ANALYSIS AND CRITIQUE OF NURSING ST-ELEVATION OF MYOCARDIAL INFARCTION
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat Lanjut I Dibimbing oleh : Ns. Tony Suharsono, S. Kep, M. Kep
Oleh : KELOMPOK 3 1. Fariz Cahyono 2. Ilham Akbar 3. Irene Kusuma Wardhani 4. Serly Sani Mahoklory
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN PEMINATAN KEGAWAT DARURATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Miokard infork adalah keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah ke
jantung dan menyebabkan kematian pada sel otot jantung. Aliran darah terhenti dikarenakan adanya sumbatan pada koroner, kecuali pada aliran kolateral lainnya. Keadaan seperti itu dapat menyebabkan otot pada jantung tidak dapat mempertahankan fungsinya sehingga dikatakan mengalami infark (Guyton, 2007). Spektrum sindrom koroner akut (SKA) terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. Aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya maka terjadi Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI). Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA) perbedaan angina pektoris tak stabil (UA) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium dan adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa (Trisnohadi, 2009). The American Heart Association (AHA, 2014) memperkirakan bahwa orang yang didiagnosa dengan SKA pada tahun 2010 sebanyak 625,000. Dari jumlah tersebut, diperkirakan sebanyak 363,000 adalah laki-laki dan 262,000 adalah
perempuan.
Di
Indonesia,
berdasarkan
laporan
WHO
pada
‘Noncommunicable Dieseases (NCD) Country Profiles 2014’ didapatkan bahwa penyebab kematian tertinggi merupakan penyakit kardiovaskular, yaitu sebesar 37% dari angka kematian total. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun
2014, menyatakan prevalensi penyakit jantung di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Riskesdas tahun 2013 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner dan gagal jantung berdasarkan wawancara seiring peningkatan umur responden, penyakit jantung iskemik mempunyai proporsi sebesar 5,1% dari seluruh penyakit penyebab kematian dan penyakit jantung mempunyai angka proporsi 4,6% dari seluruh kematian. Dari penjelasan diatas dapat diketahui gambaran tentang STEMI yang masih menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak. Oleh karena itu kami ingin membahas tentang bagaimana asuhan keperawatan yang tepat bagi pasien dengan diagnosa STEMI.
1.2. Tujuan Penulisan 1.2.1
Tujuan umum
a. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan STEMI 1.2.2. Tujuan khusus a. Mengetahui cara pengkajian pada pasien STEMI b. Mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien STEMI c. Mengetahui intervensi keperawatan pada pasien STEMI
1.3. Manfaat penulisan Bagi mahasiswa dapat memberikan wawasan dan gambaran tentag asuhan keperawatan yang tepat pada pasien STEMI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Medis 2.1.1 Pengertian Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi adalah angina tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI. Sebagian besar pasien STEMI akan mengalami peningkatan marka jantung, sehingga berlanjut menjadi infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction, STEMI) (Perki SKA, 2015). Kematian jaringan miokardium yang disebabkan karena suplai darah ke miokardium menurun (Stilwell, 2015). 2.1.2 Etiologi (Doengoes, 2010) CAD dengan penyebab umum pembentukan plak penyempitan pembuluh dan potongan plak putus, pembentukan emboli. Kekakuan arteri koroner merupakan penyebab yang kurang umum. Faktor risiko: usia, kelebihan berat badan atau obesitas, merokok, hiperlipidemia, riwayat keluarga Risiko meningkat pada kasus gangguan ginjal, penyakit arteri perifer, atau riwayat MI sebelumnya. 2.1.3 Tanda dan gejala (Thomson, 2010)
Nyeri hebat pada tengah dada, menjalar ke lengan kanan, leher, rahang atau tulang belikat.
Sesak napas, pusing, keringat, gelisah, mual dan muntah dan perasaan cemas yang hebat.
Perubahan EKG termasuk> 1mm elevasi ST pada dua lead ekstremitas berturut-turut, dan> 2mm di dua lead dada berturut-turut.
EKG menunjukkan tanda-tanda yang diduga bundle branch block kiri baru atau ST depresi di lead V1-V3, menunjukkan kemungkinan posterior infark.
2.1.4 Patofisiologi (Doengoes, 2010)
Ditandai pengurangan atau hilangnya aliran darah melalui satu atau lebih dari arteri koroner, yang mengakibatkan iskemia otot jantung, dan selama periode terbatas, mengakibatkan nekrosis.
Terjadi paling sering disebabkan oleh penyakit arteri koroner (CAD)
Iskemia seluler dan nekrosis dapat mempengaruhi irama jantung, tindakan memompa, dan sirkulasi darah.
Masalah lain juga mungkin terjadi, seperti gagal jantung, lifethreatening aritmia, dan kematian.
2.1.5 Pemeriksaan penunjang
ECG 12 sadapan
2.1.6 Penatalaksanaan 1) Triage Semua pasien yang datang ke gawat darurat dengan gejala sugestif dari infark miokard akut (MI) harus dievaluasi dengan riwayat kesehatan yang mendukung dan pemeriksaan fisik fokus. EKG 12 sadapan diinterpretasikan oleh dokter yang berpengalaman dan harus diselesaikan dalam waktu 10 menit dari kedatangan pasien, di samping itu juga menyiapkan
akses intravena
(Zafari et al, 2017) 2) Manajemen awal Primary percutaneous coronary intervention (PPCI) atau reperfusi farmakologis harus dilakukan sesegera mungkin untuk pasien dengan presentasi klinis STEMI dalam waktu 12 jam. a.
Thrombolisis Trombolisis melibatkan pemberian obat fibrinolitik seperti tenecteplase,
untuk memecah trombus, membangun rekanalisasi arteri koroner dan memungkinkan reperfusi dari miokardium. Trombolisis awal adalah sangat
penting untuk peningkatan fungsi dan kelangsungan hidup ventrikel kiri yang sangat berdampak ketika diberikan awal setelah awal gejala jantung. Peningkatan kualitas di Skotlandia menunjukkan bahwa pemberiannya harus 60 menit atau kurang untuk pasien dengan STEMI yang membutuhkan trombolisis. (Thomson, 2010) Kontraindikasi Mutlak Riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya
Kontraindikasi Relative
Lesi pembuluh darah otak
Sejarah kronis, parah, hipertensi yang tidak terkontrol
Neoplasma intrakranial (primer atau
Sistolik tekanan> 180 mm Hg atau diastolik tekanan> 110 mm Hg
metastasis) Stroke iskemik dalam 3 bulan terakhir (kecuali untuk stroke akut dalam 4,5 jam) Riwayat diseksi aorta
Riwayat stroke iskemik> 3 bulan
Demensia
Disebut patologi intrakranial tidak
Perdarahan aktif atau perdarahan diatesis
tercakup dalam kontraindikasi absolut
(tidak termasuk menstruasi) Trauma tertutup kepala atau trauma wajah
menit)
dalam waktu 3 bulan Operasi intrakranial atau operasi intraspinal dalam waktu 2 bulan Hipertensi parah yang tidak terkontrol (tidak responsif terhadap terapi darurat) Untuk streptokinase (tidak lagi dipasarkan di
Trauma atau CPR berkepanjangan (> 10
Recent perdarahan internal (dalam waktu 2-4 minggu)
Noncompressible vaskular punctures
Kehamilan
Penyakit ulkus peptikum aktif
Sedang dalam pengobatan terapi
AS): pengobatan berjarak 6 bulan dari
antikoagulan: Semakin tinggi INR,
sebelumnya
semakin tinggi risiko perdarahan
Untuk streptokinase (tidak lagi dipasarkan di AS): paparan Sebelum (> 5 hari sebelumnya) atau reaksi alergi sebelum agen ini
Table 1. Kontraindikasi absolute dan relative pemberian terapi Fibrinolytic pada pasien STEMI (Zafari et al, 2017) Fibrinolytic Agent
Dose
Fibrin Specificity
Antigenic
Patency Rate
Non-fibrin specific Streptokinase (no
1.5 million units IV given
longer marketed in
over 30–60 min
No
Yes
60%–68%
++++
No
85%
++
No
84%
++
No
the US) Fibrin specific Tenecteplase
30 mg for weight <60 kg
(TNK-tPA)
35 mg for 60–69 kg
40 mg for 70–79 kg
45 mg for 80–89 kg
50 mg for >90 kg Reteplase (rPA)
10-U IV boluses given 30 min apart
Alteplase (tPA)
Bolus 15 mg followed by
73%-84%
infusion 0.75 mg/kg for 30 min (maximum 50 mg), then 0.5 mg/kg (maximum 35 mg) over the next 60 min; total dose not to exceed 100 mg.
Table 2. Fibrinolytic Agents yang digunakan pada STEMI (Zafari et al, 2017) b. Primary percutaneous coronary intervention (PPCI). Untuk rumah sakit yang mempunyai fasilitas PCI, pemeriksaan angiografi koroner dan PPCI harus dicapai dalam waktu 90 menit. Untuk rumah sakit nonPCI, jika mereka tidak dapat dipindahkan ke rumah sakit yang tidak mempunyai fasilitas PCI dalam waktu 120 menit sangat penting untuk segera mengkaji data berikut untuk menentukan pemberian terapi fibrinolitik:
Waktu dari timbulnya gejala
Risiko komplikasi yang berhubungan dengan STEMI
Risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis
Adanya shock atau gagal jantung parah
Waktu yang dibutuhkan untuk transfer ke rumah sakit PCI-mampu (Zafari et al, 2017).
Gambar 5. Langkah-langkah reperfusi
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan 2.2.1 Pengkajian 1. Anamnesa A. Identitas a) Usia
: ≥ 65 tahun rentan terkena STEMI
b) Jenis kelamin
: pria lebih sering terkena hipertensi akibat pola
hidup dibandingkan dengan wanita c) Suku
: orang kulit hitam mengalami penyakit jantung
sebanyak 38,2 % dibandingkan kulit putih yakni 28,8 % B. Riwayat sehat dan penyakit a) Keluhan utama Sesak napas dan nyeri dada didaerah sternum yang menjalar ke dada kiri atau kanan, ke rahang, ke bahu kiri, dan kanan serta pada lengan, penderita tampak gelisah, keringat dingin, lemas dan pucat. b) Riwayat penyakit dahulu Riwayat obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, dan diabetes melitus c) Riwayat kesehatan keluarga Riwayat kesehatan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya STEMI (genetik). C. Aktivitas dan latihan (ADL): a) Aktivitas / istirahat Gejala
: kesulitan dalam beraktivitas, kelemahan,
kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup mentap dan jadwal olahraga tidak teratur Tanda
:
takikardi,
dispnea
cardiac
pada
infark
miokardium yang kronis dapat timbul saat istirahat b) Nutrisi Gejala
: mual, anorekxia, bersendawa, dan nyeri ulu
hati Tanda
:
penurunan
turgor
berkeringat, perubahan berat badan c) Eliminasi Gejala
: bising usus menurun
Tanda
: normal
kulit,
kulit
kering,
d) Hygine Gejala
: kesulitan dalam melakukan tugas perawatan
diri, karena sakit didada dan cepat lelah Tanda
: kondisi tubuh tampak kusam
D. Pemeriksaan Fisik a) Breathing (B1) takipnea.
: klien terlihat pucat, sesak nafas, apnea,
Sesak napas terjadi karena kenaikan tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. b) Blood (B2)
: Inspeksi, adanya distensi vena jugularis,
edema dependent maupun umum, jaringan parut pada dada klien, dengan keluhan nyeri biasanya didaerah substernal atau nyeri diatas pericardum. Penyebaran nyeri dapat meluas pada daerah dada, bahu dan tangan. Palpasi, takikardi, bradikardi, distrimia, CRT ≥ 3 detik dan adanya thrill tanpa komplikasi. Auskultasi, penurunan tekanan darah akibat tidak adekuatnya volume sekuncup yang disebabkan IMA. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan
katup.
Perkusi,
batas
jantung
tidak
mengalami
pergeseran. EKG c) Brain (B3): kesadaran composmentis, wajah tampak meringis kesakitan, menangis, merintih, merenggang, dan mengeliat yang merupakan respons dari adanya nyeri dada. d) Bladder (B4)
: pengukuran volume output dengan intake
cairan klien, untuk mengetahu adanya oliguria, yang merupakan tanda awal syok kardiogenik e) Bowel (B5)
: klien biasanya mengalami mual dan muntah,
pada palpasi abdomen ditemuka adanya nyeri tekan pada keempat kuadran, penurunan peristaltic usus yang merupakan tanda utama IMA
f) Bone (B6)
: aktivitas klien biasanya mengalami perubahan
yaitu sering merasa lemah, lelah, tidak dapat tidur, pola hidup menetap dan tanpa olahraga, serta adanya perubahan postur tubuh
2.2.2 Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri
akut
berhubungan
dengan
agens
cedera
biologi
(ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen dengan kebutuhan miokardium akibat sekunder dari penurunan suplai darah ke miokardium) yang ditandai dengan mengeluh sakit di dada yang menjalar ke extremitas, wajah meringis, memegang daerah yang sakit, skala 10 (rentang 1-10), dan takikardi. 2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung yang ditandai dengan penurunan TD, adanya bunyi jantung tambahan dan distensi vena jugularis 3. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan perfusi O2 dalam darah yang ditandai dengan mengeluh sesak napas, dispnea, inspirasi mengi, takipnea, dan pernapasan dangkal 4. Ketidakefektifan
perfusi
jaringan
perifer
berhubungan
dengan
menurunannya curah jantung yang ditandai dengan tampak lemah, pucat, mukosa mulut kering, CRT ≥ 3 detik dan suplay O2 menurun 5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan perfusi perifer akibat sekunder dari ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokardium dengan kebutuhan yang ditandai dengan mengeluh lemah, lelah dan kesulitan dalam beraktivitas 6. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan yang ditandai dengan gelisah, ketakutan, dan rasa nyeri yang meningkatkan ketidakberdayaan
2.2.3
Perencanaan Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan perfusi O2 dalam darah Goal
: Pola nafas klien kembali efektif
Objective : klien terbebas dari penurunan O2 dalam darah Outcomes : Dalam 1x24 jam perawatan, klien: 1) Kedalaman pernafasan klien kembali normal, 2) Tidak ada penggunaan otot bantu nafas, 3) RR klien kembali normal (12-20x/menit)
Intervensi 1) Bantu pasien untuk berada pada posisi yang nyaman, yang memungkinkan ekspansi dada maksimal. Contohnya, bantu pasien untuk beralih ke posisi fowler atau anjurkan pasien untuk bersandar pada meja yang ada di atas tempat tidur dengan menggunakan bantal. R/ Untuk memudahkan bernapas. 2) Berikan kesempatan pasien beristirahat diantara tindakan R/ Untuk memperlancar pernapasan dan menghindari keletihan. 3) Kaji dan catat status pernapasan, setidaknya setiap 4 jam R/ Untuk mendeteksi tanda-tanda awal gangguan. Auskultasi suara napas untuk mendeteksi suara napas tambahan. 4) Kolaborasi untuk pemberian oksigen sesuai program, berikan Oksigen 2-4liter/menit melalui kanul hidung, Hiperventilasi dengan sasaran pCO2 35mmHg R/ untuk membantu menurunkan distres pernapasan yang disebabkan oleh hipoksia 5) Kaji kadar GDA menurut kebijakan fasilitas. R/ Untuk memantau status oksigenasi dan ventilasi, dan untuk mengetahui keseimbangan asam-basa
2. Ketidakefektifan
perfusi
jaringan
perifer
berhubungan
dengan
menurunannya curah jantung Goal
: klien terbebas dari ketidakefektifan perfusi jaringan perifer selama dalam perawatan.
Objective
: klien terhindar dari penurunan curah jantung
Outcomes
: dalam jangka waktu 3 x 24 jam: 1) Perfusi jaringan meningkat 2) Klien tidak mengeluh pusing, lelah, lemah 3) Konjungtiva merah (tidak pucat) 4) CRT < 3 detik, 5) TTV dalam batas normal
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung Goal
: Klien akan mempertahankan curah jantung adekuat selama dalam perawatan
Objective
: Klien terbebas dari perubahan frekuensi jantung selama dalam perawatan
Outcomes
: dalam jangka waktu 1 x 24 jam : 1) Tekanan darah normal 140/90 mmHg 2) Irama dan frekuensi jantung stabil 3) Tidak adanya bunyi jantung tambahan
Intervensi : 1) Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi dengan panduan imajinasi R/ menurunkan rangsangan yang dapat menimbulkan stress. 2) Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas atau keributan. R/ menurunkan rangsangan simpatis dan meningkatkan relaksasi 3) Kolaborasi pemberian therapy farmakologis antiangina
R/ Obat-obatan antiangina bertujuan untuk meningkatkan aliran darah baik dengan menambah suplai oksigen atau dengan mengurangi kebutuhan miokardium akan oksigen. 4) Kolaborasi Ptca (angioplastt koroner transluminal perkutan) R/ Angioplasty koroner transluminal perkutan adalah usaha untuk memperbaiki aliran darah arteri koroner dengan menghancurkan plak atau ateroma yang telah tertimbun dan mengganggu aliran darah ke jantung. 5) Observasi TTV, kualitas denyut sentral dan perifer, auskultasi tonus jantung dan bunyi jantung, kelembapan dan pengisian kapiler R/ mengetahui keadaan terbaru klien dan mewaspadai tanda penurunan curah jantung.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologi (ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen dengan kebutuhan miokardium akibat sekunder dari penurunan suplai darah ke miokardium) Goal
: klien terbebas dari nyeri akut selama dalam perawatan
Objective
: klien terbebas dari agens cedera biologis selama dalam perawatan
Outcomes
: dalam jangka waktu 1 x 24 jam, klien : 1) Nyeri berkurang atau hilang 2) Skala nyeri < 3 (rentang 1- 5 ) 3) Tidak meringis kesakitan 4) TTV dalam batas normal (TD : systole 100-120, diastole 60-90 mmHg, Nadi : 60-100 X/menit, Respiratory : 12 – 20 X/ menit.
Intervensi :
1) Anjurkan kepada klien untuk melaporkan nyeri dengan segera R/ Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian mendadak. 2) Ajarkan klien teknik manajemen nyeri : relaksasi dan distraksi R/ mengalihkan perhatian klien dari sensasi nyeri dan mendapatkan efek tenang. 3) Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman. R/ lingkungan yang tenang memberikan kesempatan klien untuk rileks. 4) Kolaborasi pemberian analgetik non narkotik R/ analgetik bekerja menghambat nocireseptor sehingga tidak meneruskan sensasi nyeri ke otak. 5) Observasi keluhan nyeri dada, skala dan factor penyebab yang mungkin muncul R/ mencegah ketidaknyamanan dengan memantau keadaan klien (TTV).
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan perfusi perifer akibat sekunder dari ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokardium dengan kebutuhan Goal
: Klien dapat toleran terhadap aktivitasnya selama dalam perawatan
Objective
: Klien terbebas dari penurunan perfusi perifer selama dalam perawawatan
Outcomes
: dalam jangka waktu 1 x 24 jam : 1) Klien berpartisipasi dalam aktivitas sesuai dengan kemampuan klien 2) Irama dan frekuensi jantung stabil 60-100 x/menit 3) Tekanan darah dalam batas normal
Intervensi
1) Anjurkan pasien menghindari peningkatan tekanan abdomen misalnya mengejan saat defekasi R/ Aktivitas yang memerlukan menahan nafas dan menunduk(maneuver valsava) dapat mengakibatkan bradikardi juga menurunkan curah jantung dan takikardi dengan peningkatan tekanan darah. 2) Latih klien untuk menerapkan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas, seperti bangun dari kursi bila tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat selama 1 jam setelah makan R/ Aktivitas yang meningkat dapat memberikan control jantung, meningkatkan regangan dan mencegah aktivitas berlebihan 3) Rujuk ke program rehabilitasi jantung R/ Memberikan pengawasan ketat untuk proses penyembuhan
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan Goal
: Klien terbebas dari ansietas selama dalam perawatan
Objective
: Klien memahami perubahan status kesehatannya selama dalam perawawatan
Outcomes
: dalam jangka waktu 2 x 24 jam : 1) Klien tampak rileks dan laporan ansietas menurun 2) Klien dapat beristirahat dengan tenang 3) Tekanan darah dalam batas normal
Intervensi 1) Ajakarkan teknik relaksasi dan distraksi seperti latihan nafas dalam, dan bimbingan imajinasi R/ Belajar cara yang rileks dapat membantu menurunkan takut dan ansietas. 2) Dorong pernyataan takut dan ansietas, berikan umpan balik. R/ Membuat hubungan terapeutik, membantu pasien menerima perasaan dan memberikan kesempatan untuk memperjelas kesalahan konsep.
3) Awasi respon fisiologis, misal : takipneu, palpitasi, pusing, sakit kepala, sensasi kesemutan. R/ Dapat menjadi indikatif derajat takut yang dialami pasien tetapi dapat juga berhubungan dengan kondisi fisik/status syok. 4) Catat petunjuk perilaku atau gelisah, mudah terangsang, kurang kontak mata, perilaku melawan. R/ Indicator derajat takut yang dialami pasien, misal : pasien akan merasa tak terkontrol terhadap situasi atau mencapai atatus panik.
2.2.4 Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan dilakukan sesuai rencana tindakan keperawatan
2.2.5 Evaluasi Keperawatan Dilakukan dengan 2 cara yakni evaluasi sumatif dan evaluasi formatif.
Evaluasi
bertujuan
untuk
mengetahui
apakah
setelah
implementasi dilakukan masalah keperawaan tersebut menjadi teratasi, teratasi sebagian atau tidak teratasi.
BAB III PEMBAHASAN 3.1. Manajemen STEMI Pre-Hospital Pada pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) adanya elevasi segmen ST pada EKG mengindikasikan adanya oklusi total pada arteri koroner. Kosowsky et al (2009) menyebutkan bahwa pada sistem pre-hospital, manajemen pasien dengan kecurigaan STEMI ditentukan oleh 3 tujuan utama, yaitu: (1) mengantarkan pasien ke fasilitas kesehatan yang tepat sesegera mungkin, (2) mencegah kematian mendadak dan mengontrol aritmia menggunakan protokol ACLS (acute cardiac life support) jika diperlukan, dan (3) menginisiasi atau melanjutkan manajemen pasien selama dalam tahap transportasi. Pasien yang datang menggunakan kendaraan transportasi EMS (emergency medical services) sering kali sudah mendapatkan beberapa tingkat perawatan. Kru BLS (Basic Life Support) didalam ambulan harus siap mengadministrasikan aspirin dan terapi oksigen, menggunakan AED (automated external defibrilation) saat terjadi henti jantung, dan mendapatkan riwayat terjadinya insiden di lokasi kejadian. Ambulan ALS (advance life support) yang di dispatch dapat memberikan terapi nitrogliserin dan protokol medikasi ACLS jika diperlukan. Menurut European Society Cardiology (ESC) guidelines (2012) menjelaskan bahwasanya meminimalisir delay adalah hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan pasien dengan STEMI dikarenakan 2 alasan, yaitu bahwasanya saat-saat paling kritis dari infark miokard akut berada pada fase awal, dan pada fase ini biasanya ditandai dengan pasien sering kali mengalami nyeri dada yang tidak tertahankan dan rentan mengalami gagal jantung. Tingkat keselamatan pasien dalam kebanyakan kasus dengan STEMI sangat berkaitan kecepatan petugas medis dalam mengenali gejala STEMI dengan melakukan pemeriksaan diagnostik dasar seperti EKG dan pemberian terapi trombolitik sesegera mungkin. Menurut Pelter et al (2010) menyebutkan bahwasanya interpretasi 12 lead EKG
yang tepat dan akurat dapat menjadi sebuah langkah awal dalam memandu pengembalian aliran darah ke miokardium dan untuk mengidentifikasi apakah terapi yang diberikan kepada pasien telah memberikan dampak positif atau tidak. Seorang perawat sebagai klinisi harus memiliki keterampilan yang baik dalam mengenali kondisi STEMI karena sering kali menjadi garis depan dalam mendapatkan, menginterpretasikan, dan mengomunikasikan temuan pada 12- lead EKG. Hal ini diperkuat pada jurnal yang disusun oleh Ripa (2010) yang menyampaikan bahwa tindakan mengukur EKG 12- lead pada ambulan adalah salah satu langkah untuk dapat mengoptimalkan perawatan pada pasien dengan nyeri dada, karena EKG adalah dasar dari penegakan diagnosis awal dan pemberian intervensi berkelanjutan maupun tes diagnostik lainnya. Segera setelah 12-lead EKG pada pasien mengindikasikan STEMI, kunci keputusan terapeutik adalah untuk menginisiasi tindakan terapi trombolitik intravena, atau pelaksanaan pPCI (primary percutaneous coronary intervention). Pada beberapa sistem EMS, 12- lead EKG dapat dilakukan dan hasilnya dapat dikirimkan ke rumah sakit tujuan untuk dievaluasi bahkan sebelum ambulan datang, hal ini akan mempercepat persiapan penanganan pasien dan meningkatkan tingkat keberhasilan penanganan pasien. Penggunaan pre-hospital EKG ini telah tersebar di berbagai negara dan telah terbukti mengurangi waktu reperfusi dan kematian pasien dengan STEMI. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meadow-pitt & Fields (2013) yang membandingkan door to baloon time (waktu yang diperlukan mulai pasien datang ke UGD sampai pelaksanaan kateter jantung dilakukan) antara pelaksanaan EKG pada saat pre-hospital dan pelaksanaan EKG saat pasien datang di UGD. Dari penelitian ini menunjukkan hasil bahwasanya pasien yang tidak dilakukan pemeriksaan EKG pada saat transportasi memiliki door to baloon time 2,5 kali lebih lama dibanding pasien yang sudah dilakukan EKG di atas kendaraan transportasi. Hal ini menandakan bahwa dengan adanya penggunaan EKG lebih awal akan mempercepat tenaga
medis dalam menentukan diagnosa awal sehingga tindakan berikutnya akan dapat segera dilaksanakan.
3.2. Manajemen STEMI In-Hospital Semua pasien dengan nyeri dada dengan tatalaksana ACS sudah harus dilaksanakan pemeriksaan EKG dalam rentang waktu kurang dari 10 menit mulai kedatangan di UGD dan mendapatkan evaluasi awal oleh klinisi UGD. Berbeda dengan beberapa kondisi medis lainnya, STEMI dapat didiagnosa dengan sebuah tes sebelum evaluasi selesai dilaksanakan. Kriteria penegakan diagnosis STEMI telah diajukan oleh ACC/AHA dan disepakati oleh European Society Cardiology (ESC). ACC/AHA (2013) dan ESC (2012) sepakat bahwasanya diagnosa STEMI dapat ditegakkan saat EKG pada pasien dengan nyeri dada menunjukkan: (1) ≥ 1mm elevasi segmen ST paling tidak pada 2 lead anatomis (aVL – III, termasuk aVR), (2) ≥ 1-mm elevasi segmen ST pada prekordial lead V4 hingga V6, (3) ≥ 2mm elevasi segmen ST pada V1 hingga V3, atau (4) adanya blocking baru pada LBB (left bundle branch) Riwayat tentang pasien sudah harus di kaji selama pemeriksaan EKG dan terapi awal diberikan. Tanyakan kepada pasien apakah ia merasakan nyeri dada, kapan dimulai, bagaimana rasanya (ditusuk, diremas, ditekan), dan apakah nyeri menyebar hingga ke bagian tubuh tertentu. Nyeri dada adalah gejala paling umum dari infark miokard namun tidak selalu muncul, sehingga pastikan adanya nyeri pada dagu/bahu/leher/lengan, lemas, mual dan nafas pendek. Kemudian selain itu seorang klinisi haruslah mampu mengkaji faktor resiko mayor penyakit kardiovaskular yang ada pada pasien, misalnya hipertensi, riwayat penyakit arteri koroner sebelum, diabetes, hiperlipidemia, merokok, jenis kelamin pria, dan riwayat infark miokard atau kematian karena penyakit jantung pada keluarga kandung pasien sebelum usia 45 pada laki-laki dan usia 55 pada perempuan (Kosowsky et al, 2009).
Berikut ini adalah alogaritma tatalaksana STEMI menurut Kosowsky (2009) merujuk pada ACC/AHA:
Begitu diagnosis STEMI telah tegak, maka keputusan yang harus segera dilakukan adalah apakah mereperfusi bagian miokardium yang infark dengan menggunakan medikasi fibrinolisis atau menggunakan PCI dengan balon angioplasti. Guidelines ACC/AHA merekomendasikan inisiasi terapi fibrinolitik diberikan dalam 30 menit sejak pasien kontak dengan EMS. Reperfusi menggunakan fibrinolisis memiliki tingkat kesuksesan 60-80%. Komplikasi utama dari pengunaan fibrinolitik adalah perdarahan, oleh karena itu, seorang tenaga kesehatan harus memahami kondisi pasien, disamping gejala mayor penyakit jantung juga harus diperhatikan adanya komplikasi dari pemberian fibrinolitik. Jika PCI dapat dilakukan, pilihan tindakan untuk melakukan PCI adalah yang paling utama dalam proses reperfusi. Pemilihan tindakan antara PCI dan fibrinolisis tergantung kepada pasien, tempat, dan waktunya. Pada beberapa penelitian Andersen et al (2003), Keeley et al (2003) dan Busk et al (2008) yang membandingkan penggunaan fibrinolisis vs PCI menunjukkan bahwasanya dengan mempertimbangkan hasil jangka pendek maupun jangka panjang jika PCI dapat dilakukan memiliki tingkat reperfusi yang lebih tinggi daripada fibrinolisis.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Manajemen pre-hospital dan in-hospital merupakan hal penting dalam penanganan pada pasien STEMI. Diawali dengan menghubungkan atau mengantarkan pasien dengan sesegera mungkin ke fasilitas peleayanan kesehatan yang memadai merupakan salah satu langkah tepat dalam penanganan pasien. Tingkat keselamatan pasien dalam kebanyakan kasus dengan STEMI sangat berkaitan kecepatan petugas medis dalam mengenali gejala STEMI dengan melakukan pemeriksaan diagnostik dasar seperti EKG dan pemberian terapi trombolitik sesegera mungkin. Cardiac early warning score sangat bermanfaat pada pemantaun atau deteksi dini sebelum pasien mengalami kondisi yang lebih buruk dan mampu menggunakan jalur rujukan atau tindakan yang sesuai. Apapun penyakit yang mendasarinya tanda-tanda klinis perburukan kondisi bisanya serupa yang dapat dilihat dari fungsi pernapasan, kardiovaskular dan neurologis. EWS menjadi suatu alat monitoring yang dianggap mampu membantu perawat dalam memantau dan mengontrol kondisi pasien, sehingga dapat memberikan laporan secepat mungkin dan melakukan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA Andersen HR, Nielsen TT, Rasmussen K, et al. 2003. A comparison of coronary angioplasty with fibrinolytic therapy in acute myocardial infarction. Nursing england Journal Med (8): 733-742. A Maziar Zafari, MD, PhD; Chief Editor: Eric H Yang, MD. 2017. Myocardial Infarction Treatment & Management. http://emedicine.medscape.com/article/155919-treatment#showall (diakses 27 Februari 2017 jam 19.00) Busk M, Maeng M, Rasmussen K. 2008. The danish multycentre randomized study of fibrinolytic therapy vs primary angioplasty in acute myocardial infarction (the Danami-2 trial): outcome after 3 years follow-up. European Heart Journal 29(10): 1259-1266. Carpenito, L. J. Dan Moyett. (2008). Diagnosa Keperawatan. Ed 10. EGC: Jakarta. Canobbio, M.M. Cardiovaskular Disorders. Mosby Clinical Nursing Series, Toronta. ESC Guidelines. (2012). ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal. Doenges. 2010. Nursing Care Plan 8th edition. Phildelphia : Davis company Kosowsky. J.M, Yiadom. M. Y. 2009. An evidence-based approach: The diagnosis and treatment of STEMI in the emergency department. Emergency Medicine Practice vol. 11 (6) Meadow-Pitt. M, Fields. Willa. 2013. The impact of prehospital 12 lead EKG on door-to-baloon timein patient with ST-elevation myocardial infarction. Journal of Emergency Nursing
Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat Plus Contoh Askep Dengan Pendekatan Nanda, Nic, Noc. Nuha Medika: Yogyakarta Nanda International. (2012). Diagnosa Keperawatan 2012-2014. EGC: Jakarta. Pelter. M.M., Carey. M.G., Stephens. K. E., Anderson. H., Yang.W. 2010. Improving nurses’ ability to indentify anatomic location and leads on 12lead electrocardiograms with ST elevation myocardial infarction. European Journal of Cardiovascular Nursing 9:218-225. Ripa. M.S. 2010. The ECG as decision support in STEMI. Danish Medical Journal 54:1763-1769. Robert Thomson. 2010. How to manage acute myocardial infarction with primary percutaneous coronary intervention. https://www.nursingtimes.net/clinical-archive/cardiology/how-to-manageacute-myocardial-infarction-with-primary-percutaneous-coronaryintervention/5020579.article (diakses 27 Februari 2017 jam 19.15) Ruhyanudin, F. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan System Kardio Vaskuler. Malang: UUM Press Taylor, M.C. (2010). Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Keperawatan. Ed. 10. EGC: Jakarta