MAKALAH BERFIKIR KRITIS A. Pendahuluan Berpikir merupakan suatu aktivitas mental untuk membantu memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi rasa keingintahuan. Kemampuan berpikir terdiri dari dua yaitu kemampuan berpikir dasar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir dasar (lower order thinking) hanya menggunakan kemampuan terbatas pada hal-hal rutin dan bersifat mekanis, misalnya menghafal dan mengulang-ulang informasi yang diberikan sebelumnya. Sementara, kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking) membuat siswa untuk mengintrepretasikan, menganalisa atau bahkan mampu memanipulasi informasi sebelumnya sehingga tidak monoton. Kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking) digunakan apabila seseorang menerima informasi baru dan menyimpannya untuk kemudian digunakan atau disusun kembali untuk keperluan pemecahan masalah berdasarkan situasi. Permen 22 Tahun 2006 (Standar Isi) menyatakan mata pelajaran matematika diberikan kepada semua peserta didik untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Oleh karena itu sangat diperlukan peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang merupakan salah satu prioritas dalam pembelajaran matematika sekolah. Secara umum, keterampilan berpikir terdiri atas empat tingkat, yaitu: menghafal (recall thinking), dasar (basic thinking), kritis (critical thinking) dan kreatif (creative thinking) (Krulik & Rudnick, 1999). Tingkat berpikir paling rendah adalah keterampilan menghafal (recall thinking) yang terdiri atas keterampilan yang hampir otomatis atau refleksif. Tingkat berpikir selanjutnya adalah keterampilan dasar (basic thinking). Keterampilan ini meliputi memahami konsep-konsep seperti penjumlahan, pengurangan dan sebagainya termasuk aplikasinya dalam soal-soal. Berpikir kritis adalah berpikir yang memeriksa, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi atau masalah. Termasuk di dalamnya mengumpulkan, mengorganisir, mengingat, dan menganalisa informasi. Berpikir kritis termasuk kemampuan membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Ini juga berarti mampu
menarik
kesimpulan
dari
data
yang
diberikan
dan
mampu
menentukan
ketidakkonsistenan dan pertentangan dalam sekelompok data. Berpikir kritis adalah analitis dan refleksif. Berpikir kreatif sifatnya orisinil dan reflektif. Hasil dari keterampilan berfikir ini adalah sesuatu yang kompleks. Kegiatan yang dilakukan di antaranya menyatukan ide, menciptakan ide baru, dan menentukan efektifitasnya. Berpikir kreatif meliputi juga kemampuan menarik kesimpulan yang biasanya menemukan hasil akhir yang baru. Dua tingkat berpikir terakhir inilah (berpikir kritis dan berpikir kreatif) yang disebut sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Dalam hal ini akan dibahas mengenai kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika.
B.
Pengertian Berfikir Kritis Istilah berpikir kritis (critical thinking) sering disamakan artinya dengan berpikir konvergen, berpikir logis (logical thinking) dan reasoning. R.H Ennis, dalam Hassoubah (2004), mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Oleh karena itu, indikator kemampuan berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis siswa sebagai berikut :
1. Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan. 2. Mencari alasan. 3. Berusaha mengetahui informasi dengan baik. 4. Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya. 5. Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan. 6. Berusaha tetap relevan dengan ide utama
7. Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar. 8. Mencari alternatif. 9. Bersikap dan berpikir terbuka. 10. Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu. 11. Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan. 12. Bersikap secara sistimatis dan teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalah. Indikator kemampuan berpikir kritis yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 1 adalah mampu merumuskan pokok-pokok permasalahan. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 3, 4, dan 7 adalah mampu mengungkap fakta yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu masalah. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 2, 6, dan 12 adalah mampu memilih argumen logis, relevan dan akurat. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 8 dan 10, dan 11 adalah mampu mendeteksi bias berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 5 dan 9 adalah mampu menentukan akibat dari suatu pernyataan yang diambil sebagai suatu keputusan. Menurut R. Swartz dan D.N. Perkins dalam Hassoubah (2004: 86) menyatakan bahwa berpikir kritis berarti: 1. Bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan diterima atau apa yang akan dilakukan dengan alasan yang logis. 2. Memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dalam membuat keputusan. 3.
Menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan serta menerapkan standar tersebut.
4.
Mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang mendukung suatu penilaian. Dalam rangka mengetahui bagaimana mengembangkan berpikir kritis pada diri seseorang, R.H Ennis dalam Hassoubah (2004: 87) memberikan sebuah definisi berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Tujuan dari berpikir kritis adalah agar dapat menjauhkan seseorang
dari
keputusan
yang
keliru
dan
tergesa-gesa
sehingga
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan. Selanjutnya Beyer dalam Hassoubah (2004), menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis ini meliputi keterampilan untuk menentukan kredibilitas suatu sumber, membedakan antara yang
relevan dan yang tidak relevan, membedakan fakta dari penilaian, mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, mengidentifikasi bias yang ada, mengidentifikasi sudut pandang, mengevaluasi bukti yang ditawarkan. Selanjutnya Tyler dalam Redhana (2003: 13-14) berpendapat bahwa pengalaman atau pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan berpikir kritis siswa. Pertukaran gagasan yang aktif didalam kelompok kecil tidak hanya menarik perhatian siswa tetapi juga dapat mempromosikan pemikiran kritis. Kerjasama dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam diskusi, bertanggung jawab terhadap pelajaran sehingga dengan begitu mereka menjadi pemikir yang kritis (Totten dalam Gokhale 2002). Berpikir kritis tidak sama dengan mengakumulasi informasi. Seorang dengan daya ingat baik dan memiliki banyak fakta tidak berarti seorang pemikir kritis. Seorang pemikir kritis mampu menyimpulkan dari apa yang diketahuinya, dan mengetahui cara memanfaatkan informasi untuk memecahkan masalah, and mencari sumber-sumber informasi yang relevan untuk dirinya. Berpikir kritis tidak sama dengan sikap argumentatif atau mengecam orang lain. Berpikir kritis bersifat netral, objektif, tidak bias. Meskipun berpikir kritis dapat digunakan untuk menunjukkan kekeliruan atau alasan-alasan yang buruk, berpikir kritis dapat memainkan peran penting dalam kerja sama menemukan alasan yang benar maupun melakukan tugas konstruktif. Pemikir kritis mampu melakukan introspeksi tentang kemungkinan bias dalam alasan yang dikemukakannya. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan menelaah atau menganalisis suatu sumber, mengidentifikasi sumber yang relevan dan yang tidak relevan, mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi, menerapkan berbagai strategi untuk membuat keputusan yang sesuai dengan standar penilaian.
C. Unsur-unsur Dasar Berpikir Kritis Menurut Ennis (1996: 364) terdapat 6 unsur dasar dalam berpikir kritis yang disingkat menjadi FRISCO : F (Focus): Untuk membuat sebuah keputusan tentang apa yang diyakini maka harus bisa memperjelas pertanyaan atau isu yang tersedia, yang coba diputuskan itu mengenai apa.
R (Reason): Mengetahui alasan-alasan yang mendukung atau melawan putusan-putusan yang dibuat berdasar situasi dan fakta yang relevan. I (Inference): Membuat kesimpulan yang beralasan atau menyungguhkan. Bagian penting dari langkah penyimpulan ini adalah mengidentifikasi asumsi dan mencari pemecahan, pertimbangan dari interpretasi akan situasi dan bukti. S (Situation): Memahami situasi dan selalu menjaga situasi dalam berpikir akan membantu memperjelas pertanyaan (dalam F) dan mengetahui arti istilah-istilah kunci, bagian-bagian yang relevan sebagai pendukung. C (Clarity): Menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan. O (Overview): Melangkah kembali dan meneliti secara menyeluruh keputusan yang diambil. Untuk menilai kemampuan berpikir kritis Watson dan Glaser (1980) melakukan pengukuran melalui tes yang mencakup lima buah indikator, yaitu mengenal asumsi, melakukan inferensi, deduksi, interpretasi, dan mengevaluasi argumen. Joko Sulianto (2011) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis sebagai bagian dari keterampilan berpikir perlu dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, sebab banyak sekali persoalan-persoalan dalam kehidupan yang harus dikerjakan dan diselesaikan. D. Pentingnya Berpikir Kritis Berpikir kritis merupakan hal penting yang harus lakukan diantaranya karena: 1.
Berpikir kritis memungkinkan siswa memanfaatkan potensi seseorang dalam melihat masalah, memecahkan masalah, menciptakan, dan menyadari diri.
2.
Berpikir kritis merupakan keterampilan universal. Kemampuan berpikir jernih dan rasional diperlukan pada pekerjaan apapun, ketika mempelajari bidang ilmu apapun, untuk memecahkan masalah apapun, jadi merupakan aset berharga bagi karir seorang.
3.
Berpikir kritis sangat penting di era informasi dan teknologi. Seorang harus merespons perubahan dengan cepat dan efektif, sehingga memerlukan keterampilan intelektual yang fleksibel, kemampuan menganalisis informasi, dan mengintegrasikan berbagai sumber pengetahuan untuk memecahkan masalah.
4.
Berpikir kritis meningkatkan keterampilan verbal dan analitik. Berpikir jernih dan sistematis dapat meningkatkan cara mengekspresikan gagasan, berguna dalam mempelajari cara menganalisis struktur teks dengan logis, meningkatkan kemampuan untuk memahami.
5.
Berpikir kritis meningkatkan kreativitas. Untuk menghasilkan solusi kreatif terhadap suatu masalah tidak hanya perlu gagasan baru, tetapi gagasan baru itu harus berguna dan relevan dengan tugas yang harus diselesaikan. Berpikir kritis berguna untuk mengevaluasi ide baru, memilih yang terbaik, dan memodifikasi bisa perlu.
6.
Berpikir kritis penting untuk refleksi diri. Untuk memberi struktur kehidupan sehingga hidup menjadi lebih berarti (meaningful life), maka diperlukan kemampuan untuk mencari kebenaran dan merefleksikan nilai dan keputusan diri sendiri. Berpikir kritis merupakan meta-thinking skill, ketrampilan untuk melakukan refleksi dan evaluasi diri terhadap nilai dan keputusan yang diambil, kemudian dalam konteks membuat hidup lebih berarti yaitu melakukan upaya sadar untuk menginternalisasi hasil refleksi itu ke dalam kehidupan sehari-hari.
E.
Cara Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Di dalam kelas atau ketika berinteraksi dengan orang lain, cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan berpikir kritis adalah:
1. Membaca dengan kritis Untuk berpikir secara kritis seseorang harus membaca dengan kritis pula. Dengan membaca secara kritis, diterapkan keterampilan-keterampilan berpikir kritis seperti mengamati, menghubungkan teks dengan konteksnya, mengevaluasi teks dari segi logika dan kredibilitasnya, merefleksikan kandungan teks dengan pendapat sendiri, membandingkan teks satu dengan teks lain yang sejenis. 2. Meningkatkan daya analisis Dalam suatu diskusi dicari cara penyelesaian yang baik, untuk suatu permasalahan, kemudian mendiskusikan akibat terburuk yang mungkin terjadi. 3. Mengembangkan kemampuan observasi atau mengamati Dengan mengamati akan didapat penyelesaian masalah yang misalnya menghendaki untuk menyebutkan kelebihan dan kekurangan, pro dan kontra akan suatu masalah, kejadian atau halhal yang diamati. Dengan demikian memudahkan seseorang untuk menggali kemampuan kritisnya. 4. Meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi
Pengajuan pertanyaan yang bermutu, yaitu pertanyaan yang tidak mempunyai jawaban benar atau salah atau tidak hanya satu jawaban benar, akan menuntut siswa untuk mencari jawaban sehingga mereka banyak berpikir.
Dari hasil penelitian, L. M. Sartorelli dan R. Swartz dalam Hassoubah (2004: 96-110), beberapa cara meningkatkan keterampilan berpikir kritis diantaranya adalah dengan meningkatkan daya analisis dan mengembangkan kemampuan observasi/mengamati. Menurut Christensen dan Marthin dalam Redhana (2003: 21) bahwa strategi pemecahan masalah dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan siswa dalam mengadaptasi situasi pembelajaran yang baru. Tyler dalam Redhana (2003: 21) berpendapat bahwa pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah akan meningkatkan kemampuan berpikir siswa.
F.
Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika Menurut Bonnie dan Potts (2003) secara singkat dapat disimpulkan bahwa beberapa “ciri khas” pembelajaran berpikir kritis meliputi : (1) Meningkatkan interaksi antar siswa, (2) Dengan mengajukan pertanyaan open-ended, (3) Memberikan waktu yang memadai kepada siswa untuk memberikan refleksi terhadap pertanyaan yang diajukan atau masalah-masalah yang diberikan, dan (4) Teaching for transfer (Mengajar untuk dapat menggunakan kemampuan yang baru saja diperoleh terhadap situasi-situasi lain dan terhadap pengalaman sendiri yang para siswa miliki). Kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan inovatif: Adakah Cara lain? (What’s another way?), Bagaimana jika…? (What if …?), Manakah yang salah? (What’s wrong?), dan Apakah yang akan dilakukan? (What would you do?) (Krulik & Rudnick, 1999).
a.
Adakah cara lain? Dalam pertanyaan dibuat kondisi soal tetap, tidak berubah kemudian fokuskan pada problem, serta siswa diminta untuk mengerjakan soal tersebut dengan cara lain. Hal ini dapat melatih ketrampilan berfikir kritis pada siswa. Misalnya : Seorang anak memiliki sejumlah uang logam yang terdiri dari mata uang dua ratusan dan lima ratusan. Jumlah uang seluruhnya adalah Rp. 7.600,00. Jika anak itu mempunyai 20
keping uang logam. Berapa keping masing-masing uang logam? Adakah cara lain untuk mengerjakan soal dengan jawaban yang sama? b. Bagaimana jika...? Dalam pertanyaan ini apabila kondisi soal berubah maka berpengaruh pada jawaban soal, kemudian siswa menganalisis soal yang berubah tersebut. Hal ini melatih ketrampilan berfikir kritis pada siswa. Misalnya : Dalam sebuah kantong terdapat 12 bola merah, 8 bola ungu, dan 6 bola biru. Pada pengambilan pertama secara acak diperoleh bola ungu dan tidak dikembalikan. Tentukan peluang terambilnya bola merah pada pengambilan kedua? Jawaban : P(M) = Kemudian ajukan pertanyaan Bagaimana jika bola ungu pada pengambilan pertama dikembalikan? Berapa peluang terambilnya bola merah pada pengambilan kedua c. Manakah yang salah? Dalam pertanyaan ini Disajikan soal dan jawabannya, tetapi jawaban tersebut memuat kesalahan misalnya pada konsep atau perhitungan kemudian siswa diminta mencari kesalahan, memperbaiki, menjelaskan, dan memperbaiki. Hal ini dapat melatih ketrampilan berfikir kritis pada siswa. d. Apakah yang akan dilakukan? Setelah menyelesaikan, siswa diminta membuat keputusan misalnya lewat gagasan atau pengalaman pribadi siswa, kemudian siswa juga harus menjelaskan dasar keputusannya. Hal ini dapat melatih ketrampilan berfikir kritis. Misalnya : Andi ditawari oleh temannya untuk memilih salah satu dari dua minuman ringan. Minuman yang pertama dengan merk “X” berbentuk tabung dengan jari-jari 7 cm dan tinggi 16 cm. Minuman yang kedua dengan merk “Y” berbentuk balok dengan berukuran . Minuman merk apa yang harus Andi pilih ? Mengapa ?
Manfaat berfikir kritis 1.Membantu memperoleh pengetahuan, memperbaiki teori, memperkuat argumen 2.Mengemukakan dan merumuskan pertanyaan dengan jelas 3.Mengumpulkan, menilai, dan menafsirkan informasi dengan efektif 4.Membuat kesimpulan dan menemukan solusi masalah berdasarkan alasan yang kuat 5.Membiasakan berpikiran terbuka 6.Mengkomunikasikan gagasan, pendapat, dan solusi dengan jelas kepada lainnya Keterampilan berpikir kritis adalah salah satu dari keterampilan berpikir tingkat tinggi. Katerampilan berpikir kritis banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karenanya, mempelajari keterampilan berpikir kritis bagi siswa, atau mengajarkan keterampilan berpikir kritis bagi guru sangat penting. Berpikir kritis adalah mengevaluasi konklusi-konklusi (kesimpulan-kesimpulan) berdasarkan pengujian terhadap suatu masalah, kejadian, atau pemecahan masalah secara logis dan sistematis. Para ahli psikologi menganggap kajian tentang keterampilan berpikir kritis amat menarik dan penting untuk dipelajari. Hingga kini ada banyak pendapat dan gagasan tentang bagaimana sebaiknya cara mengajarkan keterampilan berpikir kritis ini untuk siswa. Untuk lebih memahami apa itu keterampilan berpikir kritis, mungkin contoh-contoh dan tingkatan keterampilan berpikir kritis yang disajikan pada tabel di bawah ini dapat bermanfaat untuk anda.
abel Contoh-Contoh Keterampilan Berpikir Kritis Tingkatan/Jenis Keterampilan Berpikir Kritis
Contoh Keterampilan Berpikir Kritis
Mendefinisikan dan Mengklarifikasi Masalah
1. Mengidentifikasi isu sentral atau masalah. 2. Mengkomparasi persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan. 3. Menentukan manakah informasi yang relevan. 4. Memformulasi pertanyaan-pertanyaan dengan tepat.
Menentukan Informasi-Informasi yang Relevan dengan Masalah
1. Membedakan antara fakta, opini, dan keputusan logis. 2. Mengecek konsistensi. 3. Mengenali stereotip dan klise. 4. Mengenali bias, faktor-faktor emosional, propaganda, dan istilah semantik. 5. Mengenali nilai sistem dan ideologi yang berbeda.
Menyelesaikan Masalah /
1. Mengenali ketepatan data. 2. Memprediksi kemungkinan-kemungkinan
Menggambarkan Konklusi
konsekuensi
ua tulisan saya di Kompasiana, salah satu blog populer yang dikelola Harian Kompas mendapat apresiasi luas. Meskipun populer, kedua tulisan tersebut tetap saja berkategori refleksi filosofis atas kesesatan berpikir yang “berkeliaran” di media massa, sehingga untuk memahaminya dibutuhkan pengetahuan filsafat dasar. Salah satu tulisan berbicara mengenai kesalahan penalaran yang dilakukan Marzuki Ali tentang perilaku tidak sopan dan etis beberapa anggota DPR-RI (Marzuki Ali, Etika dan Moral Anggota Dewan, Kompasiana, 27 Februari 2011). Sementara itu, tulisan lainnya mengomentari MUI Jawa Barat yang melarang kunjungan Miss Universe 2011 ke bumi Parahayangan (Miss Universe 2011 Dilarang ke Jawa Barat?, Kompasiana, 7 Oktober 2011). Kedua refleksi kritis dan filosofis tersebut dapat menjadi materi yang baik untuk mengantar dan memperkenalkan buku Critical Thinking: Membangun Pemikiran Logis (Sinar Harapan, Jakarta: 2012). Bagian pertama dari resensi ini akan merefleksikan kesesatan berpikir di ruang publik sebagaimana direpresentasikan secara terbatas oleh kedua tulisan tersebut. Bagian ini membantu saya mengantar sekaligus menunjukkan pentingnya mempelajari critical thinking sebagai disiplin dan keterampilan berpikir kritis. Kesesatan Berpikir di Ranah Publik Berangkat dari pendapat Marzuki Ali bahwa anggota dewan tertentu kadang-kadang tidak sopan dan etis karena kegagalan pendidikan formal di sekolah, saya menulis: “Terlalu naif mengatakan bahwa pendidikan moral yang komprehensif (dalam pemahaman seorang Marzuki Ali adalah pendidikan etika dan moral berkesinambungan di sekolah, di rumah, dan di masyarakat) adalah kondisi niscaya atau jaminan perilaku bermoral. Distingsi sederhana dalam dunia filsafat mengenai ‘kondisi yang perlu’ (necessary condition) dan ‘kondisi memadai’ (sufficient condition) mengatakan bahwa pendidikan yang integral adalah ‘kondisi niscaya’ bagi perilaku moral. Di sini kita terpaksa sepakat dengan tradisi etika Sokrates yang memegang teguh prinsip, bahwa mengetahui yang baik adalah jaminan seseorang bertindak baik secara moral. Etika abad pertengahan yang peduli pada peran kehendak (will) dalam perilaku akan mengatakan bahwa mengetahui apa yang baik (melalui pendidikan, misalnya) tidak menjadi jaminan bagi tindakan moral. Semuanya sangat tergantung pada kehendak (will) atau lebih tepatnya ‘keberanian moral’ untuk mengeksekusi pengetahuan menjadi tindakan nyata. Dari sini kita belajar (terima kasih kepada etika abad pertengahan), bahwa pendidikan atau memiliki pengetahuan akan yang baik dan buruk secara moral bukanlah kondisi memadai bagi tindakan bermoral.” Harus diakui bahwa tulisan kedua yang mengomentari larangan kunjungan Miss Universe ke Jawa Barat lebih merupakan refleksi khas critical thinking. Menganalis pemberitaan di media massa tentang alasan pelarang itu, saya menyimpulkan bahwa MUI Jawa Barat mendasarkan pelarangan itu pada tiga argumen. Argumen pertama, kedatangan Miss Universe 2011 bertentangan dengan program Bandung sebagai kota agamis. Salah satu program itu menegaskan pentingnya mewujudkan Bandung bebas dari pornografi. Argumen kedua, kehadiran Leila Luliana Lopes selaku pemenang Miss Universe 2011 merupakan bentuk
persetujuan pemerintah terhadap pornografi. MUI Jawa Barat berpendapat, “Proses pemilihan Miss Universe itu sendiri saja sudah menginjak martabat perempuan. Setiap bagian tubuh, termasuk alat vital juga diukur.” Argumen ketiga, kehadiran Miss Universe akan berdampak buruk pada remaja Bandung. Konon para remaja Bandung belum mampu memilah kelebihan ratu sejagat, yakni kecerdasan, perilaku, dan kecantikan. Remaja cenderung meniru kelebihan fisik saja, memamerkan bagian tubuh tertentu dengan berpakaian serba minim. Bertolak dari pentingnya memiliki critical thinking dalam memproses setiap pengetahuan, saya mengajukan tiga argumen kontra terhadap argumen-argumen di atas. Argumen kontra pertama, MUI Jawa Barat mendasarkan diri pada premis bahwa “segala hal yang bermuatan pornografi tidak diizinkan masuk kota Bandung.” Miss Universe 2011 (Leila Luliana Lopes) dilarang masuk Kota Bandung. Jadi, Miss Universe mengandung atau setidak-tidaknya dikategorikan pornografi. Cara berpikir demikian dapat menyesatkan. Apa yang MUI Jawa Barat maksudkan sebagai ”mengandung pornografi”, dan jika itu dikenakan pada diri Miss Universe 2011, apa alasannya? Jika itu dikaitkan dengan proses pemilihan Ratu Sejagat yang katanya ”Setiap bagian tubuh, termasuk alat vital juga diukur”, harus dikatakan bahwa kejadian itu adalah post factum di belahan dunia lain. Bagaimana sesuatu yang telah terjadi, apalagi di negara lain, masih diingat sebagai pornografi (tepatnya pornoaksi), padahal pornoaksi per definisi – ”tindakan vulgar yang membangkitkan birahi” – seharusnya merupakan tindakan aktual (actus), saat ini, di sini, di hadapan kita? Dengan kata lain, ketika Miss Universe 2011 (Leila Luliana Lopes) tampil di hadapan kita sekarang dan tidak beraksi dengan tujuan membangkitkan birahi, dia tidak bisa dikategorikan sebagai mengandung atau menyebabkan pornografi. Tampaknya orang yang mengatakan ini telah menyaksikan dan menonton proses pemilihan Ratu Sejagat sehingga dia berani menyimpulkan, ”Setiap bagian tubuh, termasuk alat vital juga diukur”. Itu artinya, ketika ada kesempatan bertemu Miss Universe 2011 (Leila Luliana Lopes) saat ini, dia membangkitkan kembali ingatannya tentang proses pemilihan Ratu Sejagat beberapa waktu lalu di mana dia melihat bagaimana setiap bagian tubuh perempuan diukur, termasuk bagian tubuh Leila Luliana Lopes. Saya khawatir, yang membangkitkan birahi dan dikategorikan porno saat ini bukanlah Leila Luliana Lopes (asal dia memang tidak berbikini di muka umum), tetapi justru orang itu sendiri yang membiarkan dirinya ”dibirahikan” (to be seduced) oleh penampilan Leila Luliana beberapa waktu lalu di negeri orang (post factum). Argumen kontra kedua, posisi argumen kedua di atas juga tidak luput dari kesesatan berpikir. Mengatakan bahwa kehadiran Miss Universe 2011 adalah bentuk persetujuan pemerintah terhadap pornografi mengandung loncatan berpikir. Cara berpikir seperti itu dapat dikembalikan ke pernyataan-pernyataan berikut. (1) pemerintah (Jawa Barat) punya program mewujudkan Jawa Barat sebagai kota agamis. (2) Salah satu indikator kota agamis adalah bebas dari pornografi. (3) Sekarang pemerintah mengizinkan Miss Universe mengunjungi Jawa Barat demi mempromosikan pariwisata Bumi Priangan. (4) Padahal Leila Luliana Lopes ”mengandung” atau ”menyebabkan” pornografi (atau tepatnya pornoaksi). (5) Kesimpulannya, “Pemerintah menyetujui pornografi.” Dihubungkan dengan kritik terhadap argumen pertama di atas, poin nomor 4 masuk dalam kategori epistemologi yang disebut ”keyakinan yang tak-terbuktikan” (ujustified belief), karena
unsur ”mengandung” atau ”menyebabkan” pornoaksi adalah post factum, bukan aktus (bukan tindakan saat ini). Ada dua kesalahan dalam menalar dan menarik kesimpulan semacam ini. Pertama, menyimpulkan sesuatu berdasarkan ”keyakinan yang tak terbuktikan” tidak pernah bisa benar. Kita belajar dari epistemologi bahwa keyakinan yang tak-terbuktikan dan keyakinan yang terbuktikan (justified true belief) sama-sama dapat salah sebagai dasar dalam menarik kesimpulan karena tidak menyertakan verifikator (pembukti). Kedua, memaksakan unsur ke-4 – ”Padahal Leila Luliana Lopes ’mengandung’ atau ’menyebabkan’ pornografi (atau tepatnya pornoaksi)” – sama saja dengan menarik kesimpulan berdasarkan kesesatan argumentum ad hominem (argumen yang menyerang pribadi atau orang), dan itu, jika tidak hati-hati, dapat mengarah ke fitnah. Argumen kontra ketiga, menurut saya, argumen ketiga di atas pun mengandung kelemahan dan kesesatan berpikir. Kekhawatiran MUI Jawa Barat itu berlebihan, lagi-lagi karena pornoaksi yang dikhawatirkan itu bersifat post factum. Kalau pun remaja putri Jawa Barat tidak berhasil meniru unsur kecerdasan dan perilaku, argumen bahwa ”meniru kelebihan fisik saja” sebagai akibat dari kedatangan atau ketokohan Leila Luliana Lopes tampak berlebihan (hyperbolic). Lagi-lagi ini mengandaikan semua pihak setuju bahwa Leila Luliana Lopes ”mengandung” atau ”menyebabkan” pornoaksi – hal yang sudah ditolak di atas. Kalau pun ini benar, prasyarat yang dirujuk untuk membangun argumentasi ini memang memenuhi unsur necessary dalam hukum berpikir, tetapi gagal memenuhi unsur ”memadai” (sufficient). Supaya memadai, kondisi bahwa Leila Luliana Lopes melakukan pornoaksi haruslah merupakan justified true belief yang telah terverifikasi sebagai benar, jadi tanpa kehadiran ”penakluk” (no-defeater condition) dalam arti tanpa ada argumentasi sebaliknya yang membuktikan argumen kita sebagai salah. Critical Thinking Sebagai Keterampilan Kedua contoh tulisan yang saya sebutkan di atas secara tidak langsung menekankan pentingnya mempelajari critical thinking. Bagi saya, critical thinking sebagai keterampilan berpikir kritis, memampukan seseorang mengambil jarak terhadap realitas, mempertanyakannya, dan mengajukan alternatif pemahaman yang lebih rasional dan universal, tentu berdasarkan kaidahkaidah berpikir kritis, logis, dan filosofis. Pertanyaan klasik dapat diajukan di sini, “Mengapa mempelajari critical thinking?” Definisi critical thinking dapat membantu menjawab pertanyaan ini, dan itu juga yang dilakukan Kasdin Sihotang dan kawan-kawan dalam buku mereka (lihat 2– 8). Poin paling penting dalam definisi tersebut adalah penekanan critical thinking sebagai keterampilan. Itu artinya kuliah atau pembelajaran critical thinking harus sanggup membentuk kemampuan berpikir kritis, dan bukan sekadar menghafal definisi logika, menyebutkan kesesatan berpikir, atau menjelaskan proses berpikir induktif dan deduktif. Critical thinking harus sanggup menjadi seni berpikir, membantu seseorang memahami hubungan logis antarberbagai gagasan, mengidentifikasi, menyusun, dan menilai argumentasi, mendeteksi inkonsistensi dan kesalahankesalahan yang biasanya dilakukan dalam penalaran, memecahkan problem berpikir secara sistematis, mengidentifikasi gagasan-gagasan yang relevan dan penting, dan merefleksikan nilai serta keyakinan diri yang menjadi dasar atau penjustifikasi penarikan kesimpulan. Asosiasi Filsafat Amerika (American Philosophical Association), misalnya, menaruh harapan besar pada pembelajaran Critical Thinking sebagai medium mencapai pribadi dan masyarakat yang kritis. Sebagaimana dikutip dari buku karangan Dr. Peter A. Facione (Critical Thinking: A
Statement of Expert Concensus for Purpose of Educational Assessment and Instruction, 1990), Asosiasi Filsafat Amerika mengambil posisi ini: “Kami memahami pemikiran kritis sebagai yang memiliki tujuan mulia, yakni menilai putusan, menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi kesimpulan, serta menjelaskan bukti-bukti yang mendukungnya, mengurai konsep, membongkar metodologi berpikir, dan mempertimbangkan konteks atas mana penilaian atau penyimpulan mendasarkan dirinya. Critical Thinking (CT) sangat penting sebagai alat penyelidikan ketepatan berpikir. Demikianlah, CT adalah kekuatan pembebas bagi pendidikan dan sumber daya yang kuat dalam kehidupan seseorang sebagai pribadi maupun kemasyarakatan. CT adalah fenomena khas manusia yang sanggup merefleksikan diri dan memperbaiki kesalahan-kesalahan berpikirnya. Para pemikir kritis adalah mereka yang memiliki kebiasaan (habit) ingin tahu, mencari informasi yang andal, berpikiran terbuka, fleksibel, jujur dalam menilai, jujur dalam menghadapi bias pribadi, bijaksana dalam membuat penilaian, bersedia mempertimbangkan kembali pikiran-pikirannya, memiliki posisi yang jelas dalam membincangkan suatu isu, tertib dan teratur dalam membangun gagasan yang kompleks, rajin mencari informasi yang relevan, wajar dalam pemilihan kriteria, fokus dalam penyelidikan, dan gigih dalam mencari hasil yang tepat, dan sebagainya. Demikianlah, mendidik orang untuk berpikir kritis berarti berusaha mewujudkan cita-cita luhur ini.” Tampak jelas bahwa beban yang dipikul pendidikan critical thinking cukuplah berat. Menilik struktur buku yang ditulis Kasdin Sihotang, dkk, setelah membahas definisi dan manfaat mempelajari critical thinking (bab 1, hlm. 1–29 ), para penulis langsung masuk dan membahas kesesatan berpikir (bab 2, hlm. 31–55). Mengidentifikasi argumen dan kesalahan-kesalahan yang lazim terdapat dalam argumen adalah inti pembahasan bab 3 buku ini (hlm. 57–72). Materi bab 5-8 (hlm. 93–161) lebih merupakan inti atau perangkat keras dari pendidikan berpikir kritis. Di situlah orang belajar penalaran, penyimpulan dan kesalahan-kesalahan yang lazim dalam penalaran (bab 5, hlm. 93–108), deduksi (bab 6, hlm. 109–14) dan induksi (bab 7, hlm. 125– 146). Bab terakhir buku ini (hlm. 147-161) merupakan upaya mengaplikasikan pemikiran kritis dalam menulis karangan. Secara teori, materi-materi ini cukup lengkap mewujudkan apa yang dicita-citakan pembelajaran critical thinking itu sendiri. Tiga Catatan Sejauh kita terima posisi bahwa pembelajaran critical thinking adalah sebuah keterampilan, tiga catatan berikut dapat diberikan demi penyempurnaan buku ini. Pertama, tidak ada jaminan bahwa setelah mempelajari buku ini seseorang langsung menjadi pemikir yang rasonal dan kritis. Menghindari kebiasaan mahasiswa yang hanya menghafal kesalahan definisi dan pengertian tanpa mengaplikasikannya, perlu dipikirkan latihan atau kegiatan yang “memaksa” mahasiswa mengaplikasikan pengetahuan critical thinking yang telah mereka pelajari. Untuk itu dibutuhkan metodologi atau cara berpikir logis sebagai semacam alat yang mengoperasikan teori atau pengetahuan critical thinking tersebut. Alat atau metodologi itu sudah ada dalam buku ini, hanya saja kurang dimaksimalkan (lihat halaman tentang langkah-langkah berpikir kritis, hlm. 7–8). Kedua, jika kemampuan menulis karangan dijadikan sebagai salah satu Learning Objectives, sebaiknya itu sudah diintroduksi dari awal, misalnya memasukannya sebagai pengganti “permainan logika” di bab 1 yang sebenarnya tidak memiliki relevansi langsung dengan pembelajaran critical thinking. Bagi saya, mahasiswa dapat dilatih menulis karangan pendek
(opini) setelah bab 5, karena pengetahuan mereka mengenai argumen, penalaran, dan kesesatan berpikir cukup memadai. Jika menulis opini masih menjadi hal yang sulit, beberapa terobosan dapat dilakukan dosen, misalnya menulis karangan sebagai tanggapan terhadap karangan orang lain, membandingkan beberapa karangan opini, dan sebagainya. Mahasiswa umumnya terjebak dalam hal-hal teknis seperti langkah-langkah berargumentasi yang baik atau logika pemecahan masalah (isu, kontra isu atau kontra argumen, dan pemecahan masalah). Dan ini akan nampak dalam karangan mereka lebih sebagai upaya mendeskripsikan langkah-langkah berargumentasi, dan bukan menulis karangan dalam artinya yang sebenarnya. Tentu ini merupakan langkah awal yang tidak bisa diabaikan. Tujuan akhir yang harus dicapai adalah kemampuan bernalar atau menulis karangan di mana teknik dan langkah-langkah argumentasi dioperasikan hanya sebagai panduan yang selain tak kelihatan, juga tidak kaku langkah demi langkah. Ketiga, metode deduksi dan induksi (bab 6 dan 7) seharusnya mempersiapkan mahasiswa untuk menulis paper atau skripsi. Karena itu, akan menjadi menarik jika materi deduksi dan induksi dilengkapi juga dengan metodologi kajian teori yang de facto menjadi salah satu unsur penting dalam penelitian, penuisan paper, atau skripsi. Itu artinya mahasiswa bisa diajarkan untuk melokalisir masalah yang ingin mereka pecahkan dalam paper dengan rujukan atau referensinya yang tepat pada penilitian dan/atau pendapat orang lain di jurnal maupun buku. Konsekuensinya, pengetahuan tentang googe scholar, pubmed, atau fasilitas pencari data di AtmaLib seperti SpiringerLink, J-Store, ProQuest, Aptik Digital Library, dan semacamnya seharusnya ikut diperkenalkan. Semua ini menuntut kreativitas dosen dalam mengajar yang tentu tidak bisa dipisahkan dari ketersediaan waktu dan kesejahteraan. Sulit mengharapkan dosen yang kreatif dan berdedikasi tinggi ketika nyaris seluruh waktunya digunakan untuk mengajar supaya bisa memperoleh penghasilan yang memadai. Tampaknya ini juga sebuah masalah yang harus dipecahkan, tidak hanya dalam rangka pembelajaran critical thinking, tetapi juga mata kuliah-mata kuliah lainnya yang dikelola MPK di lingkungan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.[]