Makalah Aspek Psikososial Pada Anak Dengan Enuresis.docx

  • Uploaded by: Nada Heni Winari
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Aspek Psikososial Pada Anak Dengan Enuresis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,880
  • Pages: 9
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, tak lupa shalawat serta salam kepada Nabi besar junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW, dan semoga keberkahan selalu tercurahkan untuk kita, karena atas berkat dan rahmatNya lah makalah ini dapat terselesaikan, serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian kepenulisan makalah ini. Melalui

makalah

ini,

kita

dapat

mengetahui

dan

memahami

tentang Aspek Psikososial yang berpengaruh pada anak dengan Enuresis. Pembuatan makalah ini menggunakan metode kepustakaan, serta data penulis peroleh dari beberapa sumber dan pemikiran yang penulis gabungkan sehingga menjadi sebuah makalah. Penulis menyadari akan kelemahan dan kekurangan dari makalah ini oleh sebab itu, penulis membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, agar kedepan penulis bisa menulis lebih baik lagi dalam pembuatan makalah baik secara kepenulisan dan penyajiannya.

Jakarta, 18 Oktober 2016

Penulis

1

I. PENDAHULUAN Kesehatan anak mencakup pertumbuhan dan perkembangan anak, pengaruh bermain terhadap tumbuh kembang anak, komunikasi pada anak dan orang tua, anticipatory guidance dan toilet training, imunisasi pada anak, kebutuhan nutrisi pada anak, serta dampak hospitalisasi pada anak dan orang tua (Supartini, 2010). Di Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30 % dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional diperkirakan jumlah balita yang mengontrol BAB dan BAK di usia toddler mencapai 75 juta anak. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui aspek psikososial dengan kejadian enuresis pada anak usia toddler (1-3 tahun). A. Latar Belakang Pertumbuhan ditandai dengan perubahan ukuran bagian badan anak, yaitu dari kecil menjadi besar. Sedangkan perkembangan ditandai oleh perubahan kemampuan, yaitu dari pengetahuan yang terbatas pada waktu lahir menjadi kaya akan kemampuan, seperti berjalan, berlari, tersenyum, berbicara, belajar, dan bergaul di kemudian hari. Didalam mempelajari proses perkembangan manusia dengan tugas-tugas perkembangannya kita harus memahami dengan baik istilah seperti ; belajar dan kematangan. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang diperoleh dengan latihan atas dasar kematangan dari orang yang sedang belajar itu. Dan kematangan adalah kelengkapan dari pertumbuhan dan perkembangan fungsi-fungsi badan dan mental sehingga seseorang dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Mental adalah mengenai keadaan psikologis, yaitu mencakup pikiran, status emosional dan perilaku. Enuresis atau yang lebih kita kenal sehari-hari dengan istilah “mengompol”, sudah tidak terdengar asing bagi kita khususnya di kalangan orang tua yang sudah memiliki anak. Enuresis telah menjadi salah satu “momok” yang sering dihadapi dalam hal ini para ibu yang telah mempunyai anak, terutama yang anak yang berusia antara 4-6 tahun. Dalam kasus ini tidak jarang pula usia di atas 6 tahun masih mengalami enuresis ini.

2

Kejadian tertinggi dari enuresis nokturnal pada populasi anak prasekolah yaitu 15-20%, menurun menjadi 5-10% pada anak usia 6-7 tahun, dan menetap 0,5% pada dewasa. Enuresis lebih sering terjadi pada anak laki-laki (60%) dibanding anak perempuan, anak dari golongan sosial ekonomi rendah, anak dengan hambatan sosial atau psikologis dalam periode perkembangan antara umur 2-4 tahun pertama kehidupan, latar pendidikan orang tua yang rendah, toilet training yang tidak adekuat, dan merupakan anak pertama. B. Rumusan Masalah 1. Apa saja aspek psikososial yang berpengaruh pada anak dengan anuresis? C. Tujuan Di dalam penulisan makalah ini tujuannya adalah: 1. Memberi pemahaman tentang aspek psikososial yang berpengaruh pada anak dengan enuresis

3

II. ISI A. Definisi Kata enuresis berasal dari bahasa Yunani yang berarti “membuat air”. Istilah ini digunakan sebagai istilah medis untuk mengompol, baik saat malam hari (nokturnal) maupun siang hari (diurnal). Enuresis adalah gangguan eliminasi yang melibatkan rilis urin ke selimut, pakaian, atau tempat yang tidak pantas lainnya. Mengompol pada malam hari (enuresis nokturnal) lebih sering terjadi daripada siang hari (enuresis diurnal). Istilah enuresis saat tidur malam hari atau yang sering disebut primary nocturnal enuresis (PNE) atau enuresis nokturnal merupakan kondisi dimana anak yang sudah mampu menahan kencing saat belum bisa tidur, namun mengompol saat tertidur. Nokturnal adalah buang air kecil berlebihan pada malam hari yang diakibatkan oleh faktor-faktor seperti jumlah makanan/cairan yang dikonsumsi sebelum tidur berlebihan. Kapasitas fungsional kandung kemih yang rendah sering dikaitkan dengan banyaknya pengeluaran urin pada malam hari. Hal ini terjadi karena anak yang mengalami masalah enuresis memiliki volume kandung kemih nokturnal yang lebih kecil. Toddler adalah anak antara rentang usia 12 sampai 36 bulan atau anak usia 1 – 3 tahun. Toddler tersebut ditandai dengan peningkatan kemandirian yang diperkuat dengan kemampuan mobilitas fisik dan kognitif lebih besar. B. Landasan Teori Anak sebagai generasi unggul pada dasarnya tidak akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Suatu perjalanan yang harus dilalui seorang anak adalah tumbuh kembang. Pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik sedangkan perkembangan merupakan segala perubahan yang terjadi pada anak baik secara kognitif, emosi maupun psikososial, untuk dapat berkembang dengan optimal anak memerlukan lingkungan yang kondusif dan orang tua juga mempunyai peranan penting (Mulyadi, 2004). Pada masa toddler (1-3 tahun) biasanya akan muncul masalah utama yang akan dihadapi orang tua adalah; sibling rivalry (persaingan antar saudara kandung), temper tantrum (perasaan marah pada anak), negativistik, toilet training, enuresis (ngompol). Adapun dari kelima permasalahan di atas, permasalahan yang paling sering terjadi adalah ngompol (enuresis) karena sejalan dengan anak

4

mampu berjalan maka kemampuan sfingter uretra dan sfingter ani sudah mulai berkembang untuk mengontrol rasa ingin berkemih dan defekasi (Wong, 2008). Di Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30 % dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional diperkirakan jumlah balita yang mengontrol BAB dan BAK di usia toddler mencapai 75 juta anak. Fenomena ini dipicu karena banyak hal seperti, pengetahuan ibu yang kurang tentang cara melatih BAB dan BAK, pemakaian popok sekali pakai(PEMPRES), hadirnya saudara baru dan masih banyak lainnya (Riblat, 2009). C. Ulasan Materi Pengkajian psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika akan melakukan buang air seperti anak tidak rewel dan tidak menangis sewaktu buang air, ekspresi wajah menunjukkan kegembiraan dan ingin melakukan secara sendiri, anak sabar dan sudah mau ke toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa rewel saat meninggalkannya, adanya keingintahuan kebiasaan toilet training pada orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi

untuk

menyenangkan pada orang tuanya (Hidayat, 2012). Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua apabila sering memarahi anak pada saat buang air besar atau kecil, atau melarang anak saat bepergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian ekspresif dimana anak lebih tega, cendrung ceroboh , suka membuat gara-gara, emosional, dan seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Selain ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami deuresis seperti, faktor genetik, gangguan tidur (deep sleep), gangguan hormon antideuretik (ADH), kelainan anatomi, gangguan neurologis, dan penyakit gangguan sistem perkemihan, faktor psikososial juga akan mempengaruhi anak yang mengalami deuresis. Aspek psikososial ini ditandai dengan: 1. Faktor sosial ekonomi Status sosial ekonomi yang rendah mempengaruhi pola pertumbuhan anak, kurangnya perhatian orang tua terhadap tumbuh kembang pada anak

5

mengakibatkan perkembangan pada usia todler menjadi terganggu untuk proses kematangan. Anak dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah cenderung akan mudah mengalami enuresis karena adanya tekanan pada psikologi anak seperti perceraian orang tua (Broken Home), pertengkaran orang tua, kematian orang tua, kelahiran saudara kandung. 2. Faktor hambatan sosial / psikologis Suwardi (2000) menyatakan bahwa enuresis pada seorang anak disebabkan tidak hanya oleh satu faktor saja. Misalnya, enuresis yang dianggap sebagai akibat hambatan perkembangan fungsional kandung kemih dapat diprovokasi oleh kelainan lokal atau masalah psikologik. Menurut Mackonochief (2009) kemampuan psikologi anak mampu melakukan toilet training sebagai berikut ; anak tampak kooperatif, anak memiliki waktu kering periode 3-4 jam, anak buang air dalam jumlah yang banyak, anak sudah menunjukkan keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil dan waktu untuk buang air sudah dapat diperkirakan dan teratur. Jika telah dilakukan toilet training pada anak tetapi anak masih mengalami keterlambatan dalam pemahaman, maka anak mengalami hambatan dalam perkembangan secara psikologis, dimana tidak tercapainya tugas perkembangan pada waktu yang ditentukan. Efek dari terjadinya hambatan dalam perkembangan ini sangat luas, tidak hanya berpengaruh pada pencapaian aktualisasi diri karena ada type hambatan perkembangan yang menyebabkan learning disabilities tetapi juga berpengaruh secara sosial di mana individu tidak dapat menjadi orang yang diinginkan baik fisik maupun psikologis, salah satunya dapat menyebabkan enuresis pada anak. 3. Latar pendidikan orang tua Notoatmodjo (2007) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan faktor penting terbentuknya pengetahuan seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah pula untuk memahami dan menyerap pengetahuan. Pernyataan tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Gilbert (2011) bahwa Tingkat pendidikan orang tua turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Dari

6

pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang lebih tanggap adanya masalah perkembangan anak salah satunya penerapan toilet training di dalam keluarganya. 4. Toilet training yang tidak adekuat Menurut Mackonochief (2009) kemampuan psikologi anak mampu melakukan toilet training sebagai berikut ; anak tampak kooperatif, anak memiliki waktu kering periode 3-4 jam, anak buang air dalam jumlah yang banyak, anak sudah menunjukkan keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil dan waktu untuk buang air sudah dapat diperkirakan dan teratur. Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak atau cendrung bersifat retentive dimana anak cendrung bersikap retentife dimana anak cendrung bersikap keras kepala bahkan kikir. Indikator-indikator yang mendukung toilet training pada faktor psikologi antara lain; dapat jongkok dan berdiri di toilet selama 5-10 menit tanpa berdiri dulu, mempunyai rasa ingin tahu dan rasa penasaran terhadap kebiasaan orang dewasa dalam buang air kecil dan buang air besar, dan merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya benda padat dicelana dan ingin segera ganti (Mackonochi, 2009). Maka disini dituntut kesabaran orang tua dalam melatih anak dalam masa toddler untuk belajar berkemih, sehingga toilet training yang diajarkan orang tua terhadap anak menjadi maksimal, jika orang tua tidak sabar dalam menghadapi prilaku anak dalam BAK atau BAB maka toilet training akan tidak adekuat. 5. Anak pertama Anak pertama menjadi salah satu aspek psikososial penyebab anak mengalami enuresis, karena kurangnya informasi dan pengalaman orang tua dalam menangani anak pada masa toddler. Orang tua akan lebih cenderung membiarkan anak berkemih secara alami tanpa adanya toilet training, yang menjadikan kontrol anak pada BAK menjadi tidak baik, sehingga anak mudah mengalami enuresis.

7

III. PENUTUP

KESIMPULAN Kejadian tertinggi dari enuresis nokturnal pada populasi anak prasekolah yaitu 15-20%, menurun menjadi 5-10% pada anak usia 6-7 tahun, dan menetap 0,5% pada dewasa. Enuresis lebih sering terjadi pada anak laki-laki (60%) dibanding anak perempuan, anak dari golongan sosial ekonomi rendah, anak dengan hambatan sosial atau psikologis dalam periode perkembangan antara umur 2-4 tahun pertama kehidupan, latar pendidikan orang tua yang rendah, toilet training yang tidak adekuat, dan merupakan anak pertama.

SARAN Diharapkan orang tua adapat memberikan dukungan kepada anak untuk mengajarkan cara buang air yang baik sehingga dapat mengurangi atau menghentikan kebiasaan mengompol pada anak toddler. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan contoh ataupun dengan menmberikan pujian sehingga anak termotivasi untuk melakukan buang air yang baik dan pada tempatnya.

8

DAFTAR PUSTAKA Evi Nur Faidah, 2008. Hubungan Antara Persepsi dan Tingkat Pengetahuan Terhadap Sikap Ibu Tentang Toilet Training Pada Anak Usia 1-3 Tahun di Wilayah

Kelurahan

Kampung

Sewu

Jebres

Surakarta.

http://etd.eprints.ums.ac.id/4447/1/J210060098.pdf. diakses tanggal 16 November 2016 Robiatul Adawiyah, 2016. Hubungan Kesiapan psikologis Dengan Enuresis Pada Anak di Wilayah Dusun Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia. http://www.untb.ac.id.pdf. ISSN No. 2355-9292. diakses tanggal 20 Oktober 2016 Nursalam. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika Gilbert, Jane. 2005. Seri Praktis : Latihan Toilet. Jakarta : Erlangga. Hurlock, Elizabeth. 1999. Perkembangan anak jilid 2. Jakarta: Erlangga

9

Related Documents


More Documents from "Rangga Prabu Pradana"