CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) Febby Farihindarto 102018060
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah merupakan menurunnya fungsi ginjal yang berlangsung lama dan bertahap, sifatnya progresif dengan kreatinin klirens. Penurunan atau kegagalan fungsi ginjal berupa fungsi ekskresi, fungsi pengaturan, dan fungsi hormonal dari ginjal. Sebagai kegagalan sistem sekresi menyebabkan menumpuknya zat-zat toksik dalam tubuh yang kemudian menyebabkan sindroma uremia. Terapi pengganti pada pasien GGK dapat mempertahankan hidup sampai beberapa tahun. Salah satu terapi pengganti adalah Hemodialisis (HD) yang bertujuan menggantikan fungsi ginjal sehingga dapat memperpanjang kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik. Pasien Hemodialisa (HD) rutin diartikan sebagai pasien gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan hemodialisi dengan 2 atau 3 kali seminggu, sekurang-kurangnya sudah berlangsung selama 3 bulan secara kontinue. Pada pasien GGK yang menjalani HD rutin sering mengalami kelebihan volume cairan dalam tubuh, hal ini disebabkan penurunan fungsi ginjal dalam mengekresikan cairan.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 4060 kasus perjuta penduduk pertahun.
KLASIFIKASI
Sistem klasifikasi CKD yang sering dipakai diperkenalkan oleh NKF-K/QODI berdasarkan tingkat GFR, bersama berbagai parameter klinis, laboratorium dan pencitraan. Tujuan adanya system klasifikasi adalah untuk pencegahan, identifikasi awal gangguan ginjal, dan penatalaksanaan yang dapat mengubah perjalanan penyakit sehingga terhindar dari end stage renal disease (ESDR). Namun demikian system klasifikasi ini hanya dapat diterapkan pada Hal. 1
pasien dengan usia 2 tahun keatas, karena adanya proses pematangan fungsi ginjal pada anak dengan usia di bawah 2 tahun.
KLASIFIKASI STADIUM CKD
Klasifikasi menurut NICE 2008 1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK 2. Proteinuria a. Urin ACR (albumin clearance ratio) 30 mg/mmol atau lebih b. Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih 3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori: a. LFG 45-59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3 A) b. LFG 30-44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3 B) 4. Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi usia
Stadium
GFR (ml/mnt/1,73 m2)
DESKRIPSI
1
β₯90
Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat
2
60-89
Kerusakan ginjal dengan penuruna GFR ringan
3
30-59
Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang
4
15-29
Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat
5
<15
Gagal ginjal
LFG dihitung berdasarkan rumus Kockkroft-Gault: LFG ml/min/1,73 m2:
(140βπ’ππ’π)π₯ πππππ‘ πππππ ππ ) ππ
72 π₯ πππππ‘ππππ ππππ ππ (
Ket: wanita x 0,742
Creatinine Clearance Test (ml/mnt) =
(140βπ’ππ’π)π₯ π΅π΅ ππ ) ππΏ
72 π₯ πππππ‘ππππ ππππ ππ (
(Ket: wanita x 0,85)
Hal. 2
Kriteria Penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi Penyakit ginjal diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat) Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati) Penyakit
tubulointersisial
(pielonefritis
kronik, batuk, obstruksi, keracunan obat) Penyakit kistik (Ginjal Polikistik) Penyakit pada transplantasi
Rejeksi kronik Keracunan obat (sikloporin/takrolimus) Penyakit recurrent (glomerular) Transplant glomerulopathy
ETIOLOGI
Penyakit gagal ginjal kronik dapat dibagi dua, yaitu: 1. kelainan parenkim ginjal -
-
penyakit ginjal primer ο·
glomerulonephritis
ο·
pielonefritis
ο·
ginjal polikistik
ο·
TBC ginjal
penyakit ginjal sekunder ο·
nefritis lupus
ο·
nefropati analgesic
ο·
amyloidosis ginjal
2. penyakit ginjal obstruktif -
pembesaran prostat
-
batu saluran kencing
Kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD ο· Riwayat penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik lainnya di keluarga ο· Bayi dengan berat badan lahir rendah Hal. 3
ο· Anak-anak dengan riwayat gagal ginjal akut akibat hipoksia perinatal atau serangan akut lainnya pada ginjal ο· Hipoplasia atau displasia ginjal ο· Gangguan urologis, terutama uropati obstruktif ο· Refluks vesikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih berulang dan parut di ginjal ο· Riwayat menderita sindrom nefrotik dan nefritis akut ο· Riwayat menderita sindrom uremik hemolitik ο· Riwayat menderita purpura Henoch-SchoΜnlein ο· Diabetes Melitus ο· Lupus Eritermatosus Sistemik ο· Riwayat menderita hipertensi ο· Penggunaan jangka panjang obat anti inflamasi non steroid
PATOGENESIS CKD
Glomerulosklerosis Progresifitas menjadi CKD berhubungan dengan sklerosis progresif glomeruli yang dipengaruhi oleh sel intraglomerular dan sel ekstraglomerular. Kerusakan sel intraglomerular dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel epitel) dan ekstrinsik (trombosit, limfosit, monosit/makrofag). Sel endotel dapat mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik, metabolik dan imunologis. Kerusakan ini berhubungan dengan reduksi fungsi antiinflamasi dan antikoagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit serta pembentukan mikrotrombus pada kapiler glomerulus serta munculnya mikroinflamasi. Akibat mikroinflamasi, monosit menstimulasi proliferasi sel mesangium sedangkan faktor pertumbuhan dapat mempengaruhi sel mesangium yang berproliferasi menjadi sel miofibroblas sehingga mengakibatkan sklerosis mesangium. Karena podosit tidak mampu bereplikasi terhadap jejas sehingga terjadi peregangan di sepanjang membrana basalis glomerulus dan menarik sel inflamasi yang berinteraksi dengan sel epitel parietal menyebabkan formasi adesi kapsular dan glomerulosklerosis, akibatnya terjadi akumulasi material amorf di celah paraglomerular dan kerusakan taut glomerulo-tubular sehingga pada akhirnya terjadi atrofi tubular dan fibrosis interstisial
Hal. 4
Parut tubulointersisial Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi, proliferasi fibroblas interstisial, dan deposisi matriks ekstra selular berlebihan. Gangguan keseimbangan produksi dan pemecahan matriks ekstra selular mengakibatkan fibrosis ireversibel
Sklerosis vascular Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular mengeksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis. Tunika adventisia pembuluh darah merupakan sumber miofibroblas yang berperan dalam berkembangnya fibrosis interstisial ginjal. Terdapat 3 mekanisme yang terlibat pada pathogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu: 1. hemolysis. Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialysis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolysis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan ke pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang yang sehat memiliki waktu hidup yang normal.Efek factor yang terkandung pada uremic lasma pada Na-ATPase membrane dan enzim dari Pentosa phosphate shunt pada eritrosit diperkirakan merupakan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolysis. Kelainan fungsi dari pentosa phosphate shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolysis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormone PTH pada darah akibat sekunder hiperparatiroidisme juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotic dari sel darah merah manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hiperparatiroidisme dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respons sumsung tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan Hal. 5
rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolysis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat
oral,
dengan
penurunan
intraseluler
adenine
nucleotides
dan
2,3-
diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat komplikasi dari prosedur dialysis atau dari intrinsic imunlogi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolysis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, penghambatan hexose monophosphate shunt dan hemolysis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, dan formaldehyde. Autoimun dan kelainan biokimia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenisme merupakan gejala sisa akibat transfuse, yang distimulasi oleh pembentukan antibody, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati, kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Perburukan hemolysis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegaly atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodusa, SLE dan hipertensi maligna
2. defisiensi eritropoetin hemolysis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa factor lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respons eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal berat. Produksi eritropoetin yang tiak adekuat ini merupakan akibat kerusakan progresif dari ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin pada pathogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi eritropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonephritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis kronik yang biasanya merupakan akibat dari gagal ginjal ginjal terminal terancam timbul Hal. 6
inflamasi akibat efek imunosupresif. Saat proses inflamasi, ekspresi dari EPO berkurang atau terganggu, hal ini disebabkan oleh sitokin membentuk reactive oxygen species (ROS), yang akan mengganggu proses transkripsi EPO serta merusak sel-sel pembentuk EPO. Selain itu, sitokin juga dapat merusak sel progenitor erytroid secara langsung melalui pembentukan radikal bebas seperti nitric oxide atau superoxide anion.
3. penghambatan eritropoetin penghambatan respons sel precursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksintoksin remia yang menekan proses eritropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi regular dialysis. Hb biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit karena penurunan kadar eritropoetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormone. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritopoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikan, leukopenia dan trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari uremia dan disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan pada pathogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis sumsum tulang dan penurunan massa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroidisme dan anemia pada gagal ginjal. Hal. 7
4. mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal terminal dengan regular hemodialysis adalah intoksikasi aluminium akbat terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat aluminium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar ferritin serumnya meningkat atau normal pada pasien hemodialysis menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi aluminium. Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobin. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritorpoesis melalui penghambatan metabolism besi normal dengan mengikat transferrin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara precursor sel darah merah pada sumsum tulang.
MANIFESTASI KLINIS -
Klien tampak lemah
-
Sesak dan batuk
-
Nafas klien terdapat bunyi ronchi basah basal
-
Konjungtiva anemis
-
Respirasi cepat
-
Takikardi
-
Edema
-
Hipertensi
-
Anoreksi, nausea, vomitus, dan ulserasi lambung
-
Asidosis metabolic
-
Stomatitis
-
Proteinuria dan hyperkalemia
-
Letargi, apatis, penurunan kesadaran
-
Turgor kulit jelek, gatal
Penegakkan Diagnosa
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut: a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
Hal. 8
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional e. Meramalkan prognosis Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus. 1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
2. Pemeriksaan Laboratorium Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. a) Pemeriksaan Faal Ginjal Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). b) Etiologi Gagal Ginjal Kronik (CKD) Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis. c) Pemeriksaan Laboratorium untuk Perjalanan Penyakit Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG). 3. Pemeriksaan Penunjang a) Foto Potos Abdomen b) USG Ginjal Memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. c) Biopsi dan Pemeriksaan Histipatologi Ginjal Dilakukan pada ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara non invasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histipatologi ini bertujuan Hal. 9
untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
DIAGNOSIS
Diagnosis GGK ditegakkan apabila LFG < 60 ml/min/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran radiologic. Bila dari hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid obesity
Komplikasi
Banyak komplikasi yang timbul seiring dengan penurunan fungsi ginjal, seperti : komplikasi hematologis, penyakit vaskular dan hipertensi, dehidrasi, kulit, gastrointestinal, endokrin, neurologis dan psikiatrik, imunologis, lipid, dan penyakit jantung. Serta gangguan keseimbangan asam dan basa, cairan dan elektrolit, osteodistrofi ginjal dan anemia.(5:158) ο·
Pada gagal ginjal progresif, terjadi beban volume, ketidakseimbangan elektrolit,
asidosis metabolik, azotemia, dan uremia. ο·
Pada gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi azotemia berat dan
uremia berat. Asidosis metabolik memburuk, yang secara mencolok merangsang kecepatan pernapasan. ο·
Hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, ensefalopati, uremik, dan pruritus
(gatal) adalah komplikasi yang sering terjadi. ο·
Penurunan pembentukan eritropoietin dapat menyebabkan sindrom anemia
kardiovaskular, dan penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Penatalaksanaan
Hal. 10
Rencana tatalaksana CKD dibagi atas derajatnya, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Terapi farmakologis
CKD berfokus pada renin angiotensin aldosteron blokade (Raas) dan kontrol tekanan darah. Manajemen juga mencakup pengelolaan yang optimal dari kondisi komorbiditas umum seperti diabetes dan mengatasi faktor risiko kardiovaskular untuk mengurangi risiko Cardiovaskular disease. Terapi Raas dengan baik sebagai angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB) dianjurkan untuk pasien dengan CKD untuk mencegah atau mengurangi tingkat pengembangan untuk ESRD. Sebuah ACEI atau ARB harus menjadi agen lini pertama untuk terapi antihipertensi untuk pasien CKD dan dianjurkan untuk pasien dengan albuminuria terlepas dari kebutuhan untuk mengontrol tekanan darah. Angiotensin menyebabkan vasokonstriksi arteriol eferen lebih besar daripada afferent arteriol, yang mengarah ke glomerulus hipertensi. Hal ini menyebabkan hiperfiltrasi dan hiperfiltrasi berkepanjangan menyebabkan kerusakan glomerulus struktural dan fungsional. Kedua ACEI dan ARB dapat membalikkan proses ini dan menunda perkembangan penyakit ginjal. Sementara penurunan tekanan intraglomerular memiliki manfaat jangka panjang, dapat menyebabkan kenaikan kecil dalam serum kreatinin dalam jangka pendek, karena GFR berhubungan langsung dengan tekanan intraglomerular. Kenaikan hingga 20-30% di atas dasar yang dapat diterima dan tidak alasan untuk menahan pengobatan kecuali hiperkalemia berkembang.
Dalam kondisi seperti stenosis arteri ginjal bilateral, di mana angiotensin melayani peran penting menjaga tekanan intraglomerular dan GFR, blokade dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Dengan demikian, memeriksa kreatinin serum dan kalium sekitar 12 minggu setelah memulai atau mengubah dosis ACEI atau ARB dianjurkan. Memilih Hal. 11
ACEI atau ARB. ACEI dan ARB tidak berbeda secara signifikan dalam hal kematian secara keseluruhan, pengembangan menjadi ESRD, atau efek anti-proteinuric mereka. Seleksi awal dari obat tertentu harus berdasarkan biaya, potensi efek samping, dan keinginan pasien. Kedua kelas obat telah dipelajari secara ekstensif. Namun, volume yang lebih tinggi dari bukti dan lebih landmark penelitian telah dilakukan dengan ACEI dibandingkan dengan ARB. Oleh karena itu, para ahli umumnya merekomendasikan dimulai dengan ACEI. Namun, ACEI memiliki tingkat yang lebih tinggi dari batuk dan dapat menyebabkan peningkatan yang sedikit lebih besar dari kalium dan kadar kreatinin serum dibandingkan dengan ARB. Dengan penurunan fungsi ginjal, mulai dosis untuk kedua ACEI dan ARB lebih rendah. Dosis titrasi harus dilakukan perlahan-lahan sesuai kebutuhan untuk mengontrol tekanan darah atau albuminuria. Mulai ACEI atau ARB. Seperti dibahas di atas, ketika memulai ACEI atau ARB, pemantauan tekanan darah, kalium, dan kadar kreatinin serum penting. Kalium dan / atau serum kreatinin diperkirakan meningkat ketika memulai atau mengubah dosis dari ACEI atau ARB. Mendapatkan kalium dan kreatinin serum tingkat sebelum memulai atau mengubah dosis. (Jika sudah diukur dalam dua minggu sebelumnya, pengukuran yang dapat digunakan.) Satu sampai dua minggu setelah inisiasi atau dosis perubahan, periksa kalium dan kadar kreatinin serum.
Banyak dokter akan mentolerir tingkat kalium hingga 5,5 mEq / L dan peningkatan kreatinin serum hingga 30% dari baseline dalam tiga bulan pertama dengan pengawasan yang ketat. Obat mungkin perlu dikurangi atau dihentikan jika tingkat kalium tetap tinggi di> 5.5mEq / L atau jika kreatinin serum terus meningkat atau tidak membaik. Secara umum, terapi ganda dengan ACEI dan ARB tidak dianjurkan. Studi sampai saat ini belum menunjukkan manfaat klinis yang signifikan terhadap mortalitas keseluruhan untuk terapi ganda lebih monoterapi. Meskipun beberapa efek anti-proteinuric aditif terjadi ketika dua agen Raas digunakan, studi ONTARGET menunjukkan bahwa terapi ganda meningkatkan risiko memburuknya fungsi ginjal dan hiperkalemia. Beberapa RCT besar sedang dilakukan untuk menilai peran terapi ganda untuk pasien CKD khusus.
Terapi ganda dengan ACEI dan ARB harus dipertimbangkan hanya untuk pasien dengan albuminuria berat (> 1 g / hari). Sebuah nefrologi berkonsultasi harus diperoleh pada saat ini untuk membantu memulai dan memantau terapi Raas ganda. Hal. 12
Spironolactone. Peningkatan bukti menunjukkan bahwa reseptor aldosteron antagonis spironolactone dapat menurunkan albuminuria dan beberapa penelitian kecil telah dievaluasi kombinasi dengan ACEI atau ARB
DAFTAR PUSTAKA
BC Guidelines.ca: Chronic Kidney Disease - Identification, Evaluation and Management of Adult Patients. 2014. Chronic Kidney Disease (CKD) Clinical Practice Recommendationsfor Primary Care Physiciansand Healthcare Providers. Divisions Of Nephrology & Hypertension And General Internal Medicine. 2011. Kdoqi, National Kidney F. KDOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice Recommendations for Anemia in Chronic Kidney Disease. American journal of kidney diseases : the official journal of the National Kidney Foundation. 2011 Kidney International Organization. 2009. KDIGO Clinical Practice Guideline for the Diagnosis, Evaluation, Prevention, and Treatment of Chronic Kidney R. Putz, R. Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 21 Jilid 2. Jakarta: EGC. 2006. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al., 3rd ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing 2009:1035-1040.
Hal. 13