MAKALAH FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA ORGANISME
Untuk memenuhi tugas matakuliah Ekologi Diampu oleh Dr. Fatchur Rohman, M.Si dan Dr. Vivi Novianti, S.Si., M.Si. Disajikan pada 21 Februari 2019
Disajikan oleh: Amirah Nadiah Vidi Imtinan
( 170341615106 )
Binazir Tuzaqiyah Ma’rufah
( 170341615065)
Erma Wahyu Safira Nastiti
( 170341615078 )
Tri Utami
( 170341615066)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PEGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI Februari 2019
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup akan selalu bersinggungan dengan makhluk lain, terutama dengan lingkungan. Persinggungan dengan makhluk hidup yang lain inilah yang terkadang memunculkan suatu akibat buruk bagi satu pihak atau kedua pihak sekaligus. Oleh karena itu, pemahaman tentang ilmu ekologi sangatlah penting sebagai modal yang berharga untuk mengatasi keadaan lingkungan yang terkadang tidak dapat diprediksikan akibat ulah manusia itu sendiri. Manusia
dapat
mendeteksi
ketidakseimbangan
lingkungan
sekitar
dengan
menggunakan makhluk hidup yang ada disekitar melalui perilaku mereka. Kemampuan inilah yang disebut dengan kemampuan bioindikator yang amat sangat penting bagi manusia agar selalu cermat bertindak pada lingkungan. Hal ini dilakuka karena antara satu komponen dengan komponen yang lain itu saling berkaitan. Oleh karena itu amat sangat penting bagi manusia untuk mengatahui bioindikator yang ada di habitat tempat manusia tersebut menghabiskan waktunya. Sama halnya dengan bioindikator, manusia juga wajib mengetahui konsep dari habitat. Hal ini terjadi karena habitat merupakan kompenen yang bersinggungan langsung dengan ioindikator dan merupakan faktor penentu keberadaan bioindikator yang merupakan salah satu bahasan paling pokok pada ekologi. Bioindikator dikatakan sebagai komponen yang penting dalam ekologi karena kelangsungan hidup komponen-komponen dalam ekologi dapat terdeteksi dengan cukup mudah melalui adanya bioindikator dan dapat segera dicari solusi terbaiknya agar kerusakan [ada komponen- komponen ekolog tidak berlanjut terus. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas dapat dirumuskan maslaah sebagai berikut : 1. Bagaimana ruang lingkup dari bioindikator ? 2. Bagaimana konsep dari habitat dan mikrohabitat ? 3. Bagaimana relung ekologi ? 1.3 Tujuan Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dituliskan bahwa tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui ruang lingkup dari bioindikator. 2. Untuk mengetahui konsep dari habitat atau microhabitat.
3. Untuk mengetahui relung dari ekologi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Bioindikator Pengertian Bioindikator Bioindikator berasal dari dua kata yaitu bio dan indicator, bio artinya mahluk hidup seperti hewan, tumbuhan dan mikroba. Sedangkan indicator artinya variable yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Menurut Kovacs (1992), Bioindikator adalah komponen biotik (mahluk hidup) yang dijadikan sebagai indicator, yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi, maupun kondisi alam (bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas manusia. Menurut Kristanto (2002), bioindikator dibagi menjadi dua, yaitu bioindikator pasif dan bioindikator aktif. Bioindikator pasif adalah suatu spesies organisme, penghuni asli di suatu habitat, yang mampu menunjukkan adanya perubahan yang dapat diukur (misalnya perilaku, kematian, morfologi) pada lingkungan yang berubah di biotop (detektor). Bioindikator aktif adalah suatu spesies organisme yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap polutan, yang mana spesies organisme ini umumnya diintroduksikan ke suatu habitat untuk mengetahui dan memberi peringatan dini terjadinya polusi. Bioindikator dapat dikatakan petunjuk kondisi alam, ketika bioindikator itu sendiri mampu menggambarkan kondisi alami dari lingkungan yang ada disekitarnya. Kondisi alami ini dapat berupa bencana alam. Sebagai contoh adalah pada prilaku buaya yang memindahkan sarang dan telur-telurnya ketempat yang relatif tinggi dan jauh dari badan air atau sungai. Jika hal ini dilakukan buaya maka dapat diindikasikan bahwa air sungai tersebut akan meluap dan terjadi banjir di daerah tersebut. Sebelum terjadinya suatu bencana, hewan akan cenderung bertingkah laku abnormal. Therapy hewan yang normal sering digunakan untuk memprediksi bencana alam. Menurut Fahrul (2006), selain untuk bencana alam, hewan juga bisa digunakan sebagai bioindikator pencemaran lingkungan. Lingkungan yang tercemar mengakibatkan gangguan makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya. Perubahan yang terjadi dapat
menunjukkan
terjadinya
pencemaran.
Bioindikator
dapat
mengidentifikasi lingkungan terhadap pencemaran udara, udara, dan tanah.
Jenis Jenis Bioindikator
digunakan
untuk
Berikut adalah kelompok organisme yang dapat dijadikan sebagai Bioindikator (Primack, 1998) : 1. Tumbuhan Tumbuhan berperan penting dalam dekomposisi atau transformasi bahan organik. Suatu tumbuhan dapat berperan sebagai pengukur kondisi lingkungan ditempat tumbuhnya. Banyaknya tumbuhan yang tumbuh dengan jumlah yang melimpah, mampu digunakan sebagai indikator yang penting karena mereka sudah sangat erat hubungan dengan habitatnya. Tumbuhan dapat berfungsi sebagai indikator kondisi lingkungan. Berikut adalah beberapa jenis tumbuhan yang dapat dijadikan indikator pencemaran lingkungan, antara lain sebagai berikut: -
Lumut Kerak (Lichen) : indikator polusi udara alami dengan cara membandingkan jumlah tumbuhan lumut kerak (Lichen) yang terdapat pada batang pepohonan di suatu daerah. Semakin sedikit tumbuhan lumut kerak (Lichen) yang tumbuh pada pepohonan di suatu lingkungan, maka tingkat polusi di lingkungan tersebut semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya, semakin banyak tumbuhan lumut kerak (Lichen) yang tumbuh, maka tingkat polusi si lingkungan tersebut rendah. Polusi udara mengakibatkan kondisi suhu udara di lingkungan menjadi meningkat, serta tanah dan tumbuhan dilingkungan yang terkena polusi udara menjadi kering.
-
Alga : bioindikator logam berat karena dalam proses pertumbuhannya, alga membutuhkan berbagai jenis logam sebagai nutrien alami, sedangkan ketersediaan logam dilingkungan sangat bervariasi. Suatu lingkungan yang memiliki tingkat kandungan logam berat yang melebihi jumlah yang diperlukan, dapat mengakibatkan pertumbuhan alga terhambat, sehingga dalam keadaan ini eksistensi logam dalam lingkungan adalah polutan bagi alga.
-
Lamun sebagai Bioindikator Timbal (Pb) : bioindikator logam berat Pb di wilayah pesisir, di mana kandungan logam Pb adalah sebesar (biomass lamun/m2 x kandungan Pb mg/kg)/1000 dengan mangakumulasi dari sedimen. Selain itu bagian daun lamun dapat berfungsi sebagai bioakumulator terakhir sehingga dapat digunakan untuk menentukan sebaran kandungan logam berat Pb dalam suatu perairan besar. Lamun juga dapat digunakan untuk membantu mengurangi toksisitas logam berat Pb.
2. Hewan Hewan sangat berperan dalam bioindikator lingkungan maupun kesehatan. hewan dapat hidup dengan baik di lingkungan yang menguntungkan baginya. Banyak sedikitnya hewan yang tumbuh dengan jumlah yang tertentu, mampu digunakan sebagai indikator yang penting
karena mereka sudah sangat erat hubungan dengan habitatnya. Sebagai salah satu contoh hewan yang sering digunakan sebagai indikator pencemaran air adalah Makrozoobentos. Hewan makrozoobentos merupakan hewan yang tidak bertulang belakang (Sinaga, 2009). Hewan ini hidup pada dasar kolam, danau, dan sungai untuk seluruh atau sebagian tahapan hidupnya. Mereka dapat hidup pada batuan, ataupun bergerak bebas pada ruang antar batuan, pada runtuhan bahan organik. Makrozoobentos ini pada umumnya terdiri dari larva Insecta, Crustacea, Mollusca, Oligochaeta, dan Arachnidae. Hewan-hewan ini secara terus menerus terkena substansi yang diangkut oleh aliran sungai sehingga memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap perubahan kondisi lingkungan. Hal ini menyebabkan makrozoobentos sesuai untuk dijadikan indikator ekologi dari suatu perairan
Pengaruh Bioindikator di Tanah Menurut Hornby (1998), kualitas tanah adalah kapasitas suatu jenis tanah yang spesifik untuk berfungsi di alam atau dalam batas ekosistem terkelola, untuk mendukung produktivitas biologi, memelihara kualitas lingkungan dan mendorong kesehatan hewan dan tumbuhan. Keberlanjutan produksi pertanian membutuhkan pemeliharaan kualitas tanah. Istilah kualitas tanah (soil quality) yang diaplikasikan pada ekosistem menunjukkan kemampuan tanah untuk mendukung secara terus menerus pertumbuhan tanaman pada kualitas lingkungan yang terjaga (Magdoff, 2001). Kualitas tanah adalah kemampuan tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem yang sesuai untuk produktivitas biologis, mampu memelihara kualitas lingkungan dan mendorong tanaman dan hewan menjadi sehat (Magdoff, 2001). Secara lebih terinci kualitas tanah didefinisikan sebagai kecocokan sifat fisik, kimia, dan biologi yang bersamasama: (1) menyediakan suatu media untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas biologi; (2) mengatur dan memilah aliran air dan penyimpanan di lingkungan; serta (3) berperan sebagai suatu penyangga lingkungan dalam pembentukan dan pengrusakan senyawa-senyawa yang meracuni lingkungan. Komunitas organisme tanah selain berperan penting dalam proses ekologi, seperti siklus hara juga respon terhadap gangguan pada lingkungan tanah seperti kontaminasi terhadap logam berat dan pestisida. Singkatnya sistem biologi sangat sensitif terhadap degradasi yang baru terjadi sekalipun, sehingga perubahan status biologi dari sistem tersebut dapat menjadi peringatan dini atas kemunduran lingkungan. Bioindikasi didefinisikan sebagai penggunaan suatu organisme baik sebagai bagian dari suatu individu suatu kelompok organisme untuk mendapatkan informasi terhadap kualitas seluruh atau sebagian dari lingkungannya (Hornby
1998). Menurut Doran (1998), tedapat lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu indikator termasuk bioindikator untuk dapat menilai kualitas tanah, yaitu: (1) sensitif terhadap variasi pengelolaan; (2) berkorelasi baik dengan fungsi tanah yang menguntungkan; (3) dapat digunakan dalam menguraikan proses-proses di dalam ekosistem; (4) dapat dipahami dan berguna untuk pengelolaan lahan; serta (5) mudah diukur dan tidak mahal. Secara lebih singkatnya, berikut akan dijelaskan mengenai proses bioindikator yang terjadi didalam tanah. Bahan organik tanaman merupakan sumber energi utama bagi kehidupan biota tanah, sehingga jenis dan komposisi bahan organik tanaman menentukan kepadatannya. Bahan organik dirombak oleh mikroba tanah menjadi mineral dan sebagian tersimpan sebagai bahan organik tanah. Bahan organik tanah sangat berperan dalam memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan aktivitas biologi tanah dan meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman (Arianto, 2011)
Pengaruh Bioindikator di Air Ellenberg (1991) membedakan indikator biologik ekosistem sungai menjadi dua kelompok yaitu: 1. Indikator yang sangat baik, terdiri atas tumbuhan yang hidup dalam air, perifiton, jamur dan bakteri. 2. Indikator yang baik, terdiri atas alga hijau (Chlorophyceae), fitoplankton dan zoobenthos. Berikut adalah penejlasan mengenai penggunaan organisme air sebagai Indikator Biologik : a) Plankton sebagai indikator biologic Plankton terdiri dari seluruh organisme perairan yang bergerak pasif atau yang daya geraknya tidak cukup untuk memungkinkan organisme tersebut bergerak melawan gerakan arus massa air (Barnes dan Mann 1982). Plankton terdiri dari tumbuhan, hewan, jamur dan bakteri yang berukuran kecil. Berdasarkan fungsinya dalam ekosistem plankton dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: fitoplankton (produsen), zooplankton (konsumen) dan saproplankton (pengurai) (Ismail dan Mohamad 1992). Palmer (1959) dalam Shubert (1984) menyatakan bahwa komunitas alga dapat digunakan sebagai indikator air bersih atau tercemar. Palmer (1969) mempublikasikan bahwa suatu nilai gabungan organisme seperti Euglena, Oscillatoria, Chlamydomonas, Scenedesmus, Chlorella, Stigeoclonium, Nitzschia dan Navicula merupakan kelompok organisme yang dapat digunakan untuk menunjukkan
bahwa suatu perairan telah tercemar. Kelompok organisme lain seperti Lemanea, Stigeoclonium dan jenis-jenis tertentu Micrasterias, Staurastrum, Pinnularia, Meridion dan Surirella dapat menunjukkan bahwa suatu sampel berasal dari badan air yang bersih b)
Bentos sebagai indikator biologic Bentos meliputi organisme, khususnya hewan yang hidup atau aktif di dasar perairan.
Organisme yang bersifat bentonik dapat berupa cacing Oligochaeta, Nematoda, dan Turbellaria, Mollusca (Gastropoda dan Bivalvia), Crustacea, dan larva Insecta. Hellawell (1978) dalam James dan Evison (1979) menyarankan penggunaan makroinvertebrata atau makrozoobentos air sebagai indikator biologik kualitas air.
Pengaruh Bioindikator di Udara Pencemaran udara merupakan masuknya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke udara oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga terjadi penurunan kualitas udara sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Ratna, 2012). Sejak tahun 1866 lumut kerak digunakan sebagai indikator kualitas udara (Samsuddin et. al 2012). Program pemantauan kualitas udara menggunakan lumut kerak telah dilakukan diberbagai belahan dunia seperti Amerika Serikat, Belanda dan Swiss secara permanen. Lumut digunakan sebagai bioindikator kualitas udara yang sangat baik karena: (Loopi et. al, 2002; Kuldeep dan Prodiyut, 2015). (1) tersebar dalam wilayah geografis yang luas (kecuali zona laut); (2) tersedia sepanjang tahun; (3) morfologinya seragam dari waktu kewaktu; (4) tidak memiliki stomata dan katikula sehingga mudah menyerap gas dan zat terlarut di udara melalui permukaannya. Lumut kerak dapat digunakan sebagai bioindikator dalam dua metode yaitu pemetaan semua jenis spesies pada suatu area dan pengambilan sampel spesies yang sama pada area yang terkontaminasi polutan dan tidak terkontaminasi kemudian mengukur perubahan morfologi pada thalus dan mengevaluasi parameter fisiologinya dan atau mengevaluasi bioakumulasi polutan (Conti & Ceccheti, 2001). Noer dalam Pratiwi (2006) menjelaskan parameter-paramter yang digunakan dalam penelitian lumut kerak untuk mengukur pencemaran udara adalah keanekaan, pertumbuhan, kesuburan, frekuensi, dan prosentase penutupan.
B. Habitat Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya menunjukkan totalitas dari corak lingkungan yang di tempati populasi itu,termasuk factor-faktor abiotik berupa ruang,tipe substratum yang di tempati,cuaca dan iklimnya serta vegetasinya. Definisi habitat Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup, atau tempat kemana seseorang harus pergi untuk menemukan organisme tersebut. Istilah habitat banyak digunakan , tidak saja dalam ekologi tetapi dimana saja. Tetapi pada umumnya istilah ini diartikan sebagai tempat hidup suatu makhluk hidup. Contohnya habitat Notonecta (sejenis binatang air) adalah daerah-daerah kolam, danau dan perairan yang dangkal yang penuh ditumbuhi vegetasi. Habitat ikan mas (Cyprinus carpio) adalah di perairan tawar, habitat pohon durian (Durio zibhetinus) adalah di tanah darat dataran rendah. Pohon enau tumbuh di tanah darat dataran rendah sampai pegunungan, dan habitat eceng gondok di perairan terbuka. Menurut Morrison (2002), habitat adalah sumberdaya dan kondisi yang ada di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat merupakan organismspecific: ini menghubungkan kehadiran species, populasi, atau idndividu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari sekedar vegatasi atau struktur vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu species. Dimanapun suatu organisme diberi sumberdaya yang berdampak pada kemampuan untuk bertahan hidup, itulah yang disebut dengan habitat.
Tipe Habitat Tipe habitat merupakan sebuah istilah yang dikemukakan oleh Doubenmire (1968:2732) yang hanya berkenaan dengan tipe asosiasi vegetasi dalam suatu kawasan atau potensi vegetasi yang mencapai suatu tingkat klimaks. Habitat lebih dari sekedar sebuah kawasan vegetasi (seperti hutan pinus). Istilah tipe habitat tidak bisa digunakan ketika mendiskusikan hubungan antara satwa liar dan habitatnya. Ketika kita ingin menunjukkan vegetasi yang digunakan oleh satwa liar, kita dapat mengatakan asosiasi vegetasi atau tipe vegetasi didalamnya.
Penggunaan Habitat Penggunaan habitat merupakan cara satwa menggunakan suatu kumpulan komponen fisik dan biologi (sumber daya) dalam suatu habitat. Hutto (1985:458), menyatakan bahwa penggunaan habitat merupakan sebuah proses yang secara hierarkhi melibatkan suatu
rangkaian perilaku alami dan belajar suatu satwa dalam membuat keputusan habitat seperti apa yang akan digunakan dalam skala lingkungan yang berbeda.
Kesukaan Habitat Menurut Johnson (1980), seleksi merupakan proses satwa memilih komponen habitat yang digunakan. Kesukaan habitat merupakan konsekuensi proses yang menghasilkan adanya penggunaan yang tidak proporsional terhadap beberapa sumberdaya, yang mana beberapa sumberdaya digunakan melebihi yang lain.
Ketersediaan Habitat Ketersediaan habitat menunjuk pada aksesibiltas komponen fisik dan biologi yang dibutuhkan oleh satwa, berlawanan dengan kelimpahan sumberdaya yang hanya menunjukkan kuantitas habitat masing-masing organisme yang ada dalam habitat tersebut (Wiens 1984:402). Secara teori kita dapat menghitung jumlah dan jenis sumberdaya yang tersedia untuk satwa; secara praktek, merupakan hal yang hampir tidak mungkin untuk menghitung ketersediaan sumberdaya dari sudut pandang satwa (Litvaitis et al., 1994). Kita dapat menghitung kelimpahan species prey untuk suatu predator tertentu, tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa semua prey yang ada di dalam habitat dapat dimangsa karena adanya beberapa batasan, seperti ketersediaan cover yang banyak yang membatasi aksesibilitas predator untuk memangsa prey. Hal yang sama juga terjadi pada vegetasi yang berada di luar jangkauan suatu satwa sehingga susah untuk dikonsumsi, walaupun vegetasi itu merupakan kesukaan satwa tersebut. Meskipun menghitung ketersediaan sumber daya aktual merupakan hal yang penting untuk memahami hubungan antara satwa liar dan habitatnya, dalam praktek jarang dilakukan karena sulitnya dalam menentukan apa yang sebenarnya tersedia dan apa yang tidak tersedia (Wiens 1984:406). Sebagai konsekuensinya, mengkuantifikasi ketersediaan sumberdaya biasanya lebih ditekankan pada penghitungan kelimpahan sumberdaya sebelum dan sesudah digunakan oleh satwa dalam suatu kawasan, daripada ketersediaan aktual. Ketika aksesibilitas sumber daya dapat ditentukan terhadap suatu satwa, analisis untuk menaksir kesukaan habitat dengan membandingkan penggunan dan ketersediaan merupakan hal yang penting.
Kualitas Habitat Istilah kualitas habitat menunjukkan kemampuan lingkungan untuk memberikan kondisi khusus tepat untuk individu dan populasi secara terus menerus. Kualitas merupakan
sebuah variabel kontinyu yang berkisar dari rendah, menengah, hingga tinggi. Kualitas habitat berdasarkan kemampuan untuk memberikan sumberdaya untuk bertahan hidup, reproduksi, dan kelangsungan hidup populasi secara terus menerus. Para peneliti umumnya menyamakan kualitas habitat yang tinggi dengan menonjolkan vegetasi yang memiliki kontribusi terhadap kehadiran (atau ketidak hadiran) suatu spesies (seperti dalam Habitat Suitability Index Models dalam Laymon dan Barrett 1986 dan Morrison et al. 1991). Kualitas secara eksplisit harus dihubungkan dengan ciri-ciri demografi jika diperlukan. Leopold (1933) dan Dasman et al. (1973) menyatakan bahwa suatu habitat diaktakan memiliki kualitas yang tinggi apabila kepadatan satwa seimbang dengan sumberdaya yang tersedia, di lapangan pada umumnya habitat yang memiliki kualitas ditunjukkan dengan besarnya kepadatan satwa (Laymon dan Barrett 1986). Van Horne (1983) mengatakan bahwa kepadatan merupakan indikator yang keliru untuk kulitas habitat. Oleh sebab itu daya dukung dapat disamakan dengan level kualitas habitat tertentu, kualitasnya dapat berdasarkan tidak pada jumlah organisme tetapi pada demografi populasi secara individual. Kualitas habitat merupakan kata kunci bagi para ahli restorasi. Secara garis besar dikenal empat tipe habitat utama, yaitu: daratan, perairan tawar, perairan payau dan estuaria serta perairan bahari/laut. Masing-masing kategori utama dapat dipilih-pilihkan lagi tergantung corak kepentingannya, mengenai aspek yang ingin di ketahui. Dari sudut pandang dan kepentingan popuasi-populasi hewan yang menempatinya, pemilihan tipe-tipe habitat itu terutama didasarkan pada segi variasinya menurut waktu dan ruang. Berdasarkan variasi habitat menurut ruang, terdapat empat macam habitat sebagai beriukut. 1. Habitat yang konstan,yaitu suatu habitat yang kondisinya terus-menerus relatip baik atau kurang baik. 2. Habitat yang bersifat memusim,yaitu suatu habitat yang kondisinya secara relative teratur berganti-ganti antara baik dan kurang baik. 3. Habitat yang tidak menentu,yaitu suatu habitat yang mengalami suatu priode dengan kondisi baik yang lamanya berfariasi ,sehingga kondisinya tidak dapat diramalkan. 4. Habitat yang efemeral,yaitu suatu habitat yang mengalami priode kondisi baik yang berlangsung relative singkat,diikuti oleh suatu priode dengan kondisi yang kurang baik yang berlangsung relative lama sekali. Berdasarkan variasi kondisi habitatmenurut ruang,habitat dapat diklasifikasi menjadi tiga macam.
1) Habitat yang bersinambung,yaitu apabila suatu habitat bengandung area dengan kondisi baik yang luas sekali,yang melebihi luas area yang dapat di jelajahi populasi hewan pengaruhinya .Sehingga contoh yang luas sebagai habitat dari populasi rusa yang berjumlah 10 ekor. 2) Habitat yang berputus-putus,merupakan suatu habitat yang mengandung area dengan kondisi baik letaknya berselang-seling dengan area yang berkondisi kurang baik,hewan penghuninya dengan mudah dapat menyebardari area berkondisi baik yang satu ke yang lainnya. 3) Habitat yang terisolasi, merupakan suatu habitat yang mengandung area terkondisi baik yang terbatas luasnya dan letaknya terpisah jauh dariarea berkondisi baik yang lain, sehingga hewan-hewan tidak dapat menyebar untuk mencapainya, kecuali bila didukung oleh faktor-faktor kebetulan. Misal suatu pulau kecil yang di huni oleh populasi rusa. Jika makanan habis rusa tersebut tidak dapat berpindah ke pulau lain. Pulau kecil tersebut merupakan bukan habitat terisolasi bagi suatu populasi burung yang dapat dengan mudah pindah ke pulau lainnya, tetapi lebih cocok disebut habitat yang terputus.
Mikrohabitat Habitat-habitat di alam ini umumnya bersifat heterogen, dengan area-area tertentu dalam habitat itu yang berbeda vegetasinya. Populasi-populasi hewan yang mendiami habitat itu akan terkonsentrasi ditempat-tempat dengan kondisi yang paling cocok bagi pemenuhan persyaratan hidupnya masing-masing. Bagian dari habitat yang merupakan lingkungan yang kondisinya paling cocok dan paling akrab berhubungan dengan hewan dinamakan mikrohabitat. Sehubungan dengan bagaimana kisaran-kisaran toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungannya, maka berbagaispesies hewan yang berkonsentrasi dalam habitat yang sama (berkohabitasi) akan menempati mikrohabitatnya masing-masing. Beberapa istilah seperti makrohabitat dan mikrohabitat penggunaannya tergantung dan merujuk pada skala apa studi yang akan dilakukan terhadap satwa menjadi pertanyaan (Johnson, 1980). Dengan demikian makrohabitat dan mikrohabitat harus ditentukan untuk masing-masing studi yang berkenaan dengan spesies spesifik. Secara umum, macrohabitat merujuk pada ciri khas dengan skala yang luas seperti zona asosiasi vegetasi (Block and Brennan, 1993) yang biasanya disamakan dengan level pertama seleksi habitat menurut Johnson. Mikrohabitat biasanya menunjukkan kondisi habitat yang sesuai, yang merupakan faktor penting pada level 2-4. Oleh sebab itu merupakan hal yang tepat untuk menggunakan
istilah mikrohabitat dan makrohabitat dalam sebuah pandangan relatif, dan pada skala penerapan yang ditetapkan secara eksplisit.
Contoh makrohabitat dan mikrohabita Organisme penghancur (pembusuk) daun hanya hidup pada lingkungan sel-sel daun lapisan atas fotosintesis, sedangkan spesies organisme penghancur lainnya hidup pada sel-sel daun bawah pada lembar daun yang sama hingga mereka hidup bebas tidak saling mengganggu. Lingkungan sel-sel dalam selembar daun di atas disebut mikrohabitat sedangkan keseluruhan daun dalam lingkungan makro disebut makrohabitat. Habitat dalam batas tertentu sesuai dengan persyaratan makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut titik minimum dan batas atas disebut titik maksimum. Antara dua kisaran itu terdapat titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik minimum, titik maksimum dan titik optimum disebut titik cardinal. Apabila sifat habitat berubah sampai diluar titik minimum atau maksimum, makhluk hidup itu akan mati atau harus pindah ke tempat lain. Misalnya jika terjadi arus terus-menerus di pantai habitat bakau, dapat dipastikan bakau tersebut tidak akan bertahan hidup . Apabila perubahannya lambat, misalnya terjadi selama beberapa generasi, makhluk hidup umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru di luar batas semula.Melalui proses adaptasi itu sebenarnya telah terbentuk makhluk hidup yang mempunyai sifat lain yang disebut varietas baru atau ras baru bahkan dapat terbentuk jenis baru. Batas antara mikrohabitat yang satu dengan yang lainnya acapkali tidak nyata/jelas. Namun
demikian,
mikrohabitat
memegang
peranan
penting dalam
menentukan
keanekaragaman spesies yang menempati habitat itu. Tiap spesies akan berkonsentrasi pada mikrohabitat yang paling sesuai baginya. Sebagai contoh, dalam suatu habitat perairan tawar yang mengalir (sungai) secara umum dapat dibedakan menjadi bagian riam dan lubuk. Riam berarus deras dan dasarnya berbatu-batu sedang lubuk hampir tidak berarus, relatif dalam dan dasarnya berupa lumpur dan serasah. Ada beberapa populasi hewan air yang lebih menyukai tinggal atau bermikrohabitat di riam dan ada beberapa populasi yang lebih menyukai tinggal atau bermikrohabitat di lubuk. Pemilihan atas dasar mikrohabitat utama ini dapat dipilahpilah lagi lebih lanjut, seperti bagian permukaan batu, di sel-sela batu, di bawah lapisan serasah dan sebagainya. Pemilihan atas dasar mikrohabitat-mikrohabitat yang berbeda itu terkait dengan masalah perbedaan status fungsional atau relung ekologi dari berbagai spesies hewan yang manempati habitat perairan tersebut.
C. Relung Ekologi (Ecological Niche) Relung ekologi merupakan suatu konsep abstrak mengenai keseluruhan persyaratan hidup dan interaksi organisme dalam habitatnya. Dalam hal ini habitat merupakan penyedia berbagai koondisi dan sumberdaya yang dapat digunakan oleh organisme sesuai dengan persyaratan hidupnya. Konsep relung (niche) dikembangkan oleh Charles Elton (1927) ilmuwan Inggris, dengan pengertian relung adalah “status fungsional suatu organisme dalam komunitas tertentu”. Dalam penelaahan suatu organisme, kita harus mengetahui kegiatannya, terutama mengenai sumber nutrisi dan energi, kecepatan metabolisme dan tumbuhnya, pengaruh terhadap organisme lain bila berdampingan atau bersentuhan, dan sampai seberapa jauh organisme yang kita selidiki itu mempengaruhi atau mampu mengubah berbagai proses dalam ekosistem. Menurut Resosoedarmo (1992), relung adalah profesi (status suatu organisme) dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu yang merupakan akibat adaptasi struktural, fungsional serta perilaku spesifik organisme itu. Relung ekologi merupakan gabungan khusus antara faktor fisik (mikrohabitat) dan kaitan biotik (peranan) yang diperlukan oleh suatu jenis untuk aktivitas hidup dan eksistensi yang berkesinambungan dalam komunitas (Soetjipto, 1992). Hutchinson (1957) dalam Begon,et al (1986) telah mengembangkan konsep relung ekologi multidimensi (dimensi-n atau hipervolume). Setiap kisaran toleransi hewan terhadap suatu faktor lingkungan, misalnya suhu merupakan suatu dimensi. Dalam kehidupannya hewan dipengaruhi oleh bukan hanya satu faktor lingkungan saja, melainkan bannyak faktor lingkungan secara simultan. Faktor ligkungan yang mempengaruhi atau membatasi kehidupan organisme bukan hanya kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya, kelembapan, salinitas tetapi juga ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan hewan (makanan dan tempat untuk membuat sarang bagi hewan). Selanjutnya Hutchinson membagi konsep relung menjadi relung fundamental dan relung yang terealisasi. Relung fundamental menunjukkan potensi secara utuh kisaran toleransi hewan terhadap berbagai faktor lingkungan, yang hanya dapat diamati dalam laboratorium dengan kondisi lingkungan gterkendali. Misalnya yang diamati hanya satu atau dua faktor saja, tanpa ada pesaing, predator dan lain sebagainya. Relung terealisasi adalah status fungsional yang benar-benar ditempati dalam kondisi alami, dengan beroperasinya banyak ffaktor lingkungan seperti interaksi faktor, kehadiran pesaing, predator dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan kisaran relung fundamental, kisaran dari relung yang
terealisasikan itu pada umumnya lebih sempit, karena tidak seluruhnya dari potensi hewan dapat diwujudkan, tentunya karena pengaruh dari beroprasinya berbagai kendala dari lingkungan. Dimensi-dimensi pada niche pokok menentukan kondisi-kondisi yang menyebabkan organisme-organisme dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan bentuk, kekuatan atau arah interaksi. Dua faktor utama yang menetukan bentuk interaksi dalam populasi adalah kebutuhan fisiologis tiap-tiap individu dan ukuran relatifnya. Empat tipe pokok dari interaksi diantara populasi sudah diketahui yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis. Agar terjadi interaksi antar organisme yang meliputi kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis harusnya ada tumpang tindih dalam niche. Pada kasus simbion, satu atau semua partisipan mengubah lingkungan dengan cara membuat kondisi dalam kisaran kritis dari kisaran-kisaran kritis partisipan yang lain. Untuk kompetitor, predator dan mangsanya harus mempunyai kecocokan dengan parameter niche agar terjadi interaksi antar organisme, sedikitnya selama waktu interaksi. Menurut Odum (1993) tidak ada dua spesies yang adaptasinya identik sama antara satu dengan yang lainnya, dan spesies yang memperlihatkan adaptasi yang lebih baik dan lebih agresif akan memenangkan persaingan. Spesies yang menang dalam persaingan akan dapat memanfaatkan sumber dayanya secara optimal sehingga mampu mempertahankan eksistensinya dengan baik. Spesies yang kalah dalam persaingan bila tidak berhasil mendapatkan tempat lain yang menyediakan sumber daya yang diperlukannya dapat mengalami kepunahan lokal Makhluk hidup dapat hidup bersama dalam satu habitat, akan tetapi apabila dua jenis makhluk hidup mempunyai relung yang sama, akan terjadi persaingan. Semakin besar tumpang tindih relung kedua jenis makhluk hidup, makin intensif persaingannya. Dalam keadaan itu masing-masing jenis akan mempertinggi efisiensi cara hidup atau profesinya.Masing-masing akan menjadi lebih spesialis, yaitu relungnya menyempit. Jadi efek persaingan antar jenis adalah menyempitnya relung jenis makhluk hidup yang bersaing, sehingga terjadi spesialisasi. Akan tetapi bila populasi semakin meningkat, maka persaingan antar individu di dalam jenis tersebut akan terjadi pula. Dalam persaingan ini individu yang lemah akan terdesak ke bagian niche yang marginal. Sebagai efeknya ialah melebarnya relung, dan jenis tersebut akan menjadi lebih generalis. Ini berarti jenis tersebut semakin lemah atau kuat. Makin spesialistis suatu jenis, makin rentan populasinya misalnya wereng yang monofag dan hidup dari tanaman padi, populasinya kecil setelah masa panen dan memesar
lagi setelah sawah ditanami dengan padi. Populasi yang kecil setelah panen menanggung resiko kepunahan. Sebaliknya jenis makhluk yang generalis, populasinya tidak banyak berfluktuasi, ia dapat berpindah dari jenis makanan yang satu ke jenis makanan yang lain. Pada manusia kita dapatkan hal yang serupa. Bangsa yang makanan pokoknya hanya beras, hidupnya amat rentan , apabila produksi beras menurun misalnya karena iklim yang buruk, kehidupannya mengalami kegoncangan. Banyak, organisme, khususnya hewan yang mempunyai tahap-tahap perkembangan hidup yang nyata, secara beruntun menduduki relung yang berbeda. Umpamanya jentik-jentik nyamuk hidup dalam habitat perairan dangkal, sedangkan yang sudah dewasa menempati habitat dan relung yang samasekali berbeda Relung atau niche burung adalah pemakan buah atau biji, pemakan ulat atau semut, pemakan ikan atau kodok. Niche ada yang bersifat umum dan spesifik. Misalnya ayam termasuk mempunyai niche yang umum karena dapat memakan cacing, padi, daging, ikan, rumput dan lainnya. Ayam merupakan polifag, yang berarti makan banyak jenis. Makan beberapa jenis disebut oligofag, hanya makan satu jenis disebut monofag seperti wereng, hanya makan padi. Apabila terdapat dua hewan atau lebih mempunyai niche yang sama dalam satu habitat yang sama maka akan terjadi persaingan. Dalam persaingan yang ketat, masingmasing jenis mempertinggi efisiensi cara hidup, dan masing-masing akan menjadi lebih spesialis yaitu relungnya menyempit. Hutchinson (dalam Odum,1993) membedakan antara relung dasar (Fundamental Niche) dengan relung nyata (Realized Niche). Relung dasar didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memungkinkan populasi masih dapat hidup, tanpa kehadiran pesaing, relung nyata didefinisikan sebagai kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh
organisme-organisme
tertentu
secara
bersamaan
sehingga
terjadi
kompetisi.
Keterbatasan suatu organisme pada suatu relung tergantung pada adaptasinya terhadap kondisi lingkungan tersebut. Relung dasar (Fundamental Niche) tidak dapat dengan mudah ditentukan karena dalam suatu komunitas persaingan merupakan proses yang dinamis dan kondisi fisik lingkungan yang beragam mempengaruhi kehidupan suatu organisme. Mc Arthur (1968) dalam Soetjipta (1992) menyarankan penelitian tentang perbedaan antara relung ekologi dibatasi dalam satu atau dua dimensi saja seperti hanya diamati perbedaan relung makan saja atau perbedaan relung aktivitas saja. Jenis-jenis popilasi yang berkerabat dekat akan memiliki kepentingan serupa pada dimensi-dimensi relung sehingga mempunyai relung yang saling tumpang tindih. Jika relung
suatu jenis bertumpang tindih sepenuhnya dengan jenis lain maka salah satu jenis akan tersingkir sesuai dengan prinsip penyingkiran kompetitif.Jika relung-relu ng itu bertumpang tindih maka salah satu jenis sepenuhnya menduduki relung dasarnya sendiri dan menyingkirkan jenis kedua dari bagian relung dasar tersebut dan membiarkannya menduduki relung nyata yang lebih kecil , atau kedua jenis itu mempunyai relung nyata yang terbatas dan masing-masing memanfaatkan kisaran yang lebih kecil dari dimensi relung yang dapat mereka peroleh seandainya tidak ada jenis lain.
Asas Eksklusi Persaingan dan Pemisahan Relung Dengan adanya interaksi persaingan antara dua spesies atau lebih yang memiliki relung ekologi yang sangat mirip maka mungkin saja spesies-spesies tersebut tidak berkonsistensi dalam habitat yang samasecara terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa suatu relung ekologi tidak dapat ditempati secara simultan dan sempurna oleh populasi stabil lebih dari satu spesies. Pernyataan ini dikenal sebagai “Asas Eksklusi Persaingan” atau “Aturan Gause”. Sehubungan dengan asas tersebut di atas, menurut “asas koeksistensi’, beberapa spesies yang dapat hidup secara langgeng dalam habitat yang sama ialah spesies-spesies yang relung ekologinya berbeda-beda. Tentang pentingnya perbedaan-perbedaan diantara berbagai spesies telah lama dikemukakan oleh Darwin (1859). Darwin menyatakan ahwa makin besar perbedaan-perbedaan yang diperlihatkan oleh berbagai spesies yang hidup di suatu tempat, makin besar pula jumlah spesies yang dapat hidup di suatu tempat itu. Pernyataan Darwin tersebut dikenal sebagai ” Asas Divergensi”. Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa aspek relung ekologi yang menyangkut dimensi sumberdaya, khususnya yang vital untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan, dari beberapa spesies harus berbeda (terpisah) agar dapat berkoeksistensi dalam habitat yang sama. Perbedaan atau pemisahan relung itu juga mencakup aspek waktu aktif. Contoh dari kasus pemisahan relung antara berbagai spesies yang berkohabitasi dapat dilihat dari contoh berikut ini. Serumpun padi dapat menjadi sumberdaya berbagai jenis spesies hewan. Orong-orong (Gryllotalpa africana) memekan akarnya, walang sangit (Leptocorisa acuta) memakan buahnya, ulat tentara kelabu (Spodoptera maurita) yang memakan daunnya, ulat penggerek batang (Chilo supressalis) yang menyerang batangnya, hama ganjur (Pachydiplosis oryzae) menyerang pucuknya, wereng coklat (Nilaparvata lugens) dan wereng hijau (Nephotettix apicalis) yang menghisap cairan batangnya. Tiap jenis
hama tersebut masing-masing telah teradaptasi khusus untuk memanfaatkan tanaman padi sebagai sumberdaya makanan pada bagian-bagian yang berbeda-beda.
Kesimpulan Bioindikator merupakan indikator biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi, kondisi alam (bencana alam), maupun kondisi lingkungan serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas manusia. Bioindikator dapat dibagi menjadi dua jenis yakni bioindikator hewan dan tumbuhan, keduanya memiliki kemampuan toleran tersendiri. Bioindikator dapat digunakan dalam kondisi lingkungan tanah, air maupun udara. Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya menunjukkan totalitas dari corak lingkungan yang ditempati populasi itu, termasuk faktor-faktor abiotik berupa ruang, tipe substratum atau medium yang ditempati, cuaca dan iklimnya serta vegetasinya. Relung ekologi hewan adalah status fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan dengan adaptasiadaptasi fisiologis, morfologi dan pola perilaku hewan itu. Mikrohabitat adalah bagian dari habitat yang merupakan lingkungan yang kondisinya paling cocok dan paling akrab berhubungan dengan hewan. Berdasarkan variasi habitat menurut waktu dapat dibagi menjadi 4 macam habitat yaitu habitat yang konstan, habitat yang bersifat semusim, habitat yang tidak menentu, dan habitat yang efemeral. Berdasarkan variasi kondisi habitat menurut ruang, habitat dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu habitat yang bersinambung, habitat yang terputus-putus, habitat yang terisolasi. Dua spesies hewan atau lebih yang hidup bersama dalam satu habitat disebut berkohabitasi atau berkoeksistensi. Asas eksklusi persaingan atau aturan gause berisi tentang suatu relung ekologi tidak dapat ditempati secara simultan dan sempurna oleh populasi stabil lebih dari satu spesies. Asas divergensi menurut Darwin menyatakan bahwa makin besar perbedaan-perbedaan yang diperlihatkan oleh berbagai spesies yang hidup di suatu tempat, makin besar pula jumlah spesies yang dapat hidup di suatu tempat itu. Jenis-jenis hewan yang menempati relung ekologi yang sama (ekivalen) dalam habitat yang serupa di daerah zoogeografi yang berbeda disebut ekivalenekivalen ekologi. Jika Spesies-spesies hewan yang berkerabat dekat (kogenerik) ditemukan dalam keadaan simpatrik, seleksi alam akan menghasilkan ciri-ciri tubuh yang semakin mencolok perbedaannya diantara Spesies-spesies itu atau dikatakan mengalami evolusi divergen.Sebaliknya, apabila dalam keadaan alopitrik seleksi alam akan menghasilkan evolusi konvergen sehingga perbedaan ciri-ciri itu makin kabur, fenomena tersebut dikenal sebagai pergeseran ciri.
Saran Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca serta dapat menganalisis kerusakan lingkungan dengan baik agar memiliki solusi untuk mengatasi bencana alam dan berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi disekitar kita.
Daftar Pustaka Arianto, S. 2011. Perbaikan Kulaitas Pupuk Kandan Sapi dan Aplikasinya Terhadap Tanaman Jagung Manis (Zea mays Saccharata Strurt), Jurnal Fakultas Pertanian Universitas Muria Kudus : 4 (2) :164-175 Barnes, R. S. K., Hughes, R. N. 1982. An Introduction to Marine Ecology. Australia: Whitefriars Pressh Conti, M. E., Caccheti,G,. 2001. Biological Monitoring: lichens as biondicator of air pollution assesment. Review. Environmental Pollution Vol. 144 pp: 471-49 Darmawan, Agus. 2005. Ekologi Hewan. Malang : Universitas Negeri Malang Doran, J.W. 1998. Defining and Assessing Soil Health and Suistainable Productivity. Biological Indicators of Soil Health. CAB Internasional Ellenberg,1991. Biologcal Monitoring Signal From The Environment .Fried Vieweg and John Verlago Sellcsharft Brounchweig.Germany Fachrul, M. F. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta : Bumi Aksara Hornby, D & G.L. Bateman. 1998. Potential Use of Plant Root Pathogens as Bioindicators of Soil Health. CAB Internasional James A dan Evison L. 1979. Biological Indications of Water Quality. John Wiley & Sons Chichester, New York Kovacs, M. 1992. Biological Indikator in Environmental Protection. New York: Ellis Horwoord Kramadibrata, H. (1996). Ekologi Hewan. Bandung : Institut Teknologi Bandung Press. Kristanto, Philip. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta : Andi Offset
Loopi, S., Ivanov D, B. R. (2002). Biodiversity of Epiphytic Lichens and Air Pollution in the Town Siena(Central Italy). Environmental Pollution ,16(16),123-128 Magdoff, F. 2001. Concept, Components, and Strategies of Soil Health in Agroecosystems. Journal Of Nematology 33(4):169-172 Odum, Eugene P (1971) Fundamentals of Ecology. Saunders College Publishing. Pratiwi, M. E., 2006. Kajian lichen sebagai bioindikator kualitas udara studi kasus: kawasan industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Skripsi. IPB, Bogor Primack, Richard. B. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Palmer, T. 1985. Understanding enzyme. Ellishorwood Publisher. Ratna Rima Melati. (2012). Kamus Biologi. Surakarta : PT Aksara Sinergi Media. Samsuddin 2012. Bioindicators: Using Organisms to Measure Environmental Impacts. Nature Education Knowledge Project, 2(2):8 Sinaga, T. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir. Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Shubert, E. L. 1984. Algae Ecologigal Indicators. Academic Press Inc, London. Wirakusumah, Sambas (2003) Dasar-Dasar Ekologi. Jakarta. Penerbit UI Press