Makalah Fpm Kelompok Ii.docx

  • Uploaded by: Armi Riski Gultom
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Fpm Kelompok Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,391
  • Pages: 32
Makalah

Perbedaan Pendapat Tentang Wudhu Disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fikih Perbandingan Madzahab

Dosen Pengampu: Dr. Hasan Matsum, M. Ag

Oleh:

KELOMPOK II (Dua) Semester VI (Enam)

Cut Fadhilah : 0301162164 Indah Wahyu Afriliya Nasution : 0301163225 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM – VI (Enam) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SEMATERA UTARA

2019

KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الر حمن الر حيم‬ Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Perbedaan Pendapat Tentang Wudhu. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikiran. Dan harapan dari kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah ini agar lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekuarangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, Maret 2019

Penyusun

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................i DAFTAR ISI ......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................1 B. Rumusan Pembahasan .............................................................................1 C. Tujuan Pembahasan ................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Wudhu ...................................................................................2 B. Rukun Wudhu Menurut Empat Madzahab .............................................2 C. Perkara-Perkara Yang Membatalkan Wudhu..........................................13

BAB III PENUTUP A. Simpulan .................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................29

ii

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Setiap kegiatan ibadah umat Islam diisyaratkan mensucikan (thaharah) diri terlebih dahulu melalui Wuhdu ataupun Tayamum. Wudhu adalah sebuah syariat kesucian yang Allah ‘azza Wa Jalla tetapkan kepada kaum muslimin agar dapat melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Di dalamnya terkandung sebuah hikmah yang mengisyaratkan kepada kita bahwa hendaknya seorang muslim memulai ibadah dan kehidupannya dengan kesucian lahir batin. Wudhu disyariatkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyariatkan dalam segala kondisi, agar apa yang kita lakukan dapat bernilai ubadah dan mendapat rahmat dari Allah SWT. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu dalam kondisi bersuci (wudhu) sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu dalam segala kondisi. Oleh karena hal tersebut, alangkah baiknya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Wudhu ini, seperti: apa itu wudhu, rukun Wudhu, maupun halhal yang dapat membatalkan wudhu. B.

Rumusan Pembahasan Adapun pembahasan dalam makalah ini ialah: 1. Apakah yang dimaksud dengan wudhu? 2. Bagaimana rukun wudhu menurut empat madzahab? 3. Apa saja perkara yang membatalkan wudhu?

C.

Tujuan Pembahasan Selain dari untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah fikih perbandingan madzahab pada semester VI, pembahasan makalah ini juga bertujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui apa itu wudhu; 2. Memahami rukun-rukun wudhu menurut empat madzhab; dan 3. Mengetahui apa saja perkara yang membatalkan wudhu.

1

BAB II PEMBAHASAN

A.

PENGERTIAN WUDHU Wudhu secara bahasa adala membasuh sebagian anggota tubuh, diambil dar

kata (wadhoo-ah), yaitu kebaikan dan keindahaan. Secara syariat, wudhu adalah membasuh sebagian anggota tubuh tertentu dengan niat tertentu.1 Wudhu adalah sesuatu yang sudah diketahui oleh semua orang. Kegiatan ini adalah cara bersuci dengan menggunakan air yang terkait dengan wajah,tangan, kepala, dan kaki. Berwudhu merupakan salah satu cara bersuci menggunakan air. Wudhu menggunakan air yang suci dan mensucikan. Tujuan berwudhu adalah supaya sah untuk melakaukan shalat dan membersihkan tubuh kita. Wudhu merupakan syarat sahnya shalat dan diterima Allah ‘azza wa jalla. Dalil persyariatan wudhu:  

 



  



 

 



 



 

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. AlMaidah: 06)

B.

RUKUN WUDHU MENURUT EMPAT MADZAHAB

1

Al-‘alamah Al-Habib Abdullah, Intisari FIqih Madzhab Syafi’i, (Surabaya: Cahaya Ilmu

Publisher, 2011), hal. 30.

2

Wudhu memiliki beberapa rukun yang merupakan unsur utamanya. Bila salah satu rukunnya tidak terwujud dan tidak dianggap sah oleh agama. Rukun wudhu akan dijelaskan di bawah ini2: 1. Niat, berarti kehendak untuk mengerjakan sesuatu demi mengharapkan ridha Allah dan melaksanakan perintah-Nya. Niat adalah amal hati murni dan lisan sekali tidak ada peran di dalamnya. Oleh karena itu, melafalkannya tidak disyariatkan. Dalil pensyariatan niat adalah hadist umar bahwa Rasulullah bersabda:

‫ئ َمان ََوى‬ ِ ‫اِنَّ َمااَألَْع َماُل ِِبال ِِّنَّيَّا‬ ٍ ‫وإِنَّ َما ِلك ِل ام ِر‬, َ ‫ِت‬ “Seluruh amal bergantung pada niatnya, dan seseorang hanya akan memperoleh sesuatu berdasarkan pada apa yang diniatkan …..” (HR. Jamaah) 2. Membasuh wajah sekali. Kata “membasuh” berarti mengalirkan air.” Batas wajah adalah panjangnya dimulai dari bagian dahi yang rata hingga ke bagian bawah jenggot. Sedangkan lebarnya adalah dari cuping telinga kanan hingga ke cuping telinga kiri. 3. Membasuh kedua tangan hingga kedua siku. Kedua siku termasuk bagian yang wajib dibasuh. 4. Mengusap kepala. Kata “mengusap” berarti “membasahi,” dan ia tidak terwujud kecuali dengan menggerakkan anggota tubuh pengusap pada anggota tubuh yang diusap. Dengan demikian, hanya meletakkan tangan atau jari di kepala atau di anggota tubuh lainnya tidak dapat disebut “mengusap.” 5. Membasuh kedua kaki beserta mata kaki. Inilah riwayat yang shahih dan khawatir dari perbuatan dan sabda Rasulullah. Rukun-rukun yang disebutkan sebelum ini adalah yang diterangkan oleh firman Allah dalam quran surah Al-Maidah ayat 06 yang berbunyi sebagai berikut:  

 

 2









Sulaiman Al-faifi, Ringkasan Fikih Sunnah, (Jakarta : Beirut Publishing, 2014), hal. 75-

76.

3





 



 



 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,….” (QS. Al-Maidah: 06) 6. Urut. Karena dalam ayat diatas Allah telah menyebutkan rukun-rukun wudhu secara berurutan. Rukun wudhu menurut empat imam madzhab ialah sebagai berikut3: Madzhab Hanafi; rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada empat: 1.

Membasuh wajah Batasan wajah adalah tempat tumbuh rambut sampai ujung dagu. Jika

seseorang memiliki kepala yang botak, dalam arti tempat tempat tumbuh rambutnya lebih atas dari keningnya, maka dia cukup membasuh muka sesuai ukuran muka yang harus dibasuh ketika wudhu adalah dari pangkal telinga kiri sampai pangkal telinga kanan, termasuk juga bawah telinga. Ketika membasuh muka ini, wajib hukumnya membasuh segala bentuk rambut yang tumbuh di wajah, tipis maupun tebal, seperti kumis. Sedangkan untuk jenggot, jika tebal maka yang wajib dibasuh adalah bagian rambut yang tumbuh di daerah muka saja, sedangkan yang di bawah secara keseluruhan sambil menyela-nyela, hingga air masuk ke kulit. Niat, menurut pendapat madzhab ini adalah sunah, bukan fardhu dan syarat sah sebagaimana pendapat madzhab lainnya. 2.

Membasuh kedua tangan dengan kedua sikunya Jika seseorang memilki jari tambahan, maka ia wajib membasuhnya. Jika

seseorang memilki jari tambahan, maka ia wajib membasuhnya. Jika seseorang memilki satu tangan tambahan, maka ia juga wajib membasuhnya bila tangan 3

Hasbiallah, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam

Departemen Agama RI, 2009), hal. 222-224.

4

ketiga itu tidak melebihidari dua tangan aslinya. Jika terdapat tanah atau sesuatu yang melekat pada tangan atau di bawah kukunya, maka ia wajib menghilangkan benda tersebut. Jika tidak memiliki tangan, maka gugur kewajiban membasuh. 3.

Membasuh kedua kaki dengan kedua mata kakinya.

4.

Mengusap seperempat kepala. Seperempat kepala ini diukur oleh telapak tangan. Ini dilakukan dengan

memasukan telapak tangannya ke air, lalu ia menempelkannya ke kepala, baik dari depan, belakang atau dari arah manapun. Madzhab Maliki; rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada tujuh: 1. Niat Seorang yang berwudhu harus niat untuk membolehkan sholat, mengerjakan fardhu wudhu, atau menghilangkan hadist kecil. Posisi niat berada ketika akan wudhu dan tidak wajib menghadirkan niat sampai wudhu selesai. Jika seseorang berniat wudhu kemudian diselengi oleh pekerjaan yang sebentar, kemudian dia melakukan wudhu tanpa niat lagi, maka waudhunya dianggap sah. Niat juga memiliki syarat sah, yaitu: yang berniat harus beragama islam, yang berwudhu mesti mumayyiz dan harus yakin serta pasti, tidak boleh ragu. 2. Membasuh muka Batasan membasuh muka hampir sama dengan madzhab Hanafi, hanya saja madzhab Maliki menambahkan bahwtih diatas dua bagian kulit putih di atas du daun telinga tidak wajib dibasuh, ia hanya wajib diusap, karena ia adalah bagian dari kepala. 3. Membasuh kedua tangan dengan kedua siku Keharusan membasuh kedua tangan ini sama dengan pendapat madzhab hanafi, seperti wajib membasuh jari-jari dan bagian bawah kuku yang panjang. 4. Mengusap seluruh kepala Batas kepala adalah dari tempat tumbuh rambut di depan sampai tengkuk belakang. Termasuk juga rambut cambang dan atas dua daun telinga serta belakangnya. Jika seseseorang memiliki rambut panjang atau pendek, maka haruslah diusap. 5. Membasuh kedua kali dengan mata kaki

5

Demikian juga berlahan-belahan kaki wajib dibasuh. Jika anggota wajib tidak ada maka gugurlah kewajiban membasuh 6. Muwalat Ialah jika seoarang berwudhu, maka dia harus membasuh anggota lainnya sebelum anggota yang sudah dibasuhnya kering dalam keadaan suhu normal (tidak adanya jeda yang lama ketika berpindah dari membasuhnya satu anggota wudhu ke anggota wudhu yang lainnya). 7. Mengurut (mengulang-ulang secara rapi) semua anggota wudhu. Seperti menyela-nyela rambut dari jari jemari. Madzhab Syafii; rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada enam: 1. Niat Berbeda dengan madzhab maliki, madznhab sayfi’I mewajibkan niat harus dibarengi denga n basuhan pertama. Kalau awal basuhan adalah membasuh wajah maka posisi niat ada ketika pertama kali membasuh wajah. Jika seseorang membasuhnya tanpa niat, maka batal lah wudhunya. Isi niat juga harus diperhatikan jika madzhab Maliki memblehkan berniat “untuk menghilangkan hadats kecil”. Pada semua kalangan, maka bagi madzhab Syafi’I belum cukup. Karena bagi orang yang memilki penyakit beser maka baginya harus niat “untuk kebolehan shalat” atau “untua musk membaca mushaf” atau “melaksanakan fardhu wudhu. 2. Membasuh wajah Ukuran wajah hampir sama dengan madzhab hanafi. Hanya saja madzhab syafi’I mewajibkan untuk membasuh kulit dibawah dagu. Sama dengan madzhab maliki dan hanbali. Madzhab syafi’I juga mewajibkan orang yang memiliki jenggot, jika tipis maka wajib disela-sela sampai akhirnya airnya samapi ke kulit. Jika tebal dan sulit , maka cukup membasuh bagian luarnya saja dan menyelanyelanya dianggap suanah. 3. Membasuh kedua tangan dengan sikunya. Membersihkan kotoran-kotoran di bawah kuku yang menghalangi sampainya air ke kulit adalah wajib. Kecuali bagi para pekerjaan yang tidak lepas dari kotoran tersebut, selagi tidak terlalu banyak, maka ada kemudahan. 4. Mengusap bagian kecil dari kepala.

6

Jika di kepalanya terdapat rambut, maka cukup mengusap sebagian saja. Jika di kepala atau dia mengguyur kepala tersebut sehingga basah, maka dianggap cukup. 5. Membasuh kedua kaki dengan mata kakinya. Dalam masalah ini tidak berbeda dengan madzhab-madzhab sebelumnya 6. Tertib (berurutan) Antara empat anggota tersebut sebagaimana tertera dalam al-Quran. Jadi seseorang mesti membasuh wajahnya sambil niat., kemudian membasuh kedua tangannya, mengusao sebagian kecil kepala dan membasuh kedua kakinya. Jika urutan tidak ada, maka wudhunya batal. Keharusan tertib ini sama dengan pendapat madzhab Hanbali, sedangkan ulama madzhab Hanafi dan Maliki menganggapnya hanya sunah. Madzhab Hambali; rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada enam: 1. Membasuh wajah. Panjang dan lebar wajah hampir sama dengan pendapat sebelumnya. Hanya saja cambang dan kulit putih dibawah dua daun telingan hanya wajib di usap, karena keduanya adalah bagian dari kepala. Mereka juga berpendapt bahwa bagian dalam mulut dnn hidung mesti dibasuh, karena keduanya bagian dari wajah. Niat bagi madzhab ini adalah syarat sah wudhu sebagaimana dikatakan ulama Maliki dan Syafi’i hanya saja jika seseorang wudhu tapi tidak niat maka wudhunya tidak sah. 2. Membasuh kedua tangan dengan sikunya. Madzhab ini tidak jauh berbeda dengan madzhab lainnya. 3. Mengusap seluruh kepala, Termasuk juga kedua telinga. Ulama madzhab ini berpendapat keharusana membasuh seluruh kepala, dari tempat tumbuh rambuh didepan, sampai ketenguk belakang dan juga kedua daun telinga. Jika seseorang memiliki rambut yang panjang sampai ke punggung, maka tidak wajib membasuhnya 4. Membasuh kedua kai dengan mata kakinya. Dalam hal ini mereka tidak berbeda pendapat dengan madzhab lain. 5. Tertib Tentang ini, madzhan hanafi sependapa dengan madzhab syafi’I

7

6. Muwalat Dalam masalah ini, madzhab hanbali sepakat dengan pendapat madzhab maliki. Madzhab hanafi dan syafii menggap muwalat hanya sunah dan dimakruhkan jika meninggalkan muwalat. Penjelasan masalah-masalah yang paling penting dalam perbandingan 4 madzhab mengenai rukun-rukun wudhu. a. Batas membasuh tangan sebagai rukun wudhu.4 Menyiram air pada tangan sampai membasahi kedua siku adalah rukun wudhu berdasarkan firman Allah SWT, dalam Q.S Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:





     















 ......   Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,...” (Q.S Al-Maidah:6) Para ulama berselisih pendapat dalam hal siku. Termasuk bagian tangan atau tidak. Jumhur ulama malik, syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa siku itu termasuk dari tangan yang wajib dibasuh. Sedangkan sebagian ulama Zahiri dan sebagian pengikut terakhir Malik serta Thabari tidak mewajibkan membasuh siku. Perselisihan pendapat diantara/ dikalangan mereka disebabkan kata “ila” (sampai) dan kata “al yad” (tangan) itu mengandung arti ganda dalam bahasa

4

Pagar Hasibuan, Fiqih Perbandingan dalam Masalah-masalah Aktual , (Bandung:

Citapustaka Media Perintis, 2012), hal. 6.

8

Arab. Kata “ila” kadang berarti sampai (ghayah) kadang berarti beserta atau bersama (ma’a), kata “al yad” dalam bahasa juga mengandung tiga arti :  Telapak tangan

saja



Telapak tangan beserta siku



Telapak tangan siku dan lengan Ulama yang sepakat bahwa “ila” mempunyai arti beserta (ma’a) atau yang

berpendapat bahwa “al yad” mengandung arti seluruh bagian tangan yang terdiri dari telapak tangan, siku dan lengan mewajibkan membasuh siku. Sedang ulama yang berpendapat bahwa “ila” bermakna sampai (ghayah) dan kata “al yad” berarti sesuatu yang di bawah siku berarti siku bukan bagian dari tangan, tapi hanya pembatas antara lengan atas dan bawah, maka siku tidak wajib dibasuh. Dalam satu hadist sahih riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra:

‫س َل َو‬ ً ‫ َر أَيت أ َ َِبا ه َري َرة َ َيت َ َو‬: ‫جم ِر قا َ َُل‬ ِ ‫ْعب ِد هللا الم‬ َ ‫َْعن ن َعَّي ِم ِب ِن‬ َ ‫ضا فَ َخ‬ َ ‫ ث ِم‬, ‫جهه فَأ سبَخ الو ضوء‬ ‫ ث َّم‬,ِ‫ع فِى العضد‬ َ ‫س َل ِبَدَه الَّيمنَ َحتَّى أ َ ش َر‬ َ ‫غ‬ َ ‫ ث َّم‬,‫سه‬ ‫س َل ِر جلَه‬ َ ‫يَدَه الَّيس َر ى َحتَّى أش َر‬ َ ‫غ‬ َ ‫س َح َرأ‬ َ ‫ ث َّم َم‬,ِ‫ع فِي العضد‬ َّ ‫الَّيمِّنَى َح‬ ‫سا‬ َّ ‫ع فِي ال‬ َّ ‫ت أش َر ع ِفي ال‬ َ ‫س َل ِرجلَه الَّيس َر َحتَّى أَش َر‬ َ ‫ ث َّم َغ‬,‫ق‬ ِ ‫سا‬ .‫سلَّ َم َيت َ َو ضأ‬ َ ‫ ث َّم قَا َُل َرأيت َرسو َُل هللا َْعلَّي ِه َو‬,"‫ق‬ ِ Artinya: “Dari Nu’aim ibn Abdillah al Mujbir, dia berkata :”saya melihat Abu Hurairah

berwudhu”. Dia membasuh mukanya dan menyempurnakan

wudhu’nya, kemudian dia memmbasuh tangannya yang kanan sampai lengan, kemudian membasuh tangannya yang kiri samapai lengan, kemudian menyapu kepalanya, kemudian membasuh kaki yang kanan sampai betis, kemudian membasuh kakai yang kiri sampai betis”. Kemudian dia berkata : “seperti inilah saya melihat Rasulullah berwudhu. Hadis ini, merupakan alasan utama yangberpendapat bahwa siku wajib dibasuh. Sebab jika satu kata mengandung dua arti yang sama benarnya maka tidak boleh mengambl satu arti saja, kecuali ada dalilnya. Dan hadis lain yang diriwayatkan oleh Jabir:

9

‫سلَّ َم أَدا‬ َ ‫صلَّى هللا َْعلَّي ِه َو‬ َ ِ‫ َكا نَ َرسو ُل هللا‬: ‫ قَا َُل‬, ِ‫َْعن َجا ِِب ِر ِب ِن َْعب ِد هللا‬ ...‫َر ال َما ء َْعلَى ِمرفَقََّي ِه‬ Artinya: dari Jabir Ibn Abdillah dia berkata: “ saya melihat Rasullullah SAW menuangkan air pada sikunya” (HR. Daruquthani)

Selain itu juga diwajibkan untuk membasahi sela-sela jari dan juga apa yang ada dibalik kuku jari. Para ulama juga mengharuskan untuk menghapus kotoran yang ada di kuku bila dikhawatirkan akan menghalangi sampainya air. Jumhur ulama juga mewajibkan untuk menggerak-gerakan cincin bila seoarang memakai cincin ketika berwudhu, agar air bisa sampai ke sela-sela cincin dan jari. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi yang diterima dari Abu Rafi yang artinya : Rasulullah SAW Jika berwudhu memutar-mutarkan cincinnya (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni).5 Namun Al-malikiyah tidak mengharuskan hal itu.

b. Batas kepala yang diusap Para ulama telah bersepakat bahwa mengusap kepala merupakan fardhu wudhu. Namun, berselisih pendapat tentang kadar bagian kepala yang diusap. Malik berpendapat bahwa sesungguhnya yang wajib diusap adalah seluruh kepala, Syafi’i , sebagian sahabat Malik, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa yang wajib dibasuh adalah sebagin dari kepala. Sebagian pengikut Malik membatasi kata “sebagian kepala” itu dengan sepertiga. Dan sebagian ulama lain membatasi sampai dua pertiga kepala. Sedangkan Abu Hanifah membatasi seperempat dari kepala, yaitu seperti lebar telapak tangan pada waktumengusap kepala. Abu Hanifah berkata bahwa mengusap kepala yang kurang dari lebar tiga jari tidak cukup. Syafi’i membatasi ketentuan kadar yang diusap dengan tangan yang mengusap. Perbedaan pendapat ini bertitik tolak dari perbedaan pemahaman arti ganda (isytirak) huruf “ba” dalam bahasa arab. Kadang-kadang ba itu hanya berfungsi sebagai huruf zaidah (tambahan/pelangkap) seperti firman Allah ….‫ت ُ ْن ِبتُ ِبا ل َّد ْه ِن‬ 5

Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), hal. 3.

10

.... kadang-kadang mengandung arti tabi’idh (sebagian), seperti ucapan orang .. ‫أ‬ ‫خذ تُ ِبث َ ْوبِ ِه َو ِب َعضُد ِه‬. Saya memegang (sebagian baju) dan (sebagian lengannya) huruf “Ya” di sini berarti “sebagian”. Menurut pakar nahwu kufah, ulama yang berpendapat bahwa ba berfungsi sebagai pelengkap mewajibkan mengusap seluuruh kepala. Maksud “zaidah” di sini adalah berfungsi sebagai “penguat”. Sedang ulama yang menganggap ba itu berarti sebagian, maka mewajibkan membasuh sebagin rambut kepala. Pendapat terakhir didukung oleh hadis Mughirah yang mengatakan:

‫صَّيَتِ ِه َو َْعلَى ال ِع َما َم ِة‬ َّ ‫صالَة َوا ال‬ َّ ‫أ َ َّن الِّن ِبى َْعلََّي ِه ال‬ َ ‫سالَم ت َ َو‬ ِ ‫س َح ِِبِّنَا‬ َ ‫ضأ َ فَ َم‬ )‫(أخر جه البخا ر ي و مسلم‬ “sesungguhnya Nabi Muhammad Saw, ketika berwudhu mengusap rambut depan (pilingan) dan surbannya” (HR. Bukhori dan Muslim)

c. Cara membasuh Kedua kaki Ulama sepakat bahwa kedua kaki adalah anggota wudhu tapi mereka berselisih tentang cara menyucikannya. Menurut jumhur ulama dengan mencuci (membasuh) kedua kaki. Sedang sebagian ulama yang lain boleh membasuh atau mengusap kedua kaki. Persoalan ini tergantung pada orang yang memilih. Sebab perselisihan mereka adalah cara membaca al-Qur’an tentang wudhu. Ada yang membaca lafal ‫جلَكُم‬ ُ ‫ َو أَر‬, lam dibaca fathah diathafkan kepada anggota yang dibasuh. Ada yang membaca lafal

‫ َو أَر ُج ِلكُم‬lam dibaca kasrah diathafkan kepada

anggota yang disapu. Ulama yang berpendapat bahwa cara mencuci di atas hanya satu cara yang menjadi rukun (wajib, itu bisa dengan cara mencuci atau mengusap, tergantung cara membaca ayat al-Qura’an di atas. Dasar bacaan ayat itulah yang menjadi landasan istinbath-nya. Ulama yang menganggap bahwa dua bacaan tersebut sama kedudukannya, maka mencuci

kedua kaki boleh memilih dengan memilih dengan dua cara

11

seperti memilih hukuman kafarat sumpah. Pendapat terakhir ini ditentukan oleh Thabari dan Dawud. Jika kata

‫َو أَر ُج ِل ُك ْم‬

, dibaca kasrah, jumhur mengemukakan beberapa

pendapat. Pendapat yang terbaik adalah lafal tersebut dijadikan athaf lafdzi, bukan athaf nawi. Hal ini biasa digunakan dalam bahasa Arab. Para ulama juga berbeda pendapat tentang “mata kaki” apakah masuk dalam kategori yang arti wajib dibasuh atau diusap Titik pangkal perbedaan tersebut adalah arti ganda (isytirak) lafal “ila” yang berarti “ke/samapai” dalam firman Allah swt:

... ‫َو ا َ ْر جلَ ُك ْم اِلَى ال َك ْعبَ ْي ِن‬ Artinya : “Dan kedua kaki kalian sampai ke mata kaki” (Al-Maidah:6) Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan mata kaki?perbedaan pendapat itu terjadi karena “mata kaki” (al-ka’b) mempunyai ari ganda, menurut para pakar bahasa. Suatu pendapat menyatakan bahwa mata kaki (ka’ab) adalah tempat tali terumpah di atas punggung kaki. Pendapat ;ain mengatakan bahwa dua tulang yang menonjol di ujung betis.

d. Masalah tertib dalam wudhu Para ulama berbeda pendapat tentang urutan (tertib) perbuatan yang harus dilakukan dalam wudhu sesuai dengan urutan dalam ayat. Segolongan ulama mutakhirin dari pengikut Malik, Abu Hanifah, Tsauri, dan Dawud berpendapat bahwa ertib perbuatan dalam ayat itu berkonatasi “sunat”. Sedang menurut Syafi’i, ahmad, dan Abu Ubaid, tertib perbuatan itu berkonatasi “wajib”. Ini semua dalam urutan (tertib) antara yang wajib dengan yang wajib. Sedang ururtan (tertib) antara yang wahib dengan yang suanat, menurut Malik, hukumnya sangat dianjurkan (mustahab), sedang menurut Abu Hanofaj hukumnya sunat. Dua hal yang menjadi sebab perbedaan pendapat di atas. Pertama, kata penghubung wawu ‘athaf yang berarti “dan” itu mengandung fungsi ganda. Yakni, dapat difungsikan sebagai penghubung (athaf) antara satu perbuatan dengan perbuatan lain secra tertib dan bisa juga secara tidak tertib. Fungsi tersebut sudah sering digunakan dalam bahasa arab. Oleh karena itu, para ahli nahwu terbagi menjadi dua aliran. Aliran Basrah mengatakan bahwa penghubung (wawu 12

‘athaf ) itu tidak menunjukan arti berurutan (tertib), tapi hanya menunjukan ‘adanya perbuatan’ itu (ithlaqul jam’i). Sedang menurut aliran kufah, penghubung (wawu athaf) itu menunjukan arti ‘berurutan’(tertib) Dengan demikian, ulama yang berpendapat bahwa ‘penghubung’ dalam ayat wudhu itu menunjukan arti tertib, maka mereka menyimpulkan bahwa tertib itu wajib. Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa penghubung itu tidak menunjukan arti tertib berkesimpulan bahwa urut (tertib) itu tidak wajib. Kedua. Perselisihan para ulama dalam menafsirkan perbuatan nabi, apakah perbuatan Nabi dalam “wudhu itu” menunjukkan arti wajib atau sunat? Ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi tersebut menunjukan hukum wajib, maka urut (tertib) itu wajib, karena Nabi saw. Selalu melaksanakan wudhu secara tertib.ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi SAW. Tersebut menunjukan nadb, maka tertib dalam wudhu itu hukumnya sunat. Sedangkan ulama yang membedakan antara sunat dan rukun wudhu berpendapat bahwa kewajiban urut (tertib) itu pada perbuatan yang wajib. Sedangkan ulama yang membedakan antara sunat dan rukun wudhu berpendapat bahwa ssyrata wajib terkadang dalam perbuatan menjadi tidak wajib.

C. PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN WUDHU Para ulama sepakat bahwa yang membatalkan wudhu adalah buang air kecil, buang air besar, keluar angin (kentut), serta keluar madzi dan wadi, jika proses keluarnya itu normal, sebab ada dasar hadis sahih yang menerangkan hal itu. Dalam buku Bidayatul Mujtahid, ada tujuh pasal tentang ketentuan hukum membatalkan wudhu yang diperselisihkan oleh para ulama.6 a.

Najis Dari Badan. Para ulama Amshar berselisih pendapat tentang batalnya wudhu yang

disebabkan keluar sesuatu dari dalam tubuh. Perselisihan dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa yang menjadi ukuran batalnya wudhu adalah segala sesuatu yang keluar dari tubuh tanpa memperhatikan dari

6

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hal. 58-73.

13

mana dan bagaimana proses keluarnya. Pendapat ini diungkapkan oleh Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya, Tsauri, Ahmad, dan sebagian para sahabat. Dasar pendapat ini, adalah bahwa seluruh benda najis yang keluar dan mengalir dari dalam tubuh seperti darah, mimisan, muntah, dan lain-lain itu membatalkan wudhu. Mengeluarkan riyak tidak membatalkan wudhu menurut Abu hanifah. Jika riyak dan lendir memenuhi mulut, menurut Abu Yusuf, itu membatalkan wudhu. Keluar darah sedikit tidak termasuk membatalkan kecuali pendapat Mujahid. Kelompok kedua menyatakan bahwa yang menjadi ukuran adalah tempat keluarnya itu adalah kubul dan dubur. Jadi, sesuatu yang keluar dari dua jalan itu seperti darah, kerikil, lendir dan lain-lain, baik proses keluarnya itu normal atau karena penyakit itu membatalkan wudhu. Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah Syafi’i, pengikut-pengikutnya, dan Muhammad bin Abdul Hakam, murid Malik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa yang harus diperhatikan adalah benda yang keluar, tempat, dan cara atau proses keluanyar, segala sesuatu yang biasa keluar dari kubul dan dubu seperti buang air kecil, buang air besar, keluar angin (kentut), serta keluar madzi dan wadi. Jika proses keluarnya itu normal dan sehat, maka itu membatalkan wudhu. Di antara ulama yang mendukung kelompok ketiga ini adalah Malik dan mayoritas pengikutnnya. Pangkal perbedaan mereka itu adalah segenap kaum muslimin sepakat bahwa yang membatalkan wudhu itu adalah keluarnya segala sesuatu dari kubul dan dubur, seperti buang air kecil, buang air besar, keluar angin (kentut), serta keluar madzi dan wadi, berdasarkan lahir ayat al-Qur’an yang dikuatkan beberapa hadist. Kesepakatan ini masih member peluang munculnya tiga kemungkinan: 1. Hukum ini hanya dikaitkan dengan jenis, benda dan zat yang disepakati seperti yang dikemukakan oleh Malik. 2. Hukum ini dikaitkan dengan benda dan zat dari sisi bahwa benda itu najis yang keluar dari tubuh. Sedangkan wudhu identik dengan suci, yang dapat batal hanya karena najis. 3. Hukum juga dikaitkan dengan benda dari sisi bahwa benda itu keluar dari kubul dan dubur.

14

Syafi’i dan Abu Hanifah sepakat bahwa perintah wudhu masuk dalam kategori kata khusus yang bermaksud umum. Tetapii, kedua tokoh ini berbeda pendapat tentang manakah yang masuk dalam ‘am (umum) itu. Malik memperkuat pendapatnya bahwa esensi kata khusus harus diberlakukan pada kekhususannya sampai ada dalil yang menunjukkan selain itu. Syafi’i mengemukakan argumentasinya bahwa yang menjadi dasar pijakan adalah tempat keluar, bukan sesuatu yang keluar. Sebab para fuqaha sepakat bahwa angin ketut itu membatalkan wudhu, sedangkan angin yang keluar dari mulut walaupun sama-sama angin itu tidak membatalkan wudhu. Dengan kata lain, perbedaan antara kedua jenis angin itu hanya karena tempat keluar yang berbeda hukum dalah “tempat keluarnya.” Hakikatnya, argumentasi Syafi’i ini lemah karena kedua angin tersebut berbeda, baik dari segi sisi sifat maupun bau. Abu Hanifahh mengemukakan argumentasinya bahwa yang menjadi ukuran sesuatu yang keluar itu najis, karena suci itu akan rusak lantaran najis. Wudhu, walaupun bersifat suci secara hukmi, hampir sama dengan suci secara maknawi. Abu hanifah merujuk pada tiga hadist berikut ini: 1. Bahwa Rasulullah Saw. muntah-muntah, kemudian beliau berwudhu. 2. Riwayat Umar dan Ibnu Umar r.a yang mewajibkan lantaran mimisan. 3. Rasulullah Saw. memerintahkan kepada wanita yang dalam kondisi istihadah untuk berwudhu setiap ia akan melaksanakan shalat. Dengan demikian menurut Abu Hanifah yang menjadi ukuran adalah benda yang keluar itu najis. Syafi’i dan Abu Hanifah sependapat tentang keharusan berwudhu lantaran hadist yang telah disepakati, kendati sebab keluarnya itu karena sakit. Hal ini berdasarkan hadist ketiga. Menurut Malik, penyakit dapat member pengaruh keringanan hukum. Ini sebagai qiyas terhadap suatu hadist yang menyatakan bahwa wanita yang dalam kondisi istihadah hanya diperintahkan mandi. Hadist ini diriwayatkan oleh Fatimah binti Abu Hubais yang keshahihannya disepakati. Sedang tambahan “perintah wudhu setiap akan shalat”, keshahihannya masih siperselisihkan. Tetapi Abu Umar bin Abdul Barr menilai shahih.

15

Penyakit dapat member keringanan hukum itu juga diqiyaskan pada orang yang keluar darah secara terus menerus. Hal ini terjadi pada diri Umar, yang terus melaksanakan shalat, walaupun lukanya terus mengeluarkan darah.

b.

Masalah Tidur Ulama berbeda pendapat tentang tidur ini menjadi tiga kelompok, yaitu: Kelompok pertama, menyatakan bahwa itu termasuk yang membatalkan

wudhu (hadas). Oleh sebab itu menurut kelompok ini seseorang yang tidur atau tertidur, baik nyenyak atau tidak, itu wajib berwudhu. Kelompok kedua, menyetakan bahwa tidur itu bukan hadas. Oleh sebab itu menurut kelompok ini orang yang tidur tidak wajib berwudhu, kecuali yakin ketika tidur ia berhadas. Jika ia ragu terjadi hadas atau tidak, maka harus ada kepastian yang meyakinkan untuk menentukan batal atau tidaknya wudhu. Oleh sebab itu, ulama salaf dari kelompok ini menugaskan orang lain untuk mengamati dirinya ketika tidur, agar ada kepastian yang meyakinkan terjadinya atau tidaknya hadas. Kelompok ketiga, terbagi menjadi dua sikap: 1. Jika tidurnya nyenyak dan lama, itu membatalkan wudhu. 2. Jika hanya terkantuk atau hanya tertidur sebentar itu tidak membatalkan wudhu. Kelompok terkahir inilah pendapat jumhur ulama dan fuqaha Amshar. Karena kondisi tidur itu tidak tetap dan berubah, yaitu suatu ketika seseorang dapat tidur nyenyak, tapi pada waktu lain ia hanya terkantuk atau tertidur, maka sikap para fuqaha terhadap masalah ini berbeda-beda. Menurut Malik, seseorang yang tidur miring atau tidur gaya yang sedang bersujud baik tidur nyanyak atau tidak itu membatalkan wudhu. Jika ia tidur sambil duduk, itu tidak membatalkan wudhu, kecuali tidurnya terasa cukup lama. Dalam madzhab Malik, tidur dalam kondisi rukuk masih diperselisihkan. Ada yang menyatakan hukumnya sama dengan tidur dalam keadaan berdiri. Dan ada juga yang berpendapat hukumnya sama dengan tidur dalam keadaan sujud.

16

Menurut Syai’i, semua orang yang tidur dalam kondisi apapun, wajib berwudhu, kecuali tidur sambil duduk. Tapi, menurut Abu Hanifah dan pengikutpengikutnya, tidak ada kewajibab berwudhu, kecuali orang yang tidur miring. Perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada perbedaan hadis dan atsar yang mereka jadikan alasan dan pegangan. Sebab, ada beberapa hadist yang secara zhahir mengatakan, tidur itu sama sekali tidak membatalkan wudhu. Diantara hadist-hadist tersebut adalah: 1. Hadist Ibnu Abbas:

‫س ِمعِّنَا‬ َ ‫َام ِْعِّندَهَا َحتَّى‬ َ ‫صلَّى هللا َْعلََّيه َو‬ َ ‫ى‬ َّ ‫أ َ َّن الِّنَّ ِب‬ َ ‫سلَّ َم دَ َخ َل ِإلَى َمَّيمِّنَةَ فَِّن‬ )‫(اخرجه البخاري ومسلم‬

َ ‫غ َِطَّي‬ .‫صلَّى َولَم يَت َ َوضَّأ‬ َ ‫طه ث َّم‬

“Bahwa Nabi Saw. masuk ke rumah Maimunah, lalu beliau tidur di rumah itu, sehingga kami mendengar suara dengkur beliau. Kemudian beliau bangun, lalu shalat tanpa berwudhu (terlebih dahulu).” (HR. Bukhari dan Muslim) 2. Sabda Nabi Saw.:

‫َب َْعِّنه الِّنَّو َم فَإِنَّه لَعَلَّه يَذهَب أَن‬ َّ ‫س أ َ َحدكم فِي ال‬ َ ‫صالَةِ فَلَّيَرقد َحتَّىَّيَذه‬ َ ‫إِذَانَ ِع‬ )‫ (اخرجه البخاري وأبوداود‬.‫سه‬ َ ‫نَف‬

َّ‫َيستَغ ِف َر َرِبَّه فَ ََّيسب‬

“Jika salah satu dia antara kamu mengantuk dalam shalat, hendaklah ia tidur, sehingga rasa itu hilang, sebab bisa jadi ia hendak bermaksud mohon ampun kepada Tuhan, tetapi malah memaki dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud) 3. Dan riwayat:

‫سلََّي ِه َكانوايَِّنَامونَ فِي ال َمس ِج ِد َحتَّى‬ َ ‫أ َ َّن أَص َح‬ َ ‫صلَّى هللا َْعلََّي ِه َو‬ َ ‫اب الِّنَّ ِب ِى‬ )‫ (اخرجه ابودادوأوحمد‬. َ‫صلُّونَ َوالَيَت َ َوضَّؤن‬ َ ‫تَخفَقَ رؤسهم ث َّم ي‬ “Bahwa para sahabat Nabi Saw. tidur di mesjid, sehingga kepala mereka bergerak-gerak, kemudian mereka melaksanakan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

17

Hadist-hadist di atas itu hanya terjadi dan akui shahih. Tetapi, ada hadist lain yang lahirnya menjelaskan bahwa tidur itu membatalkan wudhu (hadas). Di sini dapat sayajelaskan di antaranya: 1. Hadist dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata:

‫ع ِخفَِّنَا ِمن غَا‬ َ ‫سلَّ َم فَأ َ َم َرنَا أَن الَنَِّن ِز‬ َ ‫صلَّى هللا َْعلََّي ِه َو‬ َ ‫كِّنَّا فِي‬ َ ِ ‫سفَ ٍر َم َع الِّنَّبِي‬ )‫ (اخرجه الترمذي والنسائي‬.‫َِب ٍة‬

‫ئِطٍ َو َِبو ٍُل َونَو ٍم َوالَنَِّن ِزْع َها ِإالَّ ِمن َجِّنَا‬

“Kami pernah bersama Nabi Saw. dalam suatu perjalanan, maka beliau memerintahkan agar kami tidak melepas sepatu kakmi lantaran BAB (buang air besar), BAK (buang air kecil), dan tidur, kecualli jika kami janabat.” (HR. Tirmidzi dan Nasai) Dalam hadist di atas terdapat persamaan hukum antara BAB (buang air besar), BAK (buang air kecil), dan tidur. 2. Hadist dari Abu Hurairah, Nabi Saw. bersabda:

‫ (اخرجه‬.‫َوضو ِئ ِه‬

َ َ‫ِإذَااستََّيق‬ ‫ظ أ َ َحد كم ِمن نَو ِم ِه فَل ََّيغسِل قَب َل أَن يد ِخلَ َها ِفي‬ )‫البخاروالترمذي‬

“Jka salah seorang di antara kamu bangun tidur, hendaklah ia mencuci tangannya ke dalam bejana air wudhu.” (HR. Bukhari dan Tarmidzi) Arti lahir hadist ini menunjukkan bahwa tidur dapat membatalkan wudhu, tanpa ada perbedaan anta tidur nyenyak dan tidur sebentar. 3. Lahiriah ayat menurut ulama yang sudi menakwil, yaitu firman Allah Swt.:





     ….  “Wahai orang-orang yang beriman (jika kamu bangun tidur) lalu mau melaksanakan shalat.” (QS. Al-Maidah: 06) Maksud ayat ini adalah, jika anda bangun tidur, lalu mau melaksanakan shalat. Takwil di atas berdasarkan penafsiran riwayat Zaid bin Aslam dan ulama salaf yang lain.

18

Atas dasar beberapa hadist di atas, dalam masalah tidur dan wudhu, para ulama terbagi pada dua kelompok. Kelompok tajih dan kelompok metode perpaduan atau komprehensif. Kelompok pertama ada yang menyatakan bahwa tidur sama sekali tidak membatalkan wudhu. Ini berdasarkan hadist yang lahirnya dapat dipahami bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. Ada juga yang berpendapat bahwa tidur nyenyak atau tidur sebentar membatalkan wudhu berdasarkan hadist yang membatalkannya juga. Jadi, hadist yang kuat tidak tampak jelas, apakah hadist yang membatalkan atau yang tidak. Sedangkan kelompok perpaduan merinci dengan menyalakan bahwa tidur nyenyak itu membatalkan wudhu, sedangkan tidur sebentar tidak membatalkan. Metode perpaduan menurut ulama ushul lebih utama dibandingkan dengan metode tajih selama perpaduan tersebut dapat dilakukan. Syafi’i menyatakan bahwa cara tidur yang tidak membaatalkan wudhu iru hanya tidur sambil duduk berdasarkan hadist dan atsar dalam point 3. Abu Hanifah menyatakan bahwa tidur yang membatalkan wudhu hanyalah “tidur miring”, berdasarkan hadist marfu’ yang menyatakan bahwa Nabi Saw. bersabda:

)‫(اخرجه أبوداود‬

َ ‫َام مض‬ .‫ط ِجعًا‬ َ ‫ِإنَّ َماالوضوء َْعلَى َمن ن‬

“Wudhu hanya wajib dilaksanakan oleh orang yang tidur miring.” (HR. Abu Dawud) Hadist ini nyata dan shahih dari Umar. Menurut Malik, tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang biasanya mendatangkan hadas sehingga, dalam hal ini, ia memperhatikan tiga segi, yaitu kenyenyakan, lama, dan cara tidur. Dengan demikian, ia tidak mensyaratkan dengan tiga segi di atas. Yang prinsip baginya, jika hadas biasanya dapat terjadi ketika tidur, berarti itu membatalkan wudhu. Hal itu ia kemukakan, karena biasanya cara tidur itu tidak menentukan terjadinya hadas.

c.

Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita

19

Ulama berbeda pendapat tentang batalnya wudhu karena menyentuh wanita dengan tangan atau anggota tubuh lain yang sensitive. Sebagian ulama menyatakan bahwa menyentuh atau meraba wanita secara langsung tanpa pelapis, itu membatalkan wudhu. Demikian juga halnya mencium terlepas dari merasakan atau tidak, karena mencium menurut mereka termasuk sentuhan juga. Pendapat ini dikemukakan oleh Syafi’i dan pengikut-pengikutnya. Tetapi, dalam hal ini ia tidak konsisten dengan pendapat di atas. Suatu ketiaka ia membedakan antara penyentuh dengan yang disentuh. Menurutnya, penyentuh batal wudhunya, sedangkan yang disentuh tidak batal. Pada waktu lain Syafi’i membedakan antra wanita yang haram dikawini (mahram) dan selain mahram. Ia menyatakan bahwa menyentuh istri itu membatalkan wudhu, sedangkan mahram tidak batal. Terkadang ia tidak membedakan antara mahram dan bukan mahram. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa jika persentuhan itu menimbulkan kenikmatan, maka itu membatalkan wudhu. Dalam hal ini tidak dipertimbangkan apakah pentuhan itu menggunakan pelapis atau tidak, juga tidak menyebutkan anggota tubuh tertentu. Sedangkan ciuman menurut mereka walaupun tanpa syahwat sudah membatalkan wudhu. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan mayoritas pengikutnya. Menurut Abu Hanifah, menyentuh wanita itu tidak membatalkan wudhu. Di antara tiga pendapat di atas juga termasuk pendapat para sahabat, kecuali syarat kenikmatan dalam persentuhan itu. Sepengetahuan saya tidak seorangpun sahabat yang menyaratkannya. Sebab perselidihan mereka dalam masalah ini adalah kata lams dlam bahasa Arab mempunyai arti ganda (isytirak), yakni menyentuh dengan tangan dan bersentuhan (jimak) dalam memahami firman Allah:

)6 : ‫(المائدة‬

....‫سآ َء‬ َ ‫اَولَ َمستم ال ِِّن‬

“Atau kamu ‘menyentuh’ wanita….” (QS. Al-Maidah: 6) Sebagian ulama berpendapat bahwa kata lamasa berarti menyentuh dengan tangan. Pendapat ini mengguanakan kaidah “kata umum dengan maksud kata khusus”. Justru itu pendapat ini menyaratkan adanya kenikmatan.

20

Sedang menurut ulama lain, itu masuk dalam kaidah kata umum dengan maksud umum juga. Justru itu adanya kenikmatan tidak menjadi syarat. Ulama yang menjadikan adanya kenikmatan sebagai suatu syarat bertentangan dengan keumuman ayat. Hal ini juga diperjelas oleh hadis Nabi Saw. yang menyatakan:

‫شةَ ِْعِّندَسجو ٍد ِبَِّيَ ِد ِه‬ َ ِ‫سلَّ َم َكانَ يَل َمس َْعائ‬ َ ‫صلَّى هللا َْعلََّي ِه َو‬ َ ‫ى‬ َّ ِ‫أ َ َّن الِّنَّب‬ ‫ستهز‬ َ ‫َورِبَّ َما َل َم‬ “Bahwa Nabi Saw. menyentuh Aisyah dengan tangan ketika beliau sujud, ada kemungkinan Aisyah juga menyentuh Nabi.” Fuqaha yang cenderung kepada hadis ini juga mengemukakan hadist lain yang diriwayatkan dari Hubaib bin Abu Tsabit dari Urwah dari Aisyah dari Nabi Saw.:

‫ت‬ ِ ‫ي إِالَّأَن‬ َّ ‫سائِ ِه ث َّم خ ََر َج ِإلَى ال‬ َ ِ‫ض ن‬ َ ‫أَنَّه قَبَّ َل َِبع‬ َ ‫صالَةِ َولَم َيت َ َوضَّأفَقلت َمن ِه‬ )‫(اخرجه أبوداودوالترمذي‬

.‫ض ِح َكت‬ َ َ‫ف‬

“Bahwa Nabi Saw. mencium salah seorang isteri beliau, lalu beliau keluar untuk shalat tanpa wudhu lebih dahulu. Saya (Urwah) mengatakan, ‘Siapa isteri Nabi itu, jika bukan Anda?’ Maka, Aisyah tertawa.” (HR. Abu Dawud dan Tarmidzi) Menurut Abu Amr, hadist ini dinilai dha’if oleh ulama Hijaz dan dinilai shahih oleh ulama Kufah. Terhadap penilaian shahih ini, Abu Amr bin Abdul Barr berkata bahwa hadis ini juga diriwayatkan dari sanad Ma’bad binNatabah. Dalam masalah ini, Syafi’i memberi komentar, “Jika hadis Ma’bad tentang mencium itu nyata dan sahih, maka saya pun berpendapat bahwa menyentyh wanita tidak membatalkan wudhu.” Ulama yang menyatakan bahwa menyentuh itu membatalkan wudhu mengemukakan argumentasi bahwa kata al-lams hakikatnya berarti menyentuh dengan tangan, tetapi secara majaz dapat berarti bersetubuh (jimak). Jika suatu kata berada di antara arti hakikat dan majaz, maka kata itu sebaiknya dibawa ke arti hakikat, sehingga ada dalil atas kemajazannya.

21

Ulama lain berpendapat bahwa jika suatu lafal banyak dipakai arti majaz, maka arti ini lebih kuat digunakan untuk dibandingkan dengan arti hakikat. Misalnya, kata al-ghaith yang hakikatnya berarti duduk berjongkok di atas tanah lebih banyak digunakan dalam arti majaz, yakni buang air besar. Kata al-lams walaupun mengandung dua arti, menyentuh dan bersentubuh, iru mempunyai argumentasi yang sama atau hampir sama yang berarti bersetubuh, walaupun itu menggunakan arti majaz. Sebab, untuk “bersetubuh” Allah Swt. member kinayah dengan kata mubasyarah” (saling bersentuhan) dan al-lams (menyentuh). Kedua kata tersebut artinya sama dengan kata al-lams. Sedangkan ulama yang memahami kata al-lams dengan dua arti sekaligus tidak dapat diterima. Sebab, orang Arab jika menggunakan kata musytarak dalam satu peristiwa hanya bermaksud satu arti saja. Itu jelas sekali dalam beberapa perkataan mereka sendiri.

d.

Menyentuh Zakar Dalam masalah ini, ulama berbeda pendapat yang dapat dibagi menjadi tiga

kelompok. Kelompok pertama menyatakan bahwa menyentuh zakar dengan cara apapun, itu membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Syai’i dan pengikutnya, Ahmad, dan Dawud. Kelompok kedua berpendapat bahwa menyentuh zakar itu sama sekali tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Abu hanifah dan pengikutnya. Dua kelompok di atas sama-sama mempunyai legitimasi pendapat di kalangan sahabat dan tabiin. Kelompok ketiga membedakan cara menyentuh zakar itu yaitu terbagi atas beberapa pendapat: 1. Pendapat yang membedakan antara sentuhan yang terasa enak da tidak. Jika terasa nikmat membatalkan wudhu dan jika sebaliknya tidak membatalkan. 2. Pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan telapak tangan dan sentuhan dengan lainnya. Jika menyentuh dengan telapak tangan membatalkan wudhu, dan jika tidak dengan telapak tangan tidak membatalkan wudhu.

22

Dua pendapat di atas diriwayatkan dari Mallik dan murid-muridnya. Mungkin menurut kelompok ini telapak tangan dianggap membawa kenikmatan khusus. 3. Pendapat yang membedakan antara sengaja dan lupa. Jika menyentuh zakar secara sengaja dengantelapak tangan, maka itu membatalkan wudhu. Tetapi jika menyentuhnya karena lupa, maka itu tidak membatalkan. Pendapat ini riwayatkan dari Malik dan didukung oleh Dawud dan para pengikutnya. Sebagian lagi ada ulama yang menyatakan bahwa keharusan wudhu karena menyentuh zakar ituhanya sunat, bukan wajib. Menurut Abu ‘Amr, pendapat terakhir ini menjadi pegangan pengikut Malik di Maroko. Pendapat Malik tentang hal zakar ini berpangkal pada hadist yang saling bertentangan: 1. Hadist Busrah yang menyatakan, saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

)‫(اخرجه ابن ماجه وأبوداودوالترمذي وماالك‬

.‫س أ َ َحد َك َره فَل ََّيت َ َوضَّأ‬ َّ ‫ِإذَا َم‬

“Jika salah seorang di antara kalian menyentuh zakarnya, maka hendaknya ia berwudhu.” (HR. Ibnu Mjjah, Tirmidzi, dan Malik) Hadist ini adalah hadist yang paling masyur diantara beberpa hadist yang menegaskan batalnya wudhu karena menyentuh zakar. Hadist ini dinilai shahih oleh Yahya nin Ma’in dan Ahmad bin Hambal. Dan dinilai dha’if oleh ulama Kufah. Hadist yang maksudnya sama juga diriwayatkan dari sanad Ummu Habibah. Ahamad bin Hanbal menilai sahih terhadap hadist berkahir ini. Hadist lain yang maksudnya sama juga diriwayatkan dari sanad Abu Hurairah. Ibnu Sakan menilai shahih terhadap hadis Abu Hurairah ini. Tetapi hadist itu tidak ada dalam Shahih Bukhari dan Muslin. 2. Hadist yang bertentangan dengan hadist pertama adalah riwayat Thalaq bin Ali r.a yang berkarta:

23

‫ارسو َُل‬ َ ‫قَدِمِّنَا َْعلَى َرسو ُِل هللاِ صلَّى هللا َْعلََّي ِه َو‬ َ َ‫ ي‬: ‫ي فَقَا َُل‬ ٌّ ‫سلَّ َم َو ِْعِّندَه ِبَدَ ِو‬ ٌ‫ َوهَل ه َوإِالَّ ِبَضعَة‬:‫لرج ِل ذَ َك َره ِبَعدَ أَن يَت َ َوضَّأَفَقَا َُل‬ َّ َ ‫هللاِ َما ت َ َرى فِي َم ِس ا‬ )‫(اخرجه أبودودوالترمذي‬

‫ِمِّن َك؟‬

“Saya menhadap Rasulullah Saw. Di samping beliau ada seseorang yang tampaknya orang Badui. Lalu Badui itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang seseorang yang menyantuh zakarnya setelah ia berwudhu?’ Rasulullah menjawab, ‘Itu tidak lain hanya kelebihan dagingmu juga.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Hadist ini dinilai sahih oleh ulama Kufah dan ulama lain. Seperti biasa, ulama dalam memahami beberapa hadis di atas menggunkan salah satu di antara dua metode, yaitu metode tarjih atau nasakh dan metode komprehensif atau perpaduan. Fuqaha yang menilai bahwa hadis Busrah itu sahih dan kuat atau hadist ini dianggap sebagai pengganti kedudukan hadist Talaq bin Ali menyatakan bahwa menyentuh zakar itu membatalkan wudhu. Sedangkan ulama yang menilai sebaiknya menyatakan bahwa menyentuh zakar tidak membatalkan wudhu. Sedangkan fuqaha yang menggunakan metode komprehensif menyatakan bahwa menyentuh zakar kadang dapat membatalkan wudhu dan kadang tidak. Atau memahami hadist Busrah sebagai berkonotasi sunnah, sedang hadist Thalaq bin Ali sebagai berkonotasi tidak membatalkan wudhu.

e. Makanan Dan Masakan Membatalkan Wudhu Pada era alaw Islam terdapat perbedaan tentang wudhu seseorang itu batal dikarenakan makan makanan yang masak karena api. Perbedaan itu terjadi karena banyaknya hadis membicarakan masalah ini. Setelah raea pertama Islam, mayoritas fuqaha Amshar sepakat bahwa itu tidak membatalkan wudhu. Sebab empat Khulafaur Rasyidin, menurut mereka juga berpendapat tidakmembatalkan. Pendapat ini juga diperkuat oleh hadist Jabir yang menyatakan:

24

‫سلَّ َم تَر َك‬ ِ َ‫َكان‬ َ ‫آخَّيراَألَم َري ِن ِمن َرسو ُِل هللاِ صلَّى هللا‬ َ ‫ْعلََّي ِه َو‬ )‫(اخرجه أبوداود‬

.‫ت انَّار‬ ِ ‫س‬ َّ ‫الوضو ِء ِم َما َم‬

“Dua perkara yang terakhir dari Rasulullah Saw. adalah tidak berwudhu lantaran makanan yang masak karena api.” (HR. Abu Dawud) Tetapi sebagian ulama ahli hadist, seperti Ahmad, Ishak, dan yang lain, menyatakan bahwa yang membatalkan wudhu itu hanya karena makan daging kambing berdasarkakn ketetapan dan hadis shahih.

f. Tertawa Membatalkan Wudhu Abu Hanifah mengemukakan pendapat yang agak aneh, yaitu bahwa tertawa7 ketika shalat sedang berlangsung, itu membatalkan wudhu, berdasarkan hadist mursal riwayat Abu Aliyah:

‫ْعادَةِ الوضو ِء‬ ِ ‫ض‬ َّ ‫احكوافِي ال‬ َ ‫إ َ َّن قَو ًم‬ َ ِ ‫سلَ َم ِبِإ‬ َ ‫ى ثلَّى هللا‬ َ ‫ْعلََّي ِه َو‬ ُّ ِ‫ص َالةِ فَأ َ َم َرهم الِّنَّب‬ .ِ‫صالة‬ َّ ‫َوال‬ “bahwa suatu kaum tertawa ketika shalat, lalu Rasulullah Saw. memerintahkan kepada mereka untuk mengulangi wudhu dan shalat,” Jumhur ulama menolak hadis ini untuk dijadikan dalil dalam menetapkan hukum, karena nilai hadist ini mursal dan bertentangan dengan kaidah dasar, yakni sesuatu yang membatalkan shalat tidak membatalkan wudhu sekaligus. Nilai hadist di atas asalah mursal dan shahih.

g. Mengusung Mayit Membatalkan Wudhu Ada beberapa Fuqaha yang berpendapat bahwa mengusung mayit itu membatalkan wudhu. Pendapat aneh ini berdasarkan hadist yang menyatakan bahwa:

)‫(اخرجه أبوداود وابن ماجه‬

.‫س َل َم َِّيتًا فَلَّيَغتَسِل َو َمن َح َملَه فَلَّيَت َ َوضَّأ‬ َّ ‫َمن َغ‬

“Barang siapa yang telah memandikan mayat, hendaklah ia mandi, dan barang siapa habis mengusung mayit, hendaknya ia berwudhu.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah) 7

Yang dimaksud adalah tertawa cekakan, bukan tersenyum.

25

Perlu diketahui juga bahwa jumhur ulama juga berpendapat bahwa hilangnya akal sebab apapun, baik itu ayan, gila, atau mabuk, itu membatalkan wudhu. Mereka mengqiyaskan hilangnya akal dengan tidur. Kaarena ketika tidur, hadas biasa terjadi. Pendapat ini sebagai langkah hati-hati yang cenderung memperberat hukum. Sebab, hilangnya akal lebih potensial untuk mendatangkan hadas.

26

BAB III PENUTUP

A.

Simpulan Berwudhu merupakan salah satu cara bersuci menggunakan air. Wudhu

menggunakan air yang suci dan mensucikan yang terkait dengan wajah, tangan, kepala, dan kaki. Tujuan dari berwudhu adalah supaya sah untuk melakaukan shalat dan membersihkan tubuh kita. Wudhu merupakan syarat sahnya shalat dan diterima Allah ‘azza wa jalla. Secara umum, rukun wudhu ialah: Niat wudhu; Membasuh muka/wajah; Membasuh kedua tangan sampai ke siku; Mengusap kepala; Membasuh kedua kaki sampai mata kaki; dan Tertib dan berurutan. Rukun wudhu menurut para imam madzhab yakni: Madzhab Hanafi; rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada empat: 1. Membasuh wajah; 2. Membasuh kedua tangan dengan kedua sikunya; 3. Membasuh kedua kaki dengan kedua mata kakinya; 4. Mengusap seperempat kepala. Madzhab Maliki; rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada tujuh: 1. Niat; 2. Membasuh muka; 3. Membasuh kedua tangan dengan kedua siku; 4. Mengusap seluruh kepala; 5. Membasuh kedua kali dengan mata kaki; 6. Muwalat; 7. Mengurut (mengulang-ulang secara rapi) semua anggota wudhu. Seperti menyela-nyela rambut dari jari jemari. Madzhab Syafii; rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada enam: 1. Niat; 2. Membasuh wajah; 3. Membasuh kedua tangan dengan sikunya; 4. Mengusap bagian kecil dari kepala;

27

5. Membasuh kedua kaki dengan mata kakinya; 6. Tertib (berurutan) Madzhab Hambali; rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada enam: 1. Membasuh wajah; 2. Membasuh kedua tangan dengan sikunya; 3. Mengusap seluruh kepala; 4. Membasuh kedua kai dengan mata kakinya; 5. Tertib; 6. Muwalat. Dalam buku Bidayatul Mujtahid, ada tujuh perakra yang membatalkan wudhu yang diperselisihkan oleh para ulama yaitu: 1) najis dari badan; 2) masalah tidur; 3) batalnya wudhu karena menyentuh wanita; 4) menyentuh zakar; 5) makanan dan masakan membatalkan wudhu; 6) tertawa membatalkan wudhu; dan 7) mengusung mayit membatalkan wudhu.

28

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Al-‘alamah Al-Habib., Intisari FIqih Madzhab Syafi’i, Surabaya: Cahaya Ilmu Publisher, 2011. Al-faifi, Sulaiman., Ringkasan Fikih Sunnah, Jakarta : Beirut Publishing, 2014. Daradjat, Zakiah., Ilmu Fiqih, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995. Hasbiallah., Perbandingan Madzhab, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009. Hasibuan, Pagar., Fiqih Perbandingan dalam Masalah-masalah Aktual, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2012. Rusyd, Ibnu., Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

29

Related Documents

Fpm Gatehouse
November 2019 20
Makalah Kelompok D.docx
November 2019 16

More Documents from "nurlinda"