Makalah Diuretik.docx

  • Uploaded by: Aulia Innayahsari Datunsolang
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Diuretik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,084
  • Pages: 28
MAKALAH FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI 2 “DIURETIK”

OLEH : KELOMPOK 3 Nama

: AULIA INNAYAHSARI. D (15020140070) FITRIANI SALEH SYARIFAH ZAHRAH AL-MAHDALY SITRA YUSRIDAWATI WANDA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2015

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN A. B. C. D. E.

PENGERTIAN ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL MEKANISME KERJA DIURETIK FARMAKOLOGI DASAR OBAT DIURETIK FARMAKOLOGI KLINIS OBAT DIURETIK

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang dalam saya sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas mengenai diuretika dan antihipertensi, Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi dan Toksikologi 2 sebagai tugas kelompok. Makalah ini dibuat sesuai tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Farmakologi dan Toksikologi 2.

Makassar, 19 Januari 2015 Kelompok III

BAB I

PENDAHULUAN Pengeluaran urin atau diuresis dapat diartikan sebagai penambahan produksi volume urin yang dikeluarkan dan pengeluaran jumlah zat zat terlarut dalam air. Obat-obat yang

menginduksi kejadian peningkatan

aliran urin disebut diuretik. Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan

pembentukkan

urin,

istilah

diuresis

mempunyai

dua

pengertian. Pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi, dan yang kedua menunjukkan jumlah penegeluaran zatzat terlarut dan air. Fungsi utama obat diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal. Berdasarkan mekanisme kerjanya, secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu diuretik osmotik yaitu yang bekerja dengan cara menarik air ke urin, tanpa mengganggu sekresi atau absorbsi ion dalam ginjal dan penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal, seperti diuretik tiazid (menghambat reabsorbsi natrium dan klorida pada ansa Henle pars ascendens), Loop diuretik (lebih poten daripada tiazid dan dapat menyebabkan hipokalemia), diuretik hemat kalium (meningkatkan ekskresi natrium sambil menahan kalium). Diuretik yang efektif secara klinis juga meningkatkan laju reaksi natrium dan anion lain yang menyertainya, biasanya Cl -. Sebagian besar

aplikasi klinis diuretik ditunjukan untuk mengurangi volume cairan ekstraselular dengan mengurangi kandungan total NaCl di dalam tubuh. Agen-agen ini merupakan penghambat transpoter ion ginjal yang menurunkan reabsorbsi Na + pada tempat yang berbeda dalam nefron, akibatnya Na+ dan ion lainnya, seperti Cl-, memasuki urin dalam jumlah yang lebih besar daripada normal bersama dengan air, yang dibawa secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Perubahan osmotik dimana dalam tubulus menjadi meningkat karena natrium kebih banyak dalam urine, dan mngikat air lebih banyak di dalam tubulus ginjal. Jadi, diuretik akan meningkatkan volume urin dan sering mengubah pHnya, serta komposisi ionik urine dan darah. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volum ecairan ekstrasel menjadi normal. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah dalam glomeruli (gumpalan kepiler) yang terletak di bagian luar ginjal (cortex). Dinding glomerui inilah yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam dan glukosa. Ultrafiltrat yang diperoleh dari filtrasi dan mengandung banyak air serta elektrolit ditambpung di wadah, yang mengelilingi setiap glomerulus seperti corong (kapsul Bowman) dan kemudian disalurkan ke pipa kecil. Disini terjadi penarikan kembali secara aktif dari air dan komponen yang sangat penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam lain ion Na +.

Zat-zat ini dikelmbalikan pada darah melalui kapiler yang mengelilingi tubuli. Sisanya yang tak berguna perombakan metabolisme-protein (ureum) untuk sebagian besar tidak diserap kembali. Akhirnya filtrat dari semua tubuli ditampung di suatu saluran pengumpul (ductus coligens), dimana terutama berlangsung penyerapan air kembali. filtrat akhir disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun sebagai urin.

BAB II

PEMBAHASAN A. PENGERTIAN Untuk mempertahankan homeostatis, ekskresi air dan elektrolit pada asupan harus melebihi ekskresi karena sebagian dari jumlah air dan elektrolit tersebut akan diikat dalam tubuh. Jika asupan kurang dari ekskresi maka jumlah zat dalam tubuh akan berkurang. Kapasitas ginjal untuk mengubah ekskresi natrium sebagai respont terhadap perubahan asupan natrium akan sangat besar. Hal ini sesuai untuk air dan kebanyakan elektrolit lainnya seperti klorida, kalium, kalsium, hidrogen, magnesium, dan fosfat (Syaifuddin, 2009). Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik adalah obat yang bekerja pada ginjal untuk meningkatkan sekresi air dan natrium klorida. Secara reabsorbsi garam dan air dikendalikan masing-masing oleh vasopiesin (hormon antidiuretik, ADH). Sebagian besar diuretik bekerja dengan menurunkan reabsorbsi elektrolit oleh tubulus. Ekskresi elektolit yang meningkat diikuti oleh peningkatan ekskresi air, yang penting untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Diuretik digunakan untuk mengurangi udema pada gagal jantung kongesif, beberapa penyakit ginjal, dan sirosis hepatis (Neal, 2010). B. ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL

Ginjal menyaring sejumlah besar plasma, mereabsorpsi zat-zat yang harus disimpan tubuh, dan menyisakan dan/atau mengeluarkan zatzat yang harus dieluminasi. Kedua ginjal pada manusia memproduksi total – 120 ml/menit ultrafiltrat, tetapi hanya 1 ml urin diproduksi setiap menit. Unit dasar pembentuk urine dalam ginjal adalah nefron, yang terdiri atas alat penyaring (glomerulus) yang terhubung dengan bagian tubulus yang memanjang;

tubulus

mereabsorpsi

dan

mengondisikan

ultrafiltrat

glomerulus. Setiap ginjal manusia memiliki -1 x 10 6 nefron. (Laurence, 2014). Tubulus proksimal nefron bersebelahan dengan Kapsul Bowman dan membentuk lajur yang berliku-liku hingga akhirnya membentuk suatu bagian lurus yang menukik ke bagian medula ginjal. Secara normal, sekitar 65% Na+ tersering diabsorpsi di tubulus proksimal; karena bagian tubulus ini sangat permeabel terhadap air, reabsorpsi pada dasarnya terjadi dalam kondisi isotonis. Antara bagian luar dan bagian dalam medula luar, morfologi tubulus berubah tajam membentuk bagian desenden tipis (descending thin limb, DTL), yang memasuki bagian dalam medula, membentuk suatu lekukan tajam, dan kemudian membentuk suatu bagian asenden tipis (ascending thim lamb, ATL). Pada sambungan antara medula bagian dalam dan bagian luar, tubulus berupa bagian asenden tebal (thick ascending limb, TAL), yang terdiri atas 3 segmen, yaitu bagian medula (MTAL), bagian korteks (CTAL), dan segmen pascamakular.

Tubulus proksimal yang lurus, DTL, ATL, MTAL, CTAL, dan segmen pascamakular dikenal sebagai ansa Henle. DTL sangat permeabel terhadap air, tetapi relatif tidak permeabel terhadap NaCl dan urea. Sebaliknya, ATL permeabel terhadap NaCl dan urea, tetapi tidak permeabel terhadap air. TAL mereabsorpsi NaCl secara aktif, tetapi tidak permeabel terhadap urea dan air. Sekitar 25% Na + tersaring direabsorpsi di ansa Henle, sebagian besar di TAL, yang memiliki kapasiras reabsorpsi yang besar. (Laurence, 2014). Bagian TAL melewari arteriol aferen dan eferen dan membentuk sambungan dengan arteriol aferen melalui sekumpulan sel epitilium kolumner khusus yang dikenal sebagai makula densa. Makula densa berada dilokasi yang strategis untuk mengetahui konsentrasi NaCl yang meninggalkan ansa Henle. Jika konsentrasi NaCl terlalu tinggi, makula densa mengirimkan sinyal kimiawi (kemunginan adenosin atau ATP) ke arteriol aferen pada nefron yang sama sehingga terjadi konstriksi. Ini, selanjutnya menyebaban penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). Mekanisme

homeostatik

ini,

dikenal

sebagai

umpan

balik

tubuluglomerulus (tubuluglomerulus feedback, TGF), berperan untuk melindungi organisme dari pembuangan garam dan volume cairan berlebihan. Makula densa juga mengatur pelepasan renin dari sel-sel jukstaglomerulus (Laurence,2014).

yang

berdekatan

pada

dinding

arteriol

aferen.

Kira-kira 0,2 mm setelah makula densa, terdapat tubulus kontortus distal (distal convoluted tubule, DCT). Segmen pascamakula TAL dan DCT sering disebut tublus distal awal. Seperti TAL, DCT secara aktif mentranspor NaCl dan bersifat tidak permeabel terhadap air. Karena karakteristik ini yang memberikan kemampuan memproduksi urin encer, TAL dan DCT secara aktif mentranspor NaCl dan bersifat tifak permeabel terhadap air. Karena karakteristik ini yang memberikan kemampuan memproduksi urin encer, TAL dan DCT disebut sebagai segmen pengencer nefron, dan cairan tubulus dalam DCT bersifat hipotonik bagaimanapun status hidrasi. Akan tetapi, tidak seperti TAL, DCT tidak berperan pada hipertonisitas yang diinduksi aliran-balik (countercurrent induced hypertonicity) pada unterstisium medula (Laurence, 2104). Sistem

saluran

pengumpul

(tubulus

penghubung,

tubulus

pengumpul awal, saluran pengumpul di korteks , saluran pengumpul pada medula bagian luar dan dalam) merupakan daerah yang memiliki kontrol komposisi dan volume ultrafiltrat yang sangat baik dan merupakan tempat pengaturan akhir komposisi elektrolit. Selain itu, vasoprasin (disebut juga hormon antidiuretik) memodulasi permeabilitas terhadap air dibagian nefron ini (Laurence, 2014). Bagian saluran pengumpul yang lebih distal melewati medula ginjal, cairan interstisial dangat hipertonik. Bila tidak ada vasopresin, sistem saluran pengumpul tidak permeabel terhadap air, dan urine encer

diekskresikan. Bila ada vasopresin, sistem saluran pengumpul permeabel terhadap air. Air di reabsorpsi untuk menurunkan suatu gradien konsentrasu yang tinggi antara cairan tubulus dan interstisium medula (Laurence, 20214). Hipertonisitas interstisium medula berperan penting terhadap kemampuan memekatkan urine, yang terjadi melalui kombinasi topografi ansa Henle yang unik dan sifar permeabilitas khusus subsegmen ansa Henle. “Hipotesis pengganda aliran balik pasif” menyatakan bahwa transpor aktif dalam TAL memekatkan NaCl di interstisium medula bahian luar sehingga menciptakan hipertonisitasnya. Karena segmen nefron ini tidak permeabel terhadap iar, transpor aktid di bagian asenden mengencerkan cairan tubulus. Karena cairan encer masuk ke dalam sistem saluran pengumpul, air ditarik jika, dan hanya jika, terdapat vasopresin. Karena saluran pengumpul di korteks dan medula bagian luar memiliki permeabilitas yang rendah terhadap urea, urea memekat di dalam cairan tubulus. Namun, saluran pengumpul di medula bagian dalam bersifat permeabel terhadap urea sehingga urea berdifusi kedalam medula bagian dalam, tempat urea tersebut terperangkap oleh pertukaran aliran balik dalam vasa rekta. Karena DRL tidak permeabel terhadap garam dan urea, konsentrasi urea yang tinggi di medula bagian dalam menarik air dan DRL dan memekatkan NaCl di dalam cairan tubulus DTL. Setelah cairan tubulus memasuki ATL, NaCl berdifusi keluar dari ATL yang permeabel

terhadap garam; hal ini berkontribusi pada hipertonisitas di interstisium memdula (Laurence, 2014). Di kapiler glomerulus, suatu bagian dari air plasma melewati suatu penyaring yang memiliki tiga komponen dasar, yaitu sel endotel kapiler berfenestra, membran basal yang berada tepat di bawah sel endotel, dan diafragma celah filtasi yang terbentuk oleh sel-sel epitelium yang melapisi membran basal pada sisi daerah uriner. Zat terlalurt yang berukuran kecil mengalir bersama air yang tersaring (terbawa pelarut) menuju daerah uriner (Bowman), sedangkan elemen yang terbentuk dan makromolekul tertahan oleh sawar filtrasi (Laurence, 2014).

C. MEKANISME KERJA DIURETIK Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih dan demikian juga dari air

diperbanyak. Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yaitu di (Tjay, 2015) : 1. tubuli proksimal. Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang disini direabsoprsi secara aktif untuk kurang lebih 70%m antara lain ion-Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorpsi berlangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonik terhadap plasma. Diuretika osmotik (manitol, sorbitol) bekerja di sini dengan menghalangi reabsorpsi air dan juga natrium. 2. lengkungan Henle. Di bagian menaik dari Henle’s loop

± 25% dari

semua ion Cl- yang telah difiltrasi deireabsorpsi secara aktif, disusul dengan reabsorpsi pasif dan Na+ dan K+ tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi

hipotonis.

Diuretika

lengkungan

seperti

furosemid,

bumetamida dan etakrinat, bekerja terutama di sini dengan merintangi transpor Cl- dan demikian reabsorpsi Na+, pengeluaran K+ dan air juga diperbanyak. 3. tubuli distal. Di baian pertama segmen ini, Na + direabsorpsi secara aktif pula tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. Senyawa thiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan Cl- sekitar 5-10%. Di bagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+; proses ini dikendalikan oleh hormon anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron

(spironolakton) dan zat-zat penghemat kalium (amilorida, triameteren) memiliki titik kerja di sini dengan mengakibatkan ekskresi Na + (kurang dari 5%) dan retensi K+. 4. Saluran pengumpul. Hormon antidiuretik ADH (vasopresin) dari hipofisis memiliki titik kerja di sini dengan memengaruhi permeablitias sel-sel saluran ini bagi air (homeostatis air). Vasopresin adalah suatu neurotransmitter dan berfungsi sebagai vasopresor kuat di samping fungsinya pada sistem saraf pusat dengan mengatur sekresi hormon adrenokortikotrop (ACTH), suhu tubuh, sistem kardiovaskular dan fungsi alat cerna (Tjay, 2015). D. FARMAKOLOGI DASAR OBAT DIURETIK. INHIBITOR KARBONAT ANHIDRASE Karbonat anhydrase terdapat di banyak bagian nefron, tetapi lokasi pendominan enzim ini adalah sel epitel PCT, tempat enzim ini mengatalasis dehidrasi H2CO3 menjadi CO2 di membrane luminal dan rehidrasi CO2 menjadi H2CO3 di sitoplasma seperti telah dijelaskan. Dengan

menghambat

karbonat

anhydrase,

inhibitor

mengurangi

reabsorpsi NaHCO3 dan menyebabkan diuresis (Katzung, 2015). Inhibitor karbonat anhydrase merupakan pelopor diuretika modern. Obat golongan ini ditemukan pada tahun 1973 ketika diketahui bahwa sulfonamide bakteriostatik menyebabkan diuresis alkali dan asidosis metabolic hiperkloremik. Dengan dikembangkannya obat-obat yang lebih baru, inhibitor karbonat anhydrase kini jarang digunakan sebagai diuretic,

tetapi obat ini masih memiliki aplikasi klinis spesifik yang dibahas di bawah. Prototype inhibitor karbonat anhydrase adalah asetazolamid (Katzung, 2015). 1. Farmakokinetika. Inhibitor karbonat anhydrase diserap balik setelah pemberian oral. Peningkatan pH urin dari diuresis HCO3- terdeteksi dalam 30 menit, maksimal pada 2 jam, dan menatap selama 12 jam setelah satu dosis. Ekskresi obat adalah melalui sekresi di segmen S2 tubulus proksimal. Karena itu, dosis obat perlu dikurangi pada insufisiensi ginjal (Katzung, 2015). 2. Farmakodinamika. Inhibisi aktivitas karbonat anhydrase sangat menekan reabsorpsi HCO 3di PCT. Pada dosis aman yang maksimal. 85% kapasitas reabsorptif HCO3- PCT supefisial akan terhambat. Sebagian HCO 3- masih tetap dapat direabsorpsi di bagian nefron yang lain oleh mekanisme independen-karbonat anhydrase, sehingga efek keseluruhan dosis asetazilamid maksimal hanyalah inhibisi sekitar 45% dari reabsorpsi HCO3- ginjal keseluruhan. Bagaimanapun, inhibitor karbonat anhydrase menyebabkan pengeluaran signifikan HCO3- dan asidosis metabolic hiperkloremik. Karena berkurangnya HCO 3- di filtrate glomerulus dan kebyataan bahwa deplesi HCO3- menyebabkan peningkatan reabsorpsi NaCl oleh bagian nefron sisanya, efikasi diuretikn asetazolamid menurun signifikan setelah digunakan beberapa hari (Katzung, 2015). 3. Indikasi Klinis dan Dosis (Katzung, 2015). a. Glaukoma

Pengurangan pembentukan aqueous humor oleh inhibitor karbonat anhydrase menurunkan tekanan intraokulus. Efek ini berguna dalam penanganan glaucoma, yang menyebabkannya menjadi indikasi tersering pemakaian inhibitor karbonat anhydrase. Tersedi obat topical yang mengurangi tekanan intraokulus tanpa menimbulkan efek pada ginjal atau sistemik (dorzolamid, brinzolamid). b. Alkalinasi Urin Asam urat dan sistin relative tak-larut dan dapat membentuk batu dalam urin yang asam. Karena itu, pada sistinuria suatu gangguan reabsorpsi sistin, kelarutan sistin dapat di tingkatkan dengan meningkatkan pH urin 7,0 menjadi 7,5 dengan inhibitor karbonat anhydrase. Pada kasus asam urat, pH perlu ditingkatkan hanya menjadi 6,0 atau 6,5. Tanpa pemberian HCO 3-, efek asetazolamid ini hanya

bertahan

2-3

hari,

sehingga

terapi

jangka-panjang

memerlukan menyebabkan pembentukan batu garam kalisium, sehingga pH urin perlu dipantau selama pemberian asetazolamid. c. Alkalosis Metabolik Alkalosis metabolic umumnya diterapi dengan mengoreksi kelainan pada

K+

tubuh

total,

volume

intravascular,

atau

mineralokortikoid. Namun, jika alkalosisnya disebabkan

kadar oleh

pemakaian berlebihan diuretic pada pasien dengan gagal jantung berat

maka

penggantian

volume

intravascular

mungkin

dikontraindikasikan. Pada kasus ini asetazolamid dapat berguna untuk mengoreksi alkalosis sekaligus menimbulkan diuresis ringan

untuk memperbaiki kelebihan cairan. Asetazolamid juga dapat digunakan untuk dengan cepat mengoreksi alkalosis metabolic yang mungkin timbul setelah perbaikan asidosis respiratorik. d. Maintain Sickness Akut Otot lemah, pusing bergoyang, insomnia, nyeri kepala, dan mual dapat terjadi pada pendaki gunung yang naik cepat ke ketinggian di atas 3000 m. gejala biasanya ringan dan berlangsung beberapa hari. Pada kasus yang lebih serius, dapat terjadi edema paru atau otak progresif yang mengancam nyawa. Dengan mengurangi pembentukan cairan serebrospinal dan dengan menurunkan pH cairan

serebrospinal

menghilangkan

gejala-gejala

mountain

sickness (mabuk ketinggian/gunung) tersebut. Asidosis metabolic ringan berguna da;a pengobatan apnu tidur. e. Pemaiakaian Lain Inhibitor karbonat anhydrase telah digunakan sebagai adjuvant dalam pengobatan epilepsy dan beberapa bentuk paralisis periodic hipokalemik. Obat golongan ini juga bermanfaat dalam mengobati pasien dengan kebocoran CSS (biasanya disebabkan oleh tumor atau trauma kepala, tetapi sering idiopatik). Dengan mengurangi kecepatan pembentukan CSS dan tekanan intrakarnium, inhibitor karbonat anhydrase dapat secara signifikan memperlambat laju kebocoran CSS. Yang terakhir, obat golongan ini juga meningkatkan ekskresi fosfat urin sewaktu hiperfosfatemia berat. 4. Kontraindikasi (Katzung, 2015).

Alkalinasi urin akibat inhibitor karbonat anhydrase mengurangi ekskresi NH4+ urin (dengan mengubahnya ke NH3 yang cepat direabsorpsi) dan mungkin ikut berperan menyebabkan hiperamonemia dan ensefalopati hati pada pasien dengan sirosis. Antagonis Reseptor A2 Adenosin (Katzung, 2015). Selain kemungkinan manfaatnya dalam mencegah umpan balik tubuluglomerulus,

antagonis

repseptor

adenosine

mengganggu

pengaktifan NHE3 di PCT dan peningkatan sekresi K + di tubulus koligentes yang diperantarai oleh adenosine. Karena itu, antagonis reseptor adenosine seyogianya adalah diuretic yang sangat bermanfaat. Loop Diuretics (Katzung, 2015). Loop diuretics secara selektif menghambat reabsorpsi NaCl di TAL. Karena besarnya kapasitas absorptive NaCl segmen ini dan kenyataan bahwa efek diuretic obat-obat ini tidak dibatasi oleh terjadinya asidosis, seperti pada kasus dengan inhibitor karbonat anhydrase, loop diuretics adalah obat diuretic paling efektif yang saat ini tersedia. 1. Farmakokinetika (Katzung, 2015). Loop diuretics cepat diserap. Obat golongan ini dieliminasi oleh ginjal melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus. Penyerapan furosemide oral lebih cepat (1 jam) daripada furosemide (2-3 jam) dan hampir sama tuntasnya seperti pemberian intravena. Lama kerja furosemide

biasanya 2-3 jam. Efek furosemide berlangsung hingga 4-6 jam. Waktu paruh bergantung pada fungsi ginjal. 2. Farmakodinamika (Katzung, 2015). Loop diuretics menghambat NKCC2, pengangkat Na +/K+/2Cl- luminal di TAL ansa Henle. Dengan menghambat pengangkut ini, loop diuretics mengurangi reabsorpsi NaCl dan juga menghilangkan potensial positif lumen yang berasal dari pendauran K +. Loop diuretics juga terbukti menginduksi ekspresi salah satu siklooksigenase (COX-2), yang ikut serta dalam sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Paling tidak satu dari prostaglandin ini, PGE 2, menghambat oengangkutan garam di TAL dan karenanya ikut serta dalam efek loop diuretics pada ginjal. OAINS (mis, indometasin), yang melemahkan aktivitas siklooksigenase dapat mengganggu efek loop diuretics dengan mengurangi sintesis prostaglandin di ginjal. Loop diuretics memiliki efek langsung pada aliran darah melalui beberapa jaringan vaskular. Furosemide meningkatkan aliran darah ginjal melalui efek prostaglandin pada pembuluh darah ginjal. Furosemide dan asam etakrinat juga terbukti mengurangi kongesti paru dan tekanan pengisian ventrikel kiri pada gagal jantung sebelum terjadi peningkatan terukur pengeluaran urin. Efek-efek pada tonus vaskular perifer ini juga disebabkan oleh pelepasan prostaglandin ginjal yang diinduksi oleh diuretic. Tiazida (Katzung, 2015).

Diuretik tiazid ditemukan pada tahun 1957, berkat upaya untuk mensintesis inhibitor karbonat anhydrase yang lebih poten. Kemudian menjadi jelas bahwa tiazid menghambat transpor NaCl, bukan NaHCO 3dan bahwa efek obat ini terutama di DCT, bukan PCT. Sebagian anggota dari golongan ini tetap memiliki aktivitas inhibisi karbonat anhydrase (mis.klortalidon). Prototipe golongan diazid adalah hidrokolotiazid (HCTZ). Kimia dan Farmakokinetika. Semua tiazid dapat diberikan per oral, tetapi terdapat perbedaan dalam metabolism mereka. Klorotiazid, senyawa induk golongan ini, tidak terlalu larut-lemak dan harus diberikan dalam dosis relative besar. Ini adalah satu-satunya tiazid yang tersedia untuk pemberian parenteral. HCTZ lebih poten dan perlu digunakan dalam dosis yang lebih rendah. Klorotiladon diserap secara perlahan dan memilliki masa kerja lebih panjang. Meskipun idapamid terutama diekskresikan oleh sistem empedu namun cukup banyak bentuk aktifnya yang dibersihkan oleh ginjal ntuk menimbulkan efek diuretic pada DCT. 1. Farmakodinamika (Katzung, 2015). Tiazida menghambat reabsorpsi NaCl dari sisi luminal sle epitel di DCT dengan menghambat pengangkut Na +/Cl (NCC). Berbeda dari situasi di TAL, di mana loop diuretics menghambat reabsorpsi Ca 2+. Peningkatan ini terjadi diperkirakan karena efek di tubulus kontortus proksimal dan distal. 2. Kontraindikasi (Katzung, 2015).

Pemakaian berlebihan setiap diuretic merupakan hal berbahaya pada pasien dengan sirosis hati, gagal ginjal borderline, atau gagal jantung. Diuretika Hemat-Kalium (Katzung 2015). Diuretika hemat-kalium mencegah sekresi K+ dengan melawan efekefek aldosterone di tubules koligentes. Inhibisi sdapat terjadi melalui antagonism

farmakologik

langsung

reseptor

mineralkortikoid

(spinorolakton, eplerenon) atau dengan menghambat influx Na + melalui saluran ion di membrane luminal (amilorid, triamterene). Sifat yang terakhir ini tampaknya juga dimiliki oleh antagonis adenosine, yang terutama mengurangi reabsorpsi Na+ dan sekresi K+ di tubulus koligentes. Yang terakhir, ularitid (urodilatin rekombinan), yang saat ini masih diteliti, menumpulkan penyerapan Na+ dan Na+/K+-ATPase di tubulus koligentes dan meningkatkan LFG melalui efek vaskularnya. Nesitirid, yang kini tersedia secara komersial untuk pemakaian intravena saja, meningkatkan LFG dan mengurangi reabsorpsi Na+ di tubulus proksimal dan koligentes. DIURETIK OSMOTIK (Katzung, 2015). Tubulus proksimal dan pars desendens ansa Henal permeable bebas terhadap air. Semua bahan yang secara osmosis aktif yang difiltrasi oleh glomerulus tetapi tidak direabsorpsi akan menyebabkan air tertahan di segmen-segmen ini dan mendorong diuresis air. Bahan-bahan tersebut dapat

digunakan

untuk

mengurangi

tekanan

intrakranium

dan

mempercepat pengeluaran toksin ginjal. Prototype diuretic osmotic adalah

manitol. Glukosa tidak digunakan secara klinis sebagai duretik tetapi sering menyebabkan diuresis osmotic (glukosuria) pada pasien dengan hiperglikemia. 1. Farmakokinetika. Manitol kurang diserap oleh saluran cerna dan jika diberikan per oral bahan ini lebih menyebabkan diare osmotic daripada diuresis. Untuk menghasilkan efek sistemik, manitol harus diberikan secara intravena. Manitol tidak dimetabolisasi dan diekskresikan oleh filtrasi glomerulus dalam 30-60 menit, tanpa reabsorpsi atau sekresi signifikan di tubulus. Obat ini perlu diberika secara hati-hati pada pasien dengan inufisiensi ginjal bahkan yang ringan. 2. Farmakodinamika. Diuretic osmotic terutama bekerja di tubulus proksimal dan pars desendens ansa henle. Melalui efek osmotik, obat golongan ini juga melawan efek ADH di tubulus koligentes. Adanya zat terlarut yang tidak dapat direabsorpsi, misalnya manitol menghambat absorpsi normal air dengan melawan gaya osmotic. Akibatnya, volume urin meningkat. Peningkatan laju urin mengurangi waktu kontak antara cairan dan epitel tubulus sehingga reabsorpsi baik Na + maupun air berkurang. Natriuresis yang terjadi lebih ringan daripada diuresis air sehingga akhirnya pengeluran air yang berlebihan dan hypernatremia. ANTAGONIS HORMON ANTIDIURETIK (Katzung, 2015).

Berbagai

penyakir

medis,

termasuk

gagal

jantung

kongestif

(congestive heart failure, CHF) dan syndrome of inappropriate ADH secretion

(SIADH),

menyebabkan

retensi

air

akibat

pengeluaran

berlebihan ADH. Pasien dengan CHF yang mendapat diuretic sering mengalami hiponatremia akibat sekresi berlebihan ADH. Dapat terjadi hiponatremia yang berbahaya. Diketahui terdapat tiga reseptor vasopressin, V 1a, V1b dan V2. Reseptor V1 diekspresikan di pembuluh darah dan ginjal. Konivaptan (zat ini tersedia hanya untuk pemberian intravena) memperlihatkan aktivitas terhadap reseptor V1a, dan V2. Obat oral tolvaptan, liksivaptan, dan satavaptan aktif secara selektif terhadap reseptor V 2. Liksivaptan dan satavaptan masih dalam penelitian klinis, tetapi tolvaptan, yang baru-baru ini disetujui oleh Food Drug Administration, adalah pengobatan yang sangat efektif hiponatremia dan sebagai tambahan untuk terapi diuretic standar pada pasien dengan CHF. 1. Farmakokinetika. Waktu paruh konivaptan dan demeklosiklin adalah 5-10 jam, sementara untuk tolvaptan waktunya adalah 12-24 jam. 2. Farmakodinamika Antagonis hormone antidiuretic menghambat efek ADH di tubulus koligentes. Konivaptan dan tolvaptan merupakan antagonis langsung reseptor ADH, sedangkan litim dan dememklosiklin mengurangi cAMP

yang

ditimbulkan

oleh

ADH

melalui

mekanisme

yang

belum

sepenuhnya dipahami. E. FARMAKOLOGI KLINIS OBAT DIURETIK KEADAAN EDEMATOSA Alas an umum pemberian diuretic adalah untuk mengurangi edema perifer atau paru yang terjadi akibat penyakit jantung, ginjal atau vaskular yang mengurangi aliran darah ke ginjal. Pengurangan ini dideteksi sebagai kurangnya volume efektif darah arteri dan memicu retensi garam dan air, yang meningkatkan volume darah dan akhirnya menyebabkan terjadinya edema. Pemberian diuretic secara berhati-hati dapat memobilisasi edema interstisium ini tanpa secara signifikan mengurangi volume plasma (Katzung, 2015). 1. GAGAL JANTUNG Dalam mengobati pasien gagal jantung dengan diuretic, perlu selalu diingat bahwa curah jantung pada para pasien ini dipertahankan sebagian oleh tingginya tekanan pengisian. Karena itu, pemberian berlebihan diuretic dapar menurunkan aliran balik vena dan semakin mengurangi cairan jantung. Hal ini terutama penting pada gagal jantung ventrikel kanan. Kongesti sistemik, bukan kongesti paru, yang merupakan tanda utama penyakit ini. Kontraksi volume imbas-diuretik jelas akan mengurangi aliran balik vena dan dapat sangat menurunkan curah jantung jika tekanan pengisian ventrikel berkurang di bawah 12 mmHg. Toksisitas serius lain dari pemakaian diuretic pada pasien jantung adalah hypokalemia. Hypokalemia dapat memicu aritmia

jantung dan ikut menimbulkan toksisitas digitalis. Hal ini biasanya dapat dihindari dengan mengurangi asupan Na + selagi pasien mendapat diuretic sehingga penyaluran Na+ ke tubulus koligentes pensekresi K + berkurang. Pasien tidak patuh dengan diet rendah Na + harus diberi suplemen KCl oral atau diuretic hemat-K+ (Katzung, 2015). 2. SIROSIS HATI Penyakit hati sering berkaitan dengan edema dan asites selain meningkatnya tekanan hidrostatik porta dan berkurangnya tekanan osmotic plasma. Mekanisme retensi Na + oleh ginjal dalam keadaan ini mencakup berkurangnya perfusi ginjal (akibat perubahan vaskular sistemik), berkurangnya volume plasma (karena pembentukan asites), dan menurunnya tekanan onkotik (hipoalbuminemia). Selain itu, mungkin terjadi retensi Na+ primer karena meningkatnya kadar alosteron plasma (Katzung, 2015). 3. EDEMA IDIOPATIK Edema idiopatik (retensi garam dan edema yang berfluktuatif) merupakan suatu sindrom yang paling sering dijumpai pada wanita berusia 20-30 tahun. Meskipun telah diteliti secara intensif, patofisiologi penyakit ini masih samar. Beberapa penelitian menyarankan bahwa pemakaian diuretic intermiten yang diam-diam mungkin merupakan penyebab sebenarnya dari sindrom ini dan pelru disingkirakan sebelum terapi lain diberikan. Meskipun spironolakton telah digunakan untuk mengobatinya, edema idiopatik mungkin sebaiknya diatasi hanya dengan pembatasan garam moderta jika mungkin. Kaus kaki balut

tekan

(compression

stocking)

juga

pernah

digunakan,

tetapi

manfaatnya tidak konsisten (Katzung 2015). KEADAAN NON-EDEMATOSA. 1. Hipertensi Efek diuretic dan vasodilatasi ringan tiazid berguna untuk mengobati hampir semua pasien dengan hipertensi esensial dan mungkin sudah memadai bagi banyak pasien. Meskipun hidroklorotiazid merupakan diuretic yang paling luas digunakan untuk hipertensi, klortalidon mungkin lebih efektif karena waktu-paruhnya yang jauh lebih lama (Katzung, 2015). 2. Nefrolitiasis Sekitar dua pertiga batu ginjal mengandung Ca 2+ fosfat atau Ca2+ okslat.

Sementara

banyak

penyakit

medis

(hiperparatiroidisme,

hipervitaminosis D, sarkoidosis, keganasan, dsb.) yang menyebabkan hiperkalsiuria,

namun

banyak

pasien

dengan

batu

tersebut

memperlihatkan gangguan pada reabsorpsi Ca 2+ di DCT dan karenanya mengurangi konsentrasi Ca2+ urin (Katzung, 2015) 3. Diabetes Insipidus. Diabetes insipidus disebabkan oleh defisiensi produksi ADH (diabetes insipidus neurogenic atau sentral) atau kurangnya responsitivitas terhadap ADH (diabetes, indipiden, nefrogenik, NDI). Pemberian suplemen ADH atau salah satu analognya efektif hanya pada diabetes insipidus sentral. Diuretic tiazid dapat mengurangi poluria dan polidipia pada kedua tipe diabetes insipidus.

Related Documents

Makalah
June 2020 40
Makalah
July 2020 39
Makalah
October 2019 94
Makalah
July 2020 62
Makalah
November 2019 85
Makalah
October 2019 95

More Documents from ""