jantung. Sebagai contoh jika daerah pergelangan keki yang terkena, dapat diletakkan bantal atau guling dibawahnya supaya pergelangan kaki lebih tinggi daripada jantung. Tujuan daripada tindakan ini adalah agar pembengkakan yang terjadi dapat dikurangi. Penanganan sprain menurut klasifikasi a. Strain tingkat satu Pada keadaan ini, bagian yang mengalami cedera cukup diistirahatkan untuk memberi kesempatan regenerasi. b. Strain tingkat dua Pada keadaan ini penanganan yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip RICE (Rest, Ice, Compession and Elevation). Tindakan istirahat yang dilakukan sebaiknya dalam bentuk fiksasi dan imobilisasi (suatu tindakan yang diberikan agar bagian yang cedera tidak dapat digerakan) dengan cara balut tekan, spalk maupun gibs. Tindakan imobilisasi dilakukan selama 3-6 minggu. Terapi dingin yang dilakukan dilakukan pada fase awal cedera. Pada fase lanjut terapi dingin digantikan dengan terapi panas. Pada keadaan subkronis dimana tanda tanda peradangan sudah menurun dilakukan terapi manual berupa massage. Pada fase akhir dapat dilakukan terapi latihan untuk memaksimalkan proses penyembuhan.

65

c. Strain tingkat tiga Pada keadaan ini, penderita diberi pertolongan pertama dengan metode RICE dan segera diikirim kerumah sakit untuk dijahit dan menyambung kembali robekan ligamen, otot maupun tendo. 6. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan meliputi: a. CT scan b. MRI Dapat digunakan untuk menentukan derajat dari cedera tersebut. c. Artroskopi Tindakan melihat bagian dalam sendi menggunakan kamera dengan lensa fiber optik melalui sayatan kulit yang sangat kecil. d. Elektromiografi Electromyography pada otot berfungsi untuk mendeteksi adanya potensial listrik yang dihasilkan otot saat kontraksi dan relaksasi sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan suatu sistem. e. Pemeriksaan dengan bantuan komputer lainnya untuk menilai fungsi otot dan sendi. 7. Pencegahan Sebagai upaya pencegahan, saat melakukan aktivitas olahraga memakai sepatu yang sesuai, misalnya sepatu yang bisa melindungi pergelangan kaki selama aktivitas. Selalu melakukan pemanasan atau stretching sebelum melakukan aktivitas atletik, serta latihan yang tidak berlebihan. Cedera dapat terjadi pada setiap orang yang melakukan olahraga dengan jenis yang paling sering adalah strain dan sprain dengan derajat dari yang ringan sampai berat. Cedera olahraga terutama dapat dicegah dengan pemanasan dan pemakaian perlengkapan olahraga yang sesuai.

66

F. Sprain (Keseleo) 1. Definisi Sprain atau keseleo merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada ligamen penyangga yang mengelilingi sebuah sendi. Biasanya kondisi ini terjadi sesudah gerakan memuntuir yang tajam (Kowalak, 2011). Sprain adalah cedera struktur ligamen di sekitar sendi, akibat gerakan menjepit atau memutar.(Brunner & Suddarth, 2014) 2. Etiologi Beberapa faktor sebagai penyebab sprain : a. Umur Faktor umur sangat menentukan karena mempengaruhi kekuatan serta kekenyalan jaringan. Misalnya pada umur tiga puluh sampai empat puluh tahun kekuatan otot akan relative menurun. Elastisitas tendon dan ligamen menurun pada usia tiga puluh tahun. b. Terjatuh atau kecelakan Sprain dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga jaringan ligamen mengalami sprain. c. Pukulan Sprain dapat terjadi apabila mendapat pukulan pada bagian sendi dan menyebabkan sprain. d. Tidak melakukan pemanasan Pada atlet olahraga sering terjadi sprain karena kurangnya pemanasan. Dengan melakukan pemanasan otot-otot akan menjadi lebih lentur. Menurut Kowalak (2011), etiologi keseleo meliputi : a. Pemuntiran mendadak dengan tenaga yang lebih kuat daripada kekuatan ligamen dengan menimbulkan gerakan sendi diluar kisaran gerak (RPS) normal b. Fraktur atau dislokasi yang terjadi secara bersamaan c. Faktor Risiko 1) Riwayat keseleo sebelumnya (faktor risiko yang paling sering)

67

2) Gangguan pada jaringan ikat 3) Kaki Cavovarus 3. Tingkatan Sprain a) Sprain ringan / tingkat 1 : Merupakan robekan dari beberapa ligament akan tetapi tidak menghilangkan dan menurunkan fungsi sendi tersebut. Pasien bisa merawat sendiri selama proses rehabilitasi, atau setelah mendapatkan diagnosa dari dokter. Masa penyembuhan antara 2-6 minggu. Terjadi rasa sakit, pembengkakan kecil, sedikit perdarahan tetapi tidak terjadi leksitas abnormal. b) Sprain sedang / tingkat 2 : Dimana terjadi kerusakan ligamen yang cukup lebih besar tetapi tidak sampai terjadi putus total. Terjadi rupture pada ligament sehingga menimbulkan

penurunan

fungsi

sendi.

Untuk

pemulihannya

membutuhkan bantuan fisioterapi dengan rentang waktu 2-6 minggu. Rasa sakit/nyeri,bengkak terjadi perdarahan yang lebih banyak. c) Sprain tingkat 3 : Terjadi rupture komplit dari ligament sehingga terjadi pemisahan komplit ligament dari tulang. Untuk bisa pulih kembali maka diperlukan tindakan operasi dan fisioterapi dan rata-rata memakan waktu 8-10 minggu. pada tingkatan ini ligamen pada lutut mengalami putus secara total dan lutut tidak dapat digerakkan. 4. Tanda Dan Gejala a. Nyeri lokal (khususnya pada saat menggerakkan sendi) b. Pembengkakan dan rasa hangat akibat inflamasi c. Gangguan mobilitas akibat rasa nyeri (yang baru terjadi beberapa jam setelah cedera) d. Perubahan warna kulit akibat ekstravasasi darah ke dalam jaringan sekitarnya. e. Sama dengan strain (kram) tetapi lebih parah

68

f. Edema, perdarahan dan perubahan warna yang lebih nyata. g. Ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon. h. Tidak dapat menyangga beban, nyeri lebih hebat dan konstan. 5. Patofisiologi. Kekoyakan (avulsion) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong / mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja. Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa diselingi peredaan.

69

6. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi pada kondisi ini meliputi: a. Dislokasi berulang akibat ligamen yang ruptur tersebut tidak sembuh dengan

sempurna

sehingga

diperlukan

pembedahan

untuk

memperbaikinya (kadang-kadang). b. Gangguan fungsi ligamen (jika terjadi tarikan otot yang kuat sebelum sembuh dan tarikan tersebut menyebabkan regangan pada ligamen yang ruptur, maka ligamen ini dapat sembuh dengan bentuk memanjang, yang disertai pembentukan jaringan parut secara berlebihan). c. Strain yang berulang d. Tendonitis 7. Pemeriksaan Penunjang a. Foto rontgen/ radiologi. Pemeriksaan diagnostik noninvasif untuk membantu menegakkan diagnosa. Hasil pemeriksaan di temukan kerusakan pada ligamen dan sendi. b. MRI ( Magnetic Resonance Imaging) Pemeriksaan dengan menggunakan gelombang magnet dan gelombang frekuensi radio, tanpa menggunakan sinar x atau bahan radio aktif, sehingga dapat diperoleh gambaran tubuh yang lebih detail. Hasil yang diperoleh gambaran ligamen yang luka. c. Stress radiography untuk memfisualisasi cedera ketika bagian tersebut digerakkan d. Artrografi e. Artroskopy f. Laboraturium Pemeriksaan lanjutan bila terdapat infeksi

8. Penatalaksanaan Sprain Prinsip

utama

penatalaksanaan

sprain

adalah

mengurangi

pembengkakan dan nyeri yang terjadi. Langkah yang paling tepat sebagai

70

penatalaksanaan tahap awal (24-48 jam) adalah prinsip RICE (rest, ice, compression, elevation), yaitu : a. Rest (istirahat) Kurangi aktifitas sehari-hari sebisa mungkin. Jangan menaruh beban pada tempat yang cedera selama 48 jam. Dapat digunakan alat bantu seperti crutch (penopang/penyangga tubuh yang terbuat dari kayu atau besi) untuk mengurangi beban pada tempat yang cedera. b. Ice (es) Letakkan es yang sudah dihancurkan kedalam kantung plastik atau semacamnya. Kemudian letakkan pada tempat yang cedera selama maksimal 2 menit guna menghindari cedera karena dingin. c. Compression (penekanan) Untuk mengurangi terjadinya pembengkakan lebih lanjut, dapat dilakukan penekanan pada daerah yang cedera. Penekanan dapat dilakukan dengan perban elastik. Balutan dilakukan dengan arah dari daerah yang paling jauh dari jantung ke arah jantung. d. Elevation (peninggian) Jika memungkinkan, pertahankan agar daerah yang cedera berada lebih tinggi daripada jantung. Sebagai contoh jika daerah pergelangan keki yang terkena, dapat diletakkan bantal atau guling dibawahnya supaya pergelangan kaki lebih tinggi daripada jantung. Tujuan daripada tindakan ini adalah agar pembengkakan yang terjadi dapat dikurangi. Penanganan sprain menurut klasifikasi a. Sprain tingkat satu (first degree) Tidak perlu pertolongan/ pengobatan, cedera pada tingkat ini cukup diberikan istirahat saja karena akan sembuh dengan sendirinya. b. Sprain tingkat dua (Second degree). 1) Pemberian pertolongan dengan metode RICE 2) Tindakan imobilisasi (suatu tindakan yang diberikan agar bagian yang cedera tidak dapat digerakan) dengan cara balut tekan, spalk maupun gibs. Biasanya istirahat selama 3-6 minggu.

71

c. Sprain tingkat tiga (Third degree). 1) Pemberian pertolongan dengan metode RICE 2) Dikirim kerumah sakit untuk dijahit/ disambung kembali

9. Pencegahan a. Saat melakukan aktivitas olahraga memakai peralatan yang sesuai seperti sepatu yang sesuai, misalnya sepatu yang bisa melindungi pergelangan kaki selama aktivitas b. Selalu melakukan pemanasan atau stretching sebelum melakukan aktivitas atletik, serta latihan yang tidak berlebihan. c. Cedera olahraga terutama dapat dicegah dengan pemanasan dan pemakaian perlengkapan olahraga yang sesuai.

10. Penatalaksanaan Medis a. Pembedahan Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak. b. Farmakologi Analgesik yang digunakan biasanya sebagai berikut: 1) Aspirin: Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral setiap 4 jam) untuk nyeri hebat 2) Bimastan : Kandungan : Asam Mefenamat 250 mg perkapsul, 500mg perkaplet ; Indikasi : nyeri persendian, nyeri otot ; Kontra indikasi : hipersensitif, tungkak lambung, asma, dan ginjal ; efeksamping : mual muntah, agranulositosis, aeukopenia ; Dosis: dewasa awal 500 mg lalu 250 mg tiap 6 jam. 3) Analsik :

72

Kandungan : Metampiron 500mg, Diazepam 2mg ; Indikasi : nyeri otot dan sendi ; Kontra indikasi : hipersensitif ; Efek samping : agranulositosis ; Dosis : sesudah makan (dewasa 3xsehari 1 kaplet, anak 3xsehari 1/2kaplet). 4) Pemberian kodein atau obat analgetik lain (jika cedera berat) 5) Pemasangan pembalut elastis atau gips, atau jika keseleo berat, pemasangan gips lunak atau bidai untuk imobilisasi sendi c. Elektromekanis 1) Dengan kantong es 24 derajat Celcius Penerapan dingin 2) Pembalutan / wrapping eksternal. Dengan pembalutan, cast atau pengendongan (sung). 3) Posisi ditinggikan. Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas. 4) Latihan ROM. 5) Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan. Latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang sakit. 6) Penyangga beban Menghentikan penyangga beban dengan penggunaan kruk selama 7 hari atau lebih tergantung jaringan yang sakit. 7) Penggunaan gips 8) Imobilisasi sendi yang cedera untuk mempercepat penyembuhan 9) Elevasi sendi di atas ketinggian jantung selama 48 hingga 72 jam (yang segera dilakukan sesudah cedera) 10) Penggunaan kruk dan pelatihan cara berjalan (pada keseleo pergelangan kaki) 11) Kompres es secara intermiten selama 12 hingga 48 jam untuk mengendalikan pembengkakan (letakkan handuk kecil diantara kantung es dan kulit untuk mencegah cedera karena hawa dingin).

73

d. Penatalaksanaan Terapi Masase Untuk Mengobati Sprain pada Lutut 1) Masase Terapi pada Rehabilitasi Cedera Lutut Masase terapi yang dilakukan pada rehabilitasi cidera lutut yaitu menggunakan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan teknik gerusan (friction) dengan teknik gosokan (effleurage) yang menggunakan ibu jari untuk merilekkan atau menghilangkan ketegangan otot. Setelah itu dilakukan penarikan (traksi) dan pengembalian (reposisi) sendi lutut pada tempatnya (Ali:2004) 2) Posisi Tidur Terlentang Lakukan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan

teknik

gerusan

(friction)

dan

gosokan

(effluarage). Pada otot quadriceps femoris ke arah atas.Lakukan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan teknik gerusan (friction) dan gosokan (effleurage), pada samping lutut/ligamen lutut pada bagian dalam dan luar. Lakukan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan teknik terusan (friction) dan gosokan (effleurage), pada ototototfleksor/otot fastrocnenius bagian depan ke arah atas. 3) Posisi Tidur Telungkup Lakukan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan

teknik

terusan

(friction)

dan

gosokan

(effleurage), pada otot hamstring ke arah atas. Lakukan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan teknik gerusan (friction) dan gosokan (effleurage), pada ligamen sendi lutut bagian belakang ke arah atas. Lakukan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan teknik gerusan (friction) dan gosokan (effleurage), pada otot gastrocnemius ke arah atas. 4) Posisi Traksi dan Reposisi pada Lutut dengan Posisi Tidur Terlentang

74

Lakukan traksi dengan posisi kedua tangan memegang satu pergelangan kaki. Kemudian traksi/tarik ke arah bawah secara pelan-pelan dan putar tangkai setengah lingkaran ke arah samping dalam dan samping luar dengan kondisi tangkai dalam keadaan tertarik. 5) Masase Terapi pada Rehabilitasi Cedera Pergelangan Kaki (Engkel) Masase terapi yang dilakukan pada rehabilitasi sendi pergelangan kaki (engkel) yaitu menggunakan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan teknik gerusan (friction) dengan teknik gosokan (effleurage) yang menggunakan ibu jari untuk merilekkan atau menghilangkan ketegangan otot. Setelah itu dilakukan penarikan (traksi) dan pengembalian (reposisi) sendi pergelangan kaki (engkel) pada tempatnya. a) Posisi Tidur Terlentang Lakukan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan teknik gerusan (friction) dan gosokan (effluarage), pada otot-otot fleksor/otot gastrocnemius bagian depan ke arah atas. Lakukan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan teknik gerusan (friction) dan gosokan (effluarage), pada otot punggung kaki atau otot fleksor pada kaki bagian muka kearah atas. Lakukan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan teknik gerusan (friction) dan gosokan (effluarage), pada ligament sendi pergelangan kaki ke arah atas. b) Posisi Tidur Telungkup Lakukan teknik masase (manipulasi masase) dengan cara menggabungkan teknik gerusan (friction) dan gosokan (effluarage), pada otot gastrocnemius ke arah atas. Lakukan teknik

masase

(manipulasi

masase)

dengan

cara

menggabungkan teknik gerusan (friction) dan gosokan

75

(effluarage), pada otot di belakang mata kaki atau tendo achilles ke arah atas. c) Posisi Traksi dan Reposisi pada Pergelangan Kaki dengan Posisi Badan Tidur Terlentang. Lakukan traksi dengan posisi satu tangan memegang tumit dan satu tangan yang lain memegang punggung kaki. Kemudian traksi/tarik kearah bawah secara pelan-pelan dan putarkan kaki (engkel) dengan kondisi pergelangan kaki dalam keadaan tertarik. 11. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian 1) Pengkajian Primer a) Airway Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk. Menilai jalan nafas: (1) LIHAT - LOOK (a) Gerak dada & perut (b) Tanda distres nafas (c) Warna mukosa, kulit (d) Kesadaran (2) DENGAR - LISTEN Gerak udara nafas dengan telinga (3) RABA - FEEL Gerak udara nafas dengan pipi b) Breathing Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi. c) Circulation

76

TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut. 2) Pengkajian sekunder a) Aktivitas/istirahat (1) kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (2) Keterbatasan mobilitas b) Sirkulasi (1) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas) (2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah) (3) Tachikardi (4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera (5) Capilary refil melambat (6) Pucat pada bagian yang terkena (7) Masa hematoma pada sisi cedera c) Neurosensori (1) Kesemutan (2) Kelemahan (3) Deformitas lokal, agulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi. (4) Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri / anxietas d) Kenyamanan (1) Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang, dapat berkurang deengan imobilisasi) tak ada nyeri akibat keruisakan syaraf. (2) Spasme / kram otot (setelah immobilisasi). e) Keamanan (1) laserasi kulit (2) perdarahan

77

(3) perubahan warna (4) pembengkakan local 3) Focus assesment a) P (penyebab) : faktor yang menyebabkan nyeri itu datang. (1) Apa penyebab nyeri (2) Faktor yang meringankan nyeri (3) Faktir yang memperlambat nyeri (4) Obat_obatan yang diminum b) Q (Quality) : menggambarkan nyeri yang dirasakan, klien mendiskripsikan apa yang dirasakan sesuai dengan kata-katanya sendiri. Perawat boleh memberikan deskripsi pada klien, bila klien tidak mampu menggambarkan nyeri yang dirasakan. Bagaimana rasa nyerinya : terbakar, ditusuk-tusuk, di gigit, di iris-iris, di pukul-pukul dan lain-lain c) R(region/tempat) : meminta klien untuk menunjukkan dimana nyeri terasa, menetap atau terasa pada menyebar. (1) Lokasi nyeri (2) Penyebaran nyeri (3) Penyebaran ini apakah sama intensitasnya dengan lokasi sebenarnya. d) S (skala) : untuk mengukur tingkat nyeri klien di suruh untuk menunjukan tingkat nyeri tersebut dengan menggunakan skala nyeri yang di beri oleh perawat. (1) Brapa sberkurang.kala nyeri (2) Apakah nyeri mengganggu aktivitasnya : gangguan motorik, gangguan kesadaran. (3) Apakah nyeri semakin bertambah atau berkurang e) T (Time/waktu) : kapan nyeri itu tersa atau datag dan lama nyeri tersebut. (1) Kapan terasa nyari : pagi, siang, sore, malam. (2) Berapa kali serangannya dalam sehari.

78

(3) Serangan tiba-tiba atau perlahan-lahan. b. Diagnosa Keperawatan 1) Nyeri b/d spasme otot 2) Hambatan mobilitas fisik b/d nyeri 3) Resiko infeksi b/d inflamasi 4) Gangguan integritas jaringan b/d cidera c. Intervensi Keperawatan No 1.

Diagnosa Nyeri berhubungan dengan spasme otot

NOC NOC :  Pain level,  Pain control,  Comfort level Kriteria hasil :  Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmokologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)  Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri  Mampu mengenali nyeri (skala intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)  Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

79

NIC NIC : Pain Management  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi  Observasi reaksinonverbal dari ketidaknyamanan  Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien  Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau  Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan control nyeri masa lampau  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan  Kurangi faktor presipitasi nyeri  Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)

 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi  Ajarkan tentang teknik non farmakologi  Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri  Evaluasi keefektifan kontrol nyeri  Tingkatkan istirahat  Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil  Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri Analgesic Administrasion  Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian obat  Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi  Cek riwayat alergi  Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari Satu  Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri  Tentukan analgesik pilihan, rute pembarian, dan dosis optimal  Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur  Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali  Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

80

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri

3. Resiko infeksi berhubungan dengan inflamasi

NOC :  Join Movement :active  Mobility Level  Selft care : ADLs  Transfer performance Kriterian Hasil :  Klien meningkat dalam aktivitas fisik  Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas  Memverbalilasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker)

Exercise therapy : ambulation  Monitoring vilat sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan  Kaji kemampuan pasien dalam mobilitas  Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs scara mandiri sesuai kemampuan  Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan  Berikan alat bantu jika klien memerlukan  Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan  Damping pasien dan bantu pasien saat mobilitas dan peduhi kebutuhna ADLs NOC NIC  immune Status Infection Control (control  knowledge : infeksi) Infection control  Bersihkan lingkungan  Risk control setelah di pakai pasien lain Kriteria hasil :  Pertahankan teknik isolasi  Klien bebas dari  Batasi pengunjung bila tanda dan gejala perlu infeksi  Instruksikan pada  Mendeskripsikan pengunjung bila perlu proses penularan  Instruksikan pada penyakit, factor pengunjung untuk mencuci yang mempengaruhi tangan saat berkunjung penularan serta meninggalkan pasien penatalaksanaannya  Gunakan sabun  Menunjukkan antimikroba untuk cuci kemampuan untuk tangan mencegah timbulnya  Cuci tangan setiap sebelum infeksi dan sesudah tindakan  Jumlah leukosit keperawatn dalam batas normal

81

Menunjukkan perilaku hidup sehat

  

  

        

   

82

Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung Pertahankan lingkungan aseptic selama pemasangan alat Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing Tingkatkan intake nutrisi Berikan terapi antibiotic bila perlu infection protection (proteksi terhadap infeksi) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local Monitor hitung granulosit,WBC Monitor kerentanan terhadap infeksi Batasi pengunjung Sering pengunjung terhadap penyakit menular Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko Pertahankan teknik isolasi k/p Berikan perawatan kulit pada area edema Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase Inspeksi kondisi luka/insisi bedah Dorong masukkan nutrisi yang cukup Dorong masukkan cairan Dorong istirahat



4. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan cidera

NOC:  Tissue integrity : skin and mucous membranes  Wound healing : primary and secondary intention Kriteria hasil:  Perfusi jaringan normal  Tidak ada tanda-tanda infeksi  Ketebalan dan tekstur jaringan normal  Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cidera berulang  Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka

83

Instruksikan pasien untuk minum antibiotic sesuai resep  Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi  Ajarkan cara menghindari infeksi  Laporkan kecurigaan infeksi  Laporkan kultur positif NIC : Pressure ulcer prevention Wound care  Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar  Jaga kulit agar tetap bersih dan kering  Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali  Monitor kulit akan adanya kemerahan  Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah yang tertekan  Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien  Monitor status nutrisi pasien  Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat  Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan  Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka, karakteristik,warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi lokal, formasi traktus

     

84

Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka Kolaborasi ahli gizi pemberian diet TKTP, vitamin Cegah kontaminasi feses dan urin Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka Hindari kerutan pada tempat tidur

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi. konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi). Sindrom Kompartemen merupakan suatu kondisi yang bisa mengakibatkan kecacatan hingga mengancam jiwa akibat terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasia yang tertutup. Sebagian besar terjadi pada daerah lengan bawah dan kaki. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”.Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi. Strain adaalah tarikan otot akibat penggunaan berlebihan, peregangan berlebihan, atau stress yang berlebihan. Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplet dengan perdarahan ke dalam jaringan. Pasien mengalami rasa sakit dan nyeri mendadak dengan nyeri tekan local pada pemakaian otot dan kontraksi isometric. Sprain atau keseleo merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada ligamen penyangga yang mengelilingi sebuah sendi. Biasanya kondisi ini terjadi

85

sesudah gerakan memuntuir yang tajam Sprain adalah cedera struktur ligamen di sekitar sendi, akibat gerakan menjepit atau memutar. B. Saran 1. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan literatur tentang konsep fraktur, disokasi, sindrom kompartemen, amputasi, strain, sprain. Sehingga dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa dan update ilmu pengetahuan. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Penatalaksanaan yang asuhan keperawatan yang efektif dan efisien pada pasien dengan menekankan konsep fraktur, disokasi, sindrom kompartemen, amputasi, strain, sprain. 3. Bagi Mahasiswa Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui konsep psikologis, meliputi konsep fraktur, disokasi, sindrom kompartemen, amputasi, strain, sprain sehingga dapat menerapkannya pada praktik klinik keperawatan di kemudian hari.

86

DAFTAR PUSTAKA Brunner, Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta : ECG. Carpenito, L.J & Moyet. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 10. Jakarta: EGC. Corwin, EJ. 2012, Buku saku patofisiologi, 3 edn, EGC, Jakarta. Courtney M T, Daniel R B, Mark B E, Kenneth L M. 2005. Buku Saku Ilmu Bedah SABISTON. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. Doengoes E. Marilyn, 2012. ”Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien”. Edisi 3. Jakarta: EGC. FK.UI. 2001. ”Kapita Selekta Kedokteran”. Jilid 2. Edisi ke-3. Media Aesculaplus. Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis Praktis. Yogyakarta: Gosyen Publishing Heather T. Herdman & Shigemi Kamitsuru. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definis & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 Terjemahan Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Huda Amin Nurarif dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA & NIC NOC. Jogjakarta: Mediaction. Kumalasari, Arief Muttaqin. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika. M. Gloria Bulechek, dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC). Singapore: El Sevier. Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius Moorhead Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Singapore: El Sevier. Paula, Richard MD. 2009. Abdominal Compartment Syndrome. Available at www.emedicine.com / 829008-overview.htm Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, edisi ke-6. Jakarta: EGC.

87

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 . Jakarta: EGC Wilkinson, M. Judith. 2006. NIC NOC: Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 7. Jakarta: EGC

88

Related Documents


More Documents from "Sherly Sanii Mahoklory II"