Makalah Final Kaidah Subhan.docx

  • Uploaded by: devania
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Final Kaidah Subhan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,506
  • Pages: 17
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bahwa kewajiban kita sebagai generasi baru dalam zaman pembangunan masyarakat ini adalah berusaha untuk menegakkan negara dan masyarakat yang diridhai Allah dengan cara menyebarkan fiqh Islam keseluruh bagian tanah air kita. Karena tidak dapat di pungkiri bahwa kemunduran fiqh islam berarti kerusakan dan kebinasaan masyarakat Islam. Salah satu penyebaran fiqh islam tersebut dengan cara menguasai kaidah-kaidah fiqh yang menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda kasus, keadaan, dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah di dalam memberi solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dengan tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan hikmah yang terkandung di dalam fiqh. Hal ini tdak lain karena kaidah fiqh sebagai hasil dari cara berfikir induktif, dengan meneliti materi-materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya yang tersebar di dalam ribuan kitab fiqh. Dan dengan tersebarnya fiqh islam di seluruh lapisan masyarakat serta dengan berlakunya segala hukum-hukum dalam pergaulan kehidupan itulah salah satu dari syarat tegak dan berdirinya masyarakat islam

1.2

Rumusan Masalah 1. Apakah definisi dari kaidah fiqh? 2. Jelaskan Pembagian Kaidah Fiqih ? 3. Bagaimana pola hubungan dan dasar perumusan kaidah fiqh? 4. Apakah urgensi dan kegunaan kaidah fiqh sebagai istinbath hokum ?

1

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Kaidah Fiqh Kata “‫ ”القاعدة‬yang bentuk jamaknya “‫ ”القواعد‬secara bahasa bermakna: asas (‫ )األساس‬yaitu pondamen/dasar.

1

Seperti kata “‫ ”قاعدة كل شيء‬bermakna: “kaidah segala

sesuatu” itu berarti: “‫ ”أساسه‬yaitu: “dasar segala sesuatu”. Ini juga ditetapkan dengan firman Allah SWT: {‫ت َوإِ ْس َما ِعي ُل‬ ِ ‫}وإِذْ يَ ْرفَ ُع إِب َْراهِي ُم ْالقَ َوا ِعدَ ِمنَ ْالبَ ْي‬ َ yang berarti: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail”.2 Sedangkan “‫ ”القاعدة‬secara istilah menurut ulama itu adalah sebagai berikut: 1. al-Jurjânî: “‫”قضية كلية منطبقة على جميع جزئياتها‬3 (ketentuan yang global yang diperuntukkan terhadap seluruh juz-juznya). 2. al-Tahânawî: “ ‫هي في اصطالح العلماء تطلق على معان ترادف األصل والقانون والمسألة والضابط والمقصد ؛ وعرفت بأنها أمر كلي‬ ‫ وأنه يظهر لمن تتبع موارد اإلستعماالت أن القاعدة هي الكلية التي‬... ‫منطبق على جميع جزئياته عند تعرف أحكامها منه‬ ‫”يسهل تعرف أحوال الجزئيات منها‬4 (Kaidah secara istilah ulama itu dimutlakkan terhadap makna-makna yang sinonim dengan asal, kanun, masalah, dlâbith, dan tempat tujuan. Dan aku mendefinisikanny dengan perkara yang global yang cocok terhadap semua juznya ketika mengetahui hukum-hukumnya juz dari perkara global tersebut…dan perkara tersebut itu jelas bagi orang yang terus-menerus menggunakannya. Sesunggunya kaidah itu yang sejenis global yang mudah mengetahui keadaan-keadaan juz-juz dari kaidah tersebut). Akan tetapi, pengertian ini hanya melambangkan sebuah istilah secara umum bagi kata “‫”القاعدة‬. Istilah seperti ini hanya berlaku secara umum dari berbagai bidang

1 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir – Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), 24. 2 Muhammad Nûr al-Dîn Marbû Banjar al-Makkî, al-Durarr al-Bahiyyah fî `Îdlâhi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (Alor Setar: Pustaka Darussalam, 2002), 9. 3 ‘Alî bin Muhammad al-Syarîf al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 171. 4 Muhammad `A’lâ bin ‘Alî, Kasyâf `Ishthilâhât al-Funûn, ed. Luthfî ‘Abd al-Badî’ (Beirut: Syarikat Khiyâth li al-Kutub wa al-Nasyr, 1963), vol. 5, 1176-7.

2

keilmuan. Ini dikarenakan bagi setiap ilmu itu tentunya memiliki kaidah. Seperti kaidah ilmu nahwu, ilmu `ushûl, dan ilmu perundangan.5 Sedangkan ulama fiqh mengibaratkan kata “‫ ”القاعدة‬secara langsung dengan berbagai pendapat di kalangan imam mazhab sebagai berikut: 1. al-Hamawî al-Hanafî: “ ‫إن القاعدة عند الفقهاء غيرها عند النحاة واألصوليين إذ هي عند الفقهاء حكم أكثري ال كلي‬ ‫”ينطبق على أكثر جزئياته لتعرف أحكامها منه‬6(Sesungguhnya kaidah menurut ulama fiqh itu berbeda dengan pendapat ahli nahwu dan `ushû karena kaidah menurut ulama fiqh itu adalah hukum kebanyakan bukan global yang menjadi cocok terhadap banyak juz-juznya agar dapat mengetahui hukum-hukumnya juz dari hukum awal tadi). 2. al-Maqqarî al-Mâlikî: “ ‫ونعني بالقاعدة كل كلي هو أخص من األصول وسائر المعاني العقلية العامة وأعم من العقود‬ ‫”وجملة الضوابط الفقهية الخاصة‬7 (Yang aku maksud dengan kaidah adalah segala perkara yang global yang mana lebih khusus dibandingkan dengan `ushûl dan makna-makna yang lain yang sejenis akal yang umum. Dan ia lebih umum dibandingkan ikatan-ikatan tertentu dan sejumlah batasan-batasan fiqh yang khusus). 3. Tâj al-Dîn al-Subkî al-Syâfi’î: 8

‫هي األمر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم أحكامها منها‬

(Kaidah adalah perkara yang global yang cocok dengannya juz-juz yang banyak yang mana perkara tersebut dapat memberi kefahaman terhadap hukum-hukumnya juz dari kaidah). 5. Mushthafâ al-Zarqâ: “ ‫أصول فقهية كلية ف ي نصوص موجزة دستورية تتضمن أحكاما تشريعية عامة في الحوادث التي تدخل تحت‬ ‫”موضوعها‬9 (Kaidah adalah dasar-dasar fiqh yang bersifat global di dalam bentuk nash-nash yang ringkas yang bersifat dasar yang mengandung hukum-hukum syariat yang

5 ‘Alî `Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (Damascus: Dâr al-Qalam, 2007), 41. 6 `Ahmad bin Muhammad al-Hasanî al-Hamawi, Ghamzu ‘Uyûn al-Bashâ`ir (Cairo: Dâr al-Thabâ’ah al‘Âmirah, 1357 H), vol. 1, 22. 7 ‘Abd `Allah bin Muhammad al-Maqqarî, al-Qawâ’id (Mekkah: Jâmi’ah `Umm al-Qurâ, t.t.), 212. 8 Tâj al-Dîn bin ‘Abd al-Wahhâb al-Subkî, al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir, ed. ‘Âdil `Ahmad ‘Abd al-Maujûd & ‘Alî Muhammad ‘Iwadl (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H), vol. 1, 11. 9 Mushthafâ `Ahmad al-Zarqâ, al-Madkhal al-Fiqhî al-‘Âmi (Damascus: Mathba’ah Jâmi’ah Dimasyq, 1983), vol. 2, 941.

3

umum di dalam beberapa perkara yang baru jadi yang mana masuk di bawah ruanglingkupnya). Definisi yang diberikan al-Hamawî al-Hanafî dan lainnya secara tegas menunjukkan kaidah fiqh adalah sebuah hukum yang menjadi kebanyakan (mayoritas). Ini dikarenakan masih menyisihkan pengecualian bagi kasus-kasus tertentu bagi kaidah tersebut. Oleh karena itu setengah ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa kebanyakan kaidah fiqh itu adalah sebangsa mayoritas “‫”أغلبية‬.10 Definisi yang diberi oleh al-Maqqarî itu sudah sesuai dengan konteks kaidah fiqh. Ia sudah mengeluarkan kemungkinan dari di masuknya ke dalam istilah ilmu `usûl atau dlâbith. Akan tetapi ia masih terdapat kesamaran yang tidak dapat menunjukkan gambaran yang jelas bagi kaidah fiqh.11 Definisi yang secara langsung menyebutkan konteks hukum sudah tepat pada sasaran karena akan berfaedah untuk menghilangkan pemaknaan kepada konteks yang lain dan ia juga pasti menetapkan “‫”المحكوم به والمحكوم عليه‬. Akan tetapi ia tidak secara fasih menjelaskan makna yang sempurna bagi kaidah fiqh disebabkan definisi ini tidak mencegah dari pemahaman konteks fan ilmu yang lain yaitu selain fiqh.12 Oleh karena itu, definisi yang paling sesuai dan dapat secara tepat memberi kefahaman tentang kaidah fiqh adalah definisi yang Ustaz Mushthafâ `Ahmad al-Zarqâ. Definisi ini dimudahkan oleh Ustaz ‘Alî `Ahmad al-Nadwî dengan ibarat sebagai berikut: “‫( ”أصل فقهي كلي يتضمن أحكاما تشريعية عامة من أبواب متعددة في القضايا التي تدخل تحت موضوعه‬Dasar fiqhi yang global terkandung di dalamnya hukum-hukum syariat yang umum dari berbagai bab yang berbeda-beda di dalam ketetapan-ketetapan yang masuk di dalam ruanglingkupnya).13 Secara umumnya, “‫ ”القاعدة‬dan “‫ ”الضابط‬itu terdapat di bawahnya beberapa cabangcabang fiqh. Agar dapat membedakan antara “‫ ”القاعدة‬dengan “‫”الضابط‬, ini dapat dilihat dari sebuah ibarat yang diberikan `Ibn Nujaim sebagai berikut: ‫ والضابط يجمعها من باب‬, ‫ أن القاعدة تجمع فروعا من أبواب شتى‬: ‫"والفرق بين الضابط والقاعدة‬ 14 "‫ هذا هو األصل‬, ‫واحد‬ 10 al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 43 11 Ibid., 42. 12 Ibid. 13 Ibid., 45. 14 `Ibn Nujaim al-Mishrî, al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir, ed. Muhammad Muthî’ al-Hâfiz (Dimasyq: Dâr al-Fikr, 1983), 192.

4

Terjemahan: Adapun perbedaan antara dlâbith dan kaidah adalah sesungguhnya kaidah itu mengumpulkan cabang-cabang dari bab-bab yang berbagai. Sedangkan dlâbith itu mengumpulkan cabang-cabang dari satu bab. Ini adalah asalnya. Pendapat ini dapat dibuktikan dengan pernyataan Imam al-Suyûthî di dalam kitab al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir yang menetapkan bahwa kaidah “‫ ”اليقين ال يزال بالشك‬itu masuk di ْ ِ‫” َم ْن لَ ِز َمتْهُ نَفَ َقتُهُ لَ ِز َمتْهُ ف‬.16 dalam semua bab fiqh.15 Contoh yang dlâbith pula adalah “‫ط َرتُهُ َو َم ْن َال فَ َال‬ Ketentuan ini khusus masuk di dalam bab zakat fitrah tidak untuk lainnya.17 Akan tetapi secara lahirnya, perbedaan di antara kedua kaidah dan dlâbith ini tidak dianggap/diterapkan oleh ulama terdahulu. Oleh karena ini, dapat ditemukan banyak dlâbith yang oleh Imam al-Subkî menyebutnya sebagai “‫”القواعد الخاصة‬.18 Definisi yang membedakan antara kedua kaidah dan dlâbith ini hanya muncul di kalangan ulama mutakhir yaitu tepatnya ketika kata dlâbith secara resmi memiliki istilah yang menjadi terkenal di kalangan ahli fiqh dan pembahas-pembahas di dalam fiqh Islam.19 2.2. Pembagian dan tingkatan Kaidah Fiqih : 1.

Segi fungsi, dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral

dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupancakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :

ٌ‫العَا َدةُ ُم َح َّك ُمة‬ ”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum” Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :

ٌ‫فٌبَ ْينَ ٌالتِ َج ِار َك َما ِل َمش ُْر ْو ِطٌبَ ْينَ ُه ْم‬ ُ ‫ا ْل َم ْع ُر ْو‬ ”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”

15 Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman al-Suyûthî, al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir (Semarang: Thahâ Putra, t.t.), 37. 16 Ibid., 251. 17 ‘Abd al-Wahhâb bin `Ahmad Khalîl bin ‘Abd al-Hamîd, al-Qawâ’id wa al-Dlawâbith al-Fiqhiyyah fî Kitâb al-`Umm li al-`Imâm al-Syâfi’î (Riyâdl: Dâr al-Tadmuriyyah, 2008), 53. 18 al-Subkî, al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir, vol. 1, 200. 19 ‘Abd al-Wahhâb, al-Qawâ’id wa al-Dlawâbith al-Fiqhiyyah, 53

5

ٌ‫ص‬ ِ ‫الت َّ ْعيِ ْينُ ٌبِا ْلعُ ْر‬ ِ َّ‫فٌ َك َمالت َّ ْعيِ ْينُ ٌبِالن‬ ”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh” Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.20 2.

Segi mustasnayat, dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu: kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :

ٌ‫علَىٌ َم ْنٌا َ ْنك ََر‬ َ ٌ ُ‫ٌواْليَ ِم ْين‬ َ ُ‫ا ْلبَ ِينَة‬ َ ‫علَىٌا ْل ُم َّد ِع ْي‬ ”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat” Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.21 3.

Segi kualitas, dari segi kualitas kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam,

yaitu : a)

Kaidah kunci, kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh

pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :

ٌِ ‫صا ِل‬ ‫ح‬ َ ٌ‫س ِد ُمقَ ٌِد ُم‬ َ ‫بٌا ْل َم‬ ِ ‫د َْر ُءٌا ْل َمفَا‬ ِ ‫علَىٌ َج ْل‬ “Menolak kemafsadatan didahulukan didahulukan daripada meraih kemaslahatan”. Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan. b)

Kaidah asasi, adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh

aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :

ٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌٌ‫اص ِد َها‬ ِ َ‫ْاْلُ ُم ْو ُرٌ ِب َمق‬

20 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih, (jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), h. 157 21 Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1999), , h. 187

6

”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”

ٌ‫اْليَ ِق ْينُ ٌْلَيَ َزا ُلٌبِالش َِّك‬ ”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”

ٌ‫بٌالت َّ ْيس َِر‬ َ ‫ا ْل َم‬ ُ ‫شقَّةُتَجْ ِل‬ ”Kesulitan mendatangkan kemudahan”

ٌ‫ا ْلعَادَةٌُ ُمحْ َك َمة‬ ”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum” c)

Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni, kaidah fiqh yang

diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ”majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.\ Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu : 1.

Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya

2.

Kemudaratan itu harus dihilangkan

3.

Kebiasaan itu dapat menjadi hukum

4.

Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan

5.

Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.

Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui. a.

Kaidah-Kaidah Fiqh yang Umum

7

Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu : 1.

“ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru” 22

ٌ‫اْلجْ ِت َها ِد‬ ٌِْ ‫ضٌ ِب‬ ُ ُ‫ا َ ْ ِْلجْ ِت َهاد َُْل َي ْنق‬ Hal ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab : “itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang” 2.

“apa yang haram diambil haram pula diberikannya”

ُ‫َما َح َر َمٌفَعَلُهٌُ َح َر َمٌ َطلَبُ ٌه‬ Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa. 3.

“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan

seluruhnya”23

ُ‫َم َاْليَد َْركُ ٌ ُكلُّهُ ٌَْليَتْ َركُ ٌ ُكلُّ ٌه‬ 4.

“Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan

sebagai dalil” Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian. 5. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”

ُ‫بٌٌِب َح ِر َمانَ ٌه‬ َ ٌ‫ٌَو ْقتِ ِه‬ َ َ‫عل‬ َ ‫َم ْنٌتَعَ َّجلٌَ َح ِق ِهٌا َ ْو َما ِبيْحٌِلَهٌُقَ ْبل‬ ِ ُ‫ىٌوجٌْ ِهٌ ٌُم َح َّرمٌٌع ُْوق‬

22 Muchlish Usman, ibid, h. 144 23 Jaih Mubarok, ibid, h. 76

8

Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba. b.

Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus

Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh tertentu, yaitu : 1.

Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah

“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu” 2. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah, dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu “Hukum asal pada masalah seks adalah haram” Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan. 3.

Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba. 4.

Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah

Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :

9

ٌ ‫بٌش َْر ِع‬ َ ‫َْليَ ُج ْو ُز ٌِْلَ َحدٌٍا َ ْنٌيَأ ْ ُخذَ َمالٌَا َ َحدٌٍبِ ََل‬ ٍ َ‫سب‬ ِ‫ي‬ “Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah” Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat. 5.

Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah

ٌ‫صلَ َح ِة‬ َ ٌ‫ف‬ ْ ‫ىٌر ِعيَ ِةٌ ُمنَ َّو َطٌبِا ْل َم‬ ُ ‫التَّص ِْر‬ َ َ‫عل‬ “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan” Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya. 6.

Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)

Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu : “Perdamaian

diantara

kaum

muslimin

adalah

boleh

kecuali

perdamaian

yang

mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. 2.3 Pola Hubungan dan Dasar Perumusan Kaidah Fiqh Kaidah fiqh adalah bagian dari ilmu fiqh. Ia memiliki hubungan erat dengan AlQur’an, Al-Hadis, akidah dan akhlak.24 Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikiritisi oleh ulama dan di uji serta diukur dengan banyak ayat dan hadis nabi, terutama tentang kesesuaian dan substansinya. Apabila kaidah fiqh tadi bertentangan dengan banyak 24 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis, Jakarta: Kencana, 2006. Cet 1. Halm 5.

10

ayat Al-Qur’an ataupun Al-Hadis yang bersifat dalil kulli (general) maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan. Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada A-Qur’an dan Al-Hadis, setidaknya kepada semangat dan kearifan Al-Qur’an dan A-Hadis juga. Dasar-dasar perumusan kaidah fiqh ini disebabkan karena para muhaqiqin telah mengembalikan segala masalah fiqh kepada kaidah-kaidah kulliyah. Tiap-tiap dari kaidah itu, menjadi dhabith dan pengumpul bagi banyak masalah.25 Kaidah-kaidah tersebut diterima segala pihak, diikhtibarkan dan dijadikan dalil untuk menetapkan masalah. Memahami kaidah-kaidah itu, menyebabkan kita merasa tertarik kepada masalah itu dan menjadi wasilah untuk menetapkan masalah-masalah itu di dalam zihin. 2.4 Urgensi dan Kegunaan Kaidah Fiqh Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut : 1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan 2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya. Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa nash-nash tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.26 Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah. Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy

25 Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki putra, 1997 M, cet 1. 26 http://moenawar.multiply.com/journal/item/10

11

dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya. 2.5 . Kaidah Fiqh yang Terdapat Khilâf Mazhab Sesuai dengan latar belakang munculnya kaidah fiqh, dapat disepakati bahwa ada kaedah yang muncul langsung dari nash seperti “‫ ”ال ضرر وال ضرار‬dan ada yang muncul dari pecahan permasalahan furû’ fiqh seperti yang diriwayatkan Abî Sa’îd al-Harawî. Dari sini tidak dapat dipungkiri, bahwa kaidah fiqh merupakan hasil ijtihad ulama. Oleh karena itu, tentunya ada yang disepakati adanya dan ada yang masih terjadi khilâf akan kelegalannya. Sesuai dengan tema pembahasan, sudah seharusnya penulis memfokuskan pembahasan tentang kaidah-kaidah yang masih khilâf di dalam mazhabmazhab fiqh sebagai konsistensi dalam membahas perbandingan mazhab. Karena melihat kaidah yang terjadi khilâf akan adanya itu sanggat banyak, maka penulis hanya akan memberikan beberapa kaidah yang sangat penting dan perlu untuk dibahas. Salah satu dari cabang kaidah “‫ ”اليقين ال يزال بالشك‬adalah kaidah “ ‫األصل في األشياء‬ ‫”اإلباحة‬27 (asal sesuatu itu adalah diperkenan/boleh).28 Kaidah ini pada dasarnya terjadi khilâf di kalangan ulama mazhab. Kaidah yang ini adalah merupakan pendapat Imam al-Syâfi’î (‫)الحالل عند الشافعي ما لم يدل الدليل على تحريمه‬. Sedangkan menurut Imam Abû Hanîfah adalah “‫”الحالل ما دل الدليل على حله‬. Titik perbedaan antara dua mazhab ini adalah berada pada perkaraperkara yang masih tidak ada dalil (‫)المسكوت عنه‬, maka pendapat Imam al-Syâfi’î itu adalah halal sedangkan pendapat Imam Abû Hanîfah adalah haram.29 Imam al-Syâfi’î berhujjah dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “ ‫ما أحل هللا فهو‬ َّ ‫إِ َّن‬ ‫”حالل وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من هللا عافيته فإن هللا لم يكن لينسى شيئا‬, “ ‫ض‬ َ ِ‫ض فَ َرائ‬ َ ‫َّللاَ فَ َر‬

27 Redaksi secara lengkap: ‫األصل في األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على تحريمه عندنا وعند أبي حنيفة األصل فيها التحريم حتى يدل‬ ‫( الدليل على اإلباحة‬Asal sesuatu adalah diperkenan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya). Lihat: ‘Abbâdî al-Lahjî, `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 31. 28 Madrasah al-Nidhâmiyyah, Taqrîrât Nazham al-Farâ`id al-Bahiyyah (Kediri: Madrasah al-Nidhâmiyyah, t.t.), 12; Muhammad Yâsîn bin ‘Îsâ al-Fâdânî, al-Fawâ`id al-Janiyyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), vol. 1, 191. 29 ‘Abbâdî al-Lahjî, `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 30.

12

َ ‫ َو َغفَ َل َع ْن أ َ ْش َيا َء ِم ْن‬،‫ َو َحدَّ ُحد ُودًا فَال ت َ ْعتَد ُوهَا‬، ‫ َونَ َهى َع ْن أَ ْش َيا َء َفال تَ ْنتَ ِه ُكوهَا‬،‫ض ِيعُوهَا‬ َ ُ ‫ت‬30 ‫ان فَال ت َ ْب َحثُوا [فَال‬ ٍ ‫غي ِْر نِ ْس َي‬ ْ 31 َّ ‫َّللاُ ِفي ِكت َا ِب ِه َو ْال َح َرا ُم َما َح َّر َم‬ َّ ‫”ال َح َال ُل َما أ َ َح َّل‬. ‫” َع ْن َها‬, dan “ُ‫َّللاُ ِفي ِكت َا ِب ِه َو َما َس َكتَ َع ْنهُ فَ ُه َو ِم َّما َعفَا َع ْنه‬ Selain dari ini, dalil yang mendukung adalah firman Allah: َّ ‫َّللاِ الَّتِي أ َ ْخ َر َج ِل ِعبَا ِد ِه َوال‬ َّ َ‫قُ ْل َم ْن َح َّر َم ِزينَة‬ “‫ض َج ِميعًا‬ ِ ‫طيِبَا‬ ِ ‫”ه َُو الَّذِي َخلَقَ لَ ُك ْم َما فِي ْاأل َ ْر‬32, “ َ‫ت ِمن‬ 33 ْ َ‫طا ِع ٍم ي‬ َ ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى‬ ‫ق‬ , “ ُ‫ير فَإِنَّه‬ ِ ُ ‫قُ ْل َال أَ ِجد ُ فِي َما أ‬ ٍ ‫طعَ ُمهُ إِ َّال أ َ ْن يَ ُكونَ َم ْيتَةً أَ ْو دَ ًما َم ْسفُو ًحا أ َ ْو لَحْ َم ِخ ْن ِز‬ ِ ِ ‫”الر ْز‬ َّ َ‫ي إِل‬ َ ‫وح‬ 34 ُ ‫ض‬ َّ ‫س أ َ ْو فِ ْسقًا أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر‬ ‫ور َر ِحي ٌم‬ dan “ ‫ش َما‬ ْ ‫َّللاِ ِب ِه فَ َم ِن ا‬ ِ ‫ي ْالفَ َو‬ ٌ ُ‫ط َّر َغي َْر بَاغٍ َو َال َعا ٍد فَإ ِ َّن َربَّكَ َغف‬ ٌ ْ‫”رج‬ ِ َ ‫اح‬ َ ‫قُ ْل ِإنَّ َما َح َّر َم َر ِب‬ َ ‫س ْل‬ َ ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب‬ َ َّ ‫طانًا َوأَ ْن تَقُولُوا َعلَى‬ َّ ‫ق َوأ َ ْن ت ُ ْش ِر ُكوا ِب‬ ‫َّللاِ َما َال‬ ُ ‫اَّللِ َما لَ ْم يُن َِز ْل ِب ِه‬ ِ ‫ي ِبغَي ِْر ْال َح‬ ِ ْ ‫طنَ َو‬ َ ‫اإلثْ َم َو ْال َب ْغ‬ َ‫”تَ ْعلَ ُمون‬35.36 Sedangkan menurut pendapat Imam Abû Hanîfah ini berdasarkan pada firman Allah SWT: “‫ِب َهذَا َح َال ٌل َو َهذَا َح َرا ٌم‬ dan dari hadis Nabi Muhammad ُ ‫َص‬ َ ‫ف أ َ ْل ِسنَت ُ ُك ُم ْال َكذ‬ ِ ‫”و َال تَقُولُوا ِل َما ت‬37 َ SAW: “ 39”.38‫ور ُم ْشت َ ِب َهةٌ والمؤمنون وقافون عند الشبهات‬ ٌ ‫ْال َح َال ُل َب ِي ٌن َو ْال َح َرا ُم َب ِي ٌن َو َب ْينَ ُه َما أ ُ ُم‬ Perlu diketahui, bahwa ketetapan khilâf ini ternyata ditentang oleh al-Lahjî dalam kitabnya yaitu `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah. Beliau mengatakan bahwa ternyata di dalam kitab al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir karangan `Ibn Nujaim yang bermazhab Hanafi menisbatkan kaidah “‫ ”األصل في األشياء اإلباحة‬ini kepada Imam Abû Hanîfah.40 Akan tetapi, ternyata memang masih terwujud perbedaan pendapat di dalam mazhab Hanafi sendiri. Termasuk yang berpendapat sama dengan pendapat Imam al-Syâfi’î adalah al-Karkhi.41 Selain dari kaidah ini, ada sebuah kaidah yang terkenal di kalangan mazhab Syafi’I, yaitu kaidah “‫”الرخص ال تناط بالمعاصي‬. Makna dari kaidah ini adalah dalam melakukan keringanan, tidak boleh disertai dengan maksiat. Seperti contoh, ketika melakukan perjalanan 30 ‫أى تفعلوها‬ 31 ‘Abbâdî al-Lahjî, `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 31. 32 al-Qur’an, 2:29. 33 al-Qur’an, 7:32. 34 al-Qur’an, 6:145. 35 al-Qur’an, 7:33. 36 Haque Pribeneze, Formulasi Nalar Fiqh, 151. 37 al-Qur’an, 16:116. 38 Kata “‫ ”والمؤمنون وقافون عند الشبهات‬adalah redaksi dari buku Formulasi Nalar Fiqh. Sedangkan kata “ ٌ‫ْال َح َال ُل َبيِن‬ ٌ‫ور ُم ْشتَبِ َهة‬ ٌ ‫”و ْال َح َرا ُم بَيِنٌ َو َب ْينَ ُه َما أ ُ ُم‬ َ adalah mutawâtir di dalam kitab-kitab hadis. 39 Haque Pribeneze, Formulasi Nalar Fiqh, 155. 40 ‘Abbâdî al-Lahjî, `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 31. 41 Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajîz fî `Îdlâh Qawâ`id al-Fiqh al-Kulliyah (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1983), 112.

13

jauh (‫)سفر‬, sedangkan ia adalah orang yang melakukan maksiat; maka ia tidak boleh menerima keringanan dalam syariat seperti melakukan jamak solat, qashr, buka puasa atau lain-lain.42 Yang dimaksud dengan safar yang maksiat adalah ketika orang tersebut melakukan perjalanan yang memang tujuan maksiat, seperti larinya hamba dari tuannya, melakukan perjalanan ke pusat-pusat maksiat seperti pelacuran dan lain-lain. Akan tetapi, kalau perjalanannya itu adalah bertujuan bukan maksiat, seperti ingin menuntut ilmu, mudik ke rumah orang tua dan lain-lain, hanya saja dalam perjalanan tersebut terjadi maksiat seperti meminum khamr, maka ia tidak termasuk dalam kaidah ini. Dengan kata lain, dalam kasus terakhir ini tetap diperkenan mengambil keringanan dalam syariat seperti jamak dan qashr.43 Kaidah “‫ ”الرخص ال تناط بالمعاصي‬ini berbeda dengan mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa melakukan perjalanan yang maksiat itu tidak menyebabkan tercegahnya mengambil keringanan.44 Salah satu khilâf dalam cabangnya yang terjadi terhadap kaidah yang terpenting yaitu kaidah “‫ ”اليقين ال يزول بالشك‬adalah masalah ketika ada orang setelah berhadas, lalu dia ragu-ragu apakah dia hadas atau tidak45. Dalam hal ini, mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’I, Hanbali, Dzâhirî) memilih bahwa orang tersebut suci dan keraguannya dianggap tiada guna, dan sucilah yang diyakini. Orang tersebut diperkenankan solat dengan wudlû` tersebut.46 Berikut adalah teks-teks dari berbagai mazhab tetang masalah ini: 1. `Ibn Nujaim (Hanafi) berkata di dalam al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir: “ ‫من تيقن الطهارة وشك في الحدث‬ ‫”فهو متطهر ومن تيقن الحدث وشك في الطهارة فهو محدث‬.47 2. Muhammad Nûr al-Dîn Marbû (Syafi’i) berkata di dalam al-Durarr al-Bahiyyah: “ ‫من تيقن‬ ‫”الطهارة وشك في الحدث فهو متطهر أو تيقن في الحدث وشك في الطهارة فهو محدث‬.48

42 Nûr al-Dîn Marbû, al-Durarr al-Bahiyyah, 155. 43 Ibid., 157. 44 Muhammad bin Nidhâm al-Dîn al-`Anshârî, Fawâtih al-Rahmût bi Syarh Musallam al-Tsubût (Bulâq: alMathba’ah al-`Amîriyyah, 1322 H), vol. 164. 45 Seperti ketika secara yakin ada orang sudah wudlû`, lalu ragu-ragu dia batal atau tidak. 46 al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 162-265. 47 `Ibn Nujaim, al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir, , 62. 48 Nûr al-Dîn Marbû, al-Durarr al-Bahiyyah, 60.

14

َّ ‫َو َم ْن ت َ َي َّقنَ ال‬ 3. Manshûr bin Yûnus al-Bahûtî (Hanbali) berkata di dalam Kasyâf al-Qinâ’: “ َّ‫ارة َ َوشَك‬ َ ‫ط َه‬ َّ ‫ين َوه َُو ال‬ َّ ‫ث َوشَكَّ ِفي ال‬ ُ َ‫ارة ُ ِفي ْاألُولَى َو ْال َحد‬ َ َ‫ث أ َ ْو ت َ َيقَّنَ ْال َحد‬ َّ ‫ث َع ْب ِد‬ ِ ‫ ِل َحدِي‬، ‫ث ِفي الثَّا ِن َي ِة‬ ِ َ‫ِفي ْال َحد‬ ِ‫َّللا‬ َ ‫ط َه‬ َ ‫ط َه‬ ِ ‫ار ِة َبنَى َعلَى ْال َي ِق‬ َّ ‫الر ُج ُل يُ َخيَّ ُل إلَ ْي ِه أَنَّهُ يَ ِجد ُ ال‬ ُ { ‫ب ِْن زَ ْي ٍد قَا َل‬ َّ ‫صلَّى‬ ‫ف َحتَّى‬ ْ ‫ص ِر‬ َّ ‫ش ْي َء فِي ال‬ َّ ‫سلَّ َم‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ َال يَ ْن‬: ‫ص َالةِ فَقَا َل‬ َ ِ ‫ي إلَى النَّبِي‬ َ ‫ش ِك‬ ‫ص َالةِ َو ِألَنَّهُ إذَا‬ ِ ‫ص ْوتًا أ َ ْو يَ ِجدَ ِري ًحا } ُمتَّفَ ٌق َعلَ ْي ِه َو ِل ُم ْس ِل ٍم َم ْعنَاهُ َم ْرفُوعًا ِم ْن َحدِي‬ َّ ‫ث أَبِي ه َُري َْرةَ َولَ ْم يَ ْذ ُك ْر فِي ِه َوه َُو فِي ال‬ َ ‫يَ ْس َم َع‬ 49 ُ ‫سقُو‬ ‫ين‬ ُ ُ‫ فَيَ ِجب‬، ‫ان‬ َ ‫ار‬ َ ‫ار‬ َ َ‫ط ُه َما ك َْال َبيِ َنتَي ِْن إذَا تَع‬ َ َ‫”شَكَّ تَع‬. ِ ‫ َوي ُْر َج ُع إلَى ْاليَ ِق‬، ‫ضتَا‬ ِ ‫ض ِع ْندَهُ ْاأل َ ْم َر‬

َ َ‫ُوء َو ْالغُ ْس ِل ث ُ َّم شَكَّ ه َْل أَحْ د‬ 4. `Ibn Hazm (al-Dzâhirî) berkata di dalam al-Muhallâ: “ ‫ث‬ ِ ‫ َو َم ْن أ َ ْيقَنَ بِ ْال ُوض‬:ٌ‫َم ْسأَلَة‬ 50 َ ‫ُوجبُ ْالغُ ْس َل أ َ ْم ال فَ ُه َو َعلَى‬ ُ َ‫ْس َعلَ ْي ِه أ َ ْن يُ َج ِدد‬ ‫غسْال َوال ُوضُو ًء‬ َ ‫ط َه‬ ِ ‫”أ َ ْو َكانَ ِم ْنهُ َما ي‬. َ ‫ َولَي‬،‫ارتِ ِه‬ Adapun mazhab Maliki, mereka mengambil jalan yang lain. Mazhab Maliki melarang melakukan solat ketika ragu-ragu apakah masih suci. Ini dengan alasan bahwa solat itu secara urut-urutannya memiliki tanggungan (‫ )الذمة‬yaitu sebagai hukum asal yang awal. Ini tidak mungkin keluar dari tanggung jawab atau tanggungan kecuali dengan sebuah sucian yang diyakini. Berikut adalah ibarat yang jelas tentang ini dari mazhab Maliki: 1. Imam Abû al-‘Abbâs al-Qarâfî: “ ‫شغل الذمة بالصالة متيقن يحتاج إلى سبب مبرئ والشك في الشرط يوجب الشك‬ ‫في المشروط فيقع الشك في الصالة الواقعة بالطهارة المشكوك فيها وهي السبب المبرئ والمشكوك فيه ملغى فيستحب شغل‬ ‫”الذمة‬.51 Malah, sebagian dari kalangan mazhab Maliki yang menolak pendapat ini dan sampai berani menetapkan bahwa keraguan saja sudah menyebabkan batalnya wudlû`.52 Perincian lengkap tentang masalah ini telah dikeluarkan oleh Imam Abû alBarakât al-Dardîrî sebagai berikut: ُ ٌ‫الذ َّمةَ ٌَْلٌتَب َْرأٌُ ِم َّما‬ َّ ‫ٌم ْنه‬ ٌُ‫ٌوا ْل ُم َراد‬.ٌ ِ ٌ َّ‫ٌ؛ٌِلَن‬ ِ ‫َوأ َ َّماٌالشَّكُّ ٌفَ ُه َوٌنَاقِض‬ ِ ‫ٌو َْلٌتَعَيُّنَ ٌ ِع ْندٌَالش‬،ٌ ِ ‫ب‬ َ ‫ط ِل‬ َ ‫َّاك‬ َ ‫ين‬ ٍ ‫َاٌإْلٌ ِبيَ ِق‬ َ ُ َ ْ ْ ْ َ َ ُ ْ َ َ ْ َّ‫ُك‬ ُّ‫َّك‬ ْ َ‫ٌ َماٌي‬:ٌ‫ين‬ ٌ‫ٌَعٌل ِم ِهٌبِتقد ُِّم‬ ِ ‫ٌأنٌيَش ٌبَ ْعد‬:ٌ‫ٌاِلولى‬:ٌ‫ص َو ٍر‬ ُ ٌ‫ُوءٌثَلث‬ ِ ‫بٌ ِلل ُوض‬ ُ ‫وج‬ َ َّ‫ش َملٌُال َّظن‬ ِ ‫بِا ْل َي ِق‬ ِ ‫ٌوالش ٌال ُم‬.ٌ ُ َ َ َ َّ ٍ ‫ٌ َح َد‬-ٌ ‫ٌ ِم ْن‬-ٌ ‫ٌَم ْنهٌُ َناقِض‬ ٌَ‫ٌوه َُوٌأ ْن ٌيَشُكَّ ٌبَ ْعد‬،ٌ‫َا‬ َ ٌ:ٌ‫ٌالثانِيَة‬.ٌ ‫ٌأ ْم ٌَْل‬-ٌ ‫ب‬ ٌُ َ ‫ٌ َهلٌْ َح‬،ٌِ‫طه ِْره‬ ِ ‫صل‬ َ ٌ ‫ث ٌأ ْو‬ ُ ‫ع ْك‬ َ ‫سه‬ ٍ َ‫سب‬ ُ َ َ َّ ُّ ْ ْ ْ ‫ا‬ َ ْ ُ َ َّ‫َك‬ ٌ‫ق‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫س‬ ‫ال‬ ٌ‫ي‬ ‫ف‬ ٌ ‫ش‬ ‫ٌو‬ ‫ث‬ ‫د‬ َ ‫ح‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ٌو‬ ‫ْر‬ ‫ه‬ ‫ط‬ ‫ٌال‬ ‫ن‬ ‫ٌم‬ ‫َُل‬ ‫ك‬ ٌ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ َ ٌ:ٌ ‫ة‬ ‫ث‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ث‬ ‫ٌال‬.ٌ ‫ٌْل‬ ‫م‬ ‫أ‬ ٌ ‫ُوء‬ ‫ض‬ ‫ٌو‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫ٌم‬ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫ح‬ ٌ ‫ل‬ ‫ه‬ ٌ،ٌ ‫ه‬ ‫ث‬ ‫د‬ َ ‫ح‬ ٌ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ِ ِ ِ ِِ َ ِ ِ َ ِ َ َ ِ ُ ِ َ َ َ ْ ْ َِ ِ ِ َّ 53.ٌ‫م ْنهما‬ َُ ِ

49 Manshûr bin Yûnus al-Bahûtî, Kasyâf al-Qinâ’ (Riyâdl: Maktabah al-Nadlr al-Hadîtsah, t.t.), vol. 1, 132. 50 Muhammad ‘Alî bin `Ahmad bin Sa’îd `Ibn Hazm, al-Muhallâ (Beirut: Mansyûrât al-Maktab al-Tijârî, t.t.), vol. 2, 79. 51 `Ahmad bin `Idrîs al-Qarâfî, al-Dzakhîrah (Cairo: Mathba’ah Kulliyyah al-Syarî’ah, t.t.), vol. 1, 212-3. 52 al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 367. 53 Abû al-Barakât `Ahmad bin Muhammad al-Dardîrî, al-Syarh al-Shaghîr (Cairo: Dâr al-Ma’ârif, 1973), vol. 1, 147-8.

15

Kesimpulannya dalam masalah ini, perbedaan pendapat terjadi seputar dua konsep asal yaitu “‫ ”األصل الطهارة‬dan “‫”األصل براءة الذمة‬. Maka mayoritas ulama berpegangan kepada “‫”األصل الطهارة‬. Sedangkan mazhab Maliki berpegang kepada “‫”األصل براءة الذمة‬.54

54 al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 367

16

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1. Definisi kaidah fiqh memiliki beberapa perbedaan pendapat di antara ulama. Akan tetapi apa yang jelas adalah definisi yang diberikan Ahmad al-Nadwî: Dasar fiqhi yang global terkandung di dalamnya hukum-hukum syariat yang umum dari berbagai bab yang berbeda-beda di dalam ketetapan-ketetapan yang masuk di dalam ruanglingkupnya. Sedangkan perbedaan antara kaidah dan dlâbith: Kaidah terkandung di bawahnya banyak sekali cabang fiqh dari berbagai bab, sedangkan dlâbith cabang yang berada di bawahnya dikhususkan ke dalam satu bab tertentu. 2. Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut : 

Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan



Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

3. Kaidah fiqh sudah wujud sejak wahyu turun. Ia berupa kata-kata yang dikeluarkan Nabi Muhammad SAW, seperti “‫”ال ضرر وال ضرار‬. Selanjutnya kaidah yang merupakan pendapat (ijtihad) sahabat dan tabiin. Sebelum kaidah fiqh dikodefikasi, ia terlebih dahulu tertulis di dalam kitab-kitab Imam mazhab seperti “‫ ”الخراج‬karangan Abû Yûsuf dan “‫”األم‬ karangan Imam al-Syâfi’î. Yang paling awal mengumpulkan kaidah fiqh adalah `Abû Thâhir al-Dabbâs (Hanafi). Sedangkan yang paling awal mengkodefikasi kaidah fiqh adalah `Abû Hasan al-Karakhî. Selanjutnya kaidah fiqh berkembang sampai kepada beberapa mazhab. 4. Kaidah fiqh merupakan hasil ijtihad ulama. Oleh karena itu, tentunya ada yang disepakati adanya dan ada yang masih terjadi khilâf akan kelegalannya. Khilâf ini terjadi sesuai dengan konsep mazhab masing-masing.

17

Related Documents

Kaidah Kedua
December 2019 57
Kaidah Hisab
May 2020 39
Kaidah Jurnalistik
June 2020 35
Kaidah Darurat.docx
December 2019 35

More Documents from "Anonymous A1ZJROwSdj"