Makalah Farmakoterapi Rhinitis.docx

  • Uploaded by: Zayyin Wardiah
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Farmakoterapi Rhinitis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,313
  • Pages: 22
MAKALAH FARMAKOTERAPI III RHINITIS ALERGI

MUHAMMAD SAFRUDIN

1613015030

KURNYA

1613015078

INVITA ROBAYANI SAFIRA

1613015090

ZAYYIN WARDIAH

1613015093

MELINDA

1613015114

TIKA RISTIANI

1613015129

YELFIANI LI’LAK TODINGAN

1613015147

IRENE MAYDY

1613015162

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MULAWARMAN 2019

i

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb Alhamdulilah puji dan syukur atas ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan karunianya kepada penyusun sehingga dapat menyelesaikan makalah Farmakoterapi III ini tepat waktu. Adapun tujuan penulis membuat makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas makalah pada mata kuliah Farmakoterapi III. Semoga makalah yang disusun oleh kami sebagai penyusun ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pembaca. Demikian makalah ini dibuat dan kami menyadari di dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan maka daripada itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk mencapai kesempurnaan makalah ini agar lebih baik lagi, dan atas kritik dan saran kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb

Samarinda, 25 Maret 2019

Penyusun

ii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI ...........................................................................................................3 BAB I

PENDAHULUAN ..................................................................................4

BAB II

PEMBAHASAN ....................................................................................6

BAB III KESIMPULAN ....................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................16

3

BAB 1 PENDAHULUAN Rinitis alergi (AR) adalah penyakit umum yang menyerang 5-45% populasi Asia. Walaupun itu bukan penyakit yang mengancam jiwa, AR secara signifikan menghambat kualitas hidup penderita. Secara epidemiologis, AR memengaruhi 1030% dari populasi dunia dan prevalensi masih meningkat. Menurut World Allergy Report 2008, prevalensi AR di RSUP negara berpenghasilan rendah dan menengah di Asia- Wilayah Pasifik diperkirakan sekitar 5–45%. Sayangnya, tingkat prevalensinya di kalangan orang dewasa di Indonesia masih belum diketahui Sementara itu, ditunjukkan bahwa 64,6% AR pasien yang mengunjungi Departemen Kesehatan THT-Bedah Kepala & Leher, Dr. Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin Bandung berusia antara 10 hingga 29 tahun, relative kelompok usia produktif. Selain itu, juga ditemukan, berdasarkan pekerjaan, 45,1% dari pasien adalah pelajar (Fauzi, dkk, 2015). Rinitis alergi didefinisikan sebagai gejala bersin, pruritus hidung, obstruksi aliran udara, dan sebagian besar membersihkan hidung yang disebabkan oleh reaksi yang dimediasi Ig E terhadap alergen yang dihirup. Alergen dari dalam ruangan, seperti tungau debu, hewan peliharaan, hama, dan lain-lain. Adanya rhinitis alergi (musiman atau perennial) secara signifikan meningkatkan kemungkinan asma, yakni hingga 40% orang dengan rinitis alergi memiliki atau akan menderita asma. Gejala musiman dapat disebabkan oleh infeksi virus, terutama jika pasien adalah anak-anak atau hidup bersama anak-anak; rhinovirus memiliki puncak insidensi pada bulan September dan lebih kecil puncak pada musim semi. Gejala umum AR sering mengganggu kualitas hidup termasuk pola tidur yang selanjutnya dapat menyebabkan kelelahan, kantuk, ketidakstabilan emosional, dan penurunan produktivitas (Lisa, dkk, 2015). Faktor resiko yang dapat meningkatkan potensi terkena rhinitis pada seseorang antara lain yaitu faktor keturunan, resiko meningkat jika orang tua atau saudara kandung juga memiliki kondisi yang sama. Selain itu dapat dipicu karna memiliki alergi jenis lain, seperti asma, atopic dermatitis dan alergi terhadap

4

makanan. Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi, seperti pengrajin mebel yang terus terpajan debu kayu. Serta paparan asap rokok menyebabkan bayi yang terpapar asap rokok memiliki risiko mengalami rhinitis alergi di kemudian hari. Dalam pengobatan rhinitis alergi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu yang pertama dengan obat-obatan. Terapi pengobatan berupa obat-obat golongan antihistamin, dekongestan, leukotriene inhibitor, serta intranasal antikolinergik. Keuntungan terapi rhinitis alergi dengan obat-obatan yaitu dapat berdasarkan preferensi pasien, onsetnya cepat, dapat mengendalikan gejala rhinitis non-alergi dan memiliki banyak pilihan. Kerugiannya yaitu biaya obatnya serta efek samping yang ditimbulkan. Cara yang kedua yaitu dengan Immunoterapi Spesifik (ITS) merupakan intervensi pengobatan berupa tindakan pemberian atau penyuntikan alergen yang berulang dengan dosis meningkat bertahap pada pasien yang menujukkan tanda alergi dengan tujuan memberi perlindungan terhadap timbulnya gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat paparan alergen. Jenis ITS antara lain ITS konvensional, rush immunotherapy based on SET, Skin Endpoint Titration immunotherapy, dan imunoterapi sublingual. Cara penyuntikan ITS konvensional secara subkutan dapat diikuti edema lokal sampai hematoma. Pada dosis peningkatan ITS metode konvensional dilaporkan terjadi reaksi sistemik mulai dari meningkatnya gejala RA, urtikaria serangan asma sampai reaksi anafilaktik, pemah dilaporkan adanya kematian walaupun sangat kecil. Imunoterapi spesifik, menurut banyak peneliti telah berhasil menurunkan gejala RA, akumulasi eosinofil, dan menekan fungsi sel pro inflamatori lainnya. Pengobatan memerlukan kesabaran dan kepatuhan karena memakan waktu cukup lama 3-5 tahun, serta harus dilakukan penyuntikan periodik berulang dengan biaya yang cukup mahal.

5

BAB II PEMBAHASAN

A. DEFINISI RINITIS Rhinitis ditandai dengan adanya satu atau lebih pada hidung berikut, gejala yang muncul yaitu kongesti, rinore anterior atau posterior, bersin, dan pruritus. Rinitis yang tidak terkontrol merupakan penyebab signifikan terhadap gangguan kualitas hidup karena ketidaknyamanan wajah, kelelahan, gangguan kognitif, dan gangguan tidur bagi penderita. Penatalaksanaan rhinitis yang tepat juga penting untuk mengontrol asma secara optimal. Berbagai jenis rinitis yang umum disebabkan oleh peradangan pada lapisan epitel rongga hidung, seperti terjadi dengan rinitis alergi atau infeksi. Bentuk lain dari rhinitis termasuk rhinitis kehamilan, rhinitis atrofi, rhinitis medicamentosa, dan rinitis yang berhubungan dengan penyakit sistemik, seperti granulomatosis dengan polio-rangiitis (dikenal sebagai granulomatosis Wegener) atau granulomatosis eosinofilik dengan poliangiitis (sindrom Churg-Strauss). Penyakit-penyakit ini juga dapat muncul saat penderita sedang hamil dan harus dipertimbangkan, terutama dengan gejala yang berat (Jr, Bulkhi, & Lockey, 2018).

B. KLASIFIKASI RINITIS Secara umum rhinitis diklasifikasikan menjadi beberapa bagian yaitu: 1. Allergic Rhinitis Gejala fase awal termasuk hidung tersumbat, bersin, rinore, dan pruritus. Delapan puluh persen subjek juga dapat menderita konjungtivitis alergi yang menyebabkan gatal, kemerahan, dan sobekan pada mata. Hidung tersumbat mendominasi reaksi fase akhir. Paparan alergen yang terus menerus menyebabkan gejala kronis. Ketika hidung dan mata terpengaruh, disebut sebagai rhinoconjunctivitis (Jr et al., 2018).

6

2. Hormonal Rhinitis Rinitis kehamilan dikaitkan dengan hidung tersumbat biasanya dimulai setelah 2 bulan kehamilan dan terjadi pada sekitar 30% wanita. Penyebabnya adalah peningkatan prolaktin, peptida usus vasoaktif, hormon pertumbuhan plasenta, progesteron, dan estrogen yang mempengaruhi pembuluh darah hidung, menghasilkan pembuluh darah pembengkakan dan peningkatan aktivitas kelenjar mukosa. Rinitis kehamilan biasanya mereda 2 minggu postpartum (Jr et al., 2018)

3. Infectious Rhinitis Infectious Rhinitis, terkait dengan infeksi saluran pernapasan atas (URI) atau pilek, merupakan penyakit radang akut saluran napas bagian atas. URI terutama disebabkan oleh infeksi virus akut. Virus umum termasuk rhinovirus (30–50%), coronavirus (10–15%), virus influenza (5– 15%), pernapasan virus syncytial (5%), virus parainfluenza (5%), adenovirus (<5%), dan enterovirus (<5%). Gejalanya meliputi hidung tersumbat, sensasi ketidaknyamanan dan tekanan di wajah, sakit kepala, gangguan penciuman, batuk, dan tetesan postnasal (Jr et al., 2018).

4. Non-allergic Rhinitis Rinitis non alergi, juga disebut sebagai vasomotor atau rhinitis idiopatik. Kadang-kadang dikaitkan dengan rhinitis gustatory, yaitu rhinorrhea diperburuk dengan makan. Penderita dengan rinitis non alergi tampaknya telah meningkatkan sensitivitas terhadap rangsangan nosiseptif seperti iritasi aerosol, pedas makanan, perubahan suhu lingkungan, konsumsi alcohol dan udara kering yang dingin. Gejalanya bervariasi dan sebagian besar terdiri dari sumbatan hidung dan rhinorrhea, baik anterior dan ke faring posterior (postnasal drip). Bersin dan pruritus jarang terjadi (Jr et al., 2018).

7

5. Nonallergic Rhinitis with Eosinophilia Syndrome (NARES) Rinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia (NARES) adalah bentuk radang rhinitis non alergi. Penderita memiliki gejala tahunan termasuk bersin, rhinorrhea encer, pruritus hidung, kongesti, dan intermiten menurunkan sensasi penciuman (Jr et al., 2018).

6. Occupational Rhinitis Occupational Rhinitis, baik alergi atau non-alergi, masing-masing disebabkan oleh alergen atau iritan, yang ditemukan di tempat kerja. Contoh zat yang dapat menyebabkan rinitis alergi termasuk emanasi hewan dan makanan. Deterjen, seperti yang mengandung klorin atau ammonia dapat mengakibatkan Occupational Rhinitis (Jr et al., 2018)

7. Drug-Induced Rhinitis and Rhinitis Medicamentosa Rinitis yang diinduksi oleh obat disebabkan oleh berbagai macam obat, beberapa di antaranya termasuk ACE inhibitor, antagonis reseptor alfa, fosfodiesterase inhibitor, beta-blocker, dan blocker saluran kalsium. Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid lainnya (NSAID) dapat memperburuk rhinitis penyakit pernapasan yang diperparah dengan aspirin. Rhinitis medicamentosa berkembang dari penggunaan agen alpha adrenergic topikal yang berkepanjangan seperti oxymetazoline dan phenylephrine. Gejala disebabkan oleh hipertrofi mukosa hidung, hilangnya struktur nasosiliar, dan sel piala hiperplasia dengan penyumbatan hidung kembali setelah penggunaan berulang obat-obatan ini. Ini dapat berkembang hanya dalam 3 hari, tetapi seringkali lebih lama interval penggunaan. Penggunaan

kokain

intranasal

juga

dapat

menyebabkan

rhinitis

medicamentosa (Jr et al., 2018).

8

8. Atrophic Rhinitis Rinitis atrofi disebabkan oleh atrofi mukosa hidung, mengakibatkan erosi hidung dan pengerasan, gumpalan darah dan darah, dan kekeringan dan terkadang bau busuk. Etiologi rinitis atrofi idiopatik primer adalah tidak diketahui. Namun, penyakit ini juga berhubungan dengan infeksi berulang dan kronis, penyakit granulomatosa kronis (seperti TBC), operasi berulang, atau terapi radiasi. Sekresi mungkin bernanah. Superinfeksi, jika dicurigai, umumnya disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus (Jr et al., 2018).

C. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI Rinitis alergi adalah salah satu gangguan medis paling umum yang ditemukan pada manusia. Diperkirakan 20% hingga 30% dari populasi orang dewasa Amerika dan hingga 40% anak-anak terpengaruh, dengan beberapa percaya bahwa persentasenya jauh lebih tinggi. Peringkat ini sebagai penyakit kronis paling umum keenam di Amerika Serikat. Pasien terbatas dalam kemampuan mereka untuk melakukan fungsi sehari-hari yang normal: tingkat kelelahan umum yang lebih tinggi, kelelahan mental, kecemasan, dan terlihat gangguan depresi. Selain itu, dampak rinitis alergi jauh melampaui masalah sistem saraf pusat ini. Rinitis alergi dikaitkan dengan beberapa kondisi medis serius lainnya, termasuk asma, rinosinusitis, otitis media, poliposis hidung, infeksi pernapasan, dan maloklusi ortodontik. (Dipiro J.T., et al. 2005)

D. DIAGNOSA 

Riwayat medis, mencakup deskripsi gejala, faktor lingkungan dan paparan yang cermat, hasil terapi sebelumnya, penggunaan obatobatan, cedera atau operasi hidung sebelumnya, dan riwayat keluarga.



Pemeriksaan

mikroskopis

dari

kerokan

hidung

biasanya

mengungkapkan banyak eosinofil. Jumlah eosinofil darah perifer

9

mungkin meningkat, tetapi tidak spesifik dan memiliki kegunaan yang terbatas. 

Tes alergi dapat membantu menentukan apakah rinitis disebabkan oleh respons imun terhadap alergen. Tes kulit tipe hipersensitif biasanya digunakan. Pengujian perkutan lebih aman dan lebih umum diterima daripada pengujian intradermal, yang biasanya disediakan untuk pasien yang membutuhkan konfirmasi. Tes radioallergosorbent (RAST) dapat mendeteksi antibodi IgE dalam darah yang spesifik untuk antigen yang diberikan, tetapi kurang sensitif dibandingkan tes perkutan. (Dipiro J.T., et al. 2015)

E. PATOFISIOLOGI Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua yaitu reaksi alergi fase cepat dan reaksi alergi fase lambat. Reaksi alergi fase cepat berlangsung sejak kontak dengan alergen hingga satu jam setelahnya sedangkan reaksi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah paparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. (Gentile, 2013). Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit berperan sebagai sel penyaji atau Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen peptida pendek dan bergabung dengan molekul Human Leucocyte Antigen atau HLA kelas II membentuk komplek peptida Major Hystocompatibility Complex atau MHC kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper yaitu Th0. Kemudian APC akan melepaskan sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B sehingga sel

10

limfosit B menjadi aktif dan memproduksi imunoglobulin E atau IgE. IgE di

sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi. Pada proses ini dihasilkan sel mediator yang tersensitisasi. .Jika mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar oleh alergen yang sama maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi sel mastosit dan basofil. Mediator kimia yang sudah terbentuk atau disebut juga preformed mediator seperti histamin akan terlepas. Selain itu juga dikeluarkan newly formed mediator seperti prostaglandin D2, leukotrien D4, leukotrien C4, bradikinin, platelet activating factor dan berbagai sitokin seperti IL 3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrofage Colony Stimulating FactorI (GM-CSF). Reaksi ini disebut reaksi alergi fase cepat. .Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin; hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore; vasodilatasi sinusoid sehingga menimbulkan hidung tersumbat; menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada reaksi alergi fase cepat, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Gejala akan berlanjut dan mencapai puncak setelah 6-8 jam. Reaksi ini disebut reaksi alergi fase lambat. .Reaksi alergi fase lambat ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Gejala hiperaktif dan hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), Eosinophilic Peroxidase (EPO) (Neil, 2014).

11

F. TANDA & GEJALA Gejala yang mendukung diagnosis rinitis alergi terdiri dari rinore berair, bersin paroksismal, obstruksi nasal, hidung gatal, dan konjungtivitis (mata berair,gatal atau bengkak) (Tanto et al., 2014). Tanda klinis yang diasosiasikan dengan rinitis alergi: 1. Allergic shinners (lingkaran hitam disekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi atau kongesti nasal). 2. Nasal/allergic release (suatu garis horizontal di dorsum hidung yang disebabkan oleh gesekan berulang ke atas pada ujung hidung oleh telapak tangan. 3. Pada pemeriksaan hidung ditemukan mukosa hidung edematosa atau hipertrofi, berwarna pucat atau kebiru-abuan, dan sekret cair. 4. Pada pemeriksaan mata dijumpai injeksi dan pembengkakan konjungtivitas palpebral dengan produksi air mata berlebihan, garis Dennie-Morgan (garis di bawah kelopak mata inferior).

12

G. ALGORITMA

13

14

15

H. TERAPI NON FARMAKOLOGI Salah satu terapi alergi adalah pencegahan terhadap paparan allergen. Namun, pencegahan alergi tidak mudah, apalagi jika allergen penyebabnya belum bisa dipastikan. Rumah harus kerap dibersihkan, tidak boleh memelihara binatang, sebaiknya tidak menggunakan bantal atau kasur kapuk (diganti dengan busa atau springbed) dan sebaiknya tidak menggunakan karpet. Jika memungkinkan, perlu digunakan penyaring udara berupa Air Conditioner (AC) atau High Efficiency Particulate Air (HEPA) filter. Hindarkan berada dekat bunga-bunga pada musim penyerbukan, dan gunakan masker pada saat berkebun (Ikawati, 2011).

I. TERAPI FARMAKOLOGI Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah dan mengurangi atau meminimalkan gejala. Obat-obat yang digunakan antara lain adalah: antihistamin, dekongestan nasal, kortikosteroid nasal, antikolinergik dan golongan kromolin (Ikawati, 2011). a. Oral antihistamin (H1-blocker) H1-blocker atau H1-antihistamin adalah senyawa yang memblokir histamin pada reseptor H1. H1-antihistamin oral efektif mengatasi gejala- gejala rinitis yang diperantarai oleh histamin, seperti rinore, bersin, hidung gatal dan gejala-gejala pada mata, tapi kurang efektif untuk mengatasi hidung tersumbat. Obat golongan ini terbukti aman untuk anak-anak. Oral antihistamin generasi pertama menimbulkan efek

samping

yang

signifikan

akibat

sifat

sedatif

dan

antikolinergiknya (ARIA, 2010). Contoh obat golongan ini antara lain adalah cetirizin, loratadin, dan fexofenadin.

b. Lokal H1 antihistamin (intranasal, intraokular) Intranasal

H1-antihistamin

beraksi

efektif

di

tempatnya

diadministrasikan dalam mengatasi gejala hidung gatal, kemerahan, tersumbat dan bersin-bersin. Intraokular H1-antihistamin efektif

16

dalam mengurangi gejala alergi di mata. Onset aksi obat golongan ini adalah sekitar 20 menit, dengan aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2010). Contoh obat golongan ini adalah azelastin, levocabastin dan olopatadin.

c. Lokal glukokortikosteroid Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik dalam penanganan rinitis alergi maupun non-alergi. Contoh obat golongan ini adalah metilprednisolon, flutikason, mometason, dan

lain

sebagainya.

Keuntungan

menggunakan

intranasal

glukokortikosteroid untuk penanganan rinitis alergi adalah konsentrasi obat yang tinggi pada nasal mukosa dapat tercapai tanpa adanya efek sistemik yang tidak diinginkan. Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala rinitis alergi maupun gejalagejala pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan gejala-gejala lain sering diderita pasien, maka obat golongan ini adalah first line therapy yang direkomendasikan di atas obat golongan lain. Melihat dari mekanisme aksinya, efek obat ini baru muncul 7-8 jam setelah pemakaian, namun efikasi maksimum kemungkinan baru tercapai dalam 2 minggu (Bousquet et al., 2008).

d. Oral/intramuskular glukokortikosteroid Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak merespon terhadap obat-obatan lain atau intoleran terhadap sediaan intranasal, perlu ditangani dengan glukokortikosteroid sistemik (misal: prednisolon) jangka pendek. Glukokortikosteroid dapat diberikan dalam sediaan oral ataupun depot-injection (misal: metilprednisolon). Pemberian jangka panjang yaitu selama beberapa minggu, dapat menimbulkan efek samping sistemik yang bermakna. Penggunaan intramuskular glukokortikosteroid tidak disarankan (Bousquet et al., 2008).

17

e. Lokal kromon (intranasal, intraokular) Obat golongan ini dikenal sebagai penstabil sel mast, karena bekerja dengan mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, termasuk histamin. Contoh obat golongan ini adalah kromoglikat dan nedokromil. Efek sampingnya yang paling sering adalah iritasi lokal yaitu bersin dan rasa perih pada membran mukosa hidung (Ikawati, 2011).

f. Dekongestan Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang beraksi pada reseptor α-adrenergik pada hidung yang menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan. Contoh obat golongan ini antara lain adalah pseudoefedrin dan oxymetazolin (intranasal). Penggunaan agen topikal yang lama dapat menyebabkan rinitis medicamentosa, oleh karena itu durasi terapi dengan dekongestan topikal sebaiknya dibatasi 3-5 hari. Sedangkan dekongestan oral secara umum tidak direkomendasikan, karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak memiliki efek samping (Ikawati, 2011).

g. Intranasal antikolinergik Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf kolinergik, efektif untuk pasien rinitis alergi maupun non-alergi, yang menderita gejala rinore. Efek samping topikal jarang ditemui, dan intensitasnya bersifat dose-dependent (Bousquet et al., 2008). Contoh obat golongan ini adalah ipratropium.

h. Antileukotrien Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor leukotrien. Contoh obat golongan ini adalah montelukast, pranlukast dan zafirlukast.

18

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa obat ini lebih efektif ketimbang placebo dan setara dengan oral H1-antihistamin, tetapi kurang unggul dibanding intranasal glukokortikosteroid dalam menangani rinitis alergi seasonal (Bousquet et al., 2008).

i. Imunoterapi Imunoterapi atau terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya diketahui. Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen yang dianggap dapat memicu timbulnya gejala alergi. Imunoterapi diindikasikan

bagi

pasien

yang

tidak

mempan

terhadap

farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan penghindaran allergen, dan telah tersedia ekstrak allergen yang sesuai. Imunoterapi dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma yang tidak stabil, penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat, penyakit autoimunitas dan kanker serta ibu hamil, karena beresiko menyebabkan reaksi anafilaksis sistemik pada janinnya (Ikawati, 2011).

19

BAB III KESIMPULAN a. Rinitis adalah inflamasi mukosa hidung yang dapat disebabkan oleh infeksi, alergi, atau iritasi. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, infeksi dapat berlangsung akut maupun kronis, dengan batasan waktu kurang atau lebih dari 12 minggu. b. Dalam pengobatan rhinitis alegi secara non farmakologis dapat dilakukan dengan cara pencegahan terhadap paparan allergen. c.

Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah dan mengurangi atau meminimalkan gejala. Obat-obat yang digunakan antara lain antihistamin, dekongestan nasal, kortikosteroid nasal, antikolinergik dan golongan kromolin.

20

DAFTAR PUSTAKA Aria. 2010. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma. Canada: World Health Organization. Bousquet, J. (2008). Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma. Allergy , 8-160. Creticos PS. The considerations of immunotherapy in the treatment of allergic asthma. Early life influences and interventions in asthma. J Allergy Clin Immunol 2000;1 05:S559-70. Dipiro, T.J., Talbert, I.R., Yee, C.G., Matzke, R.C., Wells, G.B. dan Posey, M.L., 2005,

Pharmacotherapy

Handbook

Sixth

Edition,

415-426,

The

McGrawHill Companies, United States of America. Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris. Fauzi, Melati Sudiro, Bony Wiem Lestari. 2015. Prevalence of Allergic Rhinitis based on World Health Organization (ARIA-WHO) questionnaire among Batch 2010 Students of the Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran. Althea Medical Journal. 2(4). Gentile D, Bartholow A, Valovirta E, Scadding G, Skoner D. Current and future directions in pediatric allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol in Practice. 2013; 1(3):214-26. Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Bursa Ilmu: Yogyakarta. Jr, M. P. C., Bulkhi, A. A., & Lockey, R. F. (2018). Asthma, Allergic and Immunologic Diseases During Pregnancy.

Asthma, Allergic and

Immunologic Diseases During Pregnancy. https://doi.org/10.1007/978-3030-03395-8

21

Li JT, Lockey RF, Bernstein IL, et al. Allergen Immunotherapy : a practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol 2003; 90: 1-40.

Lisa M. Wheatley, M.D., M.P.H. and Alkis Togias, M.D. 2015. Allergic Rhinitis. N Engl J Med. 2015 January 29; 372(5): 456–463. O’Neil JT, Mims JW. Allergic rhinitis. Dalam: Johnson JT,Rosen CA, penyunting. Head& Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-5. Texas: Lippincott Williams&Wilkins, 2014; h. 460-8. Sheldon S. Ideal Pharmacotherapy for Allergic Rhinitis : Patogenesis in Allergic Minitis. J Allergy Clin Immunol 1999;103:S378-8 l. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S. & Pradipta, E.A. 2014, Kapita Selekta Kedokteran, 4th ed, Media Aesculapius, Jakarta

22

Related Documents


More Documents from "Sony Eka Nugraha"