Makalah Asma Fix.docx

  • Uploaded by: Dewi Sekar Ayu
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Asma Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,956
  • Pages: 32
ASMA Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kulih Farmakoterapi dan Terminologi Medik Dosen Pengampu : Dr. Sri Haryanti, M.Si., Apt.

Disusun oleh : 1. Anggita 2. Dewi Sekar Ayu

1061822010

3. Galuh Ayu M P

1061822016

4. Hogi Noni Saputro

1061821018

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI” SEMARANG 2018

BAB I PENDAHULUAN

Asma merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan kronis yang ditandai dengan gejala seperti batuk, nafas berbunyi (mengi), dan sulit bernafas. Asma mengurangi kualitas hidup seseorang. Asma merupakan reaksi imunologi dan disebabkan oleh berbagai macam bahan pencetus termasuk alergen. Allergen merupakan lingkungan yang berpotensi sebagai faktor pencetus terjadinya asma dan penentu pentingnya dari keparahan asma. Lingkungan dalam meliputi lingkungan asap rokok, allergen dari bulu hewan, debu, kecoa, hewan pengerat, udara dingin, dan olahraga (Kimberly, N., dkk. 2010). Penderita asma ringan dan periodik tidak menyadari mengidap asma dan menduganya sebagai penyakit pernapasan lain atau batuk biasa. Gangguan batuk dan sesak dialami bila ada rangsangan seperti angin malam yang dingin, flu atau iritasi bahan polutif seperti rokok atau asap hingga diduganya semata-mata terjadi akibat rangsangan tersebut. Pemikiran timbul bila napas telah berbunyi atau mengi dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Padahal pada saat tersebut mungkin telah terdapat gangguan lanjut berupa emfisema yang merupakan gangguan faal paru hingga perlu menggunakan obat asma secara kontinyu. Saat ini penyakit asma meunjukkan prevelensi yang tinggi. Berdasarkan data dari WHO (2002) dan Global Initative for Astma (GINA) (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 deperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat saja leih besar. Menurut GINA (2011) bahwa data dari berbagai Negara menunjukkan bahwa prevelensi penyakit asma berkisar antara 1-18% (Kemenkes RI, 2017) Gejala asma yang paling umum adalah batuk. Batuk umumnya terjadi di malam hari, dini hari, saat cuaca dingin, dan saat beraktivitas fisik. Nafas terdengar seperti peluit juga kesulitan bernafas. Gejala asma berlangsung antara 23 hari atau bahkan lebih. Setelah serangan asma membaik, penderita asma akan membutuhkan pereda serangan 3-4 kali per hari hingga batuk dan mengi hilang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asma Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Ikawati Z. 2011 : 104). Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma (Busse, WW dan Lemanske, R.F., 2001). Masuknya allergen akan mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran nafas. Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Histamin dan leukotrien dilepaskan oleh basofil maupun sel mast dan akan menimbulkan gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala pada saluran nafas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin, dan rinorhea. Sedangkan gejala pada saluran nafas bawah meliputi bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar mucus, sesak nafas, batuk dan mengi (Peter, H., 1998).

Gambar 1. Kondisi saluran napas pada orang sehat

Gambar 2. Kondisi saluran napas pada penderita asma.

2.2 Klasifikasi Asma Berdasarkan tingkat keparahannya, asma dapat dibedakan menjadi yaitu : a. Asma intermitten Asma ini muncul gejala kurang dari 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam beberapa jam atau hari, gejala asma pada malam hari kurang dari 2 kali dalam 1 bulan. Fungsi paru-paru normal dan asimtomatik diantara waktu serangan, Peak Expiratory Flow (PEF) dan Forced Expiratory Value in 1 second (PEV1) lebih dari 80%. b. Asma persisten ringan Gejala muncul lebih dari 1 kali dalam seminggu tetapi kurang dari 1 kali sehari dalam sehari, eksersebasi mengganggu aktivitas tidur, gejala asma malam hari terjadi lebih dari 2 kali dalam sebulan, PEF dan PEV1 lebih dari 80%. c. Asma persisten sedang Gejala muncul setiap hari , eksaserbasi mengganggu aktivitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi lebih dari 1 kali dalam seminggu, menggunakan inhalasi beta 2 agonis kerja cepat dalam keseharian, PEF dan PEV1 lebih dari 60% dan kurang dari 80%.

d. Asma persisten berat (severe)

Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma malam hari sering terjadi, aktivitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan PEV1 kurang dari 60% (ISFI, 2002 : 440). 2.3 Etiologi asma Asma yang terjadi pada anak-anak sangat erat kaitannya dengan alergi. Kurang lebih 80% pasien asma memiliki alergi. Asma yang muncul pada saat dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti : adanya sinusitis, polip hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS) atau mendapatkan picuan ditempat kerja (Ikawati Z. 2011 : 106). Serangan asma disebabkan oleh peradangan steril kronis dari saluran napas dengan mastcells dan granulosit eosinofil sebagai pemeran penting. Pada orang-orang yang peka terjadi obstruksi saluran napas yang reversible. Disamping itu pula terjadi hiperaktivitas bronki terhadap berbagai stimuli spesifik yang dapat memicu serangan asma. Stimuli tersebut diantaranya berupa:  Rangsangan fisik; perubahan suhu, dingin, dan kabut  Rangsangan kimiawi; polusi udara, gas-gas pembuang, sulfurdioksida, ozon, asap rokok  Rangsangan biologis; exertion, hiperventilasi.  Rangsangan farmakologis; histamin, serotonin, NSAIDs, dan obat-obat lain yang dapat membebaskan histamin (histamin liberator) seperti morfin, kodein, klordiazepoksida, dan polimiksin. (Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007: 639) 2.4 PATOFISIOLOGI ASMA Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain allergen, virus dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Secara klasik asma dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan faktor pemicunya yaitu asma ekstrinsik atau alergik dan asma intrinsik atau idiosinkratik. Asma ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan karena menghirup allergen yang biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit alergi (eksim, utikaria atau hay fever). Asma intrinsik mengacu pada asma yang disebabkan karena faktor diluar mekanisme imunitas dan umumnya dijumpai pada

orang dewasa. Beberapa faktor yang memicu terjadinya asma intrinsik antara lain udara dingin, obat-obatan, stress, dan olahraga (Ikawati Z. 2011 : 109). Serangan asma yang tiba-tiba disebabkan oleh faktor yang diketahui atau tidak diketahui, faktor-faktor tersebut meliputi terpapar allergen, infeksi, polutan, stress, obat-obatan dan lain-lain yang dapat merangsang inflamasi akut atau konstriksi bronkus. Terjadinya inflamasi akan menyebabkan terlepasnya mediator kimia seperti histamin, bradikinin, anaflatoxin, prostaglandin, dll yang menyebabkan terjadinya : 1. Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan berkontraksi atau memendek 2. Produksi kelenjar lendir yang berlebihan 3. Peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat menyebabkan edema mukosa, hipersekresi dan kontraksi otot polos

(Ikawati Z. 2007 : 46)

Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas. Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara napas yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas yang sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat mengeluarkan napas. Berikut adalah perbandingan kondisi saluran udara di paru-paru pada manusia normal, penderita asma, dan pada kasus serangan asma akut:

Keterangan a. Kondisi saluran udara di paru-paru pada manusia normal b. Kondisi saluran darah di paru-paru pada penderita asma c. Kondisi saluran udara di paru-paru pada serangan asma akut Dari gambar diatas terlihat bahwa pada penderita asma mengalami penyempitan pada saluran udara di paru-paru sehingga menimbulkan rasa sesak nafas dan penyumbatan akibat hipersekresi mukus pada saat timbulnya serangan asma akut (Willows Outreach Team, 2009:1). Asma terjadi pada individu tertentu yang berespons secara agresif terhadap berbagai jenis iritan dijalan napas. Faktor resiko untuk salah satu jenis gangguan hiperresponsif ini adalah riwayat asma atau alergi dalam keluarga, yang mengisyaratkan adanya kecenderungan genetik. Pejanan yang berulang atau terus-

menerus terhadap beberapa rangsangan iritan, kemungkinan pada masa penting perkembangan, juga dapat meningkatkan resiko penyakit ini. Meskipun kebanyakan kasus asma didiagnosis pada masa kanak-kanak, pada saat dewasa dapat menderita asma tanpa riwayat penyakit sebelumnya. Stimulasi pada asma awitan dewasa seringkali terjadi dikaitkan dengan riwayat alergi yang memburuk. Infeksi pernapasan atas yang berulang juga dapat memicu asma awitan dewasa, seperti yang dapat terjadi akibat pajanan okupasional terhadap debu dilingkungan kerja (Corwin, J.Elizabeth. 2007:565). Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin (Rengganis, Iris, 2011: 445). 2.5 Gejala

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan. Gejala awal berupa : batuk terutama pada malam atau dini hari , sesak napas , napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya, rasa berat di dada serta dahak sulit keluar (ISFI, 2002: 446). Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah: Serangan batuk yang hebat, Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal, Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk, Kesadaran menurun (ISFI, 2002: 446). 2.6 Diagnosis Asma Rangkaian pemerikasaan yang dilakukan untuk mendiagnosis penyakit asma, meliputi : a.

Anamnesis Anamnesis pada penderita asma sangatlah penting. Tujuannya selain menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga berguna untuk menyusun strategi pengobatan pada penderita asma. Pada anamnesis akan kita jumpai adanya keluhan seperti batuk, sesak, mengi dan rasa berat di dada yang timbul secara tiba-tiba dan hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Disamping itu, mungkin adanya riwayat alergi baik pada penderita maupun pada keluarganya, seperti rhinitis alergi, dermatitis atopic dapat membantu menegakkan diagnosa.

b.

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan

fisik

berguna

untuk

menegakkan

diagnose,

menyingkirkan diagnosis banding dan untuk mengetahui penyakit yang mungkin menyertai asma. Pemeriksaan fisik meliputi seluruh badan, mulai dari kepala sampai ke kaki. c.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan

penunjang

meliputi

pemeriksaan

radiologis, tes kulit, spirometri dan elektrokardiografi. 1.

Pemeriksaan Laboratorium

laboratorium,

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan sputum dan darah. Untuk pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya kristal-kristal charcot leyden (hasil degranulasi dari kristal eosinofil), spiral curshmann (sel cetakan dari cabang bronkus), creole (fragmen dari epitel bronkus), serta netrofil dan eosinofil yang bersifat sebagai mukoid dengan viskositas yang tinggi. Pemeriksaan darah meliputi analisa gas darah (terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis), peningkatan kadar SGOT dan LDH, Hiponatremia dan kadar leukosit diatas 15000/mm3 (adanya infeksi), pemeriksaan faktor alergi terjadi peningkatan dari igE pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan. 2.

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat gambaran radiologi pada

asma. Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paruparu yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis serta diafragma yang menurun. 3.

Pemeriksaan Tes Kulit Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai

allergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. 4.

Pemeriksaan Spirometri Pemeriksaan ini menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas yang

bersifat reversible, cara paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergic. Peningkatan FEV1 sebanyak 20% menunjukkan diagnosis asma. Pemeriksaan ini penting untuk menegakkan diagnosis asma. Selain itu juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. 5.

Pemeriksaan Elektrocardiografi Pemeriksaan

ini

dilakukan

untuk

mendapatkan

gambaran

elektrokardiografi yang terjadi selama serangan. Gambaran ini dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada

emfisema paru yaitu perubahan aksi jantung, terdapatnya tanda tanda hipertropi otot jantung, dan adanya tanda hipoksemia. 2.7 Penatalaksana Terapi Asma Tujuan

utama

penatalaksanaan

asma

adalah

meningkatkan

dan

mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma : 1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma 2. Mencegah eksaserbasi akut 3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin 4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise 5. Menghindari efek samping obat 6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel 7. Mencegah kematian karena asma (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007) Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila : 1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam 2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise 3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan) 4. Variasi harian APE kurang dari 20 % 5. Nilai APE normal atau mendekati normal 6. Efek samping obat minimal (tidak ada) 7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007)

2.8.1

Terapi non farmakologi

1. Edukasi pasien Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma. Edukasi

kepada

pasien/keluarga

bertujuan

untuk

meningkatkan

pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri) meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma mandiri) a. meningkatkan kepuasan b. meningkatkan rasa percaya diri c. meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri d. membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma e. Bentuk pemberian edukasi f. Komunikasi/nasehat saat berobat g. Ceramah h. Latihan/training i. Supervisi j. Diskusi k. Tukar menukar informasi (sharing of information group) l. Film/video presentasi m. Leaflet, brosur, buku bacaan ,dll. (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan

Alat Kesehatan, 2007) Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya meningkatkan kepatuhan pasien dilakukan dengan : a. Edukasi

dan

mendapatkan

persetujuan

pasien

untuk

setiap

tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien

b. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin kaitkan dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru). c. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien. d. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma. e. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien, sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret. f. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan. g. Mengajak

keterlibatan

keluarga.

Pertimbangkan

pengaruh

agama,

kepercayaan, budaya dan status sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan. (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007) 2. Pengukuran peak flow meter Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada : a. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah. b. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter. c. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa. (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007) Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu pengobatan seperti : a. Mengetahui apa yang membuat asma memburuk

b. Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik c. Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian obat d. Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD e. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus f. Pemberian oksigen g. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak h. Kontrol secara teratur i. Pola hidup sehat, Dapat dilakukan dengan : 

Penghentian merokok



Menghindari kegemukan



Kegiatan fisik misalnya senam asma

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007) 2.8.2

Terapi Farmakologi Menurut Joseph DiPiro pengobatan asma dibagi menjadi 2 yaitu pengobatan

asma akut dan pengobatan asma kronik. Pengobatan asma akut dapat dilakukan dengan cara pemberian inhalasi agonis β2, antikolinergik, dan kortikosteroid secara oral ataupun intravena. Untuk pengobatan asma kronik dilakukan pemberian inhalasi kortikosteriod sebagai pengobatan harian.

 Pengobatan Asma Akut Penilaian Awal Sejarah, Pemeriksaan Fisik (auskultasi, penggunaan otot , denyut jantung, tingkat pernapasan), PEF atau FEV1, saturasi oksigen, dan test lain.

PEF atau FEV1 >50% -Inhalasi agonis β2 -Oksigen untuk mencapai saturasi O2 ≥90% -Kortikosteroid oral (sistemik)

PEF atau FEV1 <50% (Eksaserbasi Berat) -Inhalasi agonis β2 dosis tinggi dan antikolinergik menggunakan nebulizer tiap 20 menit atau secara berkala tiap 1 jam. -Oksigen untuk mencapai saturasi O2 ≥90% -Kortikosteroid oral (sistemik)

Ulangi Penilaian Gejala, Pemeriksaan Fisik, PEF, Saturasi O2, dan tes lain.

Eksaserbasi Sedang (PEF atau FEV1 50-80%, Pemeriksaan Fisik: Gejala Sedang) -Inhalasi agonis β2 short acting tiap 60 menit -Kortikosteroid sistemik -Lanjutkan pengobatan 1-3 jam jika ada peningkatan

Respon Baik -PEF atau FEV1 ≥ 70% -Respon berkelanjutan 60 menit setelah pengobatan terakhir -Tidak ada gangguan -Pemeriksaan Fisik: Normal

Rawat Jalan -Lanjutkan Pengobatan dengan Inhalasi Agonis β2 -Lanjutkan Penggunaan Kortikosteroid Sistemik secara Oral -Pasien diberi pengetahuan tentang penggunaan obat

Berhentinya Pernapasan -Intubasi dan ventilasi mekanik dengan O2 100% -Nebulizer agonis β2 dan antikolinergik -Kortikosteroid intravena

Butuh Perawatan RS

Eksaserbasi Parah (PEF atau FEV1 <50%, Pemeriksaan Fisik: Gejala Berat saat Istirahat, Penggunaan Otot, dan Retraksi Dada) -Inhalasi agonis β2 short acting tiap jam atau secara terus menerus dan ditambah inhalasi antikolinergik -Oksigen -Kortikosteroid Sistemik

Respon Tidak Lengkap -PEF atau FEV1 ≥ 50% tapi ≤70% -Gejala ringan sampai sedang

Memilih untuk rawat jalan atau dirawat di rumah sakit

Dirawat di Rumah Sakit -Inhalasi Agonis β2 dan Antikolinergik -Sistemik Kortikosteroid (oral atau intravena) -Oksigen -Memantau PEF atau FEV1 dan O2

Respon Buruk -PEF atau FEV1 <50% -PCO2 ≥42 mmHg -Pemeriksaan Fisik: Gejala Berat, Mengantuk, Kebingungan

Perawatan Intensif di Rumah Sakit -Inhalasi Agonis β2 per jam atau terus-menerus dan Inhalasi Antikolinergik -Kortikosteroid Intravena -Oksigen -Intubasi dan Ventilasi Mekanis

(DiPiro dkk, 2006)

 Pengobatan Asma Kronik

Tingkat Keparahan Sebelum Pengobatan

Obat

yang

diperlukan

untuk

memelihara kontrol jangka panjang `Gejala Pagi :

PEV

atau

FEV1 Gejala Siang

: `Pengobatan Harian Keragaman PEF

Tingkat

4 Berkelanjutan ≤60%

-Inhalasi Kortikosteroid dosis tinggi dan inhalasi β2 long-acting

(Parah) Sering

>30%

-Jika diperlukan, kortikosteroid tablet dan sirup jangka panjang

Tingkat

3 Harian

60%-80%

-Inhalasi Kortikosteroid dosis rendah sampai sedang dan inhalasi agonis β2

(Sedang) 1malam/

>30%

long-acting

minggu Tingkat (Ringan)

2 2x minggu

tiap ≥80%

-Inhalasi kortikosteroid dosis rendah

tapi

-Atau teofilin 5-15mcg/ml

<1 x / hari

2

malam/ 20-30%

bulan Tingkat

1 <

2

hari/ ≥80%

Tidak perlu pengobatan harian

(Berselang) minggu ≤ 2 malam/ bulan

< 20% (DiPiro dkk, 2006)

 Obat Yang Digunakan Dalam Pengobatan Asma 1. Simpatomimetik Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik contoh obat golongan simpatomimetik antara lain Albuterol, Bitolterol, Efedrin, Epinefrin, Isoetharin, Isoproterenol, Metaproteren, Salmeterol, Pirbuterol, dan Terbutalin. Mekanisme Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut : 1. Stimulasi

reseptor

α

adrenergik

yang

mengakibatkan

terjadinya

vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah. 2. Stimulasi

reseptor

β1

adrenergik

sehingga

terjadi

peningkatan

kontraktilitas dan irama jantung. 3. Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet. Indikasi Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol) digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis β2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik (DiPiro dkk, 2006).

Gambar 4. Perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakokinetik bronkodilator simpatomimetik

Untuk pasien-pasien yang menderita asma ringan dengan serangan sewaktuwaktu (intermiten), umumnya hanya memerlukan bronkodilator agonis reseptor β2 per inhalasi yang digunakan bila perlu saja. Untuk pasien asma sedang dengan serangan yang lebih sering dan untuk pasien yang lebih sering memerlukan inhalasi aerosol, atau timbul gejala serangan nokturnal (malam hari), diperlukan pengobatan tambahan.

Untuk pengobatan tambahan lebih baik digunakan obat antiinflamasi per inhalasi (seperti kromolin atau kortikosteroid per inhalasi). Untuk pasien yang gejala asmanya masih sukar dikontrol dengan pemberian secara teratur kombinasi antiinflamasi per inhalasi dan agonis β2 seperlunya saja, perlu ditambahkan teofilin. Bila penambahan teofilin pada kombinasi di atas masih tidak memberikan hasil, atau timbul efek samping yang mengkhawatirkan, perlu dilakukan pemeriksaan kadar teofilin dalam darah dengan batas-batas kadar terapi 10-20 mg/L (Munaf, 2004). 2. Golongan Xantin Obat golongan xantin termetilasi (teofilin, kafein, teobromin) memiliki beberapa efek fisiologis yaitu melemaskan otot polos, merangsang otot jantung, merangsang sistem saraf, dan memicu pembentukan urin oleh ginjal (diuresis). Teofilin dapat diberikan secara intravena untuk memperbaiki eksaserbasi akut asma atau per oral untuk mencegah serangan asma akut. (Sacher, R.A dan McPherson R.A. 2004) Teofilin mungkin berguna pada beberapa pasien yang menderita asma nokturnal, karena efek lepas lambat dapat memberikan terapi dan lebih efektif daripada efek lepas lambat dari agonis β (Albert, dkk. 2008). Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada oarng sehat dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007) Dosis dan Cara Penggunaan A. Aminofilin Status asmatikus seharusnya dipandang sebagai keadaan emergensi. Terapi optimal untuk pasien asma umumnya memerlukan obat yang diberikan secara parenteral, monitoring ketat dan perawatan intensif. Berikut adalah dosis untuk pasien yang belum menggunakan teofilin.

Pasien

Dosis awal

Dosis pemeliharaan

Anak 1-9 tahun

6,3 mg/kg a

1 mg/kg/jam a

Anak 9-16 tahun dan perokok

6,3 mg/kg a

0,8 mg/kg/jam a

Dewasa bukan perokok

6,3 mg/kg a

0,5 mg/kg/jam a

Orang lanjut usia dan pasien

6.3 mg/kg a

0,3 mg/kg/jam a

6.4 mg/kg a

0,1-0,2 mg/kg/jam a

dewasa

dengan gangguan paru-paru Pasien gagal jantung kongestiv

(DiPiro dkk, 2006) B. Teofilin Dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian dosis berdasarkan respon klinik dan perkembangan pada fungsi paru-paru. Dosis ekivalen berdasarkan teofilin anhidrat yang dikandung. Monitor level serum untuk level terapi dari 10-20 mcg/mL. Berikut adalah dosis yang direkomendasikan untuk pasien yang belum menggunakan teofilin. Pasien

Dosis Oral Awal

Dosis Pemeliharaan

Anak 1-9 tahun

5 mg/kg

4 mg/kg setiap 6 jam

Anak 9-16 tahun dan dewasa

5 mg/kg

3 mg/kg setiap 6 jam

Dewasa bukan perokok

5 mg/kg

3 mg/kg setiap 8 jam

Orang lanjut usia dan pasien

5 mg/kg

2 mg/kg setiap 8 jam

5 mg/kg

1-2 mg/kg setiap 12

perokok

dengan gangguan paru-paru Pasien gagal jantung kongestif

jam (DiPiro dkk, 2006) 3. Antagonis Reseptor Leukotrien a. Zafirlukas Zafirlukas adalah antagonis reseptor leukotriene D4 dan E4 yang selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA – Slow Reacting Substances

of Anaphylaxis). Produk leukotriene dan okupasi

reseptor

berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstruksi otot polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi yang menimbulkan tanda gejala asma. b. Montelukast Sodium Adalah antagonis reseptor leukotriene selektif dan aktif pada gangguan oral, yang menghambat reseptor leukotriene sistenil. Produksi leukotriene dan okupsi reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstruksi otot polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma.

(Direktorat Bina Farmasi Komuinitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007) 4. Antikolinergik Contoh obat bronkodilator antikolinergik adalah Ipatropium bromida (ATROVEN). Obat ini efektif terutama untuk penyakit paru obstruktif menahun (PPOM), namun untuk terapi asma kurang menonjol. Senyawa ini hanya tersedia dalam bentuk inhalasi. Dibanding dengan agonis β2, ipratropium bromida kurang efektif pada asma, tidak mempunyai efek terhadap reaksi cepat ataupun lambat. Pada asma biasanya tidak diberikan tersendiri, tetapi sering dikombinasikan dengan agonis β2. Kombinasi kedua obat ini lebih efektif dan masa kerjanya lebih panjang daripada diberikan tersendiri. Ipratropium dapat lebih efektif pada penderita asma psikogenik dan dan pada penderita yang menggunakan antagonis β2 adrenoseptor.

Dosis per inhalasi 4x 36 µg/hari, mulai kerja lambat, kadar puncak dicapai dalam 1-2 hari. Karena itu, hanya digunakan untuk profilaksis (Munaf, 2004: 581). Bronkodilator yang bekerja sebagai penstimulasi reseptor β adrenergik di jalan napas (agonis β) merupakan terapi asma yang utama. Obat ini diinhalasi (atau diberikan dalam bentuk sirup pada anak yang masih sangat kecil) pada saat awitan serangan dan di antara serangan sesuai kebutuhan. Bronkodilator tidak menghambat respon inflamasi sehingga tidak efektif jika digunakan secara tunggal selama eksaserbasi asma sedang atau buruk. Penggunaan terlalu sering atau pengguaan tunggal bronkodilator menyebabkan angka kematian bermakna. Saat ini sudah tersedia agonis beta adrenergik jangka panjang yang dapat menurunkan penggunaan inhaler yang sering pada beberapa pasien (Corwin, 2009). A. Ipratropium Bromida Mekanisme Kerja Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung (DiPiro, dkk, 2006 : 826-844). Indikasi digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema (DiPiro,dkk, 2006). Dosis dan Cara Penggunaan Bentuk Sediaan

Dosis

Aerosol

2 inhalasi (36 mcg) empat kali sehari. Pasien boleh menggunakan dosis tambahan tetapi tidak boleh melebihi 12 inhalasi dalam sehari

Larutan

Dosis yang umum adalah 500 mcg (1 unit dosis dalam vial), digunakan dalam 3 sampai 4 kali sehari dengan menggunakan nebulizer oral, dengan interval pemberian 6-8 jam. Larutan dapat dicampurkan dalam nebulizer jika digunakan dalam waktu satu jam.

B. Tiotropium Bromida Mekanisme Kerja Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu. Indikasi Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan emfisema. Dosis dan Cara Penggunaan 1 kapsul dihirup, satu kali sehari dengan alat inhalasi Handihaler (DiPiro, dkk, 2006). 5. Kromolin Sodium dan Nedokromil a. Kromolin Natrium Obat ini tidak mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolenergik, vasokontriktor atau aktivitas glukokortikoid. Kromolin menghambat pelepasan mediator, histamine dan SRS-A dari sel mast. Digunakan sebagai pengobatan profilaksis pada asma bronkial (DiPiro, dkk, 2006 : 826-844). b. Nedokromil Natrium Nedokromil merupakan anti inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofi, neutrophil, makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon bronco

konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi. Digunakan untuk terapi pemeliharaan untuk psien dewasa dan anak usia enam tahun atau lebih pada asma ringan sampai sedang (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007). 6. Kortikosteroid Kortikosteroid disintesis pada kelenjar adrenal di bawah kontrol hormon ACTH hipofisis. Kortikosteroid kebanyakan dari jenis hidrokortison (kortisol). Pelepasan ACTH dikendalikan oleh hormon pelepas kortisol dari hipotalamus. Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal (DiPiro, dkk, 2006).

7. Obat-Obat Penunjang a. Ketitifen Fumarat Adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara nonkompetitif dan relative selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan menghambat pelepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas.

b. N-Asetilsistein Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril pada molekul yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfide antara ikatan molekuler mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas mucus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan peningkatan pH. Digunakan sebagai terapi tambahan untuk sekresi mucus yang tidak normal, kental pada penyakit bronkopulmonasi kronik dan akut.

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007).

BAB III KASUS DAN PENYELESAIAN 3.1

Kasus

Seorang pasien bernama Tn.S (52 th 6 bln 28 hr) datang ke apotek dengan membawa resep dokter. Resep

3.3 Penyelesaian Kasus

A. Analisis dengan metode SOAP 1. Subjektif Nama Umur Diagnosa 2. Objektif -

: Tn. S : 52 th 6 bln 28 hr : Asma

3. Assesment Nama obat

Keterangan

Salbutamol

Indikasi : meredakan bronkospasme pada asma dan obstruksi saluran nafas reversibel lainnya. Dosis : 3x1 Kontraindikasi: hipersensitivitas Efeksamping : tremor, ketegangan, sakit kepala, kram otot, palpitasi, takikardi. Mekanisme : relaksasi otot polos jalan nafas dengan menstimulasi reseptor beta 2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokonstriksi. Indikasi : mukolitik untuk meredakan batuk berdahak. Dosis : 3x1 Kontraindikasi : hipersensitivitas Efeksamping : hipersensitivitas, syok dan reaksi anafilaktif, bronkospasme, mual, muntah, diare. Mekanisme : mengencerkan sekret saluran nafas dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari spuntum. Indikasi: antiinflamasi atau imunosupresi pada beberapa penyakit hematologi, alergi, inflamasi, neoplasma maupun auto imun. Dosis: 3x1 Kontraindikasi: DM, tukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi, gangguan sistem

Bromheksine

Metilprednisolon

Keimpulan Tepat obat, tepat indikasi

Tepat obat, tepat indikasi

Tepat obat, tepat indikasi

kardiovaskular lainnya. Efeksamping: insufisiensi adrenal akut, dengan gejala demam, mialgia, atralgia, malaise, gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia, glikosuria. Mekanisme: menghambat enzim fosfolipase sehingga menghambat pembentukan prostaglandin maupun leukotrien.

Analisis DRP: 1. DRP ada indikasi tidak ada obat : 2. DRP tidak ada indikasi ada obat : 3. DRP tidak butuh obat :4. DRP dosis obat berlebih :5. DRP efek samping obat :6. DRP interaksi obat :-

4. Plan 

Penggunaan sediaan salbutamol yang ada diresep kurang tepat, menyarankan diganti dari tablet menjadi inhaler.



Metil prednisolon tidak ada kekuatan obat. Sediaan obat yang tersedia di pasaran tablet 4 mg, 8 mg dan 16 mg. Kami menyarankan pasien menggunakan metil prednisolon 4 mg.

5. KIE a. Meningkatkan Pemahaman ( mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri) b. Meningkatkan kepatuhan dan penanganan mandiri c. Menghindari pencetus asma d. Istirahat yang cukup e. menjaga kebersihan lingkungan rumah f. berolahraga ringan

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, J.Elizabeth. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta. Direktorat Bina Farmasi dan Klinik. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia.Jakarta: PDPI. Rengganis, Iris. 2011. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tjay,Tan.Hoan dan Rahardja,Kirana. 2007.Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Elex MediaKomputindo

Related Documents

Makalah Asma Kel.d.docx
December 2019 18
Makalah Asma Fix.docx
August 2019 14
Asma'
June 2020 38
Asma
November 2019 62
Asma
November 2019 54
Asma
June 2020 40

More Documents from ""