BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Mikrobiologi merupakan salah satu cabang biologi yang menelaah mengenai organisme hidup berukuran mikroskopis yang meliputi virus, bakteri, protozoa, algae dan fungi. Salah satu yang dipelajari dalam mikrobiologi adalah flora normal dan pathogen dalam tuuh manusia. Manusia secara konstan berhubungan dengan beribu-ribu mikroorganisme. Mikroba tidak hanya terdapat di lingkungan, tapi juga menghuni tubuh manusia. Mikroba yang secara alamiah menghuni tubuh manusia disebut flora normal atau mikrobiota (Pelczar dan Chan, 1988). Mikroorganisme dapat menyebabkan banyak bahaya dan kerusakan. Hal itu tampak pada kemampuannya menginfeksi manusia, hewan serta tanaman, menimbulkan penyakit yang berkisar dari infeksi ringan sampai kematian. Infeksi yang mungkin timbul setelah terjadinya kerusakan jaringan khusus memberi petunjuk mengenai kemungkinan sebab dan pentingnya mikroorganisme pada beberapa infeksi klinis, dan dapat membuat manusia menaruh perhatian lebih besar terhadap infeksi (Pelczar dan Chan, 1988). Flora mikrobia normal adalah sekumpulan mikroorganisme yang hidup pada kulit dan selaput lendir (mukosa) pada manusia normal dan sehat. Kulit dan mukosa selalu dihuni oleh berbagai macam mikroorganisme. Mikroorganisme yang selalu menghuni tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu flora tetap (resident flora) dan flora sementara (transient flora). Flora tetap adalah terdiri dari mikroorganisme jenis tertentu yang biasanya ditemukan pada bagian tubuh tertentu dan pada usia-usia tertentu pula, apabila berubah mereka akan segera kembali seperti semula. Sedangkan flora sementara terdiri atas mikroorganisme non patogen atau potensial patogen yang tinggal di kulit dan mukosa selama kurun waktu beberapa jam, hari, atau minggu. Flora sementara biasanya hanya sedikit asalkan flora tetap masih utuh ada di tempatnya. Namun apabila flora tetap
berubah maka flora sementara akan berkolonisasi, berbiak, dan menimbulkan penyakit (Brooks, Butel, dan Morse, 2005). Flora normal dapat menyebabkan penyakit pada kondisi tertentu (Brooks, Butel, dan Morse, 2005). Sehingga kita harus menjaga kebersihan diri. Menurut Widyati (2002) dalam Sinaga (2011), Hygieneadalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebutberada.
1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu: 1.2.1. Apa itu flora normal? 1.2.2. Apa itu flora patogen? 1.2.3. Apa saja macam-macam flora normal? 1.2.4. Apa saja macam-macam flora patogen?
1.3.
Tujuan Penulisan 1.3.1. Mengetahui pengertian flora normal 1.3.2. Mengetahui pengertian flora patogen 1.3.3. Mengetahui macam-macam flora normal 1.3.4. Mengetahui macam-macam flora patogen
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Flora Normal Flora normal merupakan mikroorganisme yang dapat ditemukan pada bagianbagian tubuh manusia, yang dapat interaksinya dapat berupa mutualisme maupun komensalisme. Keberadaan flora normal berperan sebagai: menutupi tempat penempelan potensial untuk invasi mikroba pathogen, resistensi kolonialisasi, menempati
lingkungan
memproduksi
nutrisi
mikro (vitamin
secara k,
lebih
folat,
efektif
pyridoxine,
daripada biotin,
pathogen, riboflavin),
mengonsumsi nutrisi dari host, sebagai commensals, dan menghasilkan senyawa yang beracun untuk mikroorganisme lain (Davis, 1996).
2.2. Pengertian Flora Patogen Patogen merupakan beberapa jenis mikroorganisme atau organisme lain yang berukuran yang lebih besar yang mampu menyebabkan penyakit. Kemampuan mikroorganisme patogen untuk menyebabkan penyakit tidak hanya dipengaruhi oleh komponen yang ada pada mikroorganisme, tapi juga oleh kemampuan inang untuk melawan infeksi.. Infeksi iniberkembang dalam tubuh manusia yang faktor kekebalan tubuhnya dirusak olehpenyakit lain atau karena terapi antibiotik dan terapi immunosupresif yang berkepanjangan (Davis, 1996).
2.3. Macam-Macam Flora Normal Macam-macam flora normal yang ada pada tubuh manusia yaitu: 2.3.1. Staphylococcus epidermidis Staphylococcus
epidermidis
merupakan
bakteri
yang
bersifatoportunistik (menyerang individu dengan sistem kekebalan tubuh
yanglemah) dan menyebabkan infeksi. Sebenarnya Staphylococcus epidermidis adalah flora normal yang terdapat pada manusia. Pada tubuh yang
sehat,
bakteri
menyebabkan penyakit. menginfeksi,
ini
tidak
Bakteri
ini
membahayakan hanya
sehingga pertumbuhannya
berbahaya
menjadi
tidak
dan
tidak
jika
telah
terkendali.
Seseorang dengan kekebalantubuh yang lemah, antara lain bayi yang baru lahir, penderita AIDS, pengguna narkoba, pasien kritis, dan pasien rumah sakit yang telah menjalani masa perawatan yang lama, Staphylococcus epidermidis dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Nilsson, 1998). Bakteri
ini
adalah
salah
satu
patogen
utama
infeksi
nosokomial,khususnya yang berkaitan dengan infeksi benda asing. Orang yang paling rentan terhadap infeksi ini adalah pengguna narkoba suntikan, bayi baru lahir, lansia, dan mereka yang menggunakan kateter atau peralatan buatan lainnya. Organisme ini menghasilkan glycocalyx “lender” yang bertindak sebagai perekat mengikuti ke plastik dan sel-sel, dan juga menyebabkan resistensi terhadap fagositosis dan beberapa jenisantibiotik. Staphylococcus epidermidis memberikan kontribusi sekitar 65%-90% dari semua staphylococcus yang ditemukan dari flora aerobik manusia . Orang yang sehat dapat memiiliki hingga 24 strain (jenis) darispesies, beberapa di antaranya dapat bertahan di permukaan yang kering untuk waktu yang lama. Hospes bagi organisme ini adalah manusia dan hewan berdarah panas lainnya (Nilsson, 1998)
Berikut adalah gambar Staphylococcus epidermidis:
A. Morfologi Staphylococcus
epidermidis
merupakan
bakteri
yang
seringditemukan sebagai flora normal pada kulit dan selaput lendir manusia. Sthapylococcus epidermidis merupakan salah satu bakteri gram positif berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam rangkaian tidak beraturan seperti anggur dan bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini merupakan penyebab infeksi kulit ringan yang disertai abses (Syarurachman et al.,1994). Bakteri ini juga berperan dalam pelepasan asam oleat, hasil hidrolisisnya oleh lipase yang diduga berpengaruh terhadap perkembangan jerawat (Saising et al., 2008) B. Klasifikasi Sistematika bakteri Sthapylococcus epidermidis (Breed, dkk.,1957) Divisi (Divisio): Eukariota Kelas (Classis): Schizomycetes Bangsa (ordo): Eubacteriales Suku (Familia): Micrococcaceae Marga (Genus): Staphylococcus Jenis (Spesies): Staphylococcus epidermidis
C. Karakteristik (Ciri-Ciri) Staphylococcus epidermidis Staphylococcus
epidermidis
memiliki
karakteristik,antara lain(Jawetz, dkk., 20011) : 1. Bakteri gram positif,koagulase negatif, katalase positif. 2. Aerob atau anaerob fakultatif. 3. Berbentuk bola atau kokus ,berkelompok tidak teratur.
beberapa
4. Berdiameter 0,5 - 1,5 µm. 5. Tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih. 6. Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37ºC 7. Staphylococcus
epidermidis
merupakan flora normal
pada
manusia. 8. Staphylococcus epidermidis terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul
dan
luka.
Dapat
menimbulkan
penyakit
melalui
kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan.
D. Stuktur Antigen Stafilokokus mengandung antigen polisakarida dan protein seperti zat lain yang penting dalam struktur dinding sel. Peptidoglikan, suatu polimer polisakarida
yang
mengandung
subunit-subunit
yang
bergabung memberikan eksoskeleton yang kaku dari dinding sel. Peptidoglikan dirusak oleh asam kuat atau paparan terhadap lisozim. Ini penting dalam patogenesis infeksi : Infeksi akan merangsang pembentukan interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi opsonin oleh monosit, dan ini dapat menjadi penarik kimiawi bagi leukosit polimorfonuklear,
mempunyai
aktivitas
seperti
endotoksin
danmengaktivasi komplemen. Asam teikoat, yang merupakan polimer gliserol atau ribitol fosfat,diikat ke peptidoglikan dan dapat menjadi antigenik. Antibodi asam antiteikoat yang dapat dideteksi mealui difusi gel dapat ditemukan pada pasiendengan endokarditis aktif yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Protein A merupakan komponen dinding sel. Protein A telahmenjadi reagen yang penting dalam imunologi dan teknologi laboratoriumdiagnostik, contohnya protein A yang dilekati dengan
molekul Ig3 terhadap antigen bakteri spesifik akan mengaglutinasi bakteri yang mempunyai antigentersebut (ko-aglutinasi).
E. Patologi Infeksi
Staphylococcus
epidermidis
berhubungan
dengan perangkat intravaskular (katup jantung buatan, shunts, dan lain-lain) , tetapi biasanya terjadi pada sendi buatan, kateter, dan luka besar.
Infeksi
kateter bersama
dengan
kateter-
inducedUTI menyebabkan peradangan serius dan sekresi nanah. Dalam hal ini, buang air kecil sangat menyakitkan. Septicaemia dan endokarditis
termasuk
penyakit
yang
berhubungan
dengan
Staphylococcus epidermidis. Gejala yang timbul adalah demam, sakit kepala, dan kelelahan untuk anoreksia dan dyspnea. Septicemia terjadi akibat infeksi neonatal, terutama ketika bayi lahir dengan berat badan sangat rendah. Sedangkan, endokarditis adalah infeksi katup jantung dan bagian lapisandalam dari otot jantung. Staphylococcus epidermidis dapat
mencemari peralatan
perawatan
pasien
dan
permukaan
lingkungan.
F. Patogenitas Staphylococcus epidermidis terdapat sebagai flora normal pada kulit manusia dan pada umumnya tidak menjadi masalah bagi orang normal yang sehat. Akan tetapi, kini organisme ini menjadi patogen oportunis yang menyebabkan infeksi nosokomial pada persendian dan pembuluh darah. Staphylococcus epidermidis memproduksi sejenis toksin atau zat racun. Bakteri ini juga memproduksi semacam lendir yang memudahkannya untuk menempel di mana-mana, termasuk di permukaan alat-alat yang terbuat dari plastik atau kaca. Lendir ini pula yang membuat bakteri Staphylococcusepidermidis lebih tahan terhadap
fagositosis (salah satu mekanisme pembunuhan bakteri oleh sistem kekebalan tubuh) dan beberapa antibiotika tertentu (Sinaga, 2004). Staphylococcus epidermidis umumnya dapat menimbulkan penyakit pembengkakan (abses) seperti jerawat, infeksi kulit, infeksi saluran
kemih,dan
infeksi
ginjal
(Radji,
2011).
Selain
itu,
Staphylococcus epidermidis Juga dapat menimbulkan infeksi pada neonatus, orang-orang yang system kekebalannya rendah dan pada penderita yang menggunakan alat yangdipasang di dalam tubuh (Hart dan Shears, 2004).
G. Virulensi Kemampuan
untuk
membentuk
biofilm
pada
perangkat
plastik merupakan faktor virulensi utama untuk S. epidermidis. Salah satu penyebabyang mungkin adalah protein permukaan yang mengikat protein darah danmatriks ekstraselular. Ini menghasilkan bahan ekstraselular dikenal sebagaiadhesi polisakarida interselular (PIA), yang terdiri dari sulfat polisakarida Hal ini memungkinkan bakteri lain untuk mengikat ke biofilm yang sudahada, membuat biofilm multilayer. Biofilm tersebut menurunkan aktivitas metabolisme bakteri didalamnya. Ini penurunan metabolisme, dalam kombinasi dengan difusigangguan antibiotik, membuat sulit untuk antibiotik untuk secara efektif membersihkan jenis infeksi. S. epidermidis strain sering resisten terhadap antibiotik, termasuk penisilin, amoksisilin , dan methicillin organisme resisten yang paling sering ditemukan dalam usus, namun organisme hidup bebas di kulit juga bisa menjadi kebal karena paparan rutin terhadapantibiotik disekresi dalam keringat.
H. Penyakit
Staphylococcus epidermidis menyebabkan biofilm tumbuh pada perangkat plastik yang ditempatkan di dalam tubuh. Hal ini terjadi paling sering padaintravena kateter dan medis prostesis . Infeksi juga dapat terjadi pada pasien dialisis atau siapa pun dengan perangkat plastik implan yang mungkin telah terkontaminasi . Hal ini juga menyebabkan endokarditis , paling sering pada pasien dengan katup jantung yang rusak. Dalam beberapa kasus lain, sepsis dapat terjadi pada pasien rumah sakit (Sinaga, 2004). Antibiotik tidak efektif dalam membersihkan biofilm. Pengobatan yang paling umum untuk infeksi ini adalah untuk menghapus atau mengganti implan yang terinfeksi, meskipun dalam semua kasus, pencegahan sangat ideal. Obat pilihan sering vankomisin , yang rifampisin atau aminoglikosidadapat ditambahkan. Mencuci tangan telah terbukti mengurangi penyebaraninfeksi. Penelitian awal juga menunjukkan S. epidermidis secara universal ditemukan di dalam mempengaruhi jerawat vulgaris pori-pori, dimana Propionibacterium acnes biasanya satu-satunya penduduk. Infeksi
Staphylococcus
epidermidis
berhubungan
dengan
perangkat intravaskular (katup jantung buatan, shunts, dll), tetapi biasanya terjadi pada sendi buatan, kateter, dan luka besar. Infeksi kateter bersama dengan kateter-induced UTI menyebabkan peradangan serius dan sekresi nanah. Dalam hal ini, buang air kecil sangat menyakitkan. Septicaemia
dan
endocarditis
termasuk
penyakit
yang
berhubungan dengan Staphylococcus epidermidis. Gejala yang timbul adalah demam, sakit kepala, dan kelelahan untuk anoreksia dan dyspnea. Septicaemia terjadi akibat infeksi neonatal, terutama ketika bayi lahir dengan berat badan sangat rendah. Sedangkan, Endokarditis adalah infeksi katup jantung dan bagianlapisan dalam dari otot jantung.
Staphylococcus epidermidis dapat mencemari peralatan perawatan pasien dan permukaan lingkungan.
2.3.2. Escherichia coli Escherichia Coli pertama kali diidentifikasikan oleh dokter hewan Jerman, Theodor Escherich dalam studinya mengenai sistem pencernaan pada bayi hewan. Pada 1885, beliau menggambarkan organisme ini sebagai komunitas bakteri coli (Escherich 1885) dengan membangun segala perlengkapan
patogenitasnya
di
infeksi
saluran pencernaan.
Nama
“Bacterium Coli” sering digunakan sampai pada tahun 1991. Ketika Castellani dan Chalames menemukan genus Escherichia dan menyusun tipe spesies E. Coli. E.coli merupakan bakteri anaerob fakultatif, dimana bakteri yang dapat hidup tanpa oksigen secara mutlak atau dapat hidup tanpa adanya oksigen, didalam kondisi ini bakteri tersebut aktif, yang memanfaatkan senyawa organik sebagai media tumbuhnya. E. coli (Escherichia coli) adalah bakteri yang biasanya hidup di usus hewan, termasuk manusia. Bahkan, kehadiran E. coli dan jenis lain dari bakteri dalam usus kita perlu untuk membantu tubuh manusia berkembang dengan baik dan tetap sehat. Ada sekitar 100 strain E. coli, sebagian besar yang bermanfaat. Bakteri Escherichia
colidapat
menyebabkan
terjadinya
epidemik
penyakit-penyakit saluran pencernaan makanan seperti kolera, tifus, disentri, diare dan penyakit cacing. Bibit penyakit ini berasal dari feses manusia yang menderita penyakit-penyakit tersebut. Indikator yang menunjukkan bahwa air rumah tangga sudah dikotori feses adalahdengan adanya Eschericha coli dalam air tersebut karena dalam feses manusia baik dalam keadaan sakit maupun sehat terdapat bakteri ini dalam tubuhnya. Bakteri Escherichia coli dapat juga menimbulkan pneumonia, endokarditis, infeksi pada luka dan abses pada organ. Bakteri ini juga merupakan penyebab utama meningitis pada bayi yang baru lahir dan
penyebab infeksi tractor Urinarius (Pyelonephritis cysticis) pada manusia yang dirawat di rumah sakit (infeksi nosokomial). Pencegahannya dilakukan melalui perawatan yang sebaik-baiknya di rumah sakit yaitu berupa pemberian antibiotic dan tindakan antiseptic dengan benar. Berikut adalah gambar bakteri Escherichia coli:
A. Morfologi Escherichia coliumumnya merupakan bakteri pathogen yang banyak ditemukan pada saluran pencernaan manusia sebagai flora normal. Morfologi bakteri ini adalah kuman berbentuk batang pendek (coccobasil), gram negatif, ukuran 0,4 – 0,7 µm x 1,4 µm, sebagian besar gerak positif dan beberapa Strain mempunyai kapsul (Karsinah, H.M. Lucky, Suharto dan H.W. Mardiastuti, 1994). Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk basil, ada yang individu (monobasil), saling berpasangan (diplobasil) atau berkoloni membentuk rantai pendek (streptobasil), tidak membentuk spora maupun kapsula, berdiameter ± 1,1 – 1,5 x 2,0 – 6,0 μm, dapat bertahan hidup di medium sederhana dan memfermentasi laktosa, menghasilkan asam dan gas, kandungan G+C DNA ialah 5051 mol % (Jawetz dkk, 2008). Pergerakan bakteri ini motil, dan peritrikus. Ada yang bersifat aerobik dan fakultatif anaerob. Escherichia coli merupakan flora normal usus, dan seringkali menyebabkan infeksi. Kecepatan
berkembang biak bakteri ini berada pada interval 20 menit jika faktor media, derajat keasaman, dan suhu sesuai. Selain tersebar di banyak tempat dan kondisi, bakteri ini tahan terhadap suhu, bahkan pada suhu ekstrim sekalipun. Suhu yang optimalnya adalah 37 oC. Oleh karena itu, bakteri tersebut dapat hidup dalam tubuh manusia dan vertebrata lainnya (Jawetz dkk, 2008).
B. Fisiologi Escherichia coli adalah kuman oportunitis yang banyak ditemukan
di dalam usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik karena dapat menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare pada anak dan travelersdiarhea. Selama bertahun–tahun Escherichia coli dicurigai sebagai salah satu penyebab diare yang timbul pada manusia
khususnya
pada
anak–anak
yang
mengakibatkan
kematian.Ada dua macam enterotoksin yang diisolasi dari Eschrichia coli yaitu: 1. Termolabil Toksin (LT) Seperti toksin kolera, toksin LT bekerja merangsang enzim adenil siklase yang terdapat didalam sel epitel mukosa usus halus menyebabkan peningkatan aktivitas enzim tersebut dan terjadinya peningkatan permeabilitas sel epitel usus, sehingga terjadi akumulasi cairan dalam usus dan berakhir dengan diare. Toksin LT seperti juga toksin kolera bersifat cytopathis terhadap sel tumor adrenal dan sel ovarium Chinese hamster serta meningkatkan permeabilitas kapiler pada test rabit skin. Kekuatan toksin LT adalah 100x lebih rendah dbandingkan toksin kolera dalam menimbulkan diare. 2. Termostabil Toksin (ST)
Toksin ST adalah asam amino dengan berat molekul 1970 dalton, mempunyai satu atau lebih ikatan disulfda yang penting untuk mengatur stabilitas pH 7 dan suhu 37oC.
C. Klasifikasi Superdomain : Phylogenetica Filum : Proterobacteria Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Family : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia Species: Escherichia Coli
D. Proses-Proses Kehidupan Secara alamiah Escherichia coli merupakan salah satu penghuni tubuh. Penyebaran E. coli dapat terjadi dengan cara kontak langsung ( bersentuhan, berjabatan tangan dan sebagainya ) kemudian diteruskan melalui mulut, akan tetapi E.coli pun dapat ditemukan tersebar di alam sekitar kita. Penyebaran secara pasif dapat terjadi melalui makanan atau minuman. Di dalam uji analisis air, E. coli merupakan mikroorganisme yang dipakai sebagai indikator untuk menguji adanya pencemaran air oleh tinja. Di dalam kehidupan kita E.coli mempunyai peranan yang cukup penting yaitu selain sebagai penghuni tubuh ( di dalam usus besar) juga E. coli menghasilkan kolisin yang dapat melindungi saluran pencernaan dari bakteri patogenik. Escherichia coli akan menjadi patogen bila pindah dari habitatnya yang normal kebagian lain dalam inang, misalnya, bila E. coli di dalam usus masuk ke dalam saluran kandung kemih kelamin dapat menyebabkan sistitis, yaitu suatu peradangan pada selaput lendir organ tersebut.
Escherichia sekarang dianggap sebagai genus dengan hanya satu species yang mempunyai beberapa ratus tipe antigenik. Tipe-tipe ini dicirikan menurut kombinasi yang berbeda-beda antara antigen 0 (antigen lipoporisakaride somatik di dalam dinding sel ), K ( antigen polisakaride kapsul) dan H (antigen protein flagela). tambahan pula antigen K dibagi menjadi antigen L, A atau B berdasarkan pada ciri fisiknya yang berbeda-beda. Galur-galur tertentu dari E. coli mampu menyebabkan gastroenteristis Saraf sedang sampai parah pada manusia dan hewan.
E. Penyakit yang disebabkan Escherichia coli Selain diare, penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh Escherichia coli adalah : infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis pada bayi baru lahir, dan infeksi luka terutama luka didalam abdomen
F. Patogenesis Escherichia coli adalah spesies yang paling penting dari genus Escherichia dan merupakan flora normal yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran kencing, luka, bakterimia, septisemia dan meningitis serta infeksi gastrointestinal (Gaani A, 2003). Sehubungan dengan infeksi pada usus dikenal lima jenis Escherichia coli, yaitu: 1. Enteropathogenik Escherichia coli
(EPEC) EPEC mematuhi enterosit usus kecil, tapi menghancurkan arsitektur
microvillar
normal,
menginduksi
melampirkan
karakteristik dan menonjolkan lesi. Derangements cytoskeletal yang disertai dengan respon inflamasi dan diare.EPEC menyebabkan diare pada bayi atau anak-anak kurang dari 1 tahun dan jarang pada orang dewasa dengan gejala berupa demam tidak tinggi, muntah, malaise dan diare
2. Enterotoxigenik Escherichia coli
(ETEC) ETEC mematuhi enterosit usus kecil dan menyebabkan diare berair oleh sekresi labil panas (LT) dan / atau panas-stabil (ST) enterotoksin ETEC menyebabkan diare pada anak-anak dan dewasa di daerah tropis dan subtropics pada Negara yang sedang berkembang. Infeksi ETEC ditandai dengan gejala demam rendah dan tinja encer.
3. Enteroinvasive Escherichia coli
(EIEC) Menyerang sel epitel kolon, melisiskan yang phagosome dan bergerak melalui sel dengan nukleasi mikro aktin. Bakteri mungkin bergerak lateral melalui epitel dengan langsung menyebar dari sel ke sel atau mungkin keluar dan masuk kembali membran plasma baso-lateral. EIEC menyebabkan diare mirip dengan yang disebabkan oleh shigella, baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Tinja agak encer bahkan seperti air, mengandung nanah, lender dan darah dengan gejala panas dan malaise
4. Enterohemorrhagic Escherichia coli
(EHEC) EHEC juga menginduksi melampirkan dan menonjolkan diri lesi, tetapi dalam usus besar. Fitur yang membedakan EHEC adalah penjabaran dari Shiga toksin (Stx), penyerapan sistemik yang mengarah ke berpotensi mengancam nyawa komplikasi. EHEC dikenal sebagai penyebab diare hemorhagik dan colitis serta hemolytic uremic syndrome (HUS) yang ditandai dengan jumlah trombosit berkurang, anemia hemolitik dan kegagalan ginjal. Tinja encer berair, mengandung darah dan abdomen terasa sakit, kram serta demam rendah atau tanpa demam. Enterohaemorragic
Escherichia coli (EHEC) merupakan tipe EHEC yang terpenting dan berbahaya terkait dengan kesehatan masyarakat.
5. Enterodherant Escherichia coli
(EAEC) Menganut kecil dan besar epitel usus dalam biofilm tebal dan menguraikan enterotoksin sekresi dan sitotoksin. EAEC menyebabkan diare dengfan cara menempel kuat pada permukaan mukosa usus dengan gejala tinja encer berair, muntah, dehidrasi, dan biasanya sakit pada abdomen.
2.3.3. Bacteroides Genus Bacteroides adalah salah satu kelompok bakteri yang jumlahnya predominan dalam tubuh. Genus ini untuk pertama kalinya dideskripsikan pada tahun 1898. Selama bertahun-tahun, Bacteroides merupakan kumpulan tak jelas bakteri anaerob obligat gram negatif dan berbentuk batang plemorfik yang tidak dapat dimasukkan kedalam genus lain. Analisis fisiologik pada genus ini mengungkapkan adanya heterogenitas yang cukup besar, dalam hal sifat biokimiawi, yang menunjukkan bahwa bakteri inibukan merupakan kelompok filogenik yang sejati. Dengan teknik analisa filogenik, sejumlah peneliti berusaha menata ulang kelompok bakteri ini denganmemperhatikan cirri fisiologik, penentuan tipe serologik, penentuan tipe bakteriofaga, analisis lipida, klasifikasi ologonukleotida,
dan dengan membandingkan skuens rRNA 55-16S. berdasarkan informasi ini, anggota lama genus Bacteroides dibagi menjadi tiga genus, yaituBacteroides, Provotella, dan Porphyromonas Berikut
gambar
bacteroides:
A. Klasifikasi Kingdom
: Bacteria
Filum
: Bacteroidetes
Ordo
: Bacteroidales
Familia
: Bacteroidaceae
Genus
: Bacteroides ( Castellani & Chalmers 1919)
Spesies
: B. acidifaciens, B. distasonis, B.oris, B.gracilis, B.
fragilis, B. ovatus, B. putredinis, B. pyogenes, B. stercoris, B. suis, B. tectus, B. thetaiotaomicron, B. vulgates, dan lain-lain. Secara klinik, bakteri gram negatif anaerob padaumumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan koloni mikroskopik, morfologi dengan pewarnaan gram, sensitivitas terhadap antibiotika tertentu, dan uji biokimiawi. Metode yang lebih canggih untuk identifikasi spesies adalah uji biokimiawi lanjut,yaitu inokulasi pada tabung yang berisi karbohidrat dan mengukur pH larutan biakan setelah bakteri tersebut tumbuh, maupun dengan kromatografi gas-cairan (GLC) untuk memerksa hasil akhir berupa asam lemak. Juga tersedia reagens antibody fluoresensi
untuk diagnosis cepat, meskipun pemakaiannya belum tersebar luas diklinik. Penentuan tipe dengan bakteriofaga juga telah dilakukan. Dengan berkemmbangnya teknik baru, homologi DNA telah memberikan cara untuk klasifikasi spesies Bacteroides dengan lebih cermat. Yang dahulu disebut subspesies Bacteroidesfragilis, yaitu B. thetaiotataomicron, B. vulgates, B. distasonis, B. ovalis dan B. uniformis, maupun B. fragilis sendiri, kini dianggap sebagai spesies terpisah, berdasarkan homologi DNA. Homologi DNA juga telah menyebabkan reklasifikasi golongan B. melaninogenicus menjadi enam spesies tersendiri, termasuk B. melaninogenicus, B. intermedius, B. gingivalis, B. denticola, B. loescheii dan B. corporis. Disamping itu,
spesies
Bacteroides
lainnya
meliputi
anggota
golongan
Bacteroides oralis, yaitu B. oris, B. buccae, B. capillus, dan B. pentosaceus. Bacteroidesbivius dan B. disiens merupakan spesies Bacteroides yang baru diakui dan penting pada flora vagina normal. Definisi Bacteroides pada saat ini adalah sebagai berikut, anaerob obligat gram negatif, sakarolitik serta menghasilkan asetat dan suksinat sebagai hasil akhir metabolic yang terpenting, mengandung enzim hexose monophosphate shuntpentose phosphate pathway, mempunyai susunan basa DNA pada kisaran 40-48 mol%GC, membrannya mengandung sfingolipida dan mengandung campuran asam lemak bercabang anteiso-metil dan iso-metil, dan mengandung asam mesodiaminopimelat pada lapisan peptidoglikannya. Definisi ini membatasi Bacteroides pada sepuluh spesies, yaitu B. fragillis, B. thetaiotaomicron, B. vulgates, B. ovatus, B. distasonis, B. uniformis, B. stercoris, B. eggerthii, B. merdae, dan B. caccae,dengan B. fragilis sebagai galur tipe (type
strain). Bakteri Bacteroides,
bersama bakteri Prevotella dan Porphyromonas, membentuk satu subgolongan utama pada filum bakteri Cytophaga-FlavobacterBacteroides. Filum ini berdivergensi sangat dini dalam evolusi turunan
bakteri, dengan demikian bakteri Bacteroides, meskipun merupakan organism gram negatif, tidak mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan bakteri gram negatif golongan enteric seperti Escherichia coli.
B. Karakteristik Dan Morfologi Morfologi bakteri ini adalah batang gram negatif yang rampng atau kokobasil, kebanyakan berkapsul, tidak membentuk spora, dan mungkin bergerak atau tidak bergerak tergantung kepada spesiesnya. Hal yang istimewa pada bakteri ini adalah bawa membrane Bacteroides mengandung sfingolipida dan juga mengandung asam meso-diaminopimelat pada lapisan peptidoglikannya. Contoh : Bacteroides fragilis yang berbentuk batang gram negatif, bersifat pleomorfik dengan vakuola dan penggembungan kapsul. Kira-kira 75% dari seluruh organism B. fragilis yang terlibat pada infeksi adalah yang berkapsul. Bacteroides fragilis merupakan mikroorganisme yang terpenting diantara bakteri anaerob lainnya karena sering menjadi penyebab infeksi di klinik dan resisten terhadap antimikroba (antara lain klindamisin, entromisin, tetrasiklin, kloramfenikol dan ampisilin). Spesies lain yang juga penting adalah Bacteroides melaninogenicus, B. thetaiotaomicron, B. ovatus, B. vulgates, dan B. distasonis.
C. Bacteroides Sebagai Organism Komensal Dalam keadaan normal bakteri Bacteroides bersifat komensal, menempati kolon manusia yang mengandung populasi bakteri yang paling besar dan paling kompleks, bila dibandiingkan dengan bagian tubuh manusia yang terkolonisasi lain. Telah dilaporkan bahwa kolon memiliki kandungan setinggi 1010-1011 sel per gram feses manusia (108per gram untuk anaerob fakultatif). Organism usus terlibat dalam
berbagai kegiatan metabolic pada kolon, termasuk fermentasi karbohidrat, penggunaan senyawa nitrogen, dan biotransformasi asam empedu dan senyawa steroid lainnya. Untuk mempertahankan jumlahnya yang banyak itu, bakteri Bacteroides tampaknya mampu bersaing dengan anggota flora lainnya ataupun dengan organism sementara (transient) dalam menggunakan sumber itu mampu mengganggu serangan sistem imun dengan dua cara, yaitu pertama pembentukan kapsul itu sendiri mampu mengurangi kemampuan sel PMN untuk memfagositosis sel bakteri tersebut, kedua bakteri Bacteroides mampu mengadakan sekresi factor yang belum diketahui cirinya yang mengadakan degradasi protein komplemen, sehingga menghambat kemotaksis PMN ataupun opsonisasi bakteri itu seniri serta bakteri lainnya yang berdekatan. Sejumlah factor virulensi yang diidentifikasi pada spesies Bacteroides diperkirakan memainkan peranan pada pathogenesis infeksi. Factor virulensi tersebut meliputi cirri penambatan (adherence) dan invasi pembentukan enzim atau toksin dan unsure permukaan
(surface
constituents),
terutama
polisakarida
dan
lipopolisakarida kapsular B. fragilis.
D. Penambahan Dan Invasi Beberapa struktur permukaan B. fragilis dan spesies Bacteroides yang didugaa menimbulkan penyakit periodontal, misalnya B. gingivalis, telah diteliti sebagai factor penambatan (attachment factors). Galur B. fragilis yang mampu mengglutinasi eritrosit kavia/marmot serta eritrosit manusia, menambatkan diri in vitro pada iakan yang berasal dari sel epitel cheek epithelial cell lines). Galur yang menambatkan diri, pada pemeriksaan mikroskop electron, ternyata memperlihatkan cirri pewarnaan negatif yang sesuai dengan piliasi (fimbria). Rogemond dan Guinet mengusulkan bahwa
adhesion
(misalnya
lektin),
terbukti
berinteraksi
dengan
glikokonjugat, baik yang larut maupun yang terikat membran, dapat bertindak sebagai factor kolonisasi. Bakteri B. fragilis yang berkapsul melekat dengan baik pada sel mesotel peritoneum tikus, berbeda dengan spesies Bacteroides tanpa kapsul. Penambatan ini dapat dihambat denga polisakarida kapsular. Fimria telah diidentifikasi sebagai factor penambatan yang penting pada B. gingivalis. Fimbria diduga memiliki kemampuan penambatan maupun hemaglutinasi pada organism ini, yang merpakan isolate gingival yang penting pada penyakit periodontal pada manusia. Memurnikan fimria yang ternyata merupakan struktut permukaan yang secara kuantitatif penting, tetapi mereka gagal membuktikan adanya kamampuan hemaglutinasi. Mengisolasi suatu hemaglutinin dari bateri ini yang dapat menimbulkan antibodi. Antibodi tersebut menghambat kemampuan hemaglutinasi organisme tersebut, dan terbukti berikatan dengan permukaan organism. Bila organism itu diwarnai dengan antibody tersebut, akan terlihat kontur (outline) struktur vesicular pada pemeriksaan mikroskop electron. Bacteroides melaninogenicus tampak menambatkan diri kepada bakteri gram positif tertentu invitro, sehingga timbul kemungkinan bahwa kolonisasi mungkin terjadi akibat interaksi antaroganisme residen maupun akibat penambatan langsung kepada permukaan epitel. Pili dan vaksin antipili ternyata memainkan peran protektif yang penting pada penyakit busuk kaki pada domba, yang disebabkan oleh B. nodosus. Proteksi tersebut bersifat spesifik terhadap galur pilus organismenya, sehingga dipercayabahwa struktur permukaan ini merupakan factor penambatan yang penting. Selain sifat hemaglutinasi yang mungkkin memudahkan invasi, peneliti mencatat bahwa B. gingivalis secara spesifik terikat kepada
fibrinogen manusia dan mengadakan degradasi fibrinogen tersebut. Peneliti lainnya mengajukan postulat bahwa pelepasan fosfolipase A oleh B. melaninogenicus dan B. intermedius mungkin mempengaruhi keutuhan membrane sel epitel, dan dengan demikian menimbulkan kerusakan sel intravascular coagulation/DIC atau purpura, yang keduanya merupakan manifestasi endotoksemia yang ditemukan pada spesies akibat batang gram negatif aerob. Namun, terdapat bukti eksperimental bahwa lipopolisakarisa ini merupakan factor virulensi.
E. Patogenesis Meskipun penelitian tentang pathogenesis infksi anaerob sering difokuskan pada suatu spesies saja, penting diketahui bahwa infeksi bakteri anaerob lebih sering disebabkan oleh beberapa spesies anaerob yang bekerja bersama-sama untuk menyebabkan penyakit. Sebagai contoh, ketika bakteri fakultatif anaerob seperti E.coli dijumpai pada tempat infeksi, E.coli akan memakai semua oksigen yang ada sehingga menghasilkan lingkungan yang sesuai bagi Bacteroides dan anaerob lainnya untuk tumbuh. Bacteroides menghasilkan enzim kolagenase, neuraminidase, deoxyribonuclease (DNase), heparinase, dan proteinase yang berperan pada pathogenesis dengan
membantu
mikroorganisme
ini
melakukan
penetrasi
kejaringan dan menimbulkan infeksi setelah operasi atau trauma lainnya. Insidens yang disebabkan oleh mikroorganisme ini dapat diturunkan atau dihilangkan dengan menghindari kondisi yang menyebabkan menurunnya potensial redoks jaringan dan mencegah masuknya bakteri anaerob kedalam jaringan host yang mempunyai resiko. Spesies Bacteroides juga menguntungkan hospesnya dengan mencegah kolonisasi usus oleh pathogen potensial. Beberapa spesies (misalnya B. fragilis) merupakan pathogen oportunisik pada manusia
yang menyebabkan infeksi rongga peritoneum, infeksi bedah gastrointestinal,
dan
apendisitis
dengan
pembentukan
abses,
menghambat fagositosis, dan inaktivasi antibiotika beta-laktam. Meskipun apesies Bacteroides bersifat anaeorob, bakteri ini bersifat aerotoleran sehingga dapat bertahan hidup di dalam rongga abdomen.
F. Manifestasi Klinik Spesies Bacteroides sering dijumpai di berbagai tempat sebagai flora residen dan cenderung terdapat pada rongga abses serta merupakan infeksi campur. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa organism ini ditemukan pada infeksi yang beraneka ragam, mulai dari abses otak, sinusitis serta penyakit periodontal, dan abses intra-abdominal, sampai kepada abses traktur genitalis wanita. Yang paling sering diisolasi adalah grup dari B. fragilis (B. fragilis, B. ovatus, B. distasonis, B. vulgates, B. thetaiotaomicron, B. uniformis), terutama berasal dari infeksi yang berkaitan dengan kontaminasi
isi
kolon.
Beberapa
spesies
dari
grup
B.
melaninogenicus dijumpai pada infeksi traktus genitalis wanita. Bacteroides fragilis merupakan penyebab penyakit inflamasi pada pelvis (pelvic inflammatory disease),selulitis terutama pada pasien diabetes,
dan
kadang-kadang
abses
di
otak
dan
saluran
gastrointestinal. Sindrom klinik yang umum terjadi adalah : pembentukan abses pada tempat yang normalnya steril dan bakterimia Bacteroides fragilis adalah batang gram negative kedua yang paling sering diisolasi dari biakan darah, setelah E.coli, dan merupakan spesies Bacteroides yang paling umum yang terkait dengan bakteremia, yang ditemukan pada 78% biakan. Bila B. fragilis dibiakkan dari darah, sering kali terdapat sumber infeksi local yang terkait, terutama pada abdomen.
Infeksi bakteri anaerob polimikrobik dengan B. fragilis sering menyebabkan abses. Penting dipertimbangkan adanya B. fragilis pada infeksi panggul yang melibatkan abses (misalnya abses tuuboovarial), atau pada infeksi pasca-seksio sesarea atau infeksi pada histerektomi
vaginal.
Salpingitis
atau
endometritis
tanpa
pembentukkan abses kurang sering terkait dengan B.fragilis sebagai pathogen. 1. Infeksi kulit dan jaringan lunak paling sering terkait dengan B.fragilis. bakteri anaerob gram negatif memasuki tempat ini melalui gigitan atau trauma. 2. Traktus respiratorius infeksi polimikrobik juga melibatkan bakteri Bacteroides non-fragilis.
G. Pemeriksaan Laboratorium Bacteroides fragilis dapat dibedakan dengan spesies Bacteroides lainnya dan dengan fusobactorium atas dasar pertumbuhannya pada 20% empedu (yang menghambat kebanyakan spesies Bacteroides dan fusobactorium). Sifat katalase positif, dan Resistensi terhadap kenamisin, vankomisin dan kolistin. Bacteroides fragilis tumbuh sebagai koloni mengkilat berdiameter 1-3 mm yang bersifat nonhemolitik pada lempeng darah. Pada pewarnaan gram, bakteri ini merupakan batang negatif gram yang berwarna pucat dan mungkin bersifat pleomorfi serta warnanya tidak teratur,sifat nya juga aerotoleran.
H. Diagnosis Karakteristik klinis infeksi oleh Bacteroides yang pertama terlihat adalah seperti infeksi anaerob pada umumnya. Karakteristik ini meliputi pengeluaran yang mempunyai bau khas, lokasi infeksi terutama pada permukaan mukosa, jaringan nekrosis, ada gas dalam
jaringan atau dicharge, terdapat hubungan infeksi dengan kanker, ada infeksi karena pemakaian memiliki angka kematian sebesar 60%. Akan tetapi, angka kematian ini dapat diperbaiki dengan pengobatan antimikroba yang tepat. Resistensi terhadap obat antimikroba dapat terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu afinitas yang berubah pada saat peningkatan kepada sasaran, permeabilitas yang menurun terhadap antibiotik yang bersangkutan, atau keberadaan enzim inaktivasi. Bakteri Bacteroides sangat pawai menghindar dari antimikroba dan mungkin menggunakan salah satu atau semua mekanisme diatas untuk mengganggu pengobatan klinik yang efektif. Bakteri Bacteroides pada umumnya resisten terhadap berbagai antibiotika beta-laktam, aminoglikosida, dan akhir-akhir ini banyak spesies yang telah menjadi resisten terhadap eritromisin dan tetrasiklin. Tingkat Resistensi yang tinggi terhadap antibiotika ini menimbulkan kekhawatiran bahwa spesies Bacteroides akan menjadi reservoir resisten untuk jalur bakteri lainnya yang lebih patogenik. Pada tahun-tahun terkahir mulai timbul pemahaman mengenai genetika organisme ini, yang merupakan bidang penelitian penting, dan ringkasannya di buat dengan baik. Plasmid yang mengandung gen resisten terhadap klindamisin, eritromisin termasuk pBF4, pBFTM10 dan pBI136 telah diidentifikasi. Anehnya dua diantara plasmid ini juga membawa gen resisten terhadap tetrasiklin, tetapi tidak terekpresikan pada spesies Bacteroides, namun menimbulkan resisten terhadap tetrasiklin pada Escherichia coli bila organisme itu dibiak dalam keadaan aerob. Telah diidentifikasi pula galur B. Fragilis yang tampaknya membawa gen resisten klindamisin – eritromisin pada kromosom, bukannya pada plasmid.
I.
Pengendalian
Ada dua petunjuk untuk pencegahan terhadap infeksi anaerob, yaitu menghindari suasana yang dapat menurunkan potensial redoks di jaringan dan mencegah bakteri anaerob flora normal ke luka, pada rongga yang tertutup, atau tempat lain yang mempunyai resiko infeksi. Pencegahan denganpengobatan antimikroba efektif pada situasi tertentu.
J.
Prevotella dan Phorpyromonas Bakteri prevotella yang berpigmen, seperti misalnya prevotella melalinogenica dan prevotella intermedia (yang dahulu disebut sebagai kelompok Bacteroides melalinogenicus. Phorpyromonas (misalnya Phorpyromonas asaccharolytika) dan bakteri prevotella yang tidak berpigmen (misalnya prevotella oralis, prevotella pria) merupakan bagian dari flora normal mulut dan vagina, serta merupakan anaerobic gram negatif bacteria (AGNB). Prevotella bi ia dan prevotella disiens (dahulu disebut Bacteroides) adalah penting pada infeksi obsetri dan ginekologi. Habitat bakteri prevotella dan Phorpyromonas pada umumnya berhubungan dengan rongga mulut dan rumen. Phorpyromonas menghasilkan enzim kologenase, neuraminidase,
deoksiribonuklease
(Dnase),
heparinase
dan
proteinase yang mempunyai peran patogenis pada genus Bacteroides.
2.3.4. Moraxella Moraxella (Branhamella) catarrhalis, sebelumnya bernama Neisseria catarrhalis atau Micrococcus catarrhalis, adalah gram-negatif, diplococcus aerobik yang sering ditemukan sebagai komensal saluran pernapasan atas. Selama 20 hingga 30 tahun terakhir, bakteri telah muncul sebagai patogen asli dan sekarang dianggap sebagai penyebab penting infeksi saluran pernapasan atas pada anak-anak dan orang tua yang sehat. Selain itu, M. catarrhalis adalah penyebab penting infeksi saluran pernapasan bawah,
terutama pada orang dewasa dengan penyakit paru obstruktif kronis. Pada host yang immunocompromized, bakteri dapat menyebabkan berbagai infeksi parah termasuk pneumonia, endokarditis, septikemia, dan meningitis. Selain itu, wabah penyakit pernapasan di rumah sakit karena M. catarrhalis sekarang menetapkan bakteri sebagai patogen nosokomial. Karena M. catarrhalis telah lama dianggap sebagai komensal yang tidak berbahaya, relatif sedikit yang diketahui tentang karakteristik patogenik dan faktor virulensinya, meskipun perkembangan dalam bidang penelitian ini telah dipercepat selama 5 tahun terakhir. Munculnya M. catarrhalis sebagai patogen dalam dekade terakhir, bersama dengan meningkatnya prevalensi strain penghasil β-laktamase, telah menarik minat baru pada spesies bakteri ini. Dalam ulasan ini, kami akan merangkum fitur-fitur penting dari organisme ini, dengan fokus pada epidemiologi mikroba, virulensi, imunitas, dan aspek klinis dan molekulerpatogen infeksi yang disebabkan oleh organisme ini. Berikut adalah gambar bakteri Moraxella:
A. Taxonimi Di masa lalu, M. catarrhalis dianggap sebagai anggota nonpathogenik dari flora penduduk nasofaring. Itu adalah salah satu spesies milik apa yang disebut nongonococcal, neisseriae non meningococcal, dianggap sebagai anggota flora normal. Nama spesies telah menyebabkan kebingungan yang cukup besar. Bakteri ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1896 (98) dan disebut Micrococcus
catarrhalis.
Belakangan berganti
nama menjadi
Neisseria catarrhalis. Pada tahun 1963, Berger menunjukkan bahwa genus asli Micrococcus catarrhalis sebenarnya berisi dua spesies yang berbeda yaitu Neisseria cinerea dan N. catarrhalis. Spesies ini dapat dipisahkan berdasarkan hasil reduksi nitrat dan nitrit serta pengujian konversi tributyrin. Karena pemisahan filogenetik yang luas antara N. catarrhalis dan apa yang disebut spesies Neisseria, diamati dengan berbagai metode, bakteri dipindahkan ke genus baru Branhamella. Pada tahun 1984, B. catarrhalis dipindahkan ke genus Moraxella sebagai Moraxella (Branhamella) catarrhalis. Genus ini sekarang mengandung coccoid dan bakteri berbentuk batang, yang terkait secara genetik. Posisi M. catarrhalis dalam kerajaan prokariotik. Banyak ilmuwan lebih suka nama Branhamella catarrhalis, dan dalam beberapa publikasi baru-baru ini nama ini terutama digunakan.
B. Isolasi Dan Identifikasi Isolasi M. catarrhalis dari spesimen klinisdapat diperumit dengan adanya neisseriae nonpathogenik. Media agar selektif telah digunakan untuk mengisolasi M. catarrhalis dengan beberapa keberhasilan. Sebagai contoh, acetazolamide, yang mengurangi pertumbuhan spesies Neisseria ketika digunakan dalam kondisi aerob, dan komponen antimikroba vankomisin, trimetoprim, dan amfoterisin B dapat dimasukkan dalam media agar untuk menghambat pertumbuhan flora normal. Selama bertahun-tahun, kriteria berikut telah digunakan untuk membedakan M. catarrhalis dari spesies bakteri lain: Noda Gram; morfologi koloni; kurangnya pigmentasi koloni pada agar darah; produksi oksidase; Produksi DNase; kegagalan menghasilkan asam dari glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dan fruktosa; pertumbuhan pada 22 ° C pada agar nutrien; kegagalan tumbuh pada medium
Thayer-Martin yang dimodifikasi; dan, akhirnya, reduksi nitrat dan nitrit. Namun, telah ditunjukkan bahwa pertumbuhan pada 22 ° C dan kegagalan tumbuh pada medium Thayer-Martin yang dimodifikasi bukanlah parameter yang dapat diandalkan untuk identifikasi M. catarrhalis menunjukkan bahwa morfologi koloni, pewarnaan Gram, dan produksi oksidase adalah kelompok karakteristik yang tidak cukup untuk memungkinkan identifikasi yang benar dan akhir dari M. catarrhalis dalam kultur yang berasal dari sampel dahak. Namun, perlu dicatat bahwa pewarnaan Gram masih memainkan peran penting baik dalam isolasi bakteri dari bahan klinis dan dalam identifikasi selanjutnya. Dalam pewarnaan Gram yang khas, M. catarrhalis menampilkan dirinya sebagai diplococcus gram negatif dengan sisi berbatasan yang rata. Bakteri memiliki kecenderungan untuk menolak perusakan. Koloni pada agar darah berwarna nonhemolitik, bulat, buram, cembung, dan putih keabu-abuan. Koloni tetap utuh ketika didorong melintasi permukaan agar-agar. Bakteri positif oksidase, tetapi tes tambahan diperlukan untuk identifikasi rutin. Reaksi positif untuk produksi DNase, reduksi nitrat dan nitrit, dan hidrolisis tributyrin adalah karakteristik pembeda yang berharga. identitas M. catarrhalis paling baik dikonfirmasi oleh reaksi positif dalam setidaknya tiga tes yang membedakan ini, karena tidak satupun dari mereka yang 100% sensitif atau spesifik dengan sendirinya. Teknologi DNA modern telah membuka jalan baru untuk mendeteksi M. catarrhalis dalam bahan klinis (mis., Efusi telinga tengah) tanpa perlu kultur bakteri. Secara khusus, tes PCR untuk M. catarrhalis telah dirancang dan digunakan untuk tujuan klinis, dengan deteksi langsung DNA M. catarrhalis oleh PCR yang sesuai dengan kultur dan deteksi endotoksin. Namun, tes DNA menghasilkan hasil yang jauh lebih positif daripada kultur ketika, misalnya, efusi telinga tengah dianalisis, yang menunjukkan sensitivitas superior dari tes
amplifikasi DNA. Relevansi klinis PCR telah divalidasi secara luas dalam model chinchilla untuk otitis media. Model hewan ini berperan dalam menunjukkan pembersihan yang cepat dan efektif efusi yang dimediasi oleh DNA dan bakteri M. catarrhalis yang mati dari celah telinga tengah, menyiratkan bahwa dalam kasus ini hasil PCR positif adalah indikasi adanya bakteri yang hidup. Selain itu, PCR juga telah andal digunakan untuk mendeteksi infeksi campuran dalam model infeksi-eksperimental yang sama, sehingga memperkuat penerapan pendekatan PCR multiplex untuk mendeteksi infeksi bakteri campuran, misalnya dengan M. catarrhalis, Haemophilus influenzae, dan Streptococcus pneumoniae dalam uji amplifikasi tunggal. Pendekatan ini bahkan telah berhasil untuk efusi kultur-negatif. Barubaru ini, evaluasi klinis PCR multipleks spesifik untuk ketiga patogen di atas ditambah Alloiococcus otitidis menunjukkan bahwa diagnostik berbasis efusi DNA yang dapat diandalkan dari efusi telinga tengah dapat dilakukan dalam satu hari kerja tunggal. Selain itu, sensitivitas tes PCR sesuai dengan enam atau tujuh setara genom, menjadikan PCR sebagai uji diagnostik yang tak tertandingi (195). Namun, harus ditekankan bahwa tuntutan teknis PCR masih di luar kapasitas banyak laboratorium mikrobiologi rutin, meskipun perbaikan dalam robotika dan bentuk otomatisasi laboratorium lainnya dengan cepat menjembatani kesenjangan saat ini antara teori dan praktek.
C. Penyakit Dalam Anak M. catarrhalis sekarang dianggap sebagai patogen penting dalam infeksi saluran pernapasan, baik pada anak-anak dan pada orang dewasa dengan COPD yang mendasarinya. Kadang-kadang, bakteri menyebabkan penyakit sistemik misalnya Meningitis. Bakteremia akibat M. catarrhalis harus dipertimbangkan terutama pada anak-anak
yang demam dengan disfungsi imun yang mendasarinya dan infeksi saluran pernapasan atas. Selain itu, M. catarrhalis dapat menjadi penyebab tunggal sinusitis, otitis media, trakeitis, bronkitis, pneumonia, dan, yang lebih jarang, infeksi mata pada anak-anak. Pada
anak-anak,
kolonisasi
nasofaring
sering
mendahului
perkembangan penyakit yang dimediasi M. catarrhalis. Di bawah ini kami merangkum fitur klinis penyakit anak; 1. Radang dalam selaput lender Perkembangan sinus adalah proses yang dapat memakan waktu hingga 20 tahun, meskipun sinus ethmoid dan maksila sudah ada sejak lahir; perkembangan sinus sphenoid dan frontal dimulai pada beberapa tahun pertama kehidupan. Sinusitis adalah infeksi yang sangat umum pada anak usia dini, terhitung sekitar 5 hingga 10% dari infeksi saluran pernapasan atas. Ini sering kurang terdiagnosis pada anak-anak karena gejalanya tidak spesifik. Selain itu, pemeriksaan fisik dan radiologi memiliki nilai yang kecil pada anak-anak, dan diagnosis etiologis membutuhkan pembiakan aspirasi sekresi sinus. Pada sinusitis akut (di mana gejala hadir selama 10 hingga 30 hari) dan penyakit subakut (30 hingga 120 hari).
S. pneumoniae, H. influenzae, dan M.
catarrhalis adalah bakteri patogen bakteri yang paling sering diisolasi. S. pneumoniae ditemukan pada 30 hingga 40% pasien, sementara H. influenzae dan M. catarrhalis masing-masing mencapai sekitar 20% kasus. Menariknya, pada anak-anak dengan asma, distribusi patogen bakteri yang sama ditemukan. M. catarrhalis sebagai patogen dominan pada sinusitis subakut atau kronis (gejala muncul selama lebih dari 30 hari) pada anak-anak dengan
alergi
pernafasan.
Telah
disarankan
bahwa
ada
kemungkinan perkiraan tingkat isolasi yang lebih rendah untuk M. catarrhalis, karena bakteri berhenti tumbuh di lingkungan dengan
konsentrasi oksigen yang berkurang, suatu kondisi yang sering muncul selama sinusitis dan otitis media. Ini akan menunjukkan peran yang lebih besar untuk M. catarrhalis dalam etiologi penyakit menular ini
2. Otitis Media Otitis media akut (OMA) adalah infeksi yang sangat sering terjadi pada anak-anak: sebelum usia 1 tahun, sekitar 50% anak telah mengalami setidaknya satu periode OMA. Proporsi ini naik menjadi 70% pada usia 3 tahun. Tidak diragukan lagi, itu adalah infeksi paling serius dan sering disebabkan oleh M. catarrhalis pada anak-anak, dan karena itu M. catarrhalis menyebabkan morbiditas yang luar biasa dan membutuhkan penggunaan antibiotik secara luas. Meskipun tidak sering ditemui sebagai patogen, M. catarrhalis telah diakui sebagai patogen spesifik dalam OMA selama hampir 70 tahun. Sejak 1980, peningkatan yang nyata telah dilaporkan dalam isolasi M. catarrhalis dari eksudat telinga tengah. Peningkatan isolasi M. catarrhalis menjadi sekitar 15 hingga 20% telah disertai oleh munculnya strain yang memproduksi β-laktamase, yang saat ini mencakup sekitar 90 hingga 95% isolat. Namun, besaran yang tepat dari peningkatan yang jelas dalam tingkat isolasi ini mungkin belum diukur secara memadai , karena tympanocentesis dan kultur cairan telinga tengah tidak dilakukan secara rutin. Patel et al. membiakkan cairan telinga tengah dari 99 anak-anak dengan AOM dan S. pneumoniae yang terisolasi, H. influenzae yang tidak dapat diketikkan, dan M. catarrhalis masing-masing dari 39, 30, dan 25% dari subyek. Sekali lagi, tingkat isolasi untuk M. catarrhalis mungkin menjadi terlalu rendah, mengingat lingkungan yang relatif anaerob dari telinga tengah selama infeksi. Dalam sebuah
penelitian yang menggunakan PCR, DNA M. catarrhalis terdeteksi pada 46,4% spesimen efusi telinga tengah kronis anak , dibandingkan dengan 54,6% untuk DNA H. influenzae dan 29,9% untuk DNA S. pneumoniae. Sebagian besar (48%) spesimen adalah PCR positif dan budaya negatif, sedangkan semua spesimen budaya positif juga PCR positif. Sangat tidak mungkin bahwa spesimen PCR-positif namun kultur-negatif mencerminkan persistensi DNA dari infeksi lama. Tingkat keparahan gejala dan jumlah bakteri dalam cairan telinga tengah tampaknya lebih rendah untuk M. catarrhalis daripada untuk S. pneumoniae atau H. influenza.
3. Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Meskipun infeksi saluran pernapasan bawah pada anak-anak adalah penyebab umum morbiditas dan bahkan mortalitas di antara anak-anak di seluruh dunia, memperoleh diagnosis mikrobiologis
sangat
sulit.
Sebagian
besar
penelitian
menggunakan kombinasi metode mikrobiologis serologis dan konvensional (mis., Berbasis kultur atau PCR). Banyak metode ini hanya digunakan dalam pengaturan penelitian dan tidak selalu dapat diandalkan atau tersedia untuk dokter. Akibatnya, data mengenai peran M. catarrhalis dalam infeksi saluran pernapasan bawah tidak konklusif. Infeksi saluran pernapasan bawah akibat M. catarrhalis tampaknya relatif jarang terjadi selama masa kanakkanak, dengan sebagian besar infeksi terjadi pada anak di bawah usia 1 tahun serokonversi ke M. catarrhalis pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan menengah (laringitis, trakeitis, bronkitis) dan infeksi saluran pernapasan bawah. Mereka menemukan serokonversi hanya pada 4 (5%) dari 76 anak yang memiliki kultur aspirasi nasofaring positif M. catarrhalis-positif
dibandingkan dengan 4 (1%) dari 373 anak yang memiliki kultur negatif. Menurut hasil mereka, M. catarrhalis tidak mungkin menjadi penyebab infeksi ini pada anak-anak. Namun, berbeda dengan temuan ini, beberapa penelitian lain memang melibatkan M. catarrhalis pada infeksi saluran pernapasan bawah pada anakanak. Pertama, M. catarrhalis telah diisolasi dalam kultur murni dari sekresi yang diperoleh dengan aspirasi trakea pada neonatus, bayi,
dan
anak-anak
dengan
pneumonia
.
Displasia
bronkopulmonalis yang mendasari telah disarankan sebagai faktor predisposisi dalam kasus ini . Kedua, dalam penelitian prospektif yang menggabungkan kriteria mikrobiologis dan klinis, M. catarrhalis diidentifikasi sebagai patogen pernapasan yang signifikan pada anak-anak . Ketiga, respon antibodi lokal dan sistemik terhadap infeksi M. catarrhalis telah didokumentasikan dalam beberapa penelitian. Pneumonia pada anak-anak dapat dipersulit oleh bakteremia dengan M. catarrhalis . Misalnya, Ioannidis et al. telah mempresentasikan data tentang 58 kasus bakteremia M. cattarhalis, termasuk kasus pada 28 anak yang lebih muda dari 12 tahun. Sebagian besar pasien (sekitar 70%) memiliki penyakit yang mendasari (keganasan dan / atau neutropenia, gangguan saluran pernapasan yang mendasari), dan infeksi saluran pernapasan terkait diidentifikasi pada setengah dari pasien. Pada anak-anak dengan bakteremia, lesi kulit seperti ruam purpura dan petekie sering terjadi. Dari 58 pasien, 12 meninggal (21%), termasuk 4 dari 5 pasien dengan endokarditis dan 4 dari 7 pasien yang tidak menerima terapi. Kesimpulannya, meskipun literatur saat ini tidak memberikan jawaban yang pasti, data yang tersedia menunjukkan bahwa M. catarrhalis dapat terlibat dalam infeksi saluran pernapasan bawah pada anak-anak.
D. Penyakit Dalam Dewasa M. catarrhalis telah dikaitkan dengan berbagai sindrom klinis pada orang dewasa; yang paling sering dibahas secara lebih rinci di bawah ini. Namun, harus ditekankan bahwa M. catarrhalis juga dapat memanifestasikan dirinya sebagai patogen dalam lingkungan nosokomial. Infeksi yang jarang tetapi sangat serius dan sering mematikan dengan M. catarrhalis tampaknya endokarditis. 1. Pneumoniae M. catarrhalis bukan penyebab umum infeksi saluran pernapasan bagian bawah pada orang dewasa yang sehat. Namun, bakteri menyebabkan infeksi paru dalam tiga pengaturan klinis yang terpisah pada pasien PPOK, pneumonia pada orang tua, dan sebagai patogen saluran pernapasan nosokomial. M. catarrhalis adalah penyebab umum eksaserbasi pada COPD. Dalam COPD dan otitis media, hanya S. pneumoniae dan H. influenzae yang tidak dapat diisolasi lebih sering daripada M. catarrhalis, namun frekuensi isolasi M. catarrhalis dari sputa telah meningkat selama 10 hingga 15 tahun terakhir. Peningkatan ini tidak dapat dianggap berasal dari peningkatan kesadaran di laboratorium . Satu studi telah menunjukkan M. catarrhalis menjadi patogen tunggal yang paling terisolasi dalam COPD . Meninjau semua kultur saluran pernapasan
yang dilakukan
selama periode 42 bulan dan mengidentifikasi M. catarrhalis di dari kultur ini. Dalam penelitian ini, M. catarrhalis ditemukan menjadi patogen saluran pernapasan kedua yang paling umum diisolasi setelah H. influenzae yang tidak dapat diketemukan tetapi berperingkat sebelum S. pneumoniae. Selain itu, ini dan banyak penulis lain menunjukkan musim yang mencolok, dengan musim dingin dan musim semi adalah periode dengan insiden isolasi M. catarrhalis terbesar. Pola ini tidak ditemukan dengan S.
pneumoniae atau H. influenzae. Infeksi saluran pernapasan virus sebelumnya yang disebabkan oleh virus syncytial pernapasan, misalnya, bisa menjadi faktor dalam variasi musiman yang telah diamati dengan infeksi M. catarrhalis, meskipun hipotesis ini tetap belum diuji . Gambaran klinis khas infeksi pernapasan M. catarrhalis adalah infeksi trakeobronkitis, disertai batuk dan produksi dahak purulen. Pneumonia yang disebabkan oleh M. catarrhalis cenderung merupakan penyakit yang relatif ringan. Ini berbeda dari bronkitis dengan adanya infiltrat lobus sebagian besar pada sinar X dada . Demam tinggi, nyeri pleuritik, dan keadaan toksik jarang terjadi, seperti halnya empiema dan bakteremia meninjau 15 kasus pneumonia bakteremia karena M. catarrhalis yang telah dilaporkan dalam literatur. Kasus-kasus ini (sembilan pada orang dewasa dan enam pada anak-anak) sama dalam karakteristik dan gejala klinis dengan yang dijelaskan untuk pasien dengan bronkitis atau pneumonia tanpa bakteremia. Tingkat kematian untuk kasus bakteri ini adalah 13,3%. Menggambarkan spektrum klinis bakteremia M. catarrhalis pada 58 pasien. Faktor predisposisi terdapat pada lebih dari 70% pasien dan termasuk neutropenia, keganasan, dan gangguan pernapasan, baik sendiri atau dalam kombinasi. Dalam penelitian ini, ruam makulopapular tampaknya merupakan gejala yang relatif jarang dan paling sering terlihat pada pasien dengan neutropenia. Mortalitas tinggi (29%) di antara pasien dengan penyakit pernapasan yang mendasarinya, dan infeksi lebih parah ketika pasien koinfeksi dengan patogen saluran pernapasan lainnya. Angka kematian secara keseluruhan terkait dengan infeksi pernapasan tampaknya relatif rendah . Meski begitu, pneumonia M. catarrhalis sering terjadi pada pasien dengan penyakit paru-paru stadium akhir atau penyakit ganas, dan
mortalitas jangka pendek pada beberapa kategori pasien setinggi 45% . Sebagian besar pasien adalah lansia (lebih dari 65 tahun), dan 90 hingga 95% pasien memiliki penyakit kardiopulmoner yang mendasarinya , dengan COPD hadir pada sebagian besar kasus.
Banyak
pasien
tampaknya
mengalami
malnutrisi.
Persentase besar (> 70%) adalah perokok atau exsmokers. Lakilaki tampaknya berisiko lebih besar daripada perempuan, meskipun pengamatan ini dapat dikacaukan oleh, misalnya, kebiasaan merokok. Penelitian
terhadap
kolonisasi
dan
infeksi
pasien
bronkiektasis dengan M. catarrhalis dari waktu ke waktu telah mengindikasikan bahwa sebagian pasien (sekitar 20%) tampaknya secara kolonisasi dijajah dengan M. catarrhalis, kadang-kadang secara berurutan dengan empat strain berbeda. Hubungan sebab akibat antara isolasi bakteri dan eksaserbasi tidak dapat dibuktikan, meskipun kehadirannya dalam sebagian besar pasien menunjukkan peran kausal. Organisme tambahan juga dapat diisolasi dari sekitar 40 hingga 50% dari biakan dahak; dalam banyak kasus, S. pneumoniae atau H. influenzae diisolasi. Karena beberapa alasan, penting untuk mendefinisikan peran M. catarrhalis dalam infeksi campuran ini, terutama berkenaan dengan manajemen pasien yang memadai dan terapi antibiotik spesifik. Pada infeksi campuran dengan S. pneumoniae, misalnya, haruskah pengobatan untuk M. catarrhalis
dipertimbangkan
sama
sekali,
atau
dapatkah
pengobatan antibiotik ditargetkan pada pneumococcus saja.
2. Infeksi Nosokomial Bahwa infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh M. catarrhalis telah disarankan oleh beberapa penelit. Di masa lalu telah sulit untuk mengkonfirmasi penyebaran organisme di antara pasien yang dirawat di rumah sakit, karena kurangnya sistem pengetikan yang dapat diandalkan. Selain itu, karena penyakitnya ringan, penyebaran nosokomial dapat diabaikan atau diabaikan begitu saja. Menggunakan analisis restriksi endonuklease untuk mengkonfirmasi wabah di unit rumah sakit. Strain dari lima pasien dan dua anggota staf menghasilkan pola genotipe yang identik ketika teknik ini digunakan. Selama penyelidikan wabah putatif lain, immunoblotting dengan serum manusia normal dikombinasikan dengan analisis endonuklease restriksi untuk jenis M. catarrhalis strain. Enam isolat M. catarrhalis dari sekelompok infeksi yang melibatkan lima pasien dalam unit pernapasan terbukti identik satu sama lain dan berbeda dari strain yang tidak terkait dari institusi yang sama . Kedua metode memberikan diskriminasi yang baik antara strain, tetapi mereka tidak selalu sepakat sepenuhnya. Dengan demikian, penggunaan lebih dari satu teknik pengetikan direkomendasikan. Pilihan lain yang bermanfaat adalah pembatasan analisis endonuklease dengan beberapa enzim, bukan hanya satu. Kendaraan yang jelas penyebaran bakteri belum diidentifikasi dalam pengaturan klinis. Penyebaran nosokomial M. catarrhalis menjadi umum, terutama di bangsal pernapasan. Mereka juga menunjukkan bahwa kontaminasi yang cukup besar terhadap lingkungan dengan M. catarrhalis dapat terjadi, menyiratkan kemungkinan mode penyebaran yang dimediasi aerosol. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan penting masih harus dijawab sehubungan dengan penyebaran nosokomial M. catarrhalis, termasuk identifikasi reservoir infeksi dan cara penularannya. Penularan dari orang ke orang dan menyebar dari sumber lingkungan telah terlibat dalam penularan nosokomial berdasarkan bukti tidak langsung; kemungkinan signifikansi adalah pengamatan bahwa bakteri mampu bertahan
dalam dahak yang dihilangkan selama setidaknya 3 minggu. Sekolah pembibitan adalah situs di mana pertukaran strain sering terjadi. Data awal memang mengungkapkan bahwa ini memang mungkin penting dalam epidemiologi pengangkutan M. catarrhalis (pengamatan tidak dipublikasikan).
Radang tenggorokan M. catarrhalis adalah spesies bakteri yang paling umum diisolasi dari pasien dewasa dengan radang tenggorokan. Bahwa dari 40 orang dewasa dengan penyakit ini, 22 orang terinfeksi oleh M. catarrhalis, dibandingkan dengan 0 dari 40 orang dewasa yang sehat. Meski begitu, peran pasti M. catarrhalis, baik sebagai pengamat yang tidak bersalah atau sebagai mikroorganisme kausal dalam patogenesis laringitis dewasa, tidak sepenuhnya dipahami.
e Perlawanan Komplemen Resistensi komplemen dianggap sebagai faktor virulensi penting dari banyak bakteri gram negatif, yang dapat menjelaskan mengapa bakteri gram negatif yang diisolasi dari darah sebagian besar resisten terhadap komplemen; strain ini juga sangat berhasil dalam membangun model infeksi hewan. Secara umum, galur kasar bakteri gram negatif, yang memproduksi LPS tanpa rantai samping spesifik O, sangat rentan terhadap pembunuhan yang dimediasi C5b-9 sedangkan galur halus, yang mensintesis LPS lengkap, seringkali resisten terhadap komplemen . Karena LPS dari M. catarrhalis adalah tipe kasar , itu mungkin tidak memainkan peran utama dalam resistensi komplemen. Namun, Zaleski et al. Baru-baru ini menunjukkan bahwa inaktivasi galE, sebuah gen yang mengkode UDP-glukosa-4-epimerase yang terlibat dalam biosintesis epitop LOS Galα1-4Galβ1-4Glc, menghasilkan peningkatan kerentanan terhadap pembunuhan yang dimediasi serum. Rupanya, struktur LOS menyimpang membuat strain lebih rentan terhadap serangan komplemen. Rincian struktural yang memfasilitasi
interaksi ini masih belum diketahui. Mengingat bahwa resistensi komplemen dianggap sebagai faktor virulensi penting dari neisseriae , kesamaan antara anggota neisseriae dan M. catarrhalis menjadikan resistensi komplemen dan mekanisme yang mendasari subjek penting untuk studi lebih lanjut. Relevansi klinis resistensi komplemen ditunjukkan untuk sekelompok strain yang diisolasi dari sputa orang tua. Resistensi komplemen dapat dianggap sebagai faktor virulensi M. catarrhalis: sebagian besar strain (89%) yang diisolasi dari infeksi saluran pernapasan bawah resisten terhadap pembunuhan yang dimediasi oleh komplemen, sedangkan strain dari saluran pernapasan atas anak-anak sebagian besar sensitif. Beberapa penulis lain telah menguji strain M. catarrhalis untuk resistensi komplemen. Strain tahan komplemen menghambat jalur terminal komplemen, yaitu, pembentukan kompleks serangan membran komplemen. Pengikatan vitronektin manusia, penghambat jalur terminal komplemen, tampaknya memainkan peran penting dalam resistensi komplemen M. catarrhalis . Pada pengikatan vitronektin manusia terhadap strain M. catarrhalis yang resisten dan komplemen ditunjukkan. HMW-OMP, juga dikenal sebagai protein permukaan A di mana-mana (terdiri dari dua protein terpisah, UspA1 dan UspA2. Memang, telah ditunjukkan bahwa vitronectin berikatan dengan UspA2 . Lebih lanjut, strain mutan UspA2 dari M. catarrhalis sensitif terhadap pembunuhan yang dimediasi oleh komplemen, sedangkan strain induk dan mutan isogenik dengan mutasi pada UspA1 resisten.
2.3.5. Pertusis
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh berdetellah pertusis (Nelson,
2000 : 960). Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh berdetella pertusisa, nama lain penyakit ini adalah Tussisi Quinta, whooping cough, batuk rejan. (Arif Mansjoer, 2000 : 428) Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis, nama lain penyakit ini adalah tussis Quinta, whooping cough, batuk rejan.
B. Penyebab
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis yang berbentuk batang gram
o
negatif, tidak berspora, berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50 C tetapi
o
o
bertahan pada suhu 0 – 10 C. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran pernapasan (Cahyono dkk, 2010) C. Gejala Pertusis biasanya mulai seperti pilek saja, dengan hidung beringus, rasa lelah dan adakalanya demam parah. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan batuk, diikuti dengan tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita muntah setelah batuk. Pertusis mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka mungkin menjadi biru atau berhenti bernapas ketika serangan batuk dan mungkin perlu ke rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa mungkin menderita penyakit yang kurang serius, dengan serangan batuk yang berlanjut selama berminggu-minggu tanpa memperhatikan perawatan.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100% batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65% mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan setelah munculnya gejala. Sehingga bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan terlambat mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat akibat batuk nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20% dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau
muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan memberikan profilaksis. Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
Stadium kataralis (1-2 minggu) Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi
Stadium paroksismal/stadium spasmodic Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.
Stadium konvalesens ( 1-2 minggu) Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk
paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang. (Republika,2003) D. Patofisiologi Bordetella merupakan kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat kecil yang tumbuh secara aerobik pada darah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energi dan arang atau resin siklodekstrin untuk menyerap bahan-bahan berbahaya. Spesies Bordetella memiliki bersama tingkat homologi DNA yang tinggi pada gena virulen. Hanya B. Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP). Protein virulem utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalang spesifik untuk B. Pertusis. Serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu. Bordetella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3), dan protein permukaan nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor demonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit). Beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositisis segera pada binatang percobaan dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis. (Nelson, 2000)
E.
Stadium Penyebaran 1. Stadium Kataral (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan common cold. (Soedarmo, 2010). Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi (Soedarmo, 2010). Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel (James, 2005).
2. Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu) Selama stadium ini frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5 sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop) akibat udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan, muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda kecurigaan
apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik (Soedarmo, 2010). Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun bayi tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal terjadi pada pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak bersuara whoop, hanya ada batuk ngikil yang bertahan lama. Anak yang sudah divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang lebih ringan, tetapi bisa menular (Soedarmo, 2010). Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama
serangan, muka penderita menjadi merah atau sianotis, mata tampak menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah. Pada akhir serangan, penderita sering sekali memuntahkan lendir kental. Batuk mudah dibangkitkan oleh stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktifitas fisik (Irawan dkk, 2008). Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas di kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah,perdarahan subkonjungtiva dan sklera bahkan ulserasi frenulum lidah (Irawan dkk, 2008).
Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan seperti biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan berangsur –angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang (Irawan dkk, 2008). 3. Stadium Konvalesen / Penyembuhan (1 sampai 2 minggu) Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 sampai 3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang. F. Penularan dalam Tubuh Terjadinya infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan dalam tubuh
mengakibatkan
tseseorang
menderita
pneumonia.Tanda
yang
menunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres pernapasan secara cepat. Seseorang dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Dengan keadaan yang lemah akibat menderita penyakit pertusis maka tubuh akan kurang mampu menerima asupan makanan, vitamin, mineral dan lain sebagainya. Sehingga hal ini akan memperburuk keadaan tubuh maka akan berdampak pada status gizi seseorang. Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Seseorang yang menderita pertusis biasanya mengalami batuk yang sangat kuat sehingga akan memicu terjadinya penyakit hernia umbilikalis atau inguinalis. Gejala hernia umbilikalis adalah adanya tonjolan pada atau di dekat daerah
pusar, dapat pula dirasakan nyeri atau tekanan pada perut, tonjolan bisa bertambah keluar terutama bila penderita batuk atau mengejan. Pada saluran pernafasan biasanya akan terkena dampaknya jika infeksi saluran nafas atas yang menyebar ke bagian bawah dan menyebabkan timbulnya pus pada bronki, kental sulit dikeluarkan berbentuk gumpalan yang menyumbat satu atau lebih bronki besar, udara tidak dapat masuk kemudian terinfeksi dengan bakteri. Paling sering terjadi dan menyebabkan kematian pada anak dibawah usia 3 tahun terutama bayi yang lebih muda dari 1 tahun. Gejala ditandai dengan batuk, sesak nafas, panas, pada foto thoraks terlihat bercak – bercak infiltrat tersebar. Karena batuk hebat kuman masuk melalui tuba eustaki yang menghubungkan dengan nasopharing, kemudian masuk telinga tengah sehingga menyebabkan otitis media. Jika saluran terbuka maka saluran eustaki menjadi tertutup dan jika penyumbatan tidak dihilangkan pus dapat terbentuk yang dapat pecah melalui gendang telinga yang akan meninggalkan lubang dan menyebabkan infeksi tulang mastoid yang terletak di belakang telinga. Batuk yang mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lendir jernih yang kemudian berubah menjadi purulen. Purulen tersebut jika terus bertambah maka akan menyumbat bronkioli. Sehingga seseorang akan menjadi atelektasis. Atelektasis (Atelectasis) adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus). Kemudian setelah seseorang mengalami penyumbatan saluran udara secara berlebihan dan disertai batuk yang hebat sehingga alveoli pecah maka seseorang akan mengalami emphisema Pulmonum. Toksin (racun) pertusis dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain dalam tubuh, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung
akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak. Penyakit pertusis memberikan dampak yang cukup berbahaya pada saluran pencernaan. Seseorang dengan pertusis maka akan mengalami batuk yang biasanya diakhiri dengan suara pernapasan dalam bernada tinggi atau melengking serta muntah-muntah yang berat sehingga jika ini terus terjadi maka seseorang dapat menderita emasiasi. Jika seseorang terus menerus mengalami batuk yang sangat hebat maka menyebabkan tekanan venous meningkat, kapiler pecah, epistaksis, perdarahan sub conjungtiva serta malnutrisi karena anoreksia dan infeksi sekunder. (Nelson,2000) G. Cara Pencegahan Cara terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) untuk bayi, anak-anak, ataupun dewasa adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, kita juga harus menjaga diri dari orang yang terinfeksi pertusis (cdc.org). Di Indonesia, vaksin yang direkomendasikan untuk bayi dan anak-anak adalah vaksin DPT. Vaksin tersebut merupakan kombinasi vaksin yang berguna untuk melindungi tubuh dari tiga jenis penyakit, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin tersebut terdiri dari lima kali injeksi, dimana vaksin tersebut diberikan pada bayi dan anak-anak pada usia dua bulan, empat bulan, enam bulan, 15 – 18 bulan, dan 4 – 6 tahun (mayoclinic.org). Efek samping dari vaksin tersebut termasuk ringan, seperti demam, sensitive atau mudah tersinggung, sakit kepala, serta nyeri atau rasa pegal ditempat yang disuntik (mayoclinic.org). Booster Shots
Remaja Karena kekebalan dari vaksin pertusis cenderung menurun pada usia 11 tahun. Hal itu menyebabkan dokter merekomendasikan untuk memberikan
booster shot pada umur tersebut untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh dari penyakit pertusis, dipteri, dan tetanus,
Dewasa Umumnya vaksinasi DPT dapat memberikan kekebalan tubuh selama 10 tahun. Sehingga dokter menyarankan untuk memberikan booster shot saat dewasa untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh. Selain itu, pemberian vaksin DPT pada saat dewasa dapat mengurangi risiko penularan pertusis dari orangtua ke anak/bayi.
Ibu Hamil Saat ini, para ahli kesehatan menyarankan para wanita hamil untuk menerima vaksin DPT pada usia kehamilan antara 27 – 36 minggu. Hal ini bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi selama beberapa bulan pertama kehidupan. NAMA PENYUSUN
NI KOMANG (171200215)
2.3.6. Clostridium Tetani A. Taksonomi
SRI
HANDAYANI
Adapun klasifikasi pada bakteri ini adalah :
Kingdom
: Bacteria
Division
: Firmicutes
Class
: Clostridia
Order
: Clostridiales
Family
: Clostridiaceae
Genus
: Clostridium
Species
: Clostridium tetani
Tetanus yang sungguh sudah dikenal oleh orang-orang yang dimasa lalu, yang dikenal karena hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik syaraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang
fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, C.tetani terisolasi dari suatu korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama perang dunia keII. (Anonim,1997)
A. Epidemiologi
Tetanus sudah sangat jarang dijumpai di negara yang telah maju sperti Amerika Serikat, dikarenakan imunisasi aktif yang telah dilaksanakan dengan baik, di samping sanitasi lingkungan yang bersih. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, pemyakit ini masih banyak dijumpai karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan. Perawatan luka yang kurang higienis, serta kurangnya kekebalan terhadap tetanus. Penyakit tetanus biasanya timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah dan dengan kebersihan dan perawatan luka yang buruk.
Tetanus terjadi di seluruh dunia dengan insiden yang sangat bervariasi. Bentuk yang paling sering ialah tetanus neonatorum yang memb unuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi setiap tahun karena ibu tidak diimunisasi. Lebih dari 70% kematian ini terjadi pada sekitar sepuluh negara Asia dan Afrika. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya bayi <12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%. Lagipula diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang
tidak terimunisasi men inggal setiap tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari infeksi C.tetani pada luka paska partus, paska abortus, atau bedah. Sekitar 50 kasus tetanus dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat, kebanyakan pada orang-orang umur 60 tahun atau lebih tua, tetapi seusia anak belajar jalan dan kasus neonatus juga terjadi.
Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas traumatis, sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril. Tetanus paska injeksi obat terlarang menjadi kasus yang sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses, pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronik, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkontaminasi atau setelah injeksi intramuskuler obat-obatan. (Anonim,1997) B. Morfologi Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk eksotoksin yang disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic berspora, mengeluarkan eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia. Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10– 15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. (Anonim,1997) C. Cara penularan
Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit infeksi yang penting baik dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang masih tinggi . Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang biasa mendatangkan kematian. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia dan binatang. Infeksi ini muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari. Di dalam luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Clostridium tetani berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat. Toksin ini akan mencapai system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke bagian anterior spinal cord. Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:
Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas
Luka baker tingkat 2 dan 3
Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya
Luka-luka di bawah kuku
Ulkus kulit yang iskemik
Luka bekas suntikan narkoba
Bekas irisan umbilicus pada bayi
Endometritis sesudah abortus septic
Abses gigi
Mastoiditis kronis
Ruptur apendiks
Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja (Fluit, C. 2001)
D. Gejala Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1. 2. 3. 4. 5.
Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erektor trunki) Ketegangan otot dinding perut Kejang tonik terutama bila dirangsang (karena toksin yang terdapat di kornu anterior) Risus sardonikus, karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi) 6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan 7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuaty. Anak tetap sadar. Spasme mjula-mula intermiten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan seranga tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuskulus karena kontraksi yang kuat. 8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktura kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat. 9. Demam biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir. 10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan intrakranial.
Ada 3 bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni: 1.
Localited tetanus (tetanus local) Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal ini merupakan tanda dari tetanus local. Kontraksi otot btersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi genelarized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian.
Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin. 2.
Cephalic tetanus ( tetanus sefalik ) Cephalic Tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
3.
Generalized tetanus (tetanus umum) Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang paling sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masetter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicua (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan perdarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takikardi, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. Selain itu terdapat juga bentuk lain yang disebut Tetanus Neonatorum. Tetanus Neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus bentuk ini terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.6 Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium :
1. Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang. 2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang. 3. Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umum spontan.
1. Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia. 2. Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan lebih dari 30, disfagia ringan. 3. Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120. 4. Derajat IV (sangat berat) : Derajat 3 dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap. (Fluit, C. 2001)
F. Patogenesis Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang atau pupuk. Biasanya penyakit terjadi setelah luka tusuk yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng, atau luka tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar, dan patah tulang terbuka juga akan megakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan C. Tetani ini. Walaupun demikian, luka-luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan porte d’entree dari C. Tetani. Juga sering ditemukan telinga dengan otitis media perforata sebagai tempat masuk C. Tetani. Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada linkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi 2 macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf
otonom. Pada masa pertumbuhan eksotoksin diproduksi, yang diserap oleh liran darah sistemik dan serabut saraf perifer. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Hipotesis mengenai cara absorbsi dan bekerjanya toksin : 1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke kornu anterior susunan saraf pusat 2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangat mudah diikat oleh jaringan saraf dan bila dalam keadaan teikat, tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin. Eksotoksin dari Clostridium tetani dipisahkan menjadi 2 yaitu Tetanolisisn dan Tetanospasmin. Tetanolisin yang mampu secara local merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat terika pada membrane saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanopasmin yang dilepas akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retroged ke dalam badan sel batang otak dan saraf spinal.
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade pelepasan neurotransmitter inhibitori yaiutu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneron yang mneghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah neurotransmitter dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mnegakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuscular. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme intermitten dan serangan autonomik, masih belum jelas. Efek prejungsional dari ujung neuromuscular dapat berakibat kelemahan diantara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf cranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, dan myopati yang tersedia setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid. Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muscular, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlihat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan kanan dan kaki relatif jarang terlibat. Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama. Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka
memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urusan keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepid an pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi resinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmitter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai dari tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trimus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekauan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sisem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pernafasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti. (Fluit, C. 2001) G. Pencegahan Pencegahan merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan dengan cara : a. imunisasi aktif dengan toksoid b. perawatan luka menurut cara yang tepat c. penggunaan antitoksi profilaksis Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan denganpemberian
imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif (DPT atau DT). (Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran) H. 1.
Pengobatan Antibiotika Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30 - 40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2.
Antitoksin Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 30006000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
3.
Tetanus Toksoid Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. 4.
Antikonvulsan Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang kronik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM) Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) (Fluit, C. 2001)
Kesimpulan Bakteri merupakan makhluk hidup yang terdapat dimana-mana, dalam udara yang kita hirup, di tanah yang kita pijak dan tentu saja dalam tubuh kita. Bahkan sebenarnya, kita sepenuhnya hidup ditengah-tengah dunia bakteri yang tidak tampak. Bakteri berasal dari kata Bakterion (yunani = batang kecil). Di dalam klasifikasi, bakteri digolongkan dalam Divisio Schizomycetes. Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri Clostridium tetani dapat menyebabkan penyakit tetanus. NAMA PENYUSUN
NI KOMANG SRI HANDAYANI (171200215)
2.3.7. Morfologi Vibrio cholera Vibrio cholera merupakan bakteri gram negatif, berbentuk basil (batang) dan bersifat motil (dapatbergerak), memiliki struktur antogenik dari antigen flagelar H dan anti genso matik O, gammaproteobacteria, mesofilik dan kemoorganotrof, berhabitat alami dilingkungan akuatik dan umumnya berasosiasi dengan eukariot. Spesies Vibrio kerap dikaitkan dengan sifat patogenisitasnya padamanusia, terutama V.Cholerae penyebab penyakit kolera dinegara berkembang yang memiliki keterbatasan akan air bersih dan memiliki sanitasi yang buruk.
Vibrio cholera adalah salah satu bakteri yang masuk dalam family Vibrionaceae selain dari Aeromonas dan Plesiomonas, dan merupakan bagian dari genus Vibrio. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1884 dan sangat penting dalam dunia kedokteran karena menyebabkan penyakit kolera. Vibrio cholera banyak ditemui di permukaan air yang terkontaminasi dengan feces yang mengandung
kuman tersebut, oleh karena itu penularan penyakit ini dapat melalui air, makanan dan sanitasi yang buruk. Vibrio cholerae termasuk bakteri gram negative, berbentuk batang bengkok seperti koma dengan ukuran panjang 2-4 μm. Pada isolasi, Koch menamakannya “kommabacillus”. Tapi bila biakan diperpanjang, kuman itu basa menjadi batang lurus yang mirip dengan bakteri enteric gram negative. Kuman ini dapat bergerak sangat aktif karena mempunyai satu buah flagella polar yang halus (monotrik). Kuman ini tidak membentuk spora. Pada kultur dijumpai koloni yang cembung, halus dan bulat yang keruh dan bergranul bila disinari. (Todari,k.2009)
A. Klasifikasi Ilmiah Vibrio cholerae Adapun klasifikasi dari bakteri Vibrio cholerae yaitu sebagai berikut: Kongdom :Bacteria
Filum :Proteobacteria Kelas :Gamma Proteobacteria Ordo :Vibrionales Famili :Vibrionaceae Genus :Vibrio Spesies :Vibrio cholerae (Amelia,S.2005)
B. StrukturAntigenVibrio cholerae
Semua Vibrio cholerae mempunyai antigen flagel H yang sama. Antigen flagel H ini bersifat tahan panas. Antibodi terhadap antigen flagel H tidak bersifat protektif. Pada uji aglutinasi berbentuk awan. Antigen somatik O merupakan antigen yang penting dalam pembagian grup secara serologi pada Vibrio cholera. Antigen somatik O ini terdiri dari
lipoposakarida. Pada reaksi aglutinasi berbentuk seperti pasir. Antibodi terhadap antigen O bersifat protektif. (Finegold sm, Dkk.1994) C. Patogenesis Vibrio cholera Kolera ditularkan melalui jalur oral. Jika Vibrio berhasil melalu asam lambung dengan selamat (dosis infektif tinggi sekitar 107 jika asam lambung normal), ia akan berkembang pada usus halus. Langkah awal kolera berupa penempelan pada mukosa karena membrane protein terluar dan adhesin flagela yang dimilikinya. Vibrio cholerae bersifat non invasif, tetapi menghasilkan enterotoksin, yaitu suatu protein dengan BM 84.000 Dalton, tahan panas dan tidak tahan asam, resisten terhadap tripsin dan dirusak oleh protease. Toksin kolera mengandung 2 subunit, yaitu B (binding) dan A (active). Subunit B berikatan dengan Gm1, suatu reseptor glikolipid pada permukaan sel epitel jejunum, dan kemudian mengirimkan subunit A ke target sitosiliknya. Sub unit A aktif (A1) memindahkan secara ireversibel ribose ADP dari nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) ke sebuah guanosin tripospat (GTP) yang mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi cAMP, yang menghambat absorbsi natrium dan dan merangsang sekresi klorida sehingga menimbulkan akumulasi NaCl dalam lumen usus.Sejak air bergerak pasif untuk mempertahankan osmolaritas, cairan isotonic terakumulasi dalam lumen. Ketika volume cairan melebihi kapasitas penyerapan usus, terjadi diare cair, yang terdiri dari air, NaCl, kalium, dan bikarbonat. Jika cairan dan elektrolit yang keluar tidak digantikan secara adekuat, dapat terjadi syok dan asidosis. Imunitas terhadap toksik kolera dan antigen permukaan bakteri sama dengan respon imun alami. Proteksi in vivo kemungkinan besar dimediasi oleh IgA sekretorik, sedangkan antibodi serum sebagai tanda untuk pajanan sebelumnya tidak melindungi. Dalam keadaan alamiah, Vibrio cholerae hanya pathogen terhadap manusia. Seorang yang memiliki asam lambung yang normal memerlukan menelan sebanyak atau lebih V.cholera dalam air agar menginfeksi, sebab kuman ini sangat sensitive pada suasana asam. Jika mediator makanan, sebanyak 102-104 organisme yang diperlukan karena kapasitas buffer yang cukup dari makanan. Beberapa pengobatan dan keadaan yang dapat
menurunkan kadar asam dalam lambung membuat seseorang sensitive terhadap infeksi Vibrio cholera Ada duajenis V. cholerae yang berpotensi sebagai patogen pada manusia. Jenis utama yang menyebabkan kolera adalah V. cholerae O1, sedangkan jenis-jenis lainnya dikenal sebagai non-O1. V.cholerae O1 adaalah penyebab kolera Asiatik atau kolera epidemik. Kasus kolera sangat jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara. Sebagian besar kasus kolera terjadi didaerah-daerah (sub)-tropis. Kolera selalu disebabkan oleh air yang tercemar atau ikan (atau kerang) yang berasaldari perairan yang tercemar. V.cholerae non-O1 hanya menginfeksi manusia dan hewan primata lainnya. Organisme ini berkerabat dengan V.cholerae O1, tetapi penyakit yang ditimbulkannya tidak separah kolera. Strain patogenik dan non- patogenik dari organisme ini merupakan penghuni normal dilingkungan air laut dan muara. Organisme ini pada masa lalu disebut sebagai non-cholera vibrio (NCV) dan nonagglutinable vibrio (NAG). Perkemabangan Terbaru : Vibrio cholerae strain-O1 dapat dipecah menjadi 2 biotipe klasik dan El Tor, biotipe ini berdasarkan perbedaan fenotipik beberapa (Tabel - 1).Juga Vibrio cholerae O1 adalah sub-dibagi menjadi 3 serotipe Ogawa, Inaba dan Hikojima. Hal di atas menunjukkan perbedaan mendasar dari biotipe klasik dan El Tor.Namun, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak ilmuwan yang terus memantau perkembangan V. cholera.Di antara 206 serogrup Vibrio cholerae, O1 dan O139 yang berhubungan dengan epidemi kolera.Serogrup O1 diklasifikasikan menjadi 2 biotipe, klasik dan El Tor. Secara konvensional, 2 biotipe dapat dibedakan berdasarkan seperangkat sifat fenotipik. Analisis genomik komparatif telah menunjukkan variasi dalam gen yang berbeda antara biotipe. Toksin kolera (CT), toksin utama yang bertanggung jawab untuk penyakit kolera, memiliki 2 epitypes atau bentuk imunologi, CT1 dan CT2. Klasifikasi lain mengakui 3 genotipe berdasarkan urutan gen variasi ctxB. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul bentuk baru dari V.cholerae O1, yang memiliki ciri-ciri dari kedua klasik dan El
Tor biotipe, telah diisolasi di Bangladesh, Mozambik, Vietnam, Hong Kong, Jepang, dan Zambia. Berdasarkan penelitian yang diilakukan di Kolkata India, Strain diperiksa dengan uji mutasi ketidaksesuaian amplifikasi (MAMA) berbasis PCR untuk mendeteksi alel ctxB; primer digunakan untuk 2 alel, FW-Com (5'-ACTATCTTCAGCATATGCACATGG-3'); dan 2 alel spesifik primer, Re-CLA (5'-CCTGGTACtTTCTACTTGAAACG-3') dan Re-elt (5'-CCTGGTACTTCTACTTGAAACA-3'), masing-masing digunakan untuk biotipe klasik dan Tor El. Hasil MAMA-PCR menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 jenis klasik telah sepenuhnya menggantikan jenis ctxB El Tor.Urutan asam amino disimpulkan selaras dengan urutan CtxB strain referensi N16961 (El Tor) dan O395 (klasik).Urutan asam amino menyimpulkan dari semua 25 strain yang diuji identik dengan strain referensi klasik; histidin berada di posisi 39 dan treonin berada di posisi 68.Dengan demikian, hasil dari sekuensing DNA dari gen ctxB dikonfirmasi MAMA-PCR dengan baik. Hasil ini menunjukkan peristiwa yang patut dicatat dalam evolusi terakhir strainsV.cholerae. Analisis ctxB yang telah beredar di Kolkata selama 17 tahun (19892005) menunjukkan bahwa pada tahun 1989 hanya alel El Tor yang terdapat ctxB. Hasil kami lebih lanjut menunjukkan bahwa jenis ctxB klasik muncul pada tahun 1990, meskipun El Tor jenis ctxB masih hadir dalam jumlah yang hampir sama selama tahun itu. Selama tahun 1991, sebuah peristiwa unik terjadi ketika jenis klasik menjadi dominan, bersama dengan strain yang memiliki keduanya yakni klasik dan El Tor jenis ctxB.Pada tahun 1994, isolasi strain El Tor dengan ctxB menjadi langka, dan alel ctxB utama adalah dari jenis klasik. Strain V.cholerae O1 dari tahun 1995 dan seterusnya ditemukan hanya membawa ctxB jenis klasik, yang benar-benar menggantikan El Tor tipe alel ctxB. Penggantian jenis El Tor ctxB oleh alel klasik telah dilaporkan di Bangladesh sejak 2001, yang tampaknya telah terjadi sebelumnya di Kolkata. Perubahan ini didorong oleh tekanan selektif untuk bertahan hidup dan beradaptasi lebih baik di usus host. Mengingat
peningkatan prevalensi global kolera, asal dan penyebaran varian baru dari V.cholerae strain harus dilacak dalam populasi dengan analisis genom. Mekanisme perkembangan bakteri V. cholerae dalam tubuh, beberapa bakteri yang bertahan hidup menghemat energi dan nutrisi yang tersimpan selama perjalanan melalui perut dengan menutup produksi protein banyak.Ketika bakteri yang masih hidup keluar dari lambung dan mencapai usus kecil, mereka perlu mendorong diri mereka melalui lendir tebal yang melapisi usus kecil untuk sampai ke dinding usus mana mereka dapat berkembang.“V. cholerae''bakteri memulai produksi protein silinder berongga flagellin untuk membuat flagela, yang keriting seperti cambuk ekor yang mereka berputar untuk mendorong diri mereka sendiri melalui lendir yang melapisiusus kecil.Setelah bakteri kolera mencapai dinding usus, mereka tidak perlu baling-baling flagela untuk pindah lagi.Bakteri berhenti memproduksi protein flagellin, energi lagi sehingga melestarikan dan nutrisi dengan mengubah campuran protein yang mereka memproduksi dalam menanggapi lingkungan kimia berubah.Saat mencapai dinding usus,''V. cholerae''mulai memproduksi protein beracun yang memberi orang yang terinfeksi diare berair. Ini membawa generasi baru mengalikan''V. cholerae''bakteri keluar ke dalam air minum berikutnya host jika langkah-langkah sanitasi yang tepat tidak pada tempatnya. Mekanisme genetik dari bakteri ini dimana ''V. cholerae'' bakteri mematikan produksi beberapa protein dan menghidupkan produksi protein lain sebagai respon mereka terhadap serangkaian lingkungan kimia yang mereka hadapi, melewati perut, melalui lapisan mukosa dari usus kecil, dan masuk ke usus dinding. Kepentingan tertentu telah menjadi mekanisme genetik dengan bakteri kolera yang menghidupkan produksi protein dari racun yang berinteraksi dengan mekanisme sel inang untuk memompa ion klorida ke dalam usus kecil, menciptakan tekanan ionik yang mencegah ion natrium memasuki sel. Klorida dan ion natrium menciptakan lingkungan air garam di usus kecil yang melalui osmosis dapat menarik hingga enam liter air per hari melalui sel-sel usus menciptakan sejumlah besar diare. Tuan rumah dapat menjadi cepat dehidrasi jika campuran yang tepat dari air garam encer dan gula tidak diambil untuk menggantikan air dan garam darah yang hilang selama diare.
Bakteri Vibrio Cholerae akan mengeluarkan enterotoksin atau racunnya di saluran usus sehingga terjadinya diare yang dapat berakibat pada kehilangan banyak cairan tubuh atau dehidrasi.Jika dehidrasi tidak segera ditangani atau mendapatkan penanganan yang tepat dapat berlanjut ke arah hipovolemik dan asidosis metabolik sampai akhirnya menyebabkan kematian. Hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah di mana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ. Sedangkan asidosis metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai dengan rendahnya kadarbikarbonat dalam darah. Penyakit kolera dapat menyebar baik sebagai penyakit yang endemik, epidemik atau pandemik. Bakteri Vibrio cholerae berkembang biak dan menyebar melalui feses (kotoran) manusia. Jika kotoran yang mengandung bakteri mengkontaminasi air sungai dan lainnya, maka orang yang melakukan kontak dengan air tersebut beresiko terkena kolera, bahkan mengonsumsi ikan dalam air yang sudah terkontaminasi pun bisa menyebabkan Anda terkena kolera. (Ryan Kj.2004) E. Manifestasi Klinik dan Diagnosis MANIFESTASI KLINIK Gejala khas berupa diare encer seperti air cucian beras, tidak berbau busuk maupun amis, vormitus setelah diare tanpa nausea, dan kejang otot perut. Gejala klinis sesuai dengan penurunan volume.Pada kehilangan 3 – 5 % dari berat badan normal, timbul rasa haus.Kehilangan 5 – 8 %, timbul hipotensi postural, kelemahan, takikardi, dan penurunan turgor kulit.Penurunan di atas 10 % mengakibatkan oliguria, denyut nadi lemah atau tidak ada, mata cekung dan pada bayi ubun-ubun cekung, kulit keriput, somnolen, dan koma.Komplikasi disebabkan oleh kehilangan air dan elektrolit Penyakit kolera dapat berakhir dengan penyembuhan ad integrum (sehat utuh) atau kematian.Penyulit biasanya adalah keterlambatan pertolongan atau pertolongan yang tidak adekuat. DIAGNOSIS Mudah ditentukan pada daerah endemik. Ciri khasnya berupa vormitus tanpa nausea, diare cair seperti iar cucian beras, dan tanpa demam. Untuk pemeriksaan biakan, cara pengambilan bahan pemeriksaan tinja yang tepat adalah apus rektal (rectal
swab) yang diawetkan dalam media transfor carry-blair atau pepton alkali, atau langsung ditanam dalam agar TCBS, akan memberikan persentase hasil positif yang tinggi. Vibrio cholerae O1 menghasilkan koloni oksidase-positif berwarna kuning. Vibrio cholerae dapat dibedakan dengan Vibrio mimicus dari kemampuannya meragi sukrosa.Selain itu, untuk pemeriksaan laboratorium juga bisa dilakukan dengan muntahan. (HandaS. Diakses 9 januari 2011) F. Gejala-gejala Penyakit
Gejala-gejala kolera Asiatik dapat bervariasi dari diare cair yang ringan, sampai diare akut yang ditandai dengan kotoran yang berwujud seperti air cucian beras. Gejala awal penyakit ini umumnya terjadi dengan tiba-tiba, dengan masa inkubasi antara 6 jam sampai 5 hari. Kram perut, mual, muntah, dehidrasi, dan shock (turunnya laju aliran darah secara tiba-tiba).Kematian dapat terjadi apabila korban kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar.Penyakit ini disebabkan karena korban mengkonsumsi bakteri hidup, yang kemudian melekat pada usus halus dan menghasilkan racun kolera.Produksi racun kolera oleh bakteri yang melekat ini menyebabkan diare berair yang merupakan gejala penyakit ini. Gejala-gejala V. cholerae non-O1 berupa diare dan kram perut.Demam yang disertai muntah dan mual terjadi pada 25% individu yang terinfeksi. Kira-kira 25% individu yang terinfeksi akan mengeluarkan kotoran dengan darah dan lendir. Diare, pada beberapa kasus, dapat menjadi sangat parah, dan berlangsung selama 6-7 hari. Diare biasanya terjadi dalam 48 jam setelah konsumsi organisme. Mekanisme organisme ini dalam menimbulkan
penyakit tidak diketahui, namun demikian racun enterotoxin dan mekanisme penyerangan diduga menjadi penyebab penyakit ini.Penyakit muncul saat organisme melekatkan diri ke usus halus individu yang terinfeksi dan kemudian menyerang korbannya.Dosis infektif – Diduga organisme dalam jumlah besar (lebih dari satu juta) harus dikonsumsi untuk dapat menyebabkan penyakit. (Mims, Dkk. 2004) G. Pencegahan Dalam situasi epidemi diagnosis klinis dibuat dengan mengambil riwayat gejala dari pasien dan dengan pemeriksaan singkat saja. Pengobatan biasanya dimulai tanpa atau sebelum konfirmasi dengan analisis laboratorium spesimen. Tinja dan usap sampel yang dikumpulkan pada tahap akut penyakit ini, sebelum antibiotik telah diberikan, adalah spesimen yang paling berguna untuk diagnosis laboratorium. Jika epidemi kolera diduga, agen penyebab yang paling umum adalah ''Vibrio cholerae O1''. Jika ''V. cholera O1'' serogrup tidak terisolasi, laboratorium harus tes untuk ''V. cholera O139''. Namun, jika tidak satu pun dari organisme ini terisolasi, perlu untuk mengirim spesimen tinja ke laboratorium referensi. Infeksi dengan ''V. cholerae O139'' harus dilaporkan dan ditangani dengan cara yang sama seperti yang disebabkan oleh V.'' cholera O1''. Penyakit diare terkait harus dirujuk sebagai kolera dan harus dilaporkan sebagai kasus kolera kepada pihak berwenang kesehatan masyarakat yang sesuai. Kebersihan yang kurang, air yang tercemar, dan cara penanganan makanan yang kurang higienis merupakan penyebab utama infeksi. Karena itu pemanasan air dengan benar (hingga mendidih) dan sanitasi yang baik dapat mencegah infeksi V.cholerae (pelczar Dkk.2006)
NAMA PENYUSUN
NI KOMANG SRI HANDAYANI (171200215)
2.3.8. Streptococus Sanguis Streptococcus (disingkat strep) merupakan jenis bakteri gram positif yang terdapat di berbagai permukaan lingkungan sehingga sangat mudah untuk menyerang siapa saja. Bakteri Streptococcus juga memiliki berbagai macam jenis serta cara untuk menginfeksi manusia. Mulai dari sentuhan, luka terbuka, udara, dan cairan tubuh, hingga penularan yang terjadi saat proses melahirkan. Infeksi bakteri Streptococcus juga dapat terjadi di berbagai organ tubuh, baik dari sistem saluran pernapasan dan pencernaan hingga sistem pembuluh darah dan jantung. Infeksi Streptococcus dapat dibagi menjadi grup A, B, C dan G. Masing-masing memiliki cirinya tersendiri yang berkaitan dengan kemampuan menyebabkan infeksi. 1. Infeksi Bakteri Streptokokus Group A Streptococcus grup A (strep A) banyak ditemukan pada bagian permukaan kulit, di dalam tenggorokan, dan pada berbagai rongga tubuh. Termasuk rongga telinga dan kelamin. Infeksi strep A dapat terjadi pada siapa saja, terutama pada orang dewasa dan anak-anak. Strep A dapat menyebar melalui partikel air ketika orang yang terinfeksi strep batuk atau bersin. Bakteri ini juga dapat bertahan hidup pada permukaan benda tertentu sehingga dapat menular melalui sentuhan. Infeksi strep A dapat bersifat ringan ataupun invasif. Infeksi ringan dari strep A di antaranya:
Radang amandel atau radang tenggorokan yang ditandai dengan rasa sakit saat menelan dan pembengkakan kelenjar.
Infeksi kulit impetigo ditandai dengan rasa perih dan benjolan yang berisi cairan (blister) pada bagian terluar kulit.
Selulitis, yaitu infeksi kulit bagian dalam yang ditandai dengan adanya pembengkakan kulit berwarna merah serta disertai rasa sakit dan sensasi panas. Infeksi sellulitis dapat menyebar dan berpindah ke kulit bagian atas.
Sinusitis adalah infeksi pada rongga kecil di sekitar dahi dan tulang pipi sehingga menyebabkan hidung tersumbat dan rasa nyeri pada bagian wajah.
Infeksi telinga, terutama pada rongga udara hingga telinga bagian dalam.
Scarlet fever, yaitu infeksi bakteri yang menimbulkan ruam dan rasa kasar pada permukaan kulit. Pada dasarnya, infeksi strep A dapat dengan mudah terjadi ketika seseorang
mengalami penurunan daya tahan tubuh. Infeksi minor dari strep A dapat dengan mudah disembuhkan tanpa adanya komplikasi dan efek jangka panjang. Namun, jika seseorang memiliki daya tahan tubuh yang sangat lemah seperti pada bayi, lansia, orang dengan diabetes, atau pasien kanker dan HIV, maka lebih mungkin terjadi infeksi strep A invasif yang jauh lebih serius. Misalnya penyakitpenyakit berikut ini.
Pneumonia, yakni infeksi paru yang ditandai dengan batuk tak kunjung sembuh, sesak napas dan nyeri pada dada.
Sepsis, yaitu infeksi pada peredaran darah yang dapat menyebabkan gangguan kerja jantung, demam, dan napas yang memburu.
Meningitis adalah infeksi bakteri streptococcus yang telah mencapai selaput otak. Penyakit ini ditandai dengan sakit kepala, muntah-muntah, leher kaku, dan ruam.
Toxic shock syndrome (TSS), yaitu munculnya gejala syok seperti pusing, mual, diare dan pingsan akibat kuman strep A mengeluarkan racun pada aliran darah.
Necrotising fasciitis adalah infeksi pada kulit bagian dalam dan area yang berdekatan dengan otot (fascia) yang menyebabkan rasa nyeri, bengkak, dan kemerahan. Infeksi ini bisa menyebar dengan cepat.
Infeksi strap invasif merupakan penyakit yang serius sehingga perlu penanganan yang tepat. Pada keadaan serius, satu dari empat orang yang mengalami strep A invasif dapat mengalami kematian. 2. Infeksi Bakteri Streptokokus Group B Infeksi bakteri Streptococcus grup B (strep B) pada umumnya tidak terlalu berbahaya. Namun bisa menimbulkan masalah kesehatan pada kelompok dengan daya tahan tubuh yang rentan.Strep B banyak ditemukan pada saluran cerna dan di dalam vagina. Infeksi strep B termasuk langka dan biasanya berbahaya terhadap kondisi kehamilan dan pada bayi baru lahir. Strep B merupakan bakteri yang umum yang berada di dalam tubuh, sehingga memungkinkan terjadinya penularan pada bayi saat hamil. Meskipun demikian, risiko infeksi cenderung kecil di mana hanya 1 diantara 2.000 kasus paparan pada kandungan yang menyebabkan infeksi strep B pada bayi. Infeksi strep B pada kehamilan dapat menyebabkan keguguran dan lahir mati, namun hal ini sangat jarang terjadi.
3. Infeksi Bakteri Streptokokus Group C dan G Streptococcus grup C dan G (strep C dan G) memiliki hubungan dekat dengan strep A. Akan tetapi, cara penularannya berbeda. Strep C dan G pada umumnya ditemukan pada hewan dan menyebar melalui sentuhan atau bahan pangan yang masih mentah. Misalnya daging dan susu mentah yang terpapar oleh bakteri tersebut. Kuman strep C dan G juga dapat hidup pada permukaan kulit, terutama pada kulit yang mengalami kerusakan seperti mengalami eksim dan jaringan mukosa lainnya seperti vagina dan saluran usus. Kuman strep C dan G tidak dapat bertahan lama di lingkungan terbuka di luar tubuh manusia dan hewan. Infeksi strep C dan G pada umumnya menyerang sistem peredaran darah dan musculoskeletal seperti bacteremia, infeksi tulang, endokarditis, infeksi persendian, dantoxic shock syndrome.
Gambar Bakteri Streptokokus
Streptococcus sanguis merupakan bakteri kokus gram positif dan ditemukan pada rongga mulut manusia yang sehat. Bakteri ini banyak ditemukan pada plak dan karies gigi, serta pada aliran darah di katup jantung yang dapat menyebabkan bakterial endocarditis. 1. Bakteri tersebut sudah lama diyakini sebagai kunci utama kolonisasi bakteri dalam rongga mulut manusia karena berikatan kuat secara langsung dengan pelikel saliva yang menyebabkan perlekatan mikroorganisme oral lain, terbentuknya plak gigi, berkontribusi dalam menyebabkan karies dan penyakit periodontal. 2. Streptokokus oral ini berperan penting dalam patogenesis Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR), baik sebagai patogen secara langsung atau sebagai stimulus antigenik, pada penderitanya telah ditemukan dalam bentuk initial L forms. 3.
Donatsky juga melaporkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap Streptococcus sanguis 2A pada pasien stomatitis aftosa rekuren.
4.
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) atau umum dikenal masyarakat Indonesia sebagai “sariawan”, ialah penyakit mukosa oral yang paling sering diderita manusia berupa ulser berulang pada mukosa mulut dengan ciri khas ulser singleatau multiple, bulat atau oval berbatas jelas kemerahan, dan dasar abuabu atau kuning. 5,6 SAR mempengaruhi sekitar 20% dari populasi umum
tetapi bila dilihat dari kelompok etnis tertentu atau grup sosial ekonomi, maka rata-rata insidensi berkisar antara 5% - 50%.
2.3.9. Bacteorides Fragilis
Gambar Bakteri Bacteorides fragilis
Didalam tubuh manusia, kolon atau usus besar, mengandung populasi mikroba yang terbanyak. Telah diperkirakan bahwa jumlah mikroorganisme di dalam spesimen tinja ialah kira-kira 1012 organisme per gram. (Lima puluh atau enam puluh persen dari berat kering bahan tinja dapat terdiri dari bakteri dan mikroorganisme lain). Telah pula dihitung bahwa seorang dewasa mengekskresikan 3 x 1013 bakteri setiap harinya didalam tinja; kebanyakan dari sel-sel tersebut tidak hidup. Ada kira-kira 300 kali lebih banyak bakteri anaerobik daripada bakteri anaerobik fakultatif (Seperti Escherichia coli) di dalam usus besar. Basilus Gram negatif anaerobik yang ada meliputi spesies-spesies Bacteroides (Bacteroides fragilis, Bacteroides melaninogenicus, Bacteroides oralis) dan Fusobacteriu. Basilus Gram positif diwakili oleh spesies-spesies Clostridium (termasuk Clostridium perfringens) yang mempunyai kaitan dengan kelemayuh, suatu inveksi jaringan disertai gelembung gas dan keluarnya nanah) serta spesies-spesies Lactobacillus. Spesies-spesies anaerobik fakultatif yang dijumpai di dalam usus tergolong dalam genus Escherichia, Proteus, Klebsiella, dan Enterobacter. Peptostreptokokus (Streptokokus anaerobik) juga umum, Khamir Candida
albicans juga dijumpai. Harus juga diperhatikan bahwa pada diare, sebagai akibat pergerakan isi perut yang cepat, maka mikrobiota usus mengalami perubahan yang besar.
2.3.10. Bacillus Antracis Bacillus anthracis adalah bakteri gram negatif berbentuk tangkai yang berukuran sekitar 1x6 mikrometer dan merupakan penyebab penyakit antraks.
Gambar Bakteri BacillusAntractis
Nama anthracis berasal dari bahasa Yunani anthrax yang berarti batu bara, merujuk kepada penghitaman kulit pada korban.Bakteria ini umumnya terdapat di tanah dalam bentuk spora, dan dapat hidup selama beberapa dekade dalam bentuk ini. Jika memasuki sejenis herbivora, bakteria ini akan mulai berkembang biak dalam hewan tersebut dan akhirnya membunuhnya, dan lalu terus berkembang biak di bangkai hewan tersebut. Saat gizi-gizi hewan tersebut telah habis diserap, mereka berubah bentuk kembali ke bentuk spora.Manusia dapat terinfeksi bila kontak dengan hewan yang terkena anthraks, dapat melalui daging, kulit, tulang maupun kotoran.Meskipun begitu, hingga kini belum ada kasus manusia tertular melalui sentuhan atau kontak dengan orang yang mengidap antraks. Beberapa gejala-gejala antraks (tipe pencernaan) adalah:
mual
pusing
muntah
tidak nafsu makan
suhu badan meningkat
muntah bercampur darah
buang air besar berwarna hitam
sakit perut yang sangat hebat (melilit) atau (untuk tipe kulit) seperti borok setelah mengkonsumsi atau mengolah daging asal hewan sakit antraks.
Daging yang terkena antraks mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
berwarna hitam
berlendir
berbau. NAMA PENYUSUN
Novita Horlyana Saragih 171200228
2.3.11 Clostridium botulinum
Klasifikasi Ilmiah Domain
: Bacteria
Divisi
: Firmicutes
Kelas
: Clostridia
Ordo
: Clostridiales
Famili
: Clostridiaceae
Genus
: Clostridium
Spesies
: C. botulinum
Clostridium botulinum adalah bakteri gram positif, membentuk endospora oval subterminal dibentuk pada fase stationar, berbentuk batang, membentuk spora, gas dan anaerobik. Ada 7 tipe bakteri ini yang berbeda berdasarkan spesifitas racun yang diproduksi, yaitu tipe A, B, C, D, E, F. Dan G. Tipe yang berbahaya bagi manusia adalah tipe A, B, E, dan F. Produksi toksin pada daging kering akan dicegah bila kadar air dikurangi hingga 30 persen. Toksin dari Clostridium botulinum adalah suatu protein yang daya toksisitasnya sangat kuat sehingga sejumlah kecil dari toksin ini sudah cukup menyebabkan kematian.
Toksin ini diserap dalam usus kecil dan melumpuhkan otot-otot tak sadar. Sifat toksin ini yang penting adalah labil terhadap panas. Toksin tipe A akan in aktif oleh pemanasan pada suhu 80 ºC selama 6 menit, sedangkan tipe B pada suhu 90 ºC selama 15 menit. Spesies Clostridium botulinum juga dibagi menjadi 4 grup didasarkan pada perbedaan physiologi seperti terlihat pada tabel 1. Group I semua strain tipe A dan strain proteolitik tipe B dan F. Group II semua strain tipe E dan nonproteolitik strain tipe B dan F. Grup III strain tipe C dan D. Serta grup IV C. Botulinum tipe G yang telah diusulkan diberi nama baru C. argentinense. Pengelompokan ini menyetujui dengan hasil dari studi DNA homologi dan dari 16S dan 23S rRNA sequense studi (82, 83, 103, 149) yang memperlihatkan suatu tingkatan yang tinggi dari hubungan diantara strain-strain dalam tiap-tiap grup, tetapi hubungannya kecil diantara grup.
Tabel 1. Pengelompokan dan karakteristik dari strain Clostridium botulinum Karakteristik
Group I
II
III
IV
Tipe neurotoksin
A, B, F
B, E, F
C, D
G
Temperatur minimum
10 ºC
3ºC
15ºC
ND*
35-40ºC
18-25ºC
40ºC
37ºC
4,6
Ca. 5
ND
ND
Penghambat (NaCl)
10 %
5%
ND
ND
AW minimum untuk
0,94
0,97
ND
ND
untuk pertumbuhan Temperatur optimum
untuk pertumbuhan pH minimum untuk
pertumbuhan
Pertumbuhan
D100ºC dari spora
25 min
<0,1 min
0,1-0,9 min
0,8-1,12 min
D121ºC dari spora
0,1-0,2 min
<0,001 min
ND
ND
* ND, not determined; Sumber : Doyle, M.P. dkk, 2001 Grup I merupakan strain yang bersifat proteolitik dan strain yang memproduksi neurotoxin tipe A. Temperatur optimum untuk pertumbuhan adalah 37ºC . Level-level tinggi neurotoxin (10 6 mouse LD50/ml) (1 LD50 adalah jumlah neurotoxin yang dibutuhkan untuk membunuh 50 % mice yang diinjeksikan dalam waktu 4 hari) diproduksi secara tipikal di dalam kultur. Spora-sporanya mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap panas, dengan nilai D100ºC sekirar 25 menit ( nilai D adalah waktu yang dibutuhkan untuk menginaktivasi 90% dari populasi pada temperatur yang diberikan). Untuk menghambat pertumbuhan, pH harus dibawah 4,6, konsentrasi gram di atas 10%, atau aktivitas air (aw) dibawah 0,94. Grup II merupakan strain nonproteolitik, mempunyai temperatur optimum pertumbuhan yang lebih rendah (30ºC), dan mampu tumbuh pada temperature pada rendah sekitar 3ºC. Spora-sporanya mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih rendah, dengan nilai D100ºC kurang dari 0,1 menit. Strain grup II dihambat dengan pH dibawah 5,0, konsentrasi garam di atas 5%, atau aw kultur bakteri ini biasanya ditingkatkan dengan treatmen menggunakan tripsin, yang mengaktifkan neurotoksin. Grup III termasuk strain-strain tipe C dan D, yang tidak dikategorikan sebagai botulism manusia tetapi menyebabkan botulism pada hewan. Konsekuensinya grup ini tidak dipelajari secara detail. Strain ini merupakan strain nonproteolitik dan tumbuh optimal pada suhu 40ºC dan hanya pada temperatur sekitar 15ºC. Grup IV merupakan strain yang memproduksi neurotoksin tipe G, tumbuh optimal pada suhu 37ºC dan mempunyai temperatur minimal pertumbuhan pada 10ºC. Spora-spora jarang terlihat dan mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih baik, dengan nilai D104ºC adalah 0,8 sampai 1,12 menit.
Gambar Clostridium botulinum group I
Gambar Clostridium botulinum group II B. Keracunan Makanan oleh Clostridium botulinum Akhir-akhir ini kasus keracunan makanan merebak di masyarakat. Seringkali terdengar beberapa orang harus dirawat dirumah sakit, bahkan ada yang meninggal setelah mengkonsumsi makanan tertentu. Keracunan makanan kadang menghantui masyarakat, mengingat begitu banyak ragam makanan yang beredar di pasaran, yang terkadang sulit untuk memilih jenis makanan mana yang aman dikonsumsi. Keracunan makanan dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu keracunan kimia, karacunan tanaman, dan keracunan oleh mikroba. Keracunan makanan oleh kimia, biasanya disebabkan karena kurang hati-hati dalam cara persiapan makanan, pengolahan atau penyimpanan. Jenis keracunan makanan tersebut biasanya disebabkan karena bahan makanan tercemar oleh pestisida, parafin, deterjen atau senyawa kimia lain yang sering digunakan untuk mensterilkan makanan. Keracunan oleh senyawa racun alami yang terdapat di dalam tanaman dapat mengganggu kesehatan konsumen, bila terkonsumsi dalam jumlah yang cukup banyak, misalnya dari beberapa jenis jamur yang menghasilkan racun dan racun dari yang dihasilkan oleh tanman-tanaman tertentu misalnya singkong yang mengandung HCN. Keracunan oleh mikroba adalah jenis keracunan yang paling banyak dan sering ditemui di masyarakat. Makanan menjadi beracun karena telah terkontaminasi dengan jenis bakteri tertentu, yang karena dibiarkan tumbuh dan berkembang biak selama penyimpanan, sehingga
dapat membahayakan konsumen. Cara terjadinyanya keracunan tersebut disebut intoksikasi. Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menimbulkan karacunan makanan dengan cara infeksi. Inrtoksikasi, pada umumnya dapat dibedakan dengan infeksi. Beberapa bakteri tertentu memproduksi toksin sewaktu mereka tumbuh dan berkembang biak di dalam makanan. Bila toksin tersebut diproduksi di luar sel bakteri, maka toksin tersebut disebut eksotoksin. Eksotoksin tersebut mampu bercampur secara bebas dengan lingkungan dan dapat dipisahkan dari bakterinya. Eksotoksin bukan merupakan sel hidup tetapi merupakan suatu senyawa yang bersifat racun, senyawa tersbut dapat dirusak oleh panas tetapi kadang-kadang lebih banyak diperlukan panas untuk toksin daripada bakteri yang memproduksinya. Karena itu meskipun bahan pangan telah dipanaskan, sehingga cukup untuk memusnahkan bakteri, tetapi eksotoksinnya masih tetap ada dan aktif Eksotoksin, sehingga bila termakan masih dapat menyebabkan keracunan. Sebagai contoh sel bakteri bentuk vegetatif biasanya mati pada pemanasan 2 menit pada suhu air mendidih, sedang eksotoksinnya baru rusak dan menjadi nonaktif setelah waktu 30 menit pada air mendidih. Toksin yang diproduksi merangsang lambung secara cepat, dan kadang-kadang menyebabkan muntah-muntah hanya dalam waktu 2 jam setelah makan. Biasanya gejala muntah-muntah tersebut diikuti dangan rasa mulas, sakit perut dan mencret-mencret. Keracunan makanan karena infeksi, disebabkan karena sel bakteri yang hidup. Bakteri-bakteri tumbuh dan berkembang biak di dalam makanan tetapi tidak memproduksi toksin di luar sel. Bakteri tersebut dapat menyebabkan makanan beracun karena di dalam sel bakteri terdapat toksin. Jenis racun tersebut disebut endotoksin. Endotoksin tersebut tidak dapat dikeluarkan dari dalam sel, kecuali sel-sel bakteri tersebut mati. Jika makanan terkontaminasi dengan jenis bakteri tersebut dan kemudian dikonsumsi manusia dan masuk kedalam saluran pencernaan tidak akan menyebabkan sakit sampai jumlah bakteri yang mati menjadi cukup jumlahnya sehingga dapat mengeluarkan toksin dalam jumlah yang cukup untuk merangsang lambung dan saluran usus besar. Gejala yang muncul berupa kepala pusing, demam, diare, dan muntah-muntah. Keracunan yang ditimbulkan oleh mikroba cukup banyak. Berbagai jenismikroba dapat memproduksi toksin yang dapat membahayakan konsumen bila terkonsumsi. Salah satu jenis mikroba
yang
mengandung
toksin
yang
dapat
menyebabkan
kerusakan
syaraf
adalah Clostridium botulinum. Keracunann yang ditimbulkan akibat memakan makanan yang mengandung neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium botulinum disebut ”botulism”. Toksin (racun) yang dihasilkan bersifat yermolabil. Pemanasan pangan sampai suhu 80º C selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora bersifat resisten terhadap suhu pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan pembekuan. C. Patologi Clostridium botulinum Clostridium botulinum adalah nama sebuah kelompok bakteri yang biasanya ditemukan di dalam tanah dan sedimen atau endapan laut di seluruh dunia. Spora bakteri ini sering ditemukan di permukaan buah-buahan, sayuran dan makanan laut. Organisme berbentuk batang tumbuh baik dalam kondisinrendah oksigen. Bakteri dan sporran sendiri tidak berbahaya, yang berbahaya adalah racun atau toksin yang dihasilkan oleh bakteri ketika mereka tumbuh. Racun botulinum mempengaruhi orang dari segala usia dengan mengganggu saraf tertentu dari fungsinya, sehingga mengakibatkan kelumpuhan otot, karena racun ini bersifat neurotoksin. Gejala-gejala penyakit botulisme yaitu pandangan ganda, kelopak mata terkulai, bicara melantur, mulut kering, pandangan kabur, kesulitan menelan, kelumpuhan otot. Gejala botulisme pada bayi yaitu tampak lesu, mengangis lemah, sembelit, nafsu makan buruk, otot lisut. Jika gejala penderita penyakit ini tidak segera teratasi, maka akan terjadi kelumpuhan dan gangguan pernafasan. Penyebaran botulisme tidak seperti penyakit menular, botulisme tidak menyebar dari satu orang ke orang lain. Penularan botulisme terjadi karena orang mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi spora botulinum, luka terinfeksi botulinum dan ketika bayi mengkonsumsi spora botulinum.
Gambar toksin Clostridium botulinum Keracunan yang ditimbulakan akibat makanan yang mengandung neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium botulinum disebut “botulism”. Toksin (racun) yang diproduksi sanagt berbahaya terhadap manusia, menyebabkan gastroenteritis, dan dapat menyebabkan kematian. Gejala gastroenteritis yaitu diplopia, disfagia,disfonia, dan sulit pernafasan. Gejala botulisme berupa mual, muntah, pening, sakit kepala, pandangan berganda, tenggorokan dan hidung terasa kering, nyeri perut, letih, lemah otot, paralisis, dan pada beberapa kasus dapat menimbulkan kematian. Gejala mula-mula timbul biasanya adalah gangguan pencernaan yang akut, diikuti dengan mual, muntah-muntah, diare, ”fatig” (lemas fisik dan mental), pusing dan sakit kepala. Pandangan berubah menjadi dua, sulit menelan dan berbicara. Otot-otor menjadi lumpuh, dan paralisis menyebar pada system pernafasan dan jantung, dan kematian biasanya terjadi karena sulit bernafas. Pada kasus yang fatal, kematian biasanya terjadi dalam waktu 3 hingga 6 hari. Gambar keracunan toksin oleh Clostridium botulinum D. Pencegahan Tidak ada penanganan spesifik untuk keracunan ini, kecuali mengganti cairan tubuhyang hilang. Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan pangan yang keliru (khususnya di rumah atau industry rumah tangga), misalnya pengalengan, fermentasi, pengawetan dengan garam, pengasapan, pengawetan dengan asam atau minyak.
Bakteri ini mencemari produk pangan dalam kaleng yang beredar asam rendah, ikan asap, kentang matang yang kurangbaik penyimpanannya, pie beku,telur ikan fermentasi, seafood, dan madu. Tindakan pengendalian khusus bagi industri terkait bakteri ini adalah penerapan sterilisasi panas dan penggunaan nitrit pada daging yang dipasteurisasi. Sedangkan bagi rumah tangga atau pusat penjualan makanan antara lain dengan memasak pangan kaleng dengan seksama (rebus dan aduk selama 15 menit), simpan pangan dalam lemari pendingin terutama untuk pangan yang dikemashampa udara dan pangan segar atau yang diasap. Hindari pula mengkonsumsi pangan kaleng yang kemasannya telah menggembung. E. Pengobatan Pengobatan membutuhkan pembersihan jalan nafas, ventilasi dan antitoksin polivalen intravena. 2.3.12. SALMONELA SP Salmonella sp termasuk dalam family Enterobacteriacea yaitu bakteri patogen bagi manusia dan hewan. Infeksi Salmonella sp terjadi pada saluran cerna dan terkadang menyebar lewat peredaran darah ke seluruh organ tubuh. Infeksi Salmonella sppada manusia bervariasi, yaitu dapat berupa infeksi yang dapat sembuh sendiri (gastroenteritis) , tetapi dapat juga menjadi kasus yang serius apabila terjadi penyebaran sistemik ( demam enterik ). Klasifikasi Salmonella sp Adapun Taksonomi dari bakteri Salmonella sp. yaitu Phylum
: Bacteria (Eubacteria)
Class
: Prateobacteria
Ordo
: Eubacteriales
Family
: Enterobacteriae
Genus
: Salmonella
Spesies
: Salmonella sp.
Morfologi Salmonella sp
Salmonella sp adalah jenis Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, motil (bergerak dengan flagel peritrik) serta mempunyai tipe metabolisme yang bersifat fakultatif anaerob.Termasuk kelompok bakteri Enterobacteriacea. Ukurannya 2 - 4 mikrometer x 0,5 – 0,8 mikrometer. Sifat Salmonella antara lain : dapat bergerak, tumbuh pada suasana aerob dan anerob fakultatif, memberikan hasil positif pada reaksi fermentasi manitol dan sorbitol dan memberikan hasil negatif pada reaksi indol, DNAse , fenilalanin deaminase, urease, voges proskauer, dan reaksi fermentasi sukrosa dan laktosa. Perkembangan bakteri Salmonella sp terbilang sangat cepat dan menakjubkan, setiap selnya mampu membelah diri setiap 20 menit sekali pada suhu hangat dan pada media tumbuh yang mengandung protein tinggi. Bisa dibayangkan, satu sel bakteri bisa berkembang menjadi 90.000 hanya dalam waktu 6 jam. Bakteri ini tersebar luas di dalam tubuh hewan, terutama unggas dan babi. Lingkungan yang menjadi sumber organisme ini antara lain air, tanah, serangga, permukaan pabrik, permukaan dapur, kotoran hewan, daging mentah, daging unggas mentah, dan makanan laut mentah. Salmonella typhimerupakan bakteri yang menginfeksi manusia dan menyebabkan demam typhoid dan Salmonella paratyphi yang menyebabakan demam paratyhoid Salmonella sp sebenarnya selalu masuk melalui mulut, biasanya dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi Salmonella sp. Sebagian kuman mati oleh asam lambung tetapi yang lolos masuk ke usus halus dan berkembang biak di illeum. Disini terjadi fagositosis oleh sel kelenjar getah bening yang kemudian menyebar ke aliran darah, kelenjar getah bening dan ke usus. Dosis infektif bagi manusia adalah 105-108 Salmonella sp. Diantara faktor-faktor tuan rumah yang menyebabkan resisten terhadap infeksi Salmonella sp adalah keasaman lambung, jasad renik flora normal usus, dan daya tahan usus setempat. Dua tipe Salmonella sp. yaitu S. enteriditis dan S. typhimurium merupakan penyebab kira-kira setengah dari seluruh infeksi pada manusia. Pada manusia semua Salmonella sp. menimbulkan penyakit yang pada umumnya disebut Salmonellosis, dibagi menjadi 3 golongan. 1. Golongan Gastroenteritis (Food Poisoning) Merupakan gejala yang paling sering dari infeksi Salmonella sp. Gejala ini terutama ditimbulkan oleh S. enteriditis dan S. typhimurium. Biasanya terjadi demam, kejang perut dan diare yang terjadi antara 12-72 jam setelah mengkonsumsi minuman yang terkontaminasi.
Penyakit tersebut dapat berlangsung selama 4-7 hari dan kebanyakan sembuh tanpa pengobatan atau pemberian antibiotik, akan tetapi diare akan bertambah parah den mengharuskan penderita berobat ke rumah sakit terutama untuk penggantian cairan elektrolit. Penyakit ini berakibat fatal jika orang tua dan bayi yang kekebalannya rendah mengkonsumsi minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Pada penderita ini, infeksi biasanya menyebar dari usus ke pembuluh darah kemudian ke seluruh jaringan tubuh dan dapat menyebabkan kematian kecuali jika penderita cepat memperoleh pengobatan dengan antibiotik. 2. Golongan Bakterimia (Septikemia) Biasanya ini dihubungkan dengan S. cholerasius tetapi dapat disebabkan oleh setiap serotip Salmonella sp. infasi dini dalam darah setelah infeksi melalui mulut dengan kemungkinan lesi fokal di paru-paru, tulang, selaput otak, dan sebagainya. Tetapi sering tidak ada manifestasi usus, biakan darah tetap positif. 3. Golongan Entericfever (Tyhoid Fever /Typhus Abdominalis) Disebabkan oleh S. typhi, S. paratyphi A, S. schootmulleri. Salmonella sp. yang termakan mencapai usus halus dan masuk ke kelenjar getah bening lalu dibawa ke aliran darah. Kuman dibawa oleh darah menuju berbagai organ, termasuk usus dimana organisme ini berkembang biak dalam jaringan limfoid dan diekskresi dalam tinja
2.3.13. CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIAE Klasifikasi Kingdom
:Bakteri
Filum
:Actinobacteria
Kelas
:Actinobacteria
Order
:Actinomycetales
Keluarga
:Corynebacteriaceae
Genus
:Corynebacterium
Spesies
: Corynebacterium diphtheriae
Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan difteri berupa infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Ia juga dikenal sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915).
Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu gravis, intermedius, dan mitis. Ketiga subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan. Morfologi dan Sifat Biakan Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. Diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. Diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan. Epidemiologi Difteri terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Penyakit ini terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular dan menyebar melalui kontak langsung secara droplet. Banyak spesies Corynebacteria dapat diisolasi dari berbagai tempat seperti tanah, air, darah, dan kulit manusia. Strain patogenik dari Corynebacteria dapat menginfeksi tanaman, hewan, atau manusia. Namun hanya manusia yang diketahui sebagai reservoir penting infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim sedang atau di iklim tropis, tetapi juga dapat ditemukan di bagian lain dunia. Penentu Patogenitas Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu 1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan. 2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif
mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi. Patogenesis Organisme ini menghasilkan toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan bertanggung jawab atas kerusakan jaringan lokal dan pembentukan membran. Toksin yang dihasilkan di lokasi membran diserap ke dalam aliran darah dan didistribusikan ke jaringan tubuh. Toksin yang bertanggung jawab atas komplikasi utama dari miokarditis dan neuritis dan juga dapat menyebabkan rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia) dan protein dalam urin (proteinuria). Penyakit klinis terkait dengan jenis non-toksin umumnya lebih ringan. Sementara kasus yang parah jarang dilaporkan, sebenarnya ini mungkin disebabkan oleh strain toksigen yang tidak terdeteksi karena contoh koloni tidak memadai. Gambaran klinis Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada tempat penyakit. 1) Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik. 2) Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati. 3) Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian. 4) Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal. Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat
menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit. Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir. Diagnosis Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-klinikus dan sering terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C. Diphtheriae baik yang toksigenik maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula spesies Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa. Karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman khas difteri, maka hasil presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat, dan dengan hasil yang dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun demikian, diagnosis laboratorium harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti diagnosis klinik agar penanganan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium. Pengobatan Antitoksin difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian antitoksin yang tepat jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin dapat diberikan setelah diagnosis presumtif keluar, tanpa perlu menunggu diagnosis laboratorium. Hal ini dilakukan karena toksin dapat dengan cepat terikat pada sel jaringan yang peka, dan sifatnya irreversibel karena ikatan tidak dapat dinetralkan kembali. Jadi penggunaan antitoksin bertujuan untuk mencegah terjadinya ikatan lebih lanjut dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan akan mencegah perkembangan penyakit. Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Pencegahan Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan yang memang sanagt gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.
DAFTAR PUSTAKA Behram, klieman & Nelson. 2000. ”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC Mansjoer, Arif. 2000. Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Cahyono, J B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.Yogyakarta:KANISIUS Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung: Indonesia. FK Unpad Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. 2008. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. James D. Cherry. [Serial Online]. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422-1427. http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422 mayoclinic.org. 2015. Diseases and Conditions of Whooping Cough. [Online].Tersedia : http://www.mayoclinic.org/diseasesconditions/whooping-cough/basics/prevention/con-20023295. (13 November 2015, 04:17) Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis. Dalam:Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit IDAI. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1997. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indonesia. FKUI
Republika. 2003.Pertusis. Terdapat pada http:// www.republika.co.id http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html (14 November 2015)cdc.gov. 2015. Prevention of Pertussis. [Online]. Tersedia:http://www.cdc.gov/pertussis/about/prevention/index.html. (13 November 2015, 04:06)
Anonim,1997, Mikrobiologi Kedokteran, Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta Fluit, C. 2001. Molekular Detection of Antimicrobial Resistance. Brooks, G.F., J.S. Butel, and L.N. Ornston. 1995. Medical Microbiology. 4th ed. Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara.
Amelia S. Vibrio Cholerae. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Medan. In press 2005. Baron EJ, Peterson LR, Finegold SM. Vibrio and Related Species, Aeromonas, Plesiomonas, Campylobacter, Helicobacter, and others. Dalam: Baron EJ, Peterson LR, Finegold SM. Bailey & Scott’s Diagnostic Microbiology. Edisike-9. USA: Mosby, 1994; h.429-433. HandaS. dari:
Cholera. (Diakses: 9 Januari 2011) Diunduh URL:http://emedicine.medscape.com/article/214911-overview.htm
Matson JS, Withey JH, DiRita VJ. Regulatory Networks Controlling Vibrio cholerae Virulence Gene Expression. Infection and Immunity. 2007;75(12): 5542–49. Mims C, dkk. Pathogen Parade, Genus Vibrio. Dalam: Mims, Cdkk. Medical Microbiology.Edisike-3. Spain: Elsevier, 2004;h. 603. Pelczar, Michael dan E.C.S.Chan. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UIPress. Ryan KJ. Vibrio, Campy lobacter, and Helico bacter. Dalam: Ryan KJ, Ray CG. Sherris Medical Micro biology. Edisike-4. USA: McGraw-Hill, 2004;h. 373-378.Tjay, Tan Hoan Drs .dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta: Gramedia. Todar, K. Vibrio Cholerae and Asiatic Cholera. 2009. (Diakses: 9 Januari 2011) Diunduhdari: URL : http://www.Textbookofbacteriology.net/cholera.html
NAMA PENYUSUN
NI KOMANG SRI HANDAYANI (171200215)