BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Sindrom Nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004). Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001). Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia (Rauf, 2002).
B. Etiologi Penyebab pasti Sindrom Nefrotik belum diketahui. Umunya dibagi menjadi : 1. Sindrom nefrotik bawaan Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal 2. Sindrom nefrotik sekunder Disebabkan oleh parasit malaria, penyakit kolagen, glomerulonefritis akut, glomerulonefrits kronik, trombosis vena renalis, bahan kimia (trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, raksa), amiloidosis, dan lain-lain. 3. Sindrom
nefrotik
idiopatik
(tidak
diketahui
penyebabnya).
(Arif Mansjoer,2000 :488)
C. Patofisiologi Patofisiologi dari penyakit Sindrom Nefrotik adalah : 1. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, 1
tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal. 2. Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema. 3. Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan onkotik plasma. 4. Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipopprtein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin (lipiduria). 5. Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. (Suriadi dan Rita yuliani, 2001 :217)
D. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik dari penyakit sindrom nefrotik adalah : 1. Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah. 2. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa 3. Pucat 4. Hematuri 5. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus. 6. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi. 7. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang) (Betz, Cecily L.2002 : 335 ). 2
E. Penatalaksanaan Medik Penatalaksanaan pada pasien dengan kasus sindrom nefrotik adalah : 1. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindar makanan yang diasinkan. Diet protein 2 – 3 gram/kgBB/hari. 2. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25 – 50 mg/hari), selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat. 3. Pengobatan kortikosteroid yang diajukan Internasional Coopertive Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), sebagai berikut : a. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari luas permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari. b. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu. 4. Cegah infeksi. Antibiotik hanya dapat diberikan bila ada infeksi. 5. Pungsi
asites
maupun
hidrotoraks
dilakukan
bila
ada
indikasi
vital.
(Arif Mansjoer,2000)
F. Pemeriksaan Penunjang Untuk pemeriksaan penunjang, dilakukan pemeriksaan urine dan darah untuk memastikan adanya proteinuria, proteinemia, hipoalbuminemia, dan hyperlipidemia. Biasanya ditemukan hematuria mikroskopik lebih dari 20 eritrosit/luas permukaan badan. Pemeriksaan darah lengkah juga diperlukan untuk mencari mikroangiopati, pemeriksaan imunologi untuk menentukan adanya lupus eritematosus sistemik (Mansjoer, 1999). Selain itu untuk menunjang diagnose perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal berupa urine mikroskopik, ureum, kreatinin, elektrolit, dan protein urin (Tisher, 1997). 3
Untuk pengawasan kemajuan penderita sindrom nefrotik dilakukan pengukuran dan pencatatan berkala dari tekanan darah keseimbangan cairan serta berat badan (Mansjoer, 1999). G. Analisa Gas Darah 1) Pendahuluan Analisa gas darah arteri merupakan pengukuran pH dan tekanan parsial oksigen (PaO2) dan karbondioksida (PaCO2) dalam darah arteri. Melalui nilai analisa gas darah maka dapat dikaji status keseimbangan asam basa dalam darah dan bagaimana kerja paru-paru dalam pertukaran gas (Hennessey & Japp, 2007). Pemeriksaan gas darah biasanya dikerjakan untuk mengkaji penyakit respiratori dan kondisi lainnya yang mempengaruhi paru-paru, dan untuk memanajemen pasien yang menerima terapi oksigen. Selain itu juga, komponen asam basa dari test yang dilakukan akan memberikan informasi fungsi ginjal. Pada dasarnya, sel di dalam tubuh menggunakan oksigen untuk membuat energi dan menghasilkan karbondioksida sebagai bahan sisanya. Darah akan memberikan suplai oksigen ke sel sesuai kebutuhannya dan membersihkan bahan sisanya karbondioksida. Proses ini sangat tergantung pada kemampuan paru-paru dalam memperkaya darah dengan oksigen dan membuang bahan sisanya karbondioksida. Pertukaran gas di paru-paru bertujuan untuk memindahkan oksigen dari atmosfer ke aliran darah (oksigenasi) dan karbondioksida dari aliran darah ke atmosfer (eliminasi CO2). Melihat hasil analisa gas darah akan membantu mengkaji efektifnya pertukaran gas di paru-paru yang diukur melalui tekanan parsial O2 dan CO2 dalam darah arteri. Tekanan parsial menggambarkan kontribusi (pengumpulan) gas pada satu individu dalam campuran gas (seperti udara) dengan total tekanan. Ketika gas larut dalam cairan (misalnya darah), jumlah gas yang terlarut tersebut tergantung pada tekanan parsial. Gas akan berpindah dari tekanan parsial tinggi menuju ke tekanan parsial rendah. Pada membran kapiler alveoli memiliki PaO2 yang tinggi dan PaCO2 rendah dari pada kapiler darah. Oleh karena itu, molekul O2 dapat berpindah dari alveoli menuju darah dan molekul CO2 berpindah dari darah ke alveoli sampai tekanan parsial kembali seimbang. 4
Gambar 1. Pertukaran gas pulmonal dan kapiler darah
2) Pemeriksaan Analisa Gas Darah Analisa Gas Darah adalah suatu pemeriksaan darah arteri yang memungkinkan untuk pengukuran pH, oksigenasi, kadar CO2, kadar bikarbonat, saturasi oksigen, dan kelebihan atau kekurangan basa. Indikasi AGD yaitu untuk mengkaji sifat, rangkaian dan beratnya gangguan metabolik dan pernafasan (Hudak & Gallo, 1997;471). a) Pengukuran pH darah pH adalah logaritme negatif dari ion hidrogen (H+) dalam larutan (Tambayong, 2000;37). pH juga dapat diartikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen dan juga keasaman dan kebasaan darah (Hudak & Gallo, 1997;471). pH normal 7,35 sampai 7,45. Adanya penumpukan ion hidrogen akan berdampak pada penurunan pH yang menyebabkan kondisi asidemia (status asam dalam darah). Sedangkan penurunan ion hidrogen akan menyebabkan peningkatan pH dan kebasaan (status alkalis darah). 5
b) Pengukuran oksigen darah Ada tiga cara mengukur oksigen darah yaitu; 1. Kandungan Total Oksigen Merupakan jumlah mililiter oksigen yang terbawa oleh 100 ml darah dalam berbagai bentuk. Oksigen dibawa dalam darah dalam dua cara yaitu; (1) Terlarut dalam plasma, (2) Terikat dengan Hb. Semakin besar oksigen yang terikat dengan Hb, maka semakin kecil yang terlarut dalam plasma karena oksigen sangat tidak mudah terlarut dalam plasma atau air. Kandungan O2 normal 19,7 ml O2 per 100 ml dari seluruh darah. 2. Tekanan Oksigen Merupakan tekanan oksigen yang terlarut di dalam plasma. Sedangkan oksigen yang terikat dengan Hb tidak mempunyai tekanan, tetapi oksigen yang terlarut dalam plasma mempunyai tekanan yang dapat diukur sebagai PO2. Jadi PO2 adalah ukuran tekanan atau desakan yang dimiliki oleh oksigen yang terlarut dan bahwa PO2 bukan ukuran jumlah oksigen dalam darah. 3. Saturasi oksigen Merupakan pengukuran prosentase oksigen yang dibawa oleh hemoglobin dibandingkan dengan jumlah total yang seharusnya dapat dibawa oleh hemoglobin atau dengan persamaan : Jumlah O2 yg dibawa Hb SaO2 = --------------------------------------- X 100 Jumlah maksimal O2 yg dpt dibawa Hb. Tiap gram Hb membawa maksimum 1.34 ml Oksigen. Faktor utama yang menentukan seberapa banyak oksigen yang dibawa hemoglobin adalah PO2. Jika PO2 tinggi maka Hb membawa lebih banyak oksigen dan sebaliknya jika PO2 rendah maka Hb membawa sedikit oksigen. 6
Tabel 1. Jumlah Oksigen yang Terlarut Terlarut dalam plasma
0.3 ml/100 ml darah (ditunjukkan oleh PO2 90 mmHg)
Terikat dengan hemoglobin
19.4 ml/100 ml darah (ditunjukkan oleh saturasi Hb 97%)
Total dalam seluruh darah
19.7 ml/100 ml darah
Sumber: Hudak&Gallo, 1997, Keperawatan Kritis; Pendekatan Holistik
c) Pengukuran karbon dioksida darah PCO2 berarti desakan/tekanan yang dihasilkan oleh gas CO2 yang terlarut dalam darah. CO2
dihasilkan dari proses metabolisme (metabolisme
menghasilkan energi, panas, dan CO2). Gas CO2 harus dipertimbangkan sebagai substansi asam, karena ketika berikatan dengan air (H2O) akan mengasilkan asam karbonat (H2CO3). Tubuh akan membuang CO2 dapat dilakukan dengan 2 cara; (1) Cara yang kurang penting : perubahan gas CO2 menjadi asam karbonat (H2CO3) yang berdisosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan Hidrogen (H+). H+ akan dikeluarkan oleh ginjal dalam bentuk NH4-, (2) Cara yang lebih penting adalah pelepasan CO2 di paru-paru. Bila PCO2 dalam darah terlalu tinggi maka paru-paru tidak memberikan cukup ventilasi disebut hipoventilasi. Sedangkan PCO2 yang rendah berarti terjadi ventilasi yang berlebihan oleh paru-paru disebut hiperventilasi. 7
d) Pengukuran bikarbonat dan kelebihan basa darah Base excess secara prinsip berarti kelebihan bikarbonat (HCO3-) tetapi juga untuk basa lain dalam darah (Protein plasma, Hb). Bikarbonat (HCO3) dan kelebihan basa hanya dipengaruhi oleh penyebab non-pernafasan, misalnya proses metabolik. Nilai normal HCO3; 22 – 26 mEq/L dan Base Excess; -2 sampai +2.
3) Teknik Pengambilan Sampel Darah Arteri Untuk Pemeriksaan AGD Darah yang digunakan sebagai sampel dalam pemeriksaan AGD adalah darah arteri. Sebelum pengambilan sampel darah maka diperlukan beberapa hal sebagai berikut: a) Mengkonfirmasi
kebutuhan
untuk
AGD
dan
identifikasi
kontraindikasinya, yaitu; tidak adekuatnya sirkulasi yang sejajar dengan daerah penusukan, tidak boleh dilakukan pada daerah yang mengalami lesi atau pada pembedahan shunt,
adanya bukti penyakit vaskular perifer
berjauhan dari daerah penusukan, koagulopati atau dosis sedang sampai besar terapi antikoagulan (kontraindikasi ini tidak absolut dan tergantung pada kepentingan klinik untuk AGD). b) Selalu catat secara detail terapi O2 yang diberikan dan dukungan respiratori seperti seting ventilator. c) Jangan mengubah tambahan O2 segera sebelum pengambilan sampel. Perubahan terhadap sistem pengiriman O2 memerlukan 15 menit untuk adaptasi. Pengecualian pada aturan ini adalah selama upaya resusitasi. d) Menjelaskan pada pasien tentang alasan melakukan tes ini, apa yang terlibat dan kemungkinan komplikasinya (perdarahan, memar, arterial trombosis, infeksi dan nyeri), lalu dapatkan informed consent. e) Persiapkan peralatan yang diperlukan (tabung berikan heparin dengan tutup, jarung 20-22G, tempat benda tajam disposibel, kasa) dan mengenakan universal precaution. f) Identifikasi bagian penusukan yang baik dan tepat untuk pengambilan sampel darah dengan cara mempalpasi arteri radial, brachial dan 8
femoralis. Pengambilan sampel rutin harus diawali dari arteri radialis pada tangan yang non dominan (Hennessey & Japp, 2007;42).
4) Tujuan Pengambilan AGD a) Menilai tingkat keseimbangan asam dan basa b) Mengetahui kondisi fungsi pernafasan dan kardiovaskuler c) Menilai kondisi fungsi metabolisme tubuh 5) Indikasi AGD a) Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik b) Pasien deangan edema pulmonal c) Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS) d) Infark miokard e) Pneumonia f) Klien syok g) Post pembedahan coronary arteri baypass h) Resusitasi cardiac arrest i) Klien dengan perubahan status respiratori j) Anestesi yang terlalu lama 6) Lokasi Pungsi Arteri a) Arteri radialis dan arteri ulnaris (sebelumnya dilakukan allen’s test) b) Arteri brakialis c) Arteri femoralis d) Arteri tibialis posterior e) Arteri dorsalis pedis Arteri femoralis atau brakialis sebaiknya tidak digunakan jika masih ada alternatif lain, karena tidak mempunyai sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi bila terjadi spasme atau trombosis. Sedangkan arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena adanya risiko emboli otak. Jika dilakukan pungsi di arteri radialis maka perlu dilakukan tes allen. Cara allen’s test yaitu minta klien untuk mengepalkan tangan 9
dengan kuat, berikan tekanan langsung pada arteri radialis dan ulnaris, minta klien untuk membuka tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu jari dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15 detik, warna merah menunjukkan test allen’s positif. Apabila tekanan dilepas, tangan tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif. Jika pemeriksaan negatif, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain. 7) Komplikasi a) Apabila jarum sampai menebus periosteum tulang akan menimbulkan nyeri b) Perdarahan c) Cidera syaraf d) Spasme arteri, dll 8) Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan AGD a) Gelembung udara Tekanan oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel darah maka ia cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen sampel darah kurang dari 158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat. b) Antikoagulan Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam tabung. Pemberian heparin yang berlebihan akan menurunkan tekanan CO2, sedangkan pH tidak terpengaruh karena efek penurunan CO2 terhadap pH dihambat oleh keasaman heparin. c) Metabolisme Sampel darah masih merupakan jaringan yang hidup. Sebagai jaringan hidup, ia membutuhkan oksigen dan menghasilkan CO2. Oleh karena itu, sebaiknya sampel diperiksa dalam 20 menit setelah pengambilan. Jika sampel tidak langsung diperiksa, dapat disimpan dalam kamar pendingin beberapa jam.
10
d) Suhu Ada hubungan langsung antara suhu dan tekanan
yang
menyebabkan tingginya PO2 dan PCO2. Nilai pH akan mengikuti perubahan PCO2. Nilai pH darah yang abnormal disebut asidosis atau alkalosis sedangkan nilai PCO2 yang abnormal terjadi pada keadaan hipo atau hiperventilasi. Hubungan antara tekanan dan saturasi oksigen merupakan faktor yang penting pada nilai oksigenasi darah 9) Hal-hal yang Perlu Diperhatikan a) Tindakan pungsi arteri harus dilakukan oleh perawat yang sudah terlatih b) Spuit yang digunakan untuk mengambil darah sebelumnya diberi heparin untuk mencegah darah membeku c) Kaji ambang nyeri klien, apabila klien tidak mampu menoleransi nyeri, berikan anestesi lokal d) Bila menggunakan arteri radialis, lakukan test allent untuk mengetahui kepatenan arteri e) Untuk memastikan apakah yang keluar darah vena atau darah arteri, lihat darah yang keluar, apabila keluar sendiri tanpa kita tarik berarti darah arteri f) Apabila darah sudah berhasil diambil, goyangkan spuit sehingga darah tercampur rata dan tidak membeku g) Lakukan penekanan yang lama pada bekas area insersi (aliran arteri lebih deras daripada vena) h) Keluarkan udara dari spuit jika sudah berhasil mengambil darah dan tutup ujung jarum dengan karet atau gabus
H. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi pada penyakit sindrom nefrotik yang berkelanjuatan adalah : 1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia.
11
2. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock. 3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma. 4. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal. (Rauf, .2002 : .27-28).
I. Asuhan Keperawatan
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA ANAK DENGAN SINDROM NEFRITIS DI UNIT GAWAT DARURAT RS HASAN SADIKIN BANDUNG
A. Pengkajian 1. Identitas Klien Nama
: An.L
Usia
: 9 Tahun
Diagnosa Medis : Sindrom Nefritis 2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama Nyeri dada (sesak napas) b. Keluhan Kesehatan Sekarang Klien datang ke Rumah Sakit mengeluh nyeri dada pleura sebelah kiri, napas pendek, hemoptisis. Pada saaat dilakukan pemeriksaan fisik menunjukkan lakilaki, distress takipnea (cepat, tidak normal) dengan kecepatan respirasi 30 x/menit. c. Riwayat Kesehatan Dahulu Klien tidak memilki riwayat penyakit dahulu. d. Riwayat Keluarga
12
Ibu klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama dengan klien dan tidak ada riwayat penyakit keturunan. 3. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum Penampilan
: Cukup bersih
Keadaan GCS : M 6, U 5, E 4 b. Tanda-tanda vital Respirasi
: 30 x/menit
c. Pemeriksaan penunjang Hasil Laboratorium Natrium
140 mEq/L
Kalium
3,0 mEq/L
Klorida
92 mEq/L
Bikarbonat
36 m/g/dL
BUN
30 mg/dL
Kreatinin
1,3 mL/dL
Kalsium
1.0 mL/dL
Fosfat
3,0 mL/dL
Keton darah
-
Glukosa
90 m/dL
Osmolaritas plasma
280 mOSm/kg
Pemeriksaan GDA pH
7,69
PCO2
30 mmHg
13
HCO3
35 mg/dL
PO2
75
X-ray
Efusi pleura
B. Analisa Data No
Data
Etiologi
Masalah
1.
DO:
Sindrom Nefritis
Ketidakseimbangan
- Klien terlihat mual
nutrisi
muntah sejak 4 jam yang lalu
Respon sistemik
- Glukosa 90/dL DS: Klien
mengatakan
Mual muntah
ingin muntah Ketidakseimbangan nutrisi 2.
DO:
Perubahan permeabilitas glomerulus
- Natrium 140 mEq/L
Risiko
Kelihangan
Cairan
- Kalium 3,0 mEq/L Protein terfiltrasi bersama urin
Hilangnya protein plasma
14
Berkurangnya
tekanan
osmotik
plasma
Cairan intravaskuler berpindah ke interstitial
Menurunnya volume intravaskuler
Hipovolemik
Risiko Kelihangan Cairan
3.
DO:
Sindrom nefritis
Risiko Tinggi Infeksi
- Adanya efusi pleura - Infiltrasi lobus bagian kiri
Perubahan permeabilitas glomerulus
- Embolisme pulmonel
Protein terfiltrasi bersama urin
Sistem imun menurun
Risiko Tinggi Infeksi 15
4.
DO:
Sindrom nefritis
Nyeri
Klien terlihat menangis karena sakit DS:
Perubahan permeabilitas glomerulus
Klien mengatakan nyeri dibagian dada pelura sebelah kiri
Edema
Paru
Efusi pleura
Infiltrasi lobus kiri bawah
Nyeri 5.
DO:
Efusi pleura
- Napas terlihat pendek
Pola
Napas
Tidak
Efektif
- Distress takipnea - Respirasi 30 x/menit
Penumpukan cairan dalam rongga pleura
Ekspansi paru menurun
Sesak napas
16
Pola Napas Tidak Efektif
C. Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakseimbangan nutrisi 2. Resiko kehilangan cairan 3. Resiko infeksi 4. Nyeri 5. Pola
nafas
tidak
efektif
17
D. Intervensi keperawatan NO
Diagnosa
NOC
NIC
Nutritional status and fluid intake
Nutrition management
Keperawatan 1.
Ketidakseimbangan nutrisi
KH : 1. Adanya peningkatan bb sesuai dengsn tujuan 2. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 3. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi 4. Tidak terjadi penurunan BB
1. Kaji
makanan
yang
disukai oleh klien 2. Anjuurkan makan
klien
sedikit
untuk namun
sering 3. Anjurkan keluarga untuk menyuapi klien, apabila klien
kesulitan
untuk
makan sendiri Nutrition therapy 1. Anjurkan keluarga untuk tidak membolehkan anak makan
makanan
banyak
yang
mengandfung
garam 2. Kolaborasi
dengan
ahli 18
gizi yang tepat bagi anak Nutrition monitoring 1. pantau perubahan makan pada klien 2. pantau
adanya
mual
muntah 3. pantau kebutuhan kalori pada catatan asupan
2.
Resiko cairan
kehilangan
1. Elektrolit and acid base 2. Fluid balance 3. Hydration
Fluid management 1. Timbang popok anak jika diperlukan 2. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
KH :
3. Pasang urine kateter jika 1. Terbebas dari edema, efusi anasarka. 2. Bunyi nafas bersih, tidak ada dipsneu atau orthopneu 3. Terbebas dari distensi vena jugularis, refleks
diperlukan 4. Monitor hasil lab yang sesuai
dengan
retensi
cairan
hepatojugular (+) 4. Memelihara tekanan kapiler paru, output
19
jantung dan vital sign dalam batas normal 5. Terbebas
dari
kelelahan,
kecemasan,
kebingungan. 6. Menjelaskan indikator kelebihan cairan
Monitor status 1. Hemodinamik : termasuk cup, map, PAP, dan PCNP
Monitor vital sign 1. Kelebihan cairan 2. Kaji lokasi dan luas edema 3. Monitor
masukan
makanan atau cairan dan hitung intake kalori harian
Fluid monitoring 1. Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminasi 2. Tentukan faktor
kemungkinan risiko
dari
ketidakseimbangan cairan (hipertermia),
terapi
diuretik, kelainan renal). 20
3.
Risiko infeksi
1. Immune status 2. Knowledge : Infection control 3. Risk control
Infection protection 1. Monitor
tanda
gejala
infeksi sistemik dan lokal. 2. Monitor hitung granulosit w8c
KH : 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
Monitor kerentanan
2. Mendeskripsikan proses penularan penyakit. Faktor yang mempengaruhi penularan serta
1. Terhadap infeksi
pelaksanaannya
2. Batasi pengunjung
3. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
3. Pertahankan teknik pada pasien yang berisiko
4. Jumlah leukosit dalam batas normal
4. Pertahan teknik isolasi
5. Menunjukkan perilaku hidup sehat
5. Infeksi kemerahan mukosa
kulit
dan membran terhadap
kemerahan 6. Ajarkan
cara
menghindarkan infeksi 7. Laporkan
kecurigaan
infeksi 21
8. Infeksi kondisi bedah luka atau insisi 9. Dorong masukan cairan 10. Dorong istirahat 4.
Nyeri
1. Pain level
1. Lakukan pengkajian nyeri
2. Pain control
secara
komperhensif
3. Comfort level
termasuk
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi.
KH :
2. Gunakan 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri ),
mampu
menggunakan
teknik
non
farmakologi untuk mengurangi nyeri
menggunakan dengan manajemen nyeri
frekuensi, dan tanda nyeri) nyaman
berkurang
teurapeutik
untuk
mengetahui
3. Observasi
nyeri
non dari
ketidaknyamanan 4. Kajji
stelah
reaksi
verbal
3. Mampu mengenali nyeri ( skala, intensitas
rasa
komunikasi
pengalaman nyeri pasien
2. Melaporkan nyeri bahwa berkurang dengan
4. Menyatakan
teknik
kultur
mempengaruhi
yang respon
nyeri 5. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan
5.
Pola
nafas
tidak
1. Respiratory status ventilasi
Airway management 22
efektif
2. Respiratory status airway 3. Aspiration control
1. Buka jalan nafas gunakan teknik chin lift atau jaw trust bila perlu. 2. Posisikan
KH :
pasien
untuk
memaksimalkan ventilasi
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara
3. Identifikasi
pasien
nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan
perlunya pemasangan alat
dipsneu
jalan nafas buatan
2. Menunjukkan
jalan nafas yang paten (klien
4. Auskultasi
tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
catat
pernafasan dalam rentan normal, tidak ada
tambahan
suara nafas abnormal 3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yanag dapat menghambat jalan nafas.
suara
adanya
nafas suara
5. Berikan pelembab udara kassa basa Nacl lembab 6. Monitor
respirasi
dan
status O2
23
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily L dan Sowden, Linda L. 2002.Keperawatan Pediatrik, Edisi 3. EGC : Jakarta Mansjoer, a Triyani, k, savitri, r, wardani, w, l, setiowulan, w. (1999). Kapita Selekta Kedokteran edisi iii, Jakarta : Media Ausculapius fkui. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakarta Rauf , Syarifuddin, 2002, Catatan Kuliah Nefrologi Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UH : Makssar Smeltzer, Suzanne C, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, edisi 8, Volume 2, EGC : Jakarta Suriadi & Rita Yuliani, 2001, Asuhan Keperawatan Anak, Edisi 1, Fajar Interpratama :
Jakarta
Tisher, c. C, Wilcox, c. S. (1997). House officer series nephrology, 3/e (Buku Saku Nefrologi e/3). Jakarta : egc
24