Makalah Determinan Kesehatan.docx

  • Uploaded by: salam
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Determinan Kesehatan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,201
  • Pages: 19
Resume Tugas I Determinan Kesehatan

Anggota Kelompok 1806166841 Clement Drew 1806167125 Rizky Ramadantie 1806167131 Salam 1806167150 Syahrul Hamidi Nasution 1806253160 Sarah Sonnya Ayuthaya 1806253173 Sofi Mardiah

Kesehatan Masyarakat Intermediet - PHS1803013D Doni Hikmat Ramdhan S.KM., MKKK., Ph.D. Dr. Sabarinah M.Sc. Prof. Dr. dr. Sudarto Ronoatmodjo S.K.M., M.Sc.

BAB I Pendahuluan

Latar Belakang Di era ini dimana Indonesia berada di tengah krisis di segala aspek sangat perlu sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Salah satu cara agar SDM berkualitas yaitu dengan memperhatikan kesehatan manusia itu sendiri. Kesehatan merupakan unsur dasar dan hak dari setiap individu mulai dari awal kehidupan hingga pertumbuhan manusia, apabila seorang anak lahir dan berkembang dalam situasi yang tidak terpenuhi unsur dasar dan hak tersebut maka perkembangan mental dan fisik akan terhambat dan menyebabkan mutu dan kualitas SDM yang rendah. Maka dari itu, melalui peningkatan pembangunan khususnya di bidang kesehatan di Indonesia diharapkan dapat menciptakan kualitas taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan pada umumnya, yang dapat dicapai dengan memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan terjangkau sesuai dengan misi pembangunan kesehatan untuk mewujudkan Indonesia sehat (Purwitayana, 2013). Peningkatan pembangunan di bidang kesehatan di Indonesia bergantung dari kebijakankebijakan kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah walaupun pelayanan kesehatan cenderung dilakukan secara swasta, dikontrakkan atau melalui kemitraan, sedangkan tugas untuk menformulasi dan implementasi kebijakan kesehatan dalam satu negara merupakan tanggung jawab Departemen Kesehatan (Massie, 2009). Pada saat ini sebagian besar masyarakat memiliki pendapat bahwa kebijakan kesehatan yang dibuat oleh pemerintah belum maksimal dan dianggap bermasalah, bahkan dengan kondisi suasana politik saat ini bahwa kebijakan pemerintah dicap oleh masyarakat sebagai sumber dari masalahmasalah kesehatan yang ada di Indonesia. Akan tetapi, pemerintah tidak dapat selalu disalahkan atas masalah-masalah kesehatan di Indonesia, dikarenakan sebenarnya individulah salah satu faktor penentu dalam peningkatan status kesehatan. Dengan kata lain, bahwa selain kebijakan yang dibuat pemerintah, ternyata masih ada lagi faktor-faktor penentu (determinan) yang mempengaruhi kesehatan masyarakat. Maka dari itu kami akan membahas determinan apa sajakah yang dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan masyarakat khususnya di Indonesia.

Perumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang makalah yang telah kami kemukakan sebelumnya, maka kami mengidentifikasi masalah sesuai dengan pertanyaan pemicu yang diberikan saat kuliah pertama Kesehatan Masyarakat pada hari Sabtu, 08 September 2018, di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, yaitu : 1. Determinan kesehatan apa saja yang penting untuk Indonesia? Mengapa setiap determinan kesehatan itu penting dalam pengembangan kebijakan? 2. Pelayanan kesehatan mungkin pengaruhnya tidak sebesar lingkungan dan perilaku sehat terhadap status kesehatan, tetapi kapan pelayanan medis menjadi strategis untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat? 3. Bagaimana mekanismenya perilaku kesehatan dapat menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan masyakat? Pada penyakit menular? Pada penyakit tidak menular? 4. Bagaimana mekanismenya lingkungan dapat menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan masyarakat? Pada penyakit menular? Pada penykit tidak menular? 5. Bagaimana cara dan metode untuk menilai dan mengidentifikasi determinan kesehatan yang penting bagi kesehatan suatu masyarakat?

BAB II Pokok Bahasan

Determinan Kesehatan Penentu Status Kesehatan Pada awal zaman Yunani kuno awalnya kejadian penyakit disebabkan oleh roh jahat dan kekuatan supranatural yang ada di alam. Pada masa ini masyarakat mempercayai pengobatan penyakit melalui dukun atau tabib dengan memakai ritual dan praktik magis. Seiring dengan perkembangan zaman, dimana Hippocrates (460-370 SM), melalui pengamatan dan studi tubuh manusia, ia percaya bahwa penyakit memiliki penjelasan rasional, bukan dari hal magis yang diyakini masyarakat sebelumnya. Melalui buku yang ditulisnya dengan judul On Airs, Waters, and Places, penyakit disebabkan oleh faktor kondisi lingkungan yang tidak baik (Wibowo A, 2015, p234). Seiring berkembangnya waktu

diketahui bahwa ada faktor-faktor penentu

yang

mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat, seperti faktor lingkungan atau genetik. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bila determinan kesehatan adalah faktorfaktor yang berkontribusi pada kesehatan seseorang (CDC, 2014).

Gambar 1. Interaksi Antar Determinan Sumber: Detels R, et al. (2015) Oxford Textbook of Global Public Health. Edisi ke-6. Oxford. C&C Offset Printing.

H.L Blum mengembangkan sebuah paradigma yang mencakup berbagai aspek dalam kehidupan manusia yang dapat menjadi determinan kesehatan dan masih dapat diterapkan hingga

sekarang. H.L Blum menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi timbulnya masalah kesehatan, yaitu faktor-faktor penentu penyebab sakitnya atau sehatnya seseorang meliputi faktor genetik atau herediter (keturunan), perilaku atau gaya hidup, faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), dan faktor pelayanan kesehatan (jenis pelayanan dan kualitasnya). Keempat faktor ini saling berinteraksi sehingga dapat mempengaruhi kesehatan perorangan bahkan hingga status kesehatan masyarakat (Wibowo A, 2015). Ottawa Charter yang dirilis pada tahun 1986 juga memasukan pentingnya keadaan sosial sebagai salah satu determinan kesehatan. Secara ringkas terdapat 5 determinan kesehatan utama, yakni (Wibowo, 2015, p.23-5): ● Faktor Genetika ● Faktor Perilaku ● Faktor Lingkungan ● Faktor Pelayanan Kesehatan ● Faktor Determinan Sosial

Gambar 2. Paradigma Blum Sumber: http://glocalhealthconsultants.com/wp-content/uploads/2015/12/blum1.png

Pada awal 1990-an, Dahlgren dan Whitehead, mengemukakan konsep determinan kesehatan melalui representasi visual model pelangi, dimana faktor penentu kesehatan di dalam model ini saling terkait mulai dari individu hingga ekosistem global (Graham dan White, 2016). Pada konsep pelangi ini, pada lapisan terdalam (lapisan pertama) yaitu individu (sex, gender, dan herediter/keturunan), memiliki kaitan dengan lapisan diluarnya yaitu perilaku dan gaya hidup individu yang dapat meningkatkan ataupun merugikan kesehatan. Pada lapisan diluar dari perilaku dan gaya hidup, dipengaruhi oleh jaringan pertemanan dan pola komunitas. Lapisan kedua yang

mempengaruhi jaringan pertemanan dan pola komunitas, yaitu aktivitas sosial yang dapat memberikan efek positif maupun negatif pada kesehatan anggota komunitas. Lapisan ketiga adalah faktor dari lingkungan dan kondisi di pemukiman (perumahan, sekolah, tempat kerja) dan lingkungan bebas (natural) dimana mempengaruhi aktivitas sosial di masyarakat. Lapisan terluar meliputi kondisi-kondisi dan kebijakan makro sosial-ekonomi, budaya, dan politik umumnya, serta lingkungan fisik yang mempengaruhi lapisan didalamnya yaitu kondisi dan lingkungan pemukiman dan lingkungan alam bebas.

Gambar 3. Determinan Sosial Sumber : https://www.publichealthjrnl.com/article/S0033-3506%2816%2930250-5/pdf.

Dilihat dari determinan kesehatan yang dikemukakan oleh H.L Blum, Ottawa Charter, Dahlgren dan Whitehead, maka menjawab pertanyaan pemicu di dalam perumusan masalah bahwa status kesehatan di Indonesia pun tergantung dari faktor genetika, faktor perilaku, faktor Lingkungan, faktor Pelayanan Kesehatan, dan faktor Determinan Sosial disebutkan di atas dikarenakan determinan kesehatan ini menentukan kebijakan kesehatan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah kesehatan. Sesuai dengan pertanyaan pemicu yang dikemukakan pada perumusan masalah, maka kami urutkan determinan kesehatan dimulai dari yang terpenting, yaitu :

1.

Determinan Sosial Kehidupan sosial manusia memiliki dampak terhadap usia harapan hidup seseorang ataupun

seberapa besar kemungkinan seseorang mengidap suatu penyakit. Ekonomi, teknologi, tren gaya

hidup, edukasi, jenis pekerjaan hingga akses air bersih dan makanan sehat akan mempengaruhi kesehatan masyarakat secara menyeluruh (Detels, et al., 2015, pp.89-105,127-8). Commission on Social Determinants of Health (CSDH) yang dibentuk oleh WHO pada tahun 2005 memiliki 3 rencana kerja utama untuk mengkondisikan keadaan sosial untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Tiga rencana kerja tersebut adalah (Detels, et al., 2015, pp.127-132): 1. Meningkatkan kondisi kehidupan sehari-hari a. Mempromosikan pemerataan kesehatan sejak konsepsi b. Menyediakan sumber daya yang merata sejak masa awal kehidupan c. Membangun lingkungan yang sehat d. Menyediakan lapangan kerja yang bermakna e. Proteksi sosial sepanjang siklus hidup f. Jaminan kesehatan yang universal 2. Mengatasi ketidakmerataan distribusi sumber daya dan kuasa a. Pemerataan kesehatan dalam politik dan perencanaan program b. Pendanaan yang adil c. Regulasi pasar yang berkaitan dengan bidang kesehatan d. Pemerataan hak antar jenis kelamin e. Pemberian kuasa dalam berpolitik f. Kepemerintahan global yang adil dan merata 3. Memahami dan mengukur ketidakmerataannya kesehatan dan menindaklanjutinya a. Monitoring, penelitian dan pelatihan

Masalah kesehatan masyarakat Indonesia bersifat kompleks, karena era zaman yang terus maju. Globalisasi, urbanisasi, kondisi sosio-ekonomi dan keadaan epidemiologi penyakit di Indonesia terus berkembang, namun tidak selalu diikuti perkembangan kebijakan kesehatan yang berlaku. Masalah penyakit tidak menular (PTM) yang semakin meningkat, belum efektifnya penanganan penyakit menular dan perubahan yang terjadi secara global terjadi sekaligus di Indonesia (Julio dan Octavio, 2011). Menghadapi kondisi triple burden disease ini, perlu ada gerakan yang terorganisir dan kolektif untuk mencapai satu tujuan, masyarakat sehat. Terbukti dengan ikut sertanya Indonesia dalam usaha mencapai Sustainable Development Goals (SDG) sejak 2015 dengan 3 faktor utama yakni: Percepatan, Pembiayaan dan Inklusi (Bahuet dan Sopacua, 2018).

2. Faktor Perilaku Perilaku kesehatan adalah upaya individu, kelompok atau organisasi yang berhubungan dengan berbagai determinan kesehatan dan kebijakan dalam meningkatkan status kesehatan (diterjemahkan oleh Wibowo, 2015, p.38 dari Parkerson, et al., 1993). Perilaku individu bahkan masyarakat memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam menentukan status kesehatan. Perilaku kesehatan dibagi menjadi dua, yakni perilaku simpel yang umumnya berkaitan dengan penyakit menular dan gaya hidup yang berkaitan dengan penyakit tidak menular. Contoh perilaku simpel yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit menular adalah hubungan seks bebas dalam kalangan homoseksual, yang menyebabkan penyebaran infeksi HIV. Gaya hidup yang berpengaruh pada suatu penyakit tidak menular, misal obesitas, merupakan kumpulan dari berbagai perilaku, seperti gaya hidup sedentari, diet yang berlebih, aktivitas fisik yang kurang hingga kebiasaan merokok (Detels, et al., 2015, pp.218-230; Donaldson dan Rutter, 2017, pp.120-131). Menjabarkan perumusan masalah pada bab sebelumnya, maka gambar dibawah ini memperlihatkan bagaimana mekanisme perilaku kesehatan dapat menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan masyarakat.

Gambar 3. Penyebab Kematian, Faktor Resiko dan Perilaku yang menjadi Determinannya Sumber: Detels R, et al. (2015) Oxford Textbook of Global Public Health . Edisi ke-6. Oxford. C&C Offset Printing

Dalam artikel yang dipublikasikan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) pada tanggal 6 Maret 2018, Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M. menyatakan bila perilaku memegang peranan hingga 60% dari seluruh determinan kesehatan (Depkes, 2018). Saat ini Indonesia harus menghadapi tantangan besar mengenai masalah kesehatan tidak hanya dari penyebaran penyakit infeksi, namun terjadi pergeseran pola penyakit akibat perubahan gaya hidup masyarakat sehingga kejadian morbiditas dan mortalitas akibat penyakit tidak menular semakin meningkat di pelayanan kesehatan di Indonesia (Tanpa nama, 2016). Perilaku merokok juga masih menjadi masalah besar di Indonesia, dimana terdapat 76.2% laki-laki dewasa yang merupakan perokok aktif dan 3.51% anak laki-laki di Indonesia yang merupakan perokok. Dampak kebiasaan merokok ini juga ditaksir menyebabkan kerugian sebesar 639 triliun rupiah dengan memperhitungkan biaya perawatan langsung maupun biaya yang dikeluarkan akibat produktivitas yang menurun (Drope, et al., 2015). Dengan meningkatnya kasus penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia akan menambah beban biaya yang besar bagi pemerintah untuk menangani kasus ini. Selain itu PTM menjadi salah satu penurunan kualitas dan mutu SDM serta penurunan produktivitas yang akan mempengaruhi pembangunan nasional. Cara untuk menangani tingginya angka kejadian dan kematian akibat PTM dengan efektif adalah melalui upaya promotif dan preventif. Mengingat pencegahan penyakit sangat tergantung pada perilaku dan gaya hidup seseorang maupun masyarakat maka diperlukan keterlibatan aktif secara terus menerus seluruh komponen baik pemerintah pusat dan daerah, sektor nonpemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, perlu adanya sebuah gerakan untuk mendorong masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Pada tahun 2011 Kemenkes RI menjalankan program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) pada tahun 2016 (Depkes, 2016). Program GERMAS sendiri bertujuan untuk menarik partisipasi aktif dari masyarakat untuk menerapkan PHBS dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut Menkes GERMAS dapat dilakukan dengan cara Melakukan aktifitas fisik, Mengonsumsi sayur dan buah, Tidak merokok, Tidak mengonsumsi alkohol, Memeriksa kesehatan secara rutin, Membersihkan lingkungan, dan Menggunakan jamban. Hal ini dapat dilaksanakan dengan mudah dan dapat dimulai dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat yang membentuk kepribadian. Agar GERMAS ini sukses, maka perlu kerjasama dari segala sektor baik pemerintah, swasta, dan serta peran seluruh masyarakat dalam menyiapkan sarana dan prasarana pendukung, memantau dan mengevaluasi pelaksanaannya. Peran pemerintah seperti kementerian tidak hanya tanggung

jawab Kementerian Kesehatan saja, namun kementerian lainnya harus perlu ikut serta dalam GERMAS ini, salah satu diantaranya adalah Program Infrastruktur Berbasis Masyarakat (IBM) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berfokus pada pembangunan akses air minum, sanitasi, dan pemukiman layak huni, yang merupakan infrastruktur dasar yang mendukung Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam hal keamanan pangan. Dengan GERMAS ini telah menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah memberikan kebijakan mengenai determinan kesehatan khususnya dalam mengatasi gaya hidup atau perilaku kurang sehat.

Gambar 4. Indikator GERMAS 2016 sumber : http://www.depkes.go.id/resources/download/narasi%20tunggal/germas/GERM%203.jpeg

Gaya hidup masyarakat Indonesia ternyata tidak hanya menyebabkan peningkatan pada penyakit tidak menular, namun dapat juga dapat meningkatkan penyakit menular dimana trennya yaitu peningkatan penyakit menular seksual. Jumlah kasus baru HIV positif yang dilaporkan dari tahun ke tahun cenderung meningkat dan pada tahun 2016 dilaporkan sebanyak 41.250 kasus. Sedangkan jumlah kasus AIDS terlihat adanya kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru dimana Secara kumulatif, kasus AIDS dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2016 sebesar 86.780 kasus (SIRKESNAS, 2016). Tantangan besar lainnya yang dihadapi oleh Indonesia saat ini yaitu munculnya penyakitpenyakit yang sebelumnya telah teratasi, seperti penyakit menular difteri. Penyakit yang seharusnya sudah lama diatasi bahkan sudah dikatakan hilang muncul kembali akibat penurunan kesadaran orangtua untuk membawa anak- anak mereka untuk diimunisasi.

Dari hasil hasil Sirkesnas (2016) menunjukan bahwa capaian target persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi sebesar 75 persen sudah tercapai (79,9%), dan persentase anak usia 0 sampai 11 bulan mendapat imunisasi dasar lengkap baru mencapai 65,3 persen, hal ini menunjukkan target imunisasi belum tercapai sepenuhnya. Sebenarnya sudah sejak lama pemerintah melakukan kebijakan kesehatan melalui preventif yaitu program imunisasi rutin lengkap melalui puskesmas dan posyandu, namun masalah yang harus dihadapi oleh pemerintah saat ini adalah mengatasi para orangtua yang kontra terhadap imunisasi dengan cara membuat kebijakan dengan pendekatan terhadap MUI berupa pedoman fatwa MUI nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi, dimana Fatwa tersebut membolehkan vaksin atau imunisasi untuk pencegahan penyakit. Hal ini disebabkan salah satu sikap kontra terhadap imunisasi adalah dari segi agama dimana dikabarkan bahwa imunisasi masih dipertanyakan status halalnya.

3. Faktor Lingkungan Lingkungan tempat dimana manusia bertempat tinggal atau bekerja memiliki dampak langsung kepada kesehatannya. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana mekanisme lingkungan dapat menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan masyarakat baik pada penyakit menular ataupun tidak menular, harus diketahui bahwa faktor lingkungan sebagai determinan kesehatan memiliki cakupan yang sangat luas berupa udara, air, iklim, polusi, kebisingan di tempat kerja sampai keamanan dari lingkungan tempat tinggal (Wibowo, 2015, p.42; Donaldson dan Rutter, 2017, pp.162-3; Detels, et al., 2015, p.81). Air dan sanitasi merupakan komponen yang vital dalam kehidupan manusia dan penyebaran infeksi. Sebelum adanya proses sanitasi yang baik, parasit, protozoa, bakteri dan virus dapat dengan mudah tersebar dan menginfeksi populasi dalam skala besar. Selain itu air juga dapat menjadi media dimana zat-zat kimia yang bersifat toksik tersimpan. Diare, tifus, trakoma hingga malnutrisi merupakan kondisi atau penyakit yang timbul akibat pengelolaan air dan sanitasi yang buruk. Makanan, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kerja merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang dalam jangka panjang. Konsumsi makanan tinggi garam atau gula dan mudahnya mendapatkan makanan tersebut berkontribusi pada tingginya insidensi obesitas dan hipertensi yang berujung pada stroke dan gangguan jantung. Paparan bunyi keras, bahan kimia hingga radiasi dari tempat tinggal dan tempat kerja berpengaruh pada kesehatan pekerja. Isu pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi juga merupakan faktor yang berkaitan dengan kematian akibat infeksi sistem pernapasan atau gangguan sistem kardiovaskuler. (Detels, et al., 2015, pp.161-230; Donaldson dan Rutter, 2017, pp.120-142).

Gambar 5. Faktor Lingkungan dan Dampaknya pada Kesehatan Sumber: Donaldson LJ dan Rutter P, (2017), Donaldsons’ Essential Public Health. Edisi ke-4. New York. CRC Press.

Indonesia yang merupakan salah satu negara yang berkembang dengan pesat dihadapkan dengan resiko faktor lingkungan tradisional maupun yang modern. Daerah perkotaan memiliki banyak fasilitas yang mendukung PHBS, namun tidak demikian merata dengan daerah pedesaan. Tersedianya air bersih, sanitasi yang baik, polusi, proses daur ulang limbah rumah tangga maupun pabrik dan padatnya populasi pada daerah-daerah tertentu masih tampak (WHO, diambil 12 September 2018). Pemerintah RI menyikapi masalah kesehatan lingkungan ini dengan menjalankan kebijakan berupa program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM), tatanan kawasan sehat (TKS), penyediaan air bersih, akses sanitasi yang layak, tempat-tempat umum yang memenuhi persyaratan kesehatan, regulasi industri makanan dan manajemen limbah medis. Dalam laporan profil kesehatan Indonesia tahun 2015, banyak didapati kemajuan dalam proses penyehatan lingkungan, namun bila dikritisi lebih lanjut, di dalam tercapainya angka-angka target sasaran terdapat ketidakmerataan yang luas dalam pelaksanaan program penyehatan lingkungan ini, dimana 93.84% desa yang menjalankan STBM di DI Yogyakarta berbeda jauh dengan 1.87% desa yang menjalankan STBM di DKI Jakarta (Kemenkes, 2015).

4. Faktor Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan, dikatakan oleh Detels, et al. (2015, p.234) berfungsi untuk mencegah atau memperlambat onset kecacatan atau kematian, meredakan atau mengendalikan nyeri atau penderitaan dan menyediakan informasi mengenai diagnosis dan prognosis. Pelayanan kesehatan yang dimaksud dapat berupa dokter, perawat, bidan ataupun staf administrasi yang bekerja di rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan primer atau praktek pribadi. Menjawab pertanyaan soal pemicu pada bab satu bahwa pelayanan kesehatan mungkin pengaruhnya tidak sebesar lingkungan dan perilaku sehat terhadap status kesehatan,

namun

semenjak memasuki abad ke-20, dimana penggunaan evidence-based medicine seperti aplikasi intervensi berdasarkan hasil sebuah RCT digunakan, efektivitas pelayanan kesehatan dapat dinilai dari rendahnya angka kematian ataupun cakupan imunisasi (Detels, et al., 2015, pp.244-6). Donaldson dan Rutter (2017, p.171) menegaskan bila pelayanan kesehatan harus berfungsi lebih dari sekedar menunggu pasien datang dan bergerak proaktif untuk menangani masalah sebelum masalah itu ada dan mencari berbagai determinan kesehatan yang berpengaruh dalam masyarakat. Pelayanan kesehatan dapat berfungsi sebagai pengawas indikator, evaluasi efektivitas suatu intervensi dan penilaian baiknya sebuah pelayanan kesehatan dalam populasi tertentu (Detels, et al., 2015, p.244). Mahendradhata, et al. (2017, pp.212-238) membuat sebuah laporan evaluasi mengenai tingkat kepuasan pasien, akses ke fasilitas kesehatan, distribusi tenaga kesehatan, angka-angka indikator kesehatan dan distribusi dana dalam pelayanan kesehatan. Dalam laporan evaluasi tersebut, Indonesia telah mengalami banyak kemajuan dalam pelayanan kesehatannya, namun masih banyak sektor-sektor yang harus ditingkatkan, seperti pemerataan tenaga kerja, peningkatan efisiensi penggunaan dana kesehatan untuk usaha preventif promotif dibandingkan kuratif dan kontrol jaminan kesehatan nasional yang merata. Pemerataan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia akan meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

5. Faktor Genetika Karakteristik pribadi setiap orang, seperti jenis kelamin, usia dan ras, merupakan salah satu penentu tingkat kesehatan masyarakat (Wibowo, 2015, p.26 dan Donaldson dan Rutter, 2017, pp.161-2). Ariani, Soeharso dan Sjarif (2017, p.105) menyatakan bila kelainan genetik masih belum dianggap sebagai masalah yang serius, namun data dari WHO menunjukan bila 11% dari kematian anak di bawah 5 tahun disebabkan oleh kelainan kongenital (WHO, 2015). Menurut H.L Blum, faktor genetika memberikan pengaruh terhadap kesehatan individu, walaupun faktor lingkungan dan gaya hidup adalah faktor penting secara umum, namun ada beberapa kondisi tertentu dimana faktor genetika inilah yang sangat mempengaruhi kesehatan

individu. Kelainan genetik yang paling sering ditemukan adalah Down Syndrome (78.6%) berdasarkan hasil pemeriksaan kromosom 103 pasien dengan gangguan malformasi kongenital, selain itu juga umum ditemukan gangguan pembentukan lempeng saraf, thalasemia dan defisiensi G6PD (Ariani, Soeharso dan Sjarif, 2017, p.105). Penyakit tidak menular yang juga diketahui dapat diwarisi sifatnya seperti hipertensi, stroke, gangguan jantung, kanker, asma dan diabetes mellitus juga terus mengalami peningkatan dalam prevalensi (Riskesdas, 2007 dan Riskesdas, 2013). Genetik dalam kesehatan masyarakat memiliki peran penting dalam proses deteksi dini, skrining dan evaluasi faktor resiko, prediksi penyakit dan prediksi efek farmakogenetik. Namun utilisasi proses ini masih perlu melalui berbagai proses kritisi dari berbagai aspek, seperti aspek feasibility , etika dan hukum yang berlaku (Detels, et al., 2015, pp.141-50) Faktor genetik sebagai determinan kesehatan di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian bila dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya (Ariani, Soeharso dan Sjarif, 2017, p.108). Hal ini disebabkan ilmu mengenai genetika masih belum mendapatkan kodifikasi sendiri, miskonsepsi genetika, kurangnya tenaga pendidik dan kurangnya kepercayaan diri dari petugas kesehatan sendiri (Wibowo, 2015, pp.27-8). Mengingat bahwa biaya untuk menangani penyakit genetik ini sangatlah besar sehingga dengan melalui konseling genetik dapat memprediksi pasangan memiliki faktor risiko penyakit genetik dan dapat mencegah pengeluaran biaya besar untuk penanganan penyakit genetik, sehingga sangat diharapkan kepada pelaku kebijakan di Indonesia untuk menaruh perhatian dalam kebijakan kesehatan nasional terhadap pelayanan konseling genetik.

Metode Penilaian dan identifikasi determinan kesehatan yang penting bagi kesehatan suatu masyarakat Penentuan determinan kesehatan yang penting perlu didahului dengan penentuan masalah kesehatan yang ada terlebih dahulu. Masalah kesehatan yang ada dalam sebuah masyarakat dapat berjumlah sangat banyak, sehingga perlu dilakukan proses prioritas masalah. CDC merumuskan proses prioritas masalah kesehatan berdasarkan (CDC, diambil 12 September 2018): 1. Seberapa penting masalah tersebut terhadap kesehatan masyarakat a. Insidensi dan Prevalensi b. Beratnya penyakit, sekuele dan disabilitas yang dapat ditimbulkan c. Tingkat mortalitasnya d. Dampak sosio-ekonomi e. Tingkat penularannya f. Potensi untuk berkembang menjadi kejadian luar biasa

g. Persepsi dan perhatian publik h. Mandat dari dunia internasional 2. Kemampuan untuk mencegah, mengontrol atau mengobati kondisi tersebut a. Mampu cegah b. Tindakan kontrol dan pengobatan 3. Kemampuan sistem pelayanan kesehatan untuk mengimplementasikan tindakan Intervensi a. Seberapa cepat sistem kesehatan dapat merespon b. Apakah tersedia dana dan sumber daya c. Bagaimanakah proses pengawasan kejadian ini

Setelah ditentukan, penentuan determinan kesehatan yang perlu ditangani terlebih dahulu secara efektif dan efisien memerlukan sebuah sistem prioritas masalah yang transparan, akuntabel dan partisipatif. Detels, et al. (2015, p.306) menyatakan dari hasil diskusi pakar kesehatan masyarakat, bila prioritas masalah determinan kesehatan ditentukan berdasarkan 5 hal, yakni efektivitas klinis, efisiensi biaya, kemerataan, solidaritas dan autonomi. ● Efektivitas Klinis ○ Apakah prosedur intervensi lebih efektif dibandingkan terapi lain yang berlaku? ○ Seberapa besar manfaat intervensi ini? ● Efisiensi Biaya ○ Apakah prosedur ini dapat dipertanggungjawabkan secara finansial bila dibandingkan dengan intervensi standar? ○ Apakah kebutuhan akan intervensi ini lebih besar dari manfaat yang dapat diperoleh? ● Kemerataan ○ Apakah sumber daya yang ada dapat digunakan secara adil dan merata untuk seluruh populasi? ● Solidaritas ○ Apakah seluruh anggota masyarakat dapat bersatu tujuan untuk mengatasi masalah ini termasuk secara finansial? ● Autonomi ○ Apakah individu dalam masyarakat dapat tetap menentukan untuk dirinya sendiri?

Bab III Penutup

Mengingat tujuan utama praktisi kesehatan masyarakat adalah untuk mengelola dan mengorganisir sumber daya yang ada untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh, pemahaman mengenai faktor-faktor yang dapat menentukan kesehatan menjadi sangat esensial. Keadaan Triple Burden Disease yang terjadi di Indonesia tidak terjadi secara mendadak, namun karena banyak faktor determinan yang tidak terkendali dengan baik. Pemerintah Indonesia telah dan terus berupaya untuk mengendalikan dan memperbaiki determinan-determinan kesehatan tersebut melalui beragam program. Program GERMAS yang menargetkan perubahan perilaku kesehatan, P2PL yang menargetkan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan dan beragam program lainnya telah dijalankan. Indonesia terus bergerak maju dalam pencapaian target-nya, namun belum semua berhasil. Hal ini tampak dalam berbagai laporan profil kesehatan Indonesia yang menunjukan adanya beberapa daerah yang tertinggal jauh tingkat pencapaiannya dibandingkan dengan target nasional. STBM yang diharapkan 100% sudah hampir tercapai di kota DI Yogyakarta (98.96%), namun di Papua masih jauh dari target (7.13%). Belum optimal dan tidak meratanya pembangunan infrastruktur masih menjadi salah satu kendala dalam memberikan promosi maupun pelayanan kesehatan yang ideal. Ketidakmerataan kesejahteraan hidup yang kontras juga menunjukan masih ada ketidakadilan dalam distribusi sumber daya kesehatan. Jumlah SDM yang tidak sebanding dengan jumlah warga yang perlu dilayani juga merupakan masalah penting. Perlu advokasi yang aktif dan kuat untuk dapat meyakinkan pengambil keputusan dalam lingkup legislatif. Pendanaan yang cukup dan pengelolaan yang baik dalam bentuk program yang transparan dan terkontrol akan menyebabkan peningkatan taraf kesehatan masyarakat. Kerja sama lintas sektoral juga perlu dikedepankan karena perkembangan kesehatan hanya mungkin terjadi apabila lingkungan sosial bekerja sama satu tujuan.

Daftar Pustaka

Ariani, Y., Soeharso, P., & Sjarif, D. R. (2017). Genetics and genomic medicine in Indonesia. Molecular Genetics & Genomic Medicine, 5(2), 103–109. http://doi.org/10.1002/mgg3.284 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2007), Riset Kesehatan Dasar 2007. didapat dari: http://labdata.litbang.depkes.go.id/menu-download . diakses pada 11 September 2018 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2013), Riset Kesehatan Dasar 2013. didapat dari: http://labdata.litbang.depkes.go.id/menu-download . diakses pada 11 September 2018 Bahuet C dan Sopacue JA, (2018), SDGs di Indonesia: 2018 dan setelah itu. didapat dari: http://www.id.undp.org/content/indonesia/id/home/presscenter/articles/2018/sdgs-di-indonesia--2018dan-setelah-itu.html?cq_ck=1521445399178 . diakses pada 12 September 2018 CDC, (2012), Principles of Epidemiology in Public Health Practice, Third Edition: An Introduction. Edisi ke3. didapat dari:https://www.cdc.gov/ophss/csels/dsepd/ss1978/SS1978.pdf . diakses pada 12 September 2018 Depkes RI, (2016), GERMAS Wujudkan Indonesia Sehat. didapat dari: http://www.depkes.go.id/article/view/16111500002/germas-wujudkan-indonesia-sehat.html . diakses pada 11 September 2018 Depkes RI, (2018), Menkes Soroti Faktor Perilaku, Lingkungan dan Budaya dalam Pecahkan Masalah Kesehatan. didapat di: http://www.depkes.go.id/article/view/18031200002/menkes-soroti-faktorperilaku-lingkungan-dan-budaya-dalam-pecahkan-masalah-kesehatan.html . diakses pada 12 September 2018 Detels R, et al. (2015) Oxford Textbook of Global Public Health. Edisi ke-6. Oxford. C&C Offset Printing. Donaldson LJ dan Rutter P, (2017), Donaldsons’ Essential Public Health. Edisi ke-4. New York. CRC Press. Drope J, et al., (2015), The Tobacco Atlas: Indonesia. didapat dari: https://tobaccoatlas.org/country/indonesia/ . diakses pada 12 September 2018 Frenk, Julio & Gomez-Dantes, Octavio. (2011). The triple burden. Disease in developing nations. Harvard Int Rev. 33. 36-40. Graham H, White, (2016), Social determinants and lifestyles: integrating environmental and public health perspectives. Didapat dari : https://www.publichealthjrnl.com/article/S0033-3506%2816%29302505/pdf. diakses pada 12 September 2018. Kemenkes RI, (2015), Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015-2019. didapat dari: http://www.depkes.go.id/resources/download/info-publik/Renstra-2015.pdf . diakses pada 12 September 2018

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. (2016), FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 04 Tahun 2016 Tentang IMUNISASI. Didapat dari : http://www.depkes.go.id/resources/download/lain/Fatwa%20No.%204%20Tahun%202016%20Tenta ng%20Imunisasi.pdf. Didapat pada 12 September 2018. Mahendradhata Y, et al., (2017). The Republic of Indonesia Health System Review. Health Systems in Transition, 7(1). didapat dari: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/254716/1/9789290225164eng.pdf. diakses pada 12 September 2018 Massie Roy G.A. (2009), Kebijakan Kesehatan: Proses, Implementasi, Analisis Dan Penelitian. Didapat dari : https://media.neliti.com/media/publications/21293-ID-kebijakan-kesehatan-proses-implementasianalisis-dan-penelitian.pdf . Diakses pada 12 September 2018. NCHHSTP, (2014), NCHHSTP Social Determinants of Health, didapat dari: https://www.cdc.gov/nchhstp/socialdeterminants/definitions.html . diakses pada 11 September 2018 Purwitayana Dewa Putu Agung, (2013), Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi Implementasi Program Jaminan Kesehatan Bali Mandara di RSUD Wangaya Denpasar. Didapat dari: http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-5.%20Dewa%20KMP%20V1%20N1%20JanApril%202013.pdf. Diakses pada 12 September 2018. Survei Indikator Kesehatan Nasional Tahun 2016, kementerian kesehatan republik indonesia, badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Didapat dari : http://labdata.litbang.depkes.go.id/riset-badanlitbangkes/menu-riskesnas/menu-rikus/422-sirk-2016. diakses pada 12 September 2018. Tanpa nama, 2016. Germas Wujudkan Indonesia Sehat. Didapat dari : http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=16111500002. diakses pada 11 September 2018. WHO, (2016), Indonesia's Country Health Profile [Online]. didapat dari: http://www.who.int/countries/idn/en/ . diakses pada 11 September 2018 Wibowo A, (2015), Kesehatan Masyarakat di Indonesia: Konsep, Aplikasi dan Tantangan. Edisi ke-1. Depok. Rajagrafindo Persada.

Related Documents


More Documents from ""