BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Sasaran pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud melalui terciptanya masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata (Depkes RI, 2008). Salah satu penyakit yang terkait dengan tingkat derajat kesehatan antara lain adalah diare. Diare adalah keadaan buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair atau lunak (NANDA, 2015). Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan kejadian luar biasa. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu 1. Apa definisi penyakit diare? 2. Apa etiologi penyakit diare? 3. Bagaimana prevalensi penyakit diare? 4. Bagaimana patofisiologi penyakit diare? 5. Bagaimana menifestasi klinik penyakit diare? 6. Bagaimana terapi penyakit diare? C. Tujuan Adapun tujuan dibuatnya makalah tentang penyakit diare ini yaitu adagar kita dapat mengetahui apa itu diare dan bagaimana terapi penyakit diare.
1
BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Diare merupakan keadaan dimana tinjanya encer, dan dapat bercampur darah dan lender. Diare dapat menyebabkan kekurangan cairan tubuh, maka hal ini dapat menyebabkan kematian (Ummuaulia, 2008). Menurut Juffrie (2010)
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja
dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Sementara untuk bayi dan anak-anak, diare didefinisikansebagai pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal bayi sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam. Menurut Simadibrata (2010) diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Sedangkan menurut Elin, dkk (2013) Diare adalah frekuensi dan liquiditas buang air besar (BAB) yang abnormal. Frekuensi dan konsistensi BAB bervariasi dalam dan antar individu. Sebagai contoh, beberapa individu defekasi tiga kali sehari, sedangkan yang lainnya hanya dua atau tiga kali seminggu. B. Etiologi Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2007, etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab: 1. Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus, Clostridium perfringens, Stafilokokus aureus, Campylobacter aeromonas 2. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus 3. Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli, Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum, Strongyloides stercoralis 4. Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas, imunodefisiensi, kesulitan makan, dll.
2
C. Prevalensi WHO (World Health Organization) melaporkan bahwa penyebab utama kematian pada balita adalah Diare (post neonatal) 14% dan Pneumonia (post neo-natal) 14% kemudian Malaria 8%, penyakit tidak menular (post neonatal) 4% injuri (post neonatal) 3%, HIV (Human Imunodefficiency Virus) /AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) 2%, Campak 1% , dan lainnya 13%, dan kematian padabayi <1 bulan (newborns death) 41%. Kematian pada bayi umur <1 bulan akibat Diare yaitu 2%. Terlihat bahwa Diare sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kematian anak di dunia (WHO dalam Buletin Jendela Data Informasi Kemenkes RI 2011). Setiap tahun di dunia terdapat 1 dari 5 anak meninggal akibatdiare (UNICEF, 2009). Pada tahun 2012 di dunia sebanyak 2.195 anak meninggal setiap hari akibat diare (CDC, 2012). Berdasarkan pada Riskesdas tahun 2013 di Indonesia periode prevalence diare adalah sebanyak 3,5% lebih kecil dibanding Riskesdas tahun 2007 sebanyak 9%. Penurunan prevalensi ini diasumsikan pada tahun 2007 pengumpulan data tidakdilakukan secara serentak, sementara tahun 2013 pengumpulan data dilakukan secara serentak (Riskesdas, 2013). Prevalensi diare di Indonesia pada usia >15 tahun adalah sebanyak 30,1%, sedangkan prevalensi diare pada usia <15 tahun sebanyak 21,9% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan pada Riskesdas tahun 2013 bahwa Propinsi sulawesi tenggara menduduki posisi ke 9 jumlah prevalensi diare terbanyak dari 33 propinsi yang ada di Indonesia (Riskesdas, 2013). Data bahwa
Dinas
pada
Kesehatan
tahun
Provinsi
2012 prevalensi
Sulawesi Tenggara menunjukan penyakit
diare
di
Sulawesi
Tenggara sebesar 4.182 per 100.000 penduduk, pada tahun 2013 sebesar 2.139 per 100.000 penduduk, dan pada tahun 2014 sebesar 1.753 per 100.000 penduduk. Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Sulawesi
Tenggara,
walaupun
secara umum
angka
kesakitan
dan
kematian diare yang dilaporkan oleh sarana pelayanan kesehatan di Kota
3
Kendari
mengalami
penurunan,
namun
demikian diare
sering
meninbulkan KLB dan berujung pada kematian
D. Patofisiologi Diare adalah kondisi ketidakseimbangan absorpsi dan sekresi air dan eletrolit. Terdapat empat mekanisme patofisiologis
yang menganggu
keseimbangan air dan eletrolit yang mengakibatkan terjadinya diare yaitu: 1. Perubahan transport ion aktif yang disebabkan oleh penurunan absorpsi natrium atau peningkatan sekresi klorida. 2. Perubahan motilitas usus 3. Peningkatan osmolaritas luminal 4. Peningkatan tekanan hidrostatik jaringan Mekanisme tersebut sebagai dasar pengelompokan diare secara klinik yaitu: 1. Scretory diarrhea, terjadi ketika senyawa yang strukturnya mirip (contoh: Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) atau toksin bakteri) meningkatkan sekresi atau menurunkan absorbsi air dan elektrolit dalam jumlah besar 2. Osmotic diarrhea, disebabkan oleh absorbsi zat-zat yang mempertahankan cairan intestinal 3. Exudative diarrhea, disebabkan oleh penyakit infeksi saluran pencernaan yang mengeluarkan mukus, protein, atau darah kedalam saluran cerna
4
4. Motilitas usus dapat berubah dengan mengurangi waktu kontak diusus halus, pengosongan usus besar yang prematur dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan (Elin, 2013) E. Manifestasi klinik Diare dikelompokkan menjadi akut dan kronis. Umumnya episode diare akut hilang dalam waktu 72 jam dari onset. Diare kronis melibatkan serangan yang lebih sering selama 2-3 periode yang lebih panjang. Penderita diare akut umumnya mengeluhkan onset yang tak terduga dari buang air besar yang encer, gas dalam perut, rasa tidak enak, dan nyeri perut. Karakteristik penyakit usus halus adalah terjadinya nyeri pada kuadran kanan bawah disertai kram dan bunyi pada perut. Pada diare kronis ditemukan adanya penyakit sebelumnya, penuruan berat badan dan nafsu makan. Diare dapat disebabkan oleh beberapa senyawa termasuk antibioyik dan obat lain. Selain itu penyalahgunaan pencahar untuk menurunkan berat badan dapat juga menyebabkan diare. Pada diare, pemeriksaan fisik pada abdomen dapat mendeteksi hipeperistaltik dengan bunyi pada lambung. Pemeriksaan rektal dapat mendeteksi massa atau kemungkinan fecal impaction, penyebab utama diare pada usia lanjut. Pemeriksaan turgor kulit dan tingkat keberadaan saliva oral berguna dalam memperkirakan status cairan tubuh. Jika terdapat hipotensi, takikardia, denyut
lemah, diduga terjadi
dehidrasi.
Adanya
demam
mengidntifikasi adanya infeksi. Untuk diare yang tidak dapat dijlaskan, terutama pada situasi kronis dapat dilakukan pemeriksaan parasit dan ova pada feses, darah, mukus, dan lemak.selain itu dapat diperiksa osmolartras feses, pH, dan elektrolit (Elin, 2013).
5
F. Terapi 1. Tujuan terapi Tujuan terapi pada pengobatan diare adalah untuk mengatur diet; mencegah pengeluaran air berlebihan, elektrolit, dan gangguan asam basa; menyembuhkan gejala; mengatasi penyebab diare; dan mengatur gangguan sekunder yang menyebabkan diare (Elin, 2013). 2. Pendekatan umum Pengaturan diet merupakan prioritas utama untuk pengobatan diare. Klinisi merekomendasikan untuk menghentikan makanan padat selama 24 jam dan menghindari produk-produk yang mengandung susu. Apabila terjadi mual dan muntah tingkat sedang, diberikan diet residu rendah yang mudh dicerna selma 24 jam. Jika terjadi muntah dan tidak dapat dikontrol dengan pemberian antiemetik, tidak ada yang diberikan melalui mulut. Pemberian diet makanan lunak dimulai seiring adanya penurunan gerakan usus. Pemberian makanan sebaiknya diteruskan pada anak-anak dengan diare akibat bakteri akut, dehidrasi, perbaikan air dan elektrolit adalah perawatan primer sampai diare berakhir. Apbila muntah dan dehidrasi tidak parah, pemberian makanan enteral merupakan metode yang terpilih (Elin, 2013). 3. Terapi farmakologi Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan diare dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu antimotilitas, antisekresi, antibiotik, enzim, dan mikroflora usus. Obat-obatan tersebut tidak menyembuhkan tetapi hanya meringankan. Antimotilitas (difenoksilat, paregorik, tingtur opium, difenoksin Adsorben (kaolin pektin, polikarbonil, attapulgit) Antisekresi (bismut subsalisilat, enzim, Lactobacillus)
6
a. Opium Opium menurunkan motilitas usus, sehingga mengurangi peristaltik. Konstipasi merupakan efek samping yang sering timbul. Contohnya tingtur opium, paregorik (camphorated opium tingture), dan kodein. Opium biasanya diberikan bersama-sama antidiare lain. Antidiare opium dapat menyebabkan penenkanan SSP bila diinum bersama-sama alkohol, sedatif, atau penenang. Lama kerjanya kira-kira 2 jam Defenoksilat dan loperamid merupakan obat sintetik kimiawi yang berkaitan dengan narkotik mepiridin. Obat-obat ini menurunkan motilitas usus (peristaltik) dan diberikan pada diare perjalanan. Loperamid menyebabkan depresi SSP yang ringan daripada difenoksilat dan dapat dibeli bebas. . obat-obat ini dapat menyebabkan mual, muntah, rasa mengantuk dan distensi abdominal (perut kembung). Pada pemakaian yang lama dapat timbul takikardia, ileus paralitik, retensi urin, penurunan sekresi, dan ketergantungan fisik. Obat-obat antikolinergik menurunkan kramping, motilitas usus, dan hipersekresi. Obat-obat ini dapat dipakai bersama-sama opium. Difenoksilat kira-kira 50% atropin. (atropin ditambahkan untuk mencegah penyalahgunaan; jumlah atropin yang dipakai dibawah kadar terapi. Farmakokinetik. Difenoksilat dan atropin diabsorbsi dengan baik disaluran gastrointestinal. Difenoksilat dimetaolis di hati. Ada dua waktu paruh: 21/2 jam untuk difenoksilat dan 3-14 jam untuk metabolit difenoksilat. Obat ini dieksresikan melalui tinja dan air kemih. Farmakodinamik. Difenoksilat dengan atropin merupakan agonis opium dengan khasiat antikolinergik (atropin) yang mengurangi motilitas gastrointestinal (peristaltik). Obat ini mempunyai mula kerja yang sedang yaitu 45-60 menit, dan masa kerjanya 3-4 jam. Banyak efek samping yang timbul akibat atropin antikolinergik. Klien dengan glukoma harus memakai antidiare lain yang tidak mempunyai efek antikolinergik. Jika
7
obat ini dipakai bersama dengan alkohol, narkotik, atau hipnotik-sedatif, depresi SSP dapat terjadi. b. Adsorben Adsorben memiliki daya serap yang cukup baik. Khasiat obat ini adalah mengikat atau menyerap toksin bakteri dan hasil-hasil metabolisme serta melapisi permukaan mukosa usus sehingga toksin dan mikroorganisme tidak dapat merusak serta menembus mukosa usus. Obat-obat yang termasuk kedalam golongan ini adalah karbon, musilage, kaolin, pektin, garam-garam bismut, dan garam-garam alumunium. Obat diare yang dapat dibeli bebas mengandung adsorben atau gabungan antara adsorben dengan penghilang nyeri (paregorik). Adsorben mengikat bakteri dan toksin sehingga dapat dibawa melalui usus dan dikeluarkan bersama tinja. Adsorben yang digunakan dalam sediaan diare antara lain attapulgit aktif, karbon aktif, garam bismuth, kaolin dan pektin. Obat
ini
memperlambat
motilitas
saluran
cerna
dengan
mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan reseptor tersebut. Obat ini sama efektifnya dengan difenoksilat untuk pengobatan diare kronik. Efek samping yang sering dijumpai adalah kolik abdomen, sedangkan toleransi terhadap efek konstipasi jarang sekali terjadi. Pada sukarelawan yang mendapatkan dosis besar loperamid, kadar puncak pada plasma dicapai dalam waktu empat jamsesudah makan obat. Masa laten yang lama ini disebabkan oleh penghambatan motilitas saluran cerna dan karena obat mengalami sirkulasi enterohepatik. Waktu paruhnya adalah 7-14jam. Loperamid tidak diserap dengan baik melalui pemberian oral dan penetrasinya ke dalam otak tidak baik; sifat-sifat ini menunjang selektifitas kerja loperamid.
Sebagian
besar
obat
diekskresikan
bersama
tinja.
Kemungkinan disalahgunakannya obat ini lebih kecil dari difenoksilat
8
karena tidak menimbulkan euphoria seperti morfin dan kelarutannya rendah (Departemen Farmakologi dan Terapi UI 2007) c. Kemoterapeutika Walaupun pada umumnya antibiotik tidak digunakan pada diare, ada beberapa pengecualian dimana obat antimikroba diperlukan pada diare yag disebabkan oleh infeksi beberapa bakteri dan protozoa. Pemberian antimikroba dapat mengurangi parah dan lamanya diare dan mungkin mempercepat pengeluaran toksin. Kemoterapi digunakan untuk terapi kausal, yaitu memberantas bakteri penyebab diare dengan antibiotika (tetrasiklin, kloramfenikol, dan amoksisilin, sulfonamida, furazolidin, dan kuinolon) (Departemen Farmakologi dan Terapi UI 2007).
Gambar 1 : bagan terapi akut (dipiro 2015)
9
Gambar 2 : bagan terapi kronik (dipiro 2015)
10
Obat Antimotilitas Diphenoxylate
Loperamide
Dosis dewasa 5 mg 4 kali sehari, tidak lebih 20 mg/hari
Awal 4 mg, kemudian 2 mg setelah buang air besar. tidak lebih 16 mg/hari
Indikasi Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap diphenoxylate atau atropin. Diare berhubungan dengan enterocolitis pseudomembran atau bakteri pengikat yang menginfeksi toksin Kategori Prenancy: C Laktasi: Atropin dan, kemungkinan, metabolit diphenoxylate didistribusikan ke dalam ASI; Gunakan dengan hati-hati Mekanisme Kerja : Bertindak pada otot polos saluran pencernaan, menghambat motilitas GI dan penggerak GI yang berlebihan (seperti morfin) Antropin: atropin ditambahkan untuk mencegah overdosis diphenoxylate yang disengaja. Efek samping : Efek antikolinergik, penglihatan kabur, sedasi, mual, muntah, ketidaknyamanan perut, kekeringan pada kulit atau mulut.
Kegunaan untuk pengobatan beberapa jenis diare seperti diare akut nonspesifik, diare ringan, sindrom iritasi usus, diare kronis akibat reseksi usus, dan diare kronis sekunder untuk penyakit radang usus.
Kontraindikasi: Hipersensitivitas, demam berdarah, diare, diare menular Penderita sembelit harus dihindari Sakit perut tanpa diare Hindari penggunaan sebagai terapi primer dengan disentri akut Umur <2 tahun
11
Kategori Prenancy: B Laktasi: tidak diketahui jika disebarkan dalam ASI: hati-hati Mekanisme Kerja : Memperlambat motilitas usus melalui reseptor opioid, memiliki efek langsung pada otot longitudinal melingkar; mengurangi volume fecal; meningkatkan viskositas Efek samping : Pusing, kelelahan, sakit perut, sembelit, mual, mulut kering, ruam Tingtur opium
0,6 mL 4 kali sehari
Kontraindikasi : Hipersensitivitas Disfungsi pernafasan / depresi, diare akibat posion, penyakit hati berat Pelapisan konvulsif Kategori Prenancy : B; C jika digunakan untuk periode promaren atau dekat Laktasi: efek jangka panjang tidak diketahui Mekanisme kerja: Opium, karena kandungan morfin ini, menghambat motilitas dan dorongan GI, mengurangi sekresi pencernaan; Tingkatkan otot GI TONE Efek samping: Depresi SSP, fisik, sedasi, hipotensi, konstipasi, mual, vomi, retensi urin, miosis, pelepasan histamin
Adsorben Attapulgite
1200-1500 mg setelah buang air
Kontraindikasi:
Obat ini bekerja dengan memperlambat aktivitas usus besar
12
Antisecretory Bismuth subsalicylate
besar atau tiap 2 jam, hingga 9000 mg/hari
Hipersensivitas, obstruksi usus, demam tinggi, disentri, darah dalam tinja, pendarahan ulkus, asam urat, hemofilia, hemorehagic states Kategori Prenancy: NA; tidakdiserap; tidak mungkin menimbulkan risiko apapun selama kehamilan. Laktasi: tidak ada data yang tersedia; tidak diserap; tidak mungkin menimbulkan risiko keperawatan Mekanisme kerja: Tindakan penyerap, menyerap cairan dalam usus dan mengurangi likuiditas tinja Efek samping : Frekuensi tidak didefinisikan Kembung, dispepsia, perut kembung, sembelit ringan, mual
2 tablet atau 30 mL setiap 30 menit hingga 1 jam, hingga 8 dosis/hari
Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap bismut, aspirin, salisilat lainnya Infeksi diare, demam tinggi Kategori Prenancy: C; D di trimester ke-3 Laktasi: salisilat masuk ASI; perlu diperhatikan Mekanisme Kerja: Tindakan antiinflamasi antimikroba (bismut); efek antisecretory (salisilat) Efek samping: Mual, Diare, sakit perut, melena, konstipasi
sehingga usus akan menyerap lebih banyak air dan tinja akan menjadi lebih padat. Sakit perut karena diare juga dapat dikurangi dengan obat ini.
Efektif mengobati diare pada anak-anak yang disebabkan virus.Anak-anak yang mengalami diare akibat virus seringkali diobati dengan lactobacillus lebih cepat sembuh sekitar setengah hari lebih cepat dibanding diobati tanpa lactobacillus. Dosis yang lebih banyak akan lebih efektif. Setidaknya 10 miliar unit coloni selama 48 jam pertama harus digunakan
13
Enzim (lactase)
Bakteri replacement (lactobacillus acidophilus, lactobacillus bulgaricu)
3-4 tetes bersama susu atau produk susu
2 tablet atau 1 paket granul 3-4 kali sehari diberikan dengan susu, jus, atau air
Kontraindikasi: Beberapa produk mungkin mengandung aspartam dan harus dihindari pada pasien dengan fenilketonuria Kategori Prenancy: A Laktasi: bisa digunakan dengan menyusui Mekanisme Kerja: Enzim: laktosa dihidrolisis oleh laktase usus menjadi monosakarida yang diserap secara sistemik oleh pengambilan pembawa glukosa yang tergantung natrium; Cacat pembawa ini mengakibatkan diare berat setelah asupan karbohidrat Kontraindikasi: Pasien yang tidak diobati; Perforasi dinding GI Kategori prenancy : N/A Laktasi: N/A Mekanisme Kerja: Mengembalikan flora usus normal yang menghambat pertumbuhan bakteri berbahaya; merangsang kekebalan lokal; mempromosikan reabsorbsi air di usus besar
(Medscape, 2015).
14
Nama Obat Lodia
Kandugan Obat Loperamide
Indikasi
Dosis
untuk mengatasi diare akut
4 mg pada konsumsi pertama dan 2 mg tiap selesai buang air besar. Dosis maksimal penggunaannya adalah 12 mg per 24 jam. 2 tablet setelah buang air besar awal, 2 tablet setelah buang air besar berikutnya. Maksimum : 12 tablet sehari. Anak berusia 612 tahun : ½ dosis dewasa. Maksimum : 6 tablet sehari. Dewasa dan anak di atas 12 tahun: 2 tablet setiap setelah buang air besar, maksimum 12 tablet atau 24jam. Anak-anak usia 612 tahun: 1 tablet setiap setelah buang air besar, maksimum enam tablet atau 24jam. inum 1 sach setelah buang air besar, biasanya dikombinasikan dengan obat diare lain s untuk bayi dibawah 6 bln 2x1 sendok teh, untuk bayi diatas 6 bln sehari 3x1 sendok teh
Biodiar
attapulgit koloidal
Pengobatan simtomatik (hanya menghilangkan gejala penyakit, tidak menyembuhkan/menghilangkan penyebab penyakit) diare non spesifik.
Neo Entrostop
Attapulgite koloidal teraktifasi 650 mg, Pektin / pectin 50 mg.
untuk pengobatan simpomatis pada diare nonspesifik
Oralit
Campuran Natrium klorida, kalium klorida, glukosa anhidrat dan natrium bikarbona.
oralit digunakan untuk pencegahan dehidrasi akibat diare
Nifudiar
Setiap sendok takar ( 5 ml ) suspensi mengandung Nifuroxazide 250 mg
Diare yang disebabkan oleh E. coli & Staphylococcus, kolopatis spesifik dan non spesifik, baik digunakan untuk anak-anak maupun dewasa.
15
4. Terapi non-farmakologi Diet
merupakan
prioritas
utama
dalam
penanganan
diare.
Menghentikan konsumsi makanan padat dan susu perlu dilakukan. Dehidrasi dan maintenance air dan elektrolit merupakan terapi utama yang harus dilakukan hingga episode diare berakhir. Jika pasien kehilangan banyak cairan, rehidrasi harus ditujukan untuk menggantikan air dan elektrolit untuk komposisi tubuh normal. Sedangkan pada pasien yang tidak mengalami deplesi volume, pemberian cairan bertujuan untuk pemeliharaan cairan dan elektrolit. Pemberian cairan parenteral perlu dilakukan untuk memasok air dan elektrolit jika pasien mengalami muntah dan dehidrasi berat, selain untuk mencegah terjadinya hipernatremia (Boyle, 2007) G. Kasus Pengobatan diare menggunakan oralit merupakan penemuan terbesar menurut WHO. banyak dokter dan pasien tidak menggunakan oralit ini dari awal, ini disebabkan karena oralit tidak langsung dirasakan manfaatnya untuk menghentikan diare dan bahkan dapat menginduksi muntah. ini dikarenakan karena cara meminum oralit yang salah, yaitu dengan mencampur 1 sachet dala segelas air (200 cc) dan diteguk sekaligus sehingga penderita akan muntah dan terasa akan buang air besar. Cara meminum oralit yang benar ialah larutan oralit harus diteguk sedikit demi sedikit, 2-3 teguk dan berhenti 3 menit untuk memberi kesempatan orali diserap oleh usu dan menggantikan garam dan cairan yang hilang dalam feses. dan prosedur ini harus diulang terus menerus sampai 1 gelas habis.
16
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Diare adalah kondisi yang ditandai keluarnya feses secara abnormal dalam interval waktu yang sangat singkat. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai sebab di antaranya perubahan diet, intoleransi makanan seperti laktosa, gangguan inflamasi pada usus.
17
DAFTAR PUSTAKA Boyle, J.T., 2007. Diare Kronis. In: Behrman, Kliegman & Alvin, Nelson, ed. Ilmu Kesehatan Anak Vol.2 Edisi 15.Jakarta : EGC, 1354-1361. CDC, 2010, Gastroenteritis, Centre for Disease Control,Northern Territory Ellin, dkk. 2013. Iso Farmakoterapi. Jakarta:Isfipenerbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Jakarta:Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Dipiro, Joseph T. Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells, L. Michael Posey. 2015. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. the United States of America. Juffrie, M., et al, 2010. Buku Ajar Gastroenterologi - Hepatologi Jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit IDAI. Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta:Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Kemenkes RI. 2011. Buletin jendela data dan informasi kesehatan: situasi diare d Indonesia.Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI Kemenkes RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI UNICEF. 2009. Diarrhoea: Why children still dying and what can be done Government(diambil dari http//www.nt.gov.au/health/cdc, diakses tanggal 9 oktober 2017 World Gastroenterology Organisation diarrhea.WGO Practice Guidline.
practice
guideline.
2008. Acute
18