EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR TENTANG TUBERKULOSIS DAN KUSTA
DISUSUN OLEH: Muhammad Abdul Qirom (1700029002) Nurul Liana Herianti (1700029086) Wella Widyani (1700029195) Zilmand Vasothi (1700029287) Kelas: A
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2019
A. Tuberkulosis 1. Definisi Penyakit Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam, sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama basil Koch.Bahkan, penyakit TBC pada paruparu kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP) (Prasetyono, 2012).
2. Etiologi Penyebab penyakit TB paru adalah mycobacterium tuberculosis, bakteri tersebut berbentuk batang lurus atau agak bengkok dengan ukuran 0,2-0,4 x 1-4 µm. Pewarnaan Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk mengidentifikasi bakteri tersebut. M. tuberculosis bersifat tahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA). Kuman tuberculosis juga bersifat dorman dan aerob. Mycobacterium tuberculosis mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit sedangkan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik (Masriadi, 2014).
3. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan suatu penyakit kronis yang dapat menurunkan daya tahan fisik penderitanya secara serius. Proses destruksi dan proses restorasi atau penyembuhan jaringan paru terjadi secara simultan, sehingga terjadi perubahan structural yang bersifat menetap serta bervariasi yang menyebabkan berbagai macam kelainan faal paru. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit TB di negara industry menunjukkan adanya penurunan, tetapi grafik menetap dan meningkat didaerah pada tahun 1980-an dengan prevalensi HIV yang tinggi. Morbiditas tinggi biasanya terdapat pada kelompok masyarakat dengan social ekonomi rendah dan prevalensinya lebih tinggi pada daerah perkotaan daripada pedesaan. Sebaran TB lebih banyak menyerang orang dewasa pada usia produktif. Akan tetapi, semua kelompok usia berisiko TB. Pada kelompok anak-anak ditemukan satu
juta anak-anak (0-14 tahun) jatuh sakit karena TB, dan 170.000 anak-anak meninggal karena TB pada tahun 2015. Risiko TB aktif lebih besar pada orang yang menderita kondisi yang mengganggu sistem kekebalan tubuh. Selain itu, perilaku penggunaan tembakau sangat meningkatkan risiko penyakit TBC dan kematian. Lebih dari 20% kasus TB di seluruh dunia disebabkan oleh merokok (Kartasasmita, 2009) Karakteristik kelompok yang berisiko TB perlu diketahui supaya dapat meningkatkan angka penemuan kasus dan pemberian pengobatan dini. Perkiraan kasus TB menurun setelah ada program penemuan kasus pada kelompok yang berisiko tinggi tertular TB. Antara tahun 2000 sampai 2015 diperkirakan 49 juta nyawa diselamatkan melalui diagnosis dan pengobatan TB. Kejadian TB-pun dapat turun rata-rata 1,5% per tahun. Di Indonesia peningkatan Case Detection Rate menjadi bagian penting dalam menurunkan kasus TB (Rahmawati dan Budiono, 2015). Pencapaian CDR indonesia pada tahun 2009 mencapai 90%. Tetapi walaupun capaian CDR meningkat, terjadi perbedaan pencapaian antar provinsi di Indonesia, yaitu hanya 8 provinsi mencapai 70% dan sisa 25 provinsi belum tercapai (Novita, 2017)
4. Riwayat Alamiah Penyakit a. Tahap Prepatogenesis Terjadi saat individu berinteraksi dengan penderita TB paru positif yang sangat menular. Penderita TB paru positif ketika menyebarkan dahak yang mengandung kuman BTA ke udara, maka individu tersebut dapat menghirup kuman BTA hingga mencapai paru-paru. b. Tahap Patogenesis Tahap ini dibagi dalam 4 tahap, yaitu: 1) Tahap Inkubasi Masa inkubasi TB paru adalah 4-12 minggu. Pada tahap ini terjadi reaksi daya tahan tubuh untuk menghentikan perkembangan kuman TBA, walaupun terdapat reaksi daya tahan tubuh, namun ada sebagian BTA yang menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). 2) Tahap Penyakit Dini
Tahap ini dimulai saat penderita mengalami gejala awal penyakit, yang biasanya dikarenakan adanya penurunan daya tahan tubuh, sehingga pada tahap ini terjadi kerusakan paru secara luas dan terjadinyakavitasi atau pleura. 3) Tahap Penyakit Lanjut Pada tahap ini penderita TB paru dapat mengalami komplikasi seperti pendarahan saluran nafas bawah yang dapat menyebabkan kematian. 4) Tahap Akhir Penyakit Pada tahap akhir penderita TB paru dapat menjadi sembuh atau meninggal. Kematian dapat terjadi bila terdapat komplikasi atau penderita tidak melaksanakan pengobatan yang dianjurkan. (Masriadi, 2014)
5. Rantai Penularan Penyakit TBC ditularkan dari orang ke orang, terutama melalui saluran nafas dengan menghisap atau menelan tetes-tetes ludah/dahak (droplet infection) yang mengandung basil dan dibatukkan oleh penderita TBC terbuka. Atau juga karena adanya kontak antara tetes ludah/dahak tersebut dan luka dikulit. Dalam tetes-tetes ini kuman dapat hidup beberapa jam dalam udara panas lembab, dalam nanah bahkan beberapa hari. Untuk membatasi penyebaran perlu sekali di screen semua anggota keluarga dekat yang erat hubungannya dengan penderita. Dengan demikian penderita baru dapat dideteksi pada waktu yang dini.Ada banyak kesalah fahaman mengenai daya penularan penyakit TBC. Umumnya ada anggapan bahwa TBC bersifat sangat menular, tetapi pada hakikatnya bahaya infeksi relative tidak begitu besar dan dapat disamakan dengan penularan pada penyakit infeksi saluran pernapasan lainnya, seperti salesma dan influenza. Akan tetapi bahaya semakin meningkat, karena seringkali seseorang tidak diketahui sudah menderita TBC (terbuka) dan telah menularkannya pada orang-orang disekitarnya sebelum penyakitnya terdeteksi (Budi, 2018).
6. Upaya Pencegahan Untuk mencegah penyebaran TB dapat dilakukan tindakan: a. Temukan semua penderita TB dan berikan segera pengobatan yang tepat. b. Sediakan fasilitas medis yang memadai seperti laboratorium dan alat rontgen agar dapat melakukan diagnosis dini terhadap penderita, kontak dan tersangka. c. Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang cara penularan dan pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosis dini. d. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi resiko terjadinya infeksi, misalnya kepadatan hunian. (Masriadi, 2014)
B. Kusta 1. Definisi Penyakit Penyakit kusta adalah penyakit kronis
yang disebabkan oleh kuman
mycobaceterium leprae yang pertama kali menyerang kulit, mukosa(mulut), saluran pernafasan bagian atas, system retikulo endoterial, mata, otot, tulang dan testis. Bila penderita kusta tidak minum obat teratur, maka kuman kusta dalam tubuh penderita akan tumbuh dan berkembang lebih banyak sehingga merusak saraf penderita yang pada akhirnya dapat menimbulkan kecacatan (Masriadi, 2014)
2. Etiologi Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium Leprae yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 mikron. Lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalm sel, dan bersifat tahan asam (BTA). Kuman tersebut tidak membentuk spora, tidak bergerak dan mempunyai bermacam-macam bentuk (pleomorfik). Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun. Kuman M. Leprae ditemukan terutama di dalam kulit dan saraf, penularan dari orang ke orang diyakini melalui aerosol dari kuman yang berada pada lesi di tarkus respiratorius atas. Mycobacterium Leprae mempunyai 5 sifat pentig:
a. Merupakan organisme obligat endogeous dan tidak bisa dibiarkan dalam media buatan. b. Sifat mengikat asamnya dapat diekstraksi dengan pyridine. c. Mampu mengoksidasi zat D-dihydroxy phenylalanine (D-DOPA). d. Mengivansi sel schwan dari sistem saraf tepi terutama di perineum. e. Permukaan membran mengandung phenolic glycolipid I (PGL-I) dan lipoarabinomannan (LAM). (Masriadi, 2014)
3. Epidemiologi Penyakit Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis namun meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial. Kasus baru kusta di dunia sampai dengan tahun 2011 diperkirakan berjumlah 219.075 kasus. Asia Tenggara menduduki peringkat pertama sebanyak 160.132 kasus diikuti regional Amerika (36.832 kasus), regional Afrika (12.673 kasus), dan sisanya berada di regional lain di dunia. Indonesia saat ini merupakan salah satu negara penyumbang penyakit kusta terbesar di dunia. Penderita kusta di Indonesia tercatat sebanyak 19.805 penderita pada tahun 2011dan menduduki ranking ketiga jumlah penderita terbanyak setelah India dan Brazil berdasarkan cacatan WHO. Angka penemuan kasus baru kusta di Indonesia selama periode 2008-2013 merupakan yang terendah pada tahun 2013yaitu sebesar 0,68 per 10.000 penduduk, namun belum mencapai target kurang dari 0,5 per 10.000 penduduk, sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 dan telah mencapai target kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Kasus baru kusta dilaporkan pada tahun 2013 sebesar 16.856, lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 18.994 kasus, 83,4% kasus di antaranya merupakan tipe Multibasiler. Angka penemuan kasus baru maupun angka prevalensi kusta terjadi trend penurunan pada tahun 2013 dikarenakan oleh adanya beberapa kegiatan atau program preventif yang dilakukan kementerian kesehatan sejak tahun 2010 yaitu kemoprofi laksis di Sampang dan Bima, di mana Indonesia menjadi pelopor di dunia. Kegiatan
ini terdiri dari peningkatan penemuan kasus secara dini seperti pemeriksaan kontak, kegiatan Rapid Village Survey (RVS) dan intensifi kasi penemuan kasus di lapangan serta pemeriksaan anak sekolah) (Idayani, 2017).
4. Riwayat Alamiah Penyakit Setelah membuahi kutu betina maka si pejantan mati. Kutu betina yang sudah dibuahi akan membuat liang terowongan di kulit, kemudian bertelur sekitar 40-50 butir telur, dan akan menetas setelah sekitar 3-5 hari. Hasil penetasan (larva) kutu tersebut keluar ke permukaan kulit dan tumbuh menjadi kutu dewasa dalam waktu sekitar 16-17 hari. (referensi lain menyebutkan 10-14 hari)..Pergerakan Sarcoptes scabiei dan telur di dalam terowongan menyebabkan peradangan lokal. Reaksi alergi ini menyebabkan ruam sangat intens. Orang-orang yang belum pernah terkena kudis mengembangkan respon alergi dalam waktu enam minggu. Mereka yang telah memiliki kudis sebelumnya akan mendapatkan ruam dalam beberapa hari. Rata-rata hanya ada beberapa tungau betina yang menginfeksi per orang. Semacam ini infeksi dapat berbahaya dan korban bahkan mungkin tidak menyadari hal itu. Kudis menyebar dengan mudah melalui kontak lansung kulit-ke-kulit atau secara tidak langsung melalui bekas duduk, sprei (alas) tempat tidur serta sprei. Tungau juga bisa merangkak jarak jauh. Jika Anda menggaruk daerah yang terinfeksi, mereka masuk ke dalam kuku Anda. Kemudian jika Anda menyentuh benda-benda umum seperti laptop, tungau bisa drop di sana dan menulari orang lain. Tanda-tanda seseorang terinfeksi : Rasa gatal terutama waktu malam hari, tonjolan kulit (lesi) berwarna putih keabu-abuan sepanjang sekitar 1 cm, kadang disertai nanah karena infeksi kuman akibat garukan (Muharry, 2014).
5. Rantai Penularan Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah: a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang. Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yng penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyaki terinfeksi lainnya. Terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycrobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : a.
Usia
: Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
b.
Jenis kelamin
: Laki-laki lebih banyak dijangkiti
c.
Ras
: Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
d.
Kesadaran social
: Umumnya
negara-negara
endemis
kusta adalah
negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah e.
Lingkungan
: Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat
(Laili, 2016)
6. Upaya Pencegahan Upaya pencegahan penyakit kusta dapat dibedakan menjadi 3 jika ditinjau dari pandangan epidemiologi pencegahan penyakit, yaitu: a. Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah pencegahan tingkat pertama. Tujuannya adalah untuk mengurangin insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab penyakit dan faktor resikonya. Pencegahan ini terdiri dari: 1) Promosi Kesehatan Dilakukan dengan cara penyuluhan tentang penularan, pengobatan dan pencegahan penyakit kusta, serta pentinya makanan sehat dan bergizi untuk meningkatkan status gizi setiap individu menjadi baik. 2) Pemberian Imunisasi
Hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG 1 kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian 2 kali dapat memberikan perlindungan sebesar 80%. Namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian di beberapa negara memberikan hasil yang berbeda pada pemberian vaksinasi BCG tersebut.
b. Pencegahan Sekunder Pencegahan ini meliputi diagnosis dini dan pemberian pengobatan. 1) Diagnosis Dini Diagnosis dini pada kusta dapat dilakukan dengan pemeriksaan kulit dan pemeriksaan saraf tepi beserta fungsinya. 2) Pemberian Pengobatan Pengobatan yang diberikan pada penderita kusta adalah DDS (diaminodifelsulfon),
klofazimin,
rifampisin,
prednisone,
sulfatferrosus dan vitamin A.
c. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier dimaksudkan untuk mengurangi kemajuan atau komplikasi penyakit yang sudah terjadi. Dan merupakan sebuah aspek terapatik dan kedokteran rehabilitasi yang paling penting. Pencegahan tersier merupakan upaya pencegahan terakhir yang terdiri dari: 1) Rehabilitasi Medik Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisir. Diagnosis dan terapi secara dini, disusul perawatan yang cermat akan mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap reaksi kusta mempunyai 4 tujuan, yaitu: a) Mencegah kerusakan saraf b) Mencegah kerusakan mata untuk mencegah kebutaan
c) Kontrol nyeri d) Pengobatan memastikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.
2) Rehabilitasi Mental Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental harus diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita, keluarganya dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Informasi yang perlu disampaikan antara lain: a)
Hal yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi
b) Masalah psikososial kusta c)
Komplikasi
d) Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat tersebut e)
Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta
f)
Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan
g) Rehabilitasi
3) Rehabilitasi Karya Upaya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya.
4) Rahabilitasi Sosial Bertujuan untuk memulihkan fungsi sosial ekonomi penderita. Rehabilitas sosial bukanlah bantuan sosial yang harus diberikan secara terus-menerus, melainkan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita (Masriadi, 2014)
DAFTAR PUSTAKA Budi, I. S. (2018). Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Tuberkulosis Bagi Masyarakat Daerah Kumuh Kota Palembang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 17, 87–94. Idayani, T. N. (2017). Analisis Spasial Faktor Risiko Lingkungan Dengan Kejadian Kusta Di Wilayah Pesisir. Higeia Journal Of Public Health Research And Development, 1, 120–130. Kartasasmita, C. (2009). Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri, 11, 124–129. Laili, A. F. N. (2016). Hubungan Dukungan Keluarga Dan Pengetahuan Terhadap Perawatan Diri Penderita Kusta Di Puskesmas Grati Tahun2016. The Indonesian Journal of Public Health, 12, 13–26. Masriadi. (2014). Epidemiologi Penyakit Menular. Depok: PT Rajagrafindo Persada. Muharry, A. (2014). Faktor Risiko Kejadian Kusta. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9, 174–182. Novita, E. (2017). Studi Karakteristik Pasien Tuberkulosis Di Puskesmas Seberang Ulu 1 Palembang. Unnes Journal of Public Health, 6, 218–224. Prasetyono, D. S. (2012). Daftar Tanda & Gejala Ragam Penyakit. Yogyakarta: Flashbooks.