EKOSISTEM PADANG LAMUN BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta keragaman jasad– jasad hidup di dalam yang kesemuanya membentuk dinamika kehidupan di laut yang saling berkesinambungan (Bengen, 2001). Pada tahun belakangan ini, perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya lautan. Laut sebagai penyedia sumber daya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral, dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan di masa datang. Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun, dimana secara ekologis lamun mempunyai bebrapa fungsi penting di daerah pesisir. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun, dimana secara ekologis lamun mempunyai bebrapa fungsi penting di daerah pesisir. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Biomassa padang lamun secara kasar berjumlah 700 g bahan kering/m2, sedangkan produktifitasnya adalah 700 g karbon/m2/hari. Oleh sebab itu padang lamun merupakan lingkungan laut dengan produktifitas tinggi(Fahruddin, 2002).
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diambil yaitu sebagai berikut : 1.
Apa saja potensi ekosistem lamun ?
2.
Apa saja masalah yang terjadi pada ekosistem lamun ?
3.
Bagaimana pengelolaan ekosistem lamun ?
C.
Tujuan Penulis
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu : 1.
Untuk mengetahui potensi ekosistem lamun.
2.
Untuk mengetahui Masalah yang terjadi pada ekosistem lamun.
3.
Untuk mengetahui pengelolaan ekosistem lamun.
BAB II PEMBAHASAN
A.
Potensi Ekosistem Padang Lamun (Seagrass Bad)
1.
Ekosistem Padang Lamun Luas padang lamun di Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 km2 yang dihuni oleh 13
jenis lamun. Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu juga ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, sebagai berikut (Azkab 1988): 1)
Sebagai produsen primer : Lamun memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila
dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada dilaut dangkal seperti ekosistem terumbu karang (Thayer et al. 1975). 2)
Sebagai habitat biota : Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel
berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (coral fishes) (Kikuchi dkk, 1977). 3)
Sebagai penangkap sedimen : Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang
disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedmen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi, padang lamun disini berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga dapat mencegah erosi (Gingsuburg & Lowestan, 1958). 4)
Sebagai pendaur zat hara : Lamun memegang peranan penting dalam pendauran
berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka dilingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit (Saleh, 2003).
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif, ekosistem lamun pada perairan dangkal berfungsi sebagai ( Manez dkk, 1988): 1)
Menstabilkan dan menahan sedimen–sedimen yang dibawa melalui tekanan–tekanan
dari arus dan gelombang. 2)
Daun-daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan
sedimentasi. 3)
Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa yang berkunjung
ke padang lamun. 4)
Daun–daun sangat membantu organisme-organisme epifit.
5)
Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
6)
Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.
2.
Ekologis Padang Lamun Dan Fungsinya
Selain itu secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir (Nontji, 2003), yaitu : 1)
Produsen detritus dan zat hara.
2)
Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran
yang padat dan saling menyilang. 3)
Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa
jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini. 4)
Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan
matahari. 3.
Pemanfaatan Lamun Bagi Masyarakat
lamun juga sebagai komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupun secara modern. Adapun pemanfaatan lamun tersebut baik secara modern maupun tradisional yaitu sebagai berikut (Menez dkk, 1988):
Secara Tradisional
Secara Modern Ø Penyaring limbah.
Ø Dimamfaatkan sebagai pupuk atau kompos Ø Stabilisasi pantai. Ø Cerutu dan mainan anak-anak. Ø Bahan untuk pabrik kertas. Ø Dianyam menjadi keranjang. Ø Makanan Ø Pembuat kasur (sebagai isi kasur). Ø Sumber bahan kimia. Ø Dibuat jarring ikan. Ø Obat-obatan.
Di alam padang lamun membentuk suatu komunitas yang merupakan habitat bagi berbagai jenis hewan laut. Komunitas lamun ini juga dapat memperlambat gerakan air. bahkan ada jenis lamun yang dapat dikonsumsi bagi penduduk sekitar pantai. Keberadaan ekosistem padang lamun masih belum banyak dikenal baik pada kalangan akdemisi maupun masyarakat umum, jika dibandingkan dengan ekosistem lain seperti ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove, meskipun diantara ekosistem tersebut di kawasan pesisir merupakan satu kesatuan sistem dalam menjalankan fungsi ekologisnya. Selain itu, padang lamun diketahui mendukung berbagai jaringan rantai makanan, baik yang didasari oleh rantai herbivor maupun detrivor. Nilai ekonomis biota yang berasosiasi dengan lamun diketahui sangat tinggi (Romimohtarto 2001). Ekosistem padang lamun memiliki nilai pelestarian fungsi ekosistem serta manfaat lainnya di masa mendatang sesuai dengan perkembanga teknologi, yaitu produk obat-obatan dan budidaya laut. Beberapa negara telah memanfaatkan lamun untuk pupuk, bahan kasur, makanan, stabilisator pantai, penyaring limbah, bahan untuk pabrik kertas, bahan kimia, dan sebagainya. Peranan padang lamun secara fisik di perairan laut dangkal adalah membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus, menyaring sedimen yang terlarut dalam air dan menstabilkan dasar sedimen (Kiswara dkk, 1999). Peranannya di perairan laut dangkal adalah kemampuan berproduksi primer yang tinggi yang secara langsung berhubungan erat dengan tingkat kelimpahan produktivitas perikanannya. Keterkaitan perikanan dengan padang lamun sangat sedikit diinformasikan, sehingga perikanan di padang lamun Indonesia hampir tidak pernah diketahui. Keterkaitan
antara padang lamun dan perikanan udang lepas pantai sudah dikenal luas di perairan tropika Australi B.
Masalah Ekosistem Padang Lamun
1.
Masalah Padang Lamun
Keberadaannya yang berada di daerah estuaria dan pesisir, yang merupakan perbatasan antara daratan dan lautan, menyebabkan padang lamun terancam oleh berbagai faktor yang disebabkan oleh manusia, selain juga oleh perubahan iklim global saat ini. Padang lamun diketahui sebagai salah satu habitat yang rentan terhadap kerusakan. Aneka kegiatan manusia diketahui memberikan dampak negatif yang merusak padang lamun. Kegiatan pembangunan yang pesat dan perubahan peruntukan lahan di wilayah pantai telah meningkatkan masuknya sedimen ke laut dan menimbulkan eutrofikasi. Bertambahnya pelumpuran ini telah menaikkan konsentrasi lumpur, bahan organik, dan nutrien, serta telah meningkatkan kekeruhan air laut, yang pada gilirannya mengurangi kedalaman laut yang dapat dicapai cahaya matahari. Semua hal-hal ini berpengaruh buruk bagi ekosistem padang lamun(Fairhurst dkk,2003). Masuknya lumpur serta berjenis-jenis bahan organik yang dihasilkan aktivitas manusia ke laut juga telah meningkatkan jumlah dan jenis nutrien yang masuk ke padang lamun. Sementara sebagian nutrien dibutuhkan untuk tumbuhnya lamun, sebagian nutrien yang lain mungkin menghasilkan efek racun bagi lingkungan lamun. Nutrien yang semakin banyak dalam air juga meningkatkan pertumbuhan alga epifitik yang tumbuh menempel di daundaun lamun, dan mengurangi kemampuan lamun berfotosintesis. untuk menyebutkan bahwa pelumpuran dan naiknya jumlah liat (clay) dalam air laut melebihi ambang tertentu, akan menurunkan secara tajam kekayaan spesies dan biomassa daun komunitas padang lamun. Sensitivitas jenis-jenis lamun ini berbeda-beda terhadap gangguan tersebut, mulai dari Syringodium yang paling sensitif hingga Enhalus sebagai jenis yang paling tahan(Duarte 2003). Namun demikian Enhalus pun diketahui cukup terpengaruh oleh pelumpuran dengan berkurangnya pembungaan dan pembentukan buah pada air yang meningkat kekeruhannya. Kematian rumpun-rumpun Enhalus karena siltasi itu pun diduga dapat menurunkan kapasitas reproduksi Enhalus lebih jauh, mengingat pembentukan buah Enhalus berlangsung baik pada kepadatan rumpun yang cukup tinggi. (Terrados dkk, 2003)
Meskipun lamun kini diketahui mempunyai banyak manfaat, namun dalam kenyataannya lamun menghadapi berbagai gangguan dan ancaman. Gangguan dan ancaman terhadap lamun pada dasarnya seperti yang telah diungkapkan di atas dapat dibagi menjadi dua golongan yakni gangguan alam dan gangguan dari kegiatan manusia (antropogenik) 2.
Gangguan Alam
Fenomena alam seperti tsunami, letusan gunung api, siklon, dapat menimbulkan kerusakan pantai, termasuk juga terhadap padang lamun. Tsunami yang dipicu oleh gempa bawah laut dapat menimbulkan gelombang dahsyat yang menghantam dan memorak-perandakan lingkungan pantai, seperti terjadi dalam tsunami Aceh (2004). Gempa bumi, seperti gempa bumi Nias (2005) mengangkat sebagian dasar laut hingga terpapar ke atas permukaan dan menenggelamkan bagian lainnya lebih dalam. Debu letusan gunung api seperti letusan Gunung Tambora (1815) dan Krakatau (1883) menyelimuti perairan pantai sekitarnya dengan debu tebal, hingga melenyapkan padang lamun di sekitarnya. Siklon tropis dapat menimbulkan banyak kerusakan pantai terutama di lintang 10 20o Lintang Utara maupun Selatan, seperti yang sering menerpa Filipina dan pantai utara Australia. Kerusakan padang lamun di pantai utara Australia karena diterjang siklon sering dilaporkan. Indonesia yang berlokasi tepat di sabuk katulistiwa, bebas dari jalur siklon, tetapi dapat menerima imbas dari siklon daerah lain(Siklon Lena 1993), di Samudra Hindia misalnya, lintasannya mendekati Timor dan menimbulkan kerusakan besar pada lingkungan pantai di Maumere. Selain kerusakan fisik akibat aktivitas kebumian, kerusakan lamun karena aktivitas hayati dapat pula menimbulkan dampak negatif pada keberadaan lamun. Sekitar 10 – 15 % produksi lamun menjadi santapan hewan herbivor, yang kemudian masuk dalam jaringan makanan di laut. Di Indonesia, penyu hijau, beberapa jenis ikan, dan bulubabi, mengkonsumsi daun lamun. Duyung tidak saja memakan bagian dedaunannya tetapi juga sampai ke akar dan rimpangnya.
3.
Gangguan dari aktivitas manusia
Pada dasarnya ada empat jenis kerusakan lingkungan perairan pantai yang disebabkan oleh kegiatan manusia, yang bisa memberikan dampak pada lingkungan lamun: 1)
fisik yang menyebabkan degradasi lingkungan, seperti penebangan mangrove,
perusakan terumbu karang dan atau rusaknya habitat padang lamun; 2)
Pencemaran laut, baik pencemaran asal darat, maupun dari kegiatan di laut;
3)
Penggunaan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan;
4)
Tangkap lebih, yakni eksploitasi sumberdaya secara berlebihan hingga melewati
kemampuan daya pulihnya karang dari padang lamun untuk bahan konstruksi, atau untuk membuka usaha budidaya rumput laut. Demikian pula terjadi di Teluk Lampung. Di Bintan (Kepulauan Riau) pembangunan resor pariwisata di pantai banyak yang tak mengindahkan garis sempadan pantai, pembangunan resor banyak mengorbankan padang lamun. Kerusakan Padang Lamun di Indonesia akibat gangguan alam dan aktivitas manusia, adalah sebagai berikut: 1)
Kerusakan fisik
Kerusakan fisik terhadap padang lamun telah dilaporkan terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di Pulau Pari dan Teluk Banten, kerusakan padang lamun disebabkan oleh aktivitas perahu-perahu nelayan yang mengeruhkan perairan dan merusak padang lamun. Reklamasi dan pembangunan kawasan industri dan pelabuhan juga telah melenyapkan sejumlah besar daerah padang lamun seperti terjadi di Teluk Banten. Di Teluk Kuta (Lombok) penduduk membongkar karang. 2)
Pencemaran laut
Pencemaran laut dapat bersumber dari darat (land based) ataupun dari kegiatan di laut (sea based). Pencemaran asal darat dapat berupa limbah dari berbagai kegiatan manusia di darat seperti limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian, atau pengelolaan lahan yang tak memperhatikan kelestarian lingkungan seperti pembalakan hutan yang menimbulkan erosi dan mengangkut sedimen ke laut. Bahan pencemar asal darat dialirkan ke laut lewat sungai-sungai atau limpasan (runoff).
Masukan hara (terutama fosfat dan nitrat) ke perairan pantai dapat menyebabkan eutrofikasi atau penyuburan berlebihan, yang mengakibatkan timbulnya ledakan populasi plankton (blooming) yang mengganggu pertumbuhan lamun. Epiffit yang hidup menempel di permukaan daun lamun juga dapat tumbuh kelewat subur dan menghambat pertumbuhan lamun. Kegiatan penambangan didarat, seperti tambang bauksit di Bintan, limbahnya terbawa ke pantai dan merusak padang lamun di depannya. Pencemaran dari kegiatan di laut dapat terjadinya misalnya pada tumpahan minyak di laut, baik dari kegiatan perkapalan dan pelabuhan, pemboran, debalasting muatan kapal tanker. Bencana yang amat besar terjadi saat kecelakaan tabrakan atau kandasnya kapal tanker yang menumpahkan muatan minyaknya ke perairan pantai, seperti kasus kandasnya supertanker Showa Maru yang merusak perairan pantai Kepuluan Riau. 3)
Penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan
Beberapa alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan dapat menimbulkan kerusakan pada padang lamun seperti pukat harimau yang mengeruk dasar laut. Penggunaan bom dan racun sianida juga ditengarai menimbulkan kerusakan padang lamun. Di Lombok Timur dilaporkan kegiatan perikanan dengan bom dan racun yang menyebabkan berkurangnya kerapatan dan luas tutupan lamun. 4)
Tangkap lebih
Salah satu tekanan berat yang menimpa ekosistem padang lamun adalah tangkap lebih (over fishing), yakni eksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan hingga melampaui kemampuan ekosistem untuk segera memulihkan diri. Tangkap lebih bisa terjadi pada ikan maupun hewan lain yang berasosiasi dengan lamun. Banyak jenis ikan lamun yang kini semakin sulit dicari, dan ukurannya pun semakin kecil. C.
Model Pengelolaan Ekosistem Lamun
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya untuk mengatasi masalah-masalah perusakan dan untuk menjaga serta melindungi sumberdaya alam dan ekosistem padang lamun secara berkelanjutan, diperlukan suatu
pengelolaan yang tepat. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah: 1)
penyuluhan akan pentingnya peranan ekosistem padang lamun di lingkungan pesisir.
2)
menyadarkan masyarakat agar mengambil peran yang lebih besar dalam menjaga dan
mengelola sumberdaya padang lamun; 3)
pengaturan penggunaan alat tangkap yang sudah terbukti merusak lingkungan
ekosistem padang lamun seperti potasium sianida, sabit dan gareng diganti dengan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan (ramah lingkungan) seperti pancing, 4)
perlunya pembuatan tempat penampungan limbah dan sampah organik.
1.
Pedoman pengelolaan padang lamun
1)
Pengerukan dan penimbunan seharusnya menghindari lokasi yang didominasi oleh
padang lamun, sebaiknya dijaga agar tidak terjadi pengaliran endapan pada lokasi padang lamun. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memasang penghalang Lumpur atau dengan strategi pengerukan yang menjamin adanya mekanisme yang membuat sirkulasi air dan pasang surut dapat membewa endapan untuk menjauhi daerah padang lamun. 2)
Usulan pembangunan di wilayah pesisir (seperti pelabuhan, dermaga/jetty) yang
mengubah pola sirkulasi air seharusnya didesain untuk menghindari dan meminimalkan erosi atau penimbunan di daerah sekitar padang lamun. Struktur desain seharusnya didasarkan pada keadaan lokal yang spesifik. 3)
Prosedur pembuangan limbah cair seharusnya diperbaharui dan dimodifikasi sesuai
kebutuhan untuk mencegah limbah yang merusak masuk ke dalam padang lamun. Limbah tersebut seperti limbah industri, limbah air panas, limbah garam, air buangan kapal dan limpasan air. Pada umumnya solusi alternatif tersebut diantaranya termasuk pemilihan lokasi yang berbeda untuk lokasi pembuangan seperti pemilihan lokasi pipa pembuangn. 4)
Penangkapan ikan dengan “trawl” dan kegiatan penangkapan lainnya yang merusak
seharusnya dimodifikasi untuk meminimalkan pengaruh buruk terhadap padang lamun selama operasi penangkapan. 5)
Skema-skema pengalihan aliran air yang dapat merubah tingkat salinitas alamiah harus
dipertimbangkan akibat terhadap komunitas padang lamun dan biota-biota yang berasosiasi
dengannya. Pengaturan yang tepat terhadap jadwal pelepasan air dapat menjaga tingkat salinitas dalam kisaran yang diinginkan. 6)
Lakukan tindakan untuk mencegah tumpahan minyak untuk mencemari komunitas
padang lamun. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pengukuran, program monitoring dan rencana untuk menanggulangi kemungkinan terjadi tumpahan minyak. 7)
Inventarisasi, identifikasi dan pemetaan sumberdaya padang lamun sebelum berbagai
jenis proyek dan aktivitas dilakukan di lokasi tersebut. 8)
Rekonstruksi padang lamun di perairan dekat tempat yang sebelumnya ada padang
lamun, atau membangun padang lamun baru di lokasi yang ada padang lamunnya untuk mengganti lamun alami di suatu tempat. 9)
Pengelolaan Berwawasan Lingkungan
Dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan laut yang berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidahkaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan. 2.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan ekosistem padang lamun pada dasarnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan maka pengelolaan sumberdaya padang lamun tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait. Kegagalan pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini, pada umumnya disebabkan oleh masyarakat pesisir tidak pernah dilibatkan, mereka cenderung hanya dijadikan sebagai obyek dan tidak pernah sebagai subyek dalam programprogram pembangunan di wilayahnya. Sebagai akibatnya mereka cenderung menjadi masa bodoh atau kesadaran dan partisipasi mereka terhadap permasalahan lingkungan di sekitarnya menjadi sangat rendah. Agar pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini tidak mengalami kegagalan, maka masyarakat pesisir harus dilibatkan (Dahuri dkk, 2001).
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001). Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun adalah pengelolaan berbasis masyakaratak (Community Based Management). Raharjo (1996) mengemukakan bahwa pengeloaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan.. Dalam konteks ini pula perlu diperhatikan mengenai karakteristik lokal dari masayakarakat di suatu kawasan. Sering dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan sumber daya alam pesisir adalah dekstrusi masayakarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya adalah untuk mangurangi tekanan terhadap sumberdaya pesisir termasuk lamun di kawasan tersebut. Konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management (Pomeroy dan Williams, 1994). Dalam konsep Cooperative Management, ada dua pendekatan utama yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (goverment centralized management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat (community based management). Dalam konsep ini masyarakat lokal merupakan partner penting bersamasama dengan pemerintah dan stakeholderslainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal secara langsung menjadi bibit dari penerapan konsep tersebut. Tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil dengan baik tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal sebagai pengguna dari sumberdaya alam tersebut. Menurut Dahuri (2003) mengatakan bahwa ada dua komponen penting keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat, yaitu: 1)
konsensus yang jelas dari tiga pelaku utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir, dan
peneliti (sosial, ekonomi, dan sumberdaya),
2)
pemahaman yang mendalam dari masing-masing pelaku utama akan peran dan
tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis masyarakat.
Konsep pengelolaan berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif (Carter, 1996), yaitu: 1)
mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam,
2)
mampu merefleksi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik,
3)
mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis,
4)
responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan local
5)
mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada,
6)
mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen,
7)
masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.
Dalam pengelolaan ekosistem padang lamun berbasis masyarakat ini, yang dimaksud dengan masyarakat adalah semua komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem padang lamun, diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan kalangan peneliti lainnya. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakat, kedua komponen masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada ketimpangan dalam pelaksanaannya. Pengelolaan berbasis masyarakat harus mampu memecahkan dua persoalan utama, yaitu: 1)
masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaan alat tangkap yang
tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem dan konflik antara nelayan tradisional dan industri perikanan modern), 2)
masalah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan sumberdaya hayati laut (misalnya,
berkurangnya daerah padang lamun sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air, pencemaran).
3.
Pendekatan Kebijakan
Perumusan kebijaksanaan pengelolaan ekosistem padang lamun memerlukan suatu pendekatan yang dapat diterapkan secara optimal dan berkelanjutan melalui pendekatan keterpaduan. Pendekatan kebijakan ini mengacu kepada pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, yaitu pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, serta merencanakan kegiatan pembangunan. Pengelolaan ekosistem padang lamun secara terpadu mencakup empat aspek, yaitu: 1)
keterpaduan wilayah/ekologis;
2)
keterpaduan sektoral;
3)
keterpaduan disiplin ilmu;
4)
keterpaduan stakeholders (pemakai).
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1)
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh,
berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas. 2)
Ekosistem padang lamun memiliki fungsi ekologi dan ekonomi.
3)
Peranan ekosistem padang lamun adalah sebagai produsen primer, sebagai habitat
biota,sebagai penangkap sedimen dan sebagai pendaur zat hara. 4)
Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun di antaranya Enhalus acoroides, Halophila
decipiens, H. minor, H. ovalis, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, H. uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum dan Ruppia maritima. 5)
Permasalahan utama yang mempengaruhi ekosistem padang lamun adalah
akibat pengaruh dari alam dan pengaruh dari manusia 6)
Ada 8 pedoman pengelolan ekosistem padang lamun.
B.
Saran
Pembangunan di wilayah pesisir diharapkan ke depannya lebih memperhatikan keberlanjutan ekosistem padang lamun karena fungsinya yang sangat penting pada laut dangkal dan sekitarnya.