Makalah Antibodi Klon Fix.docx

  • Uploaded by: mesa rahmaniah
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Antibodi Klon Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,377
  • Pages: 32
ANTI BODI KLON TUNGGAL MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Bioteknologi

Disusun oleh: Kelompok 10 (3B)

Fitri Hidayahtika

152154010

Astri Septiani

152154034

Noni Windayani

152154135

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA 2017

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt., karena atas segala limpahan rahmat dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad saw., yang menjadi suri teladan umatnya untuk keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat, berikut keluarganya, sahabatnya, dan segenap kaum mukmin yang teguh menaati Ssunnahnya. Penulis menyusun makalah tentang “Anti bodi klon tunggal” untuk memenuhi salah satu tugas dari dosen mata kuliah Bioteknologi. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk menambah wawasan dan memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai Bioteknologi. Selama penyusunan makalah ini, banyak sekali hambatan yang penulis rasakan. Maka dari itu, terdapat pihak-pihak yang sangat membantu dalam penyelesaiannya yang berupa bantuan bimbingan, dorongan, dan doa. Oleh karena itu, dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.

Ibu Purwati Kuswarini , M.Pd. dan Bapak Egi Nuryadin, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Bioteknologi yang selalu memberikan ilmu, bimbingan, arahan, dan nasehat yang bermanfaat kepada penulis.

2.

Orang tua yang telah memberikan do’a serta motivasi baik yang berbentuk moril maupun materil. Mengingat keterbatasan pengalaman dan kemampuan yang penyusun

miliki, maka dengan kerendahan hati penyusun memohon kritik dan saran yang membangun

guna

perbaikan

penulisan

laporan

berikutnya,

penyusun

mengharapkan semoga laporan ini berguna, khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca. Tasikmalaya, November 2017

Penulis, i

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1 C. Tujuan .............................................................................................. 1 D. Manfaat ............................................................................................ 2 BAB II ISI A. Pengertian anti bodi klon tunggal ..................................................... B. Sejarah penemuan anti bodi klon tunggal ......................................... C. Jenis-jenis anti bodi klon tunggal ...................................................... 3 D. Proses pembuatan anti bodi klon tunggal ......................................... 3 E. Mekanisme anti bodi klon tunggal dalam menyerang sel kanker ..... F. Produk-produk anti bodi klon tunggal .............................................. G. Masa depan anti bodi klon tunggal ................................................... 15 BAB III PENUTUP A. Simpulan .......................................................................................... 20 B. Saran ................................................................................................ 20 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 21

ii

DAFTAR TABEL Tabel 2.1

Kelebihan dan kekurangan anti bodi klon tunggal .....................

iii

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Struktur antibodi ......................................................................... Gambar 2.2 Jenis epitop ................................................................................. Gambar 2.3 Jenis-jenis antibody monoclonal ................................................ Gambar 2.4 Sel hibridoma .............................................................................. Gambar 2.5 Teknik hibridoma ........................................................................ Gambar 2.6 Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) ..................... Gambar 2.7 Complement Dependent Cytotoxicity (CDC) .............................. Gambar 2.8 Antibodi Directed Enzyme Prodrug Therapy (ADEPT) .............

iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bioteknologi telah dikenal manusia sejak zaman dahulu. Saat itu, biteknologi diasumsikan berupa pengolahan makanan dan minuman, seperti wine, keju, dan roti serta contoh lainnya yang dibantu dengan mikroba secara langsung dalam pembuatannya. Namun saat ini, seiring perkembangan zaman dan teknologi, bioteknologi tidak lagi berada di dunia makanan melainkan menjelajah pada daerah yang lebih luas, seperti biopertanian, biofuel, biomedis. Hal tersebut berkaitan dengan kebutuhan dan kesejahteraan manusia. Seperti adanya antibodi monoklonal hasil olahan bioteknologi yang sedang trend dalam dunia medis karena kegunaan dan prospeknya yang begitu luar biasa. Kehadiran antibodi klon tunggal ini, diawali dengan kesadaran para peneliti tentang sistem imun yang ada di dalam hewan dan manusia. Hewan juga manusia terus-menerus diserang oleh patogen (pathogen), agen-agen penginfeksi yang menyebabkan penyakit. Bagi patogen, tubuh hewan dan manusia adalah habitat yang nyaris ideal, karena menawarkan sumber nutrien yang siap digunakan, tempat yang terlindung untuk pertumbuhan dan reproduksi, serta transpor ke inang dan lingkungan baru. (Campbell and Reece, 2008: 90). Sehingga sebagai bentuk pertahanan hewan dan manusia memiliki sistem pertahanan tubuh yang berperan untuk melindungi dirinya dari serangan agenagen penyebab penyakit yang disebut patogen. Pertahanan spesifik merupakan tanggung jawab dari klon-klon sel limfosit B yang masing-masing spesifik terhadap antigen. Adanya interaksi antara antigen dengan klone limfosit B akan merangsang sel tersebut untuk berdiferensiasi dan berploriferasi sehingga didapatkan sel yang mempunyai ekspresi klonal untuk menghasilkan antibodi. (Nurcahyo, H., 2011: 79). Pertahanan spesifik timbul karena adanya rangsangan oleh benda asing (antigen). Antigen adalah molekul asing apa pun yang dikenali secara spesifik oleh limfosit. (Campbell and Reece, 2008: 97). Dapat diterjemahkan pula antigen

merupakan semua benda asing yang menginvasi (menginfeksi) ke dalam tubuh suatu organisme seperti: protein asing, virus, bakteri, protozoa, jamur, cacing, dsb. Sebagaimana telah diketahui bahwa antibodi dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen di dalam tubuh. Walaupun imunologi khususnya imunokimia telah cukup maju, antibodi yang digunakan untuk mengenali suatu antigen masih dibuat dengan cara yang konvensional, yaitu mengimunisasi hewan percobaan, mengambil darahnya dan mengisolasi antibodi dalam serum sehingga menghasilkan antibodi poliklonal. Apabila dibutuhkan antibodi dalam jumlah besar maka binatang percobaan yang dibutuhkan juga sangat besar jumlahnya. Namun jumlah antibodi yang dapat diproduksi melalui binatang untuk memenuhi kebutuhan antibodi yang spesifik untuk tujuan diagnostik masih dirasakan sangat kurang. Idealnya antibodi spesifik dapat dibuat secara in vitro, sehingga dapat diproduksi antibodi dalam jumlah besar tanpa terkontaminasi dengan antibodi lain yang tidak dikehendaki. Dalam antibodi poliklonal jumlah antibodi yang spesifik sangat sedikit dan heterogen karena dapat mengikat macam-macam epitop dan sangat sulit menghilangkan antibodi lain yang tidak diinginkan. Sehingga kehadiran antibodi monoklonal yang mana antibodi yang dapat bekerja secara spesifik merupakan penemuan dari Kohler dan Milstein yang sangat luar bisa. Bahkan lebih banyak keuntungan yang didapatkan dibandingkan dengan antibodi poliklonal. Maka, hal yang luar biasa ini menjadikan penulis ingin menggali lebih dalam lagi terkait bioteknologi yang tengah terbarukan ini.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut : 1. Apa yang di maksud dengan Anti bodi klon tunggal? 2. Bagaimana sejarah penemuan Anti bodi klon tunggal? 3. Apa saja jenis-jenis anti bodi klon tunggal? 4. Bagaimana proses pembuatan anti bodi klon tunggal? 5. Bagaimana mekanisme anti bodi klon tunggal dalam menyerang sel kanker? 6. Apa saja produk-produk anti bodi klon tunggal? 7. Bagaimana masa depan Anti bodi klon tunggal bagi kehidupan?

C. Tujuan Berdasarkan latar belakang diatas, adapun tujuan masalahnya sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengertian Anti bodi klon tunggal. 2. Untuk mengetahui sejarah penemuan Anti bodi klon tunggal. 3. Untuk mengetahui jenis-jenis anti bodi klon tunggal. 4. Untuk mengetahui proses pembuatan anti bodi klon tunggal. 5. Untuk mengetahui mekanisme anti bodi klon tunggal dalam menyerang sel

kanker. 6. Untuk mengetahui produk-produk anti bodi klon tunggal. 7. Untuk mengetahui masa depan Anti bodi klon tunggal bagi kehidupan.

D. Manfaat 1. Bagi Penulis Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai anti bodi klon tunggal. 2. Bagi Pembaca Untuk menjadi media informasi mengenai anti bodi klon tunggal.

BAB II ISI A. Pengertian anti bodi klon tunggal Antibodi merupakan campuran protein di dalam darah dan disekresi mukosa menghasilkan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing yang masuk ke dalam sirkulasi darah. Antibodi dibentuk oleh sel darah putih yang disebut limfosit B. Limfosit B akan mengeluarkan antibodi yang kemudian diletakkan pada permukaannya. Setiap antibodi yang berbeda akan mengenali dan mengikat hanya satu antigen spesifik. Antigen merupakan suatu protein yang terdapat pada permukaan bakteri, virus dan sel kanker. Pengikatan antigen akan memicu multiplikasi sel B dan pelepasan antibodi. Ikatan antigen antibodi mengaktivasi sistem respon imun yang akan menetralkan dan mengeliminasinya. Antibodi memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran walaupun struktur dasarnya berbentuk `Y``. Antibodi tersebut mempunyai 2 fragmen, fragmen antigen binding (Fab) dan fragmen cristallizable (Fc). Fragmen antigen binding digunakan untuk mengenal dan mengikat antigen spesifik, tempat melekatnya antigen antibodi yang tepat sesuai regio yang bervariasi disebut complementary determining region (CDR) dan Fc berfungsi sebagai efektor yang dapat berinteraksi dengan sel imun atau protein serum. (Albert, B., et al., 2002; Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000).

Gambar 2.1 Struktur Umum Antibodi

Antibodi monoklonal adalah antibodi buatan identifik karena diproduksi oleh salah satu jenis sel imun saja dan semua klonnya merupakan sel single parent. Antibodi monoklonal mempunyai sifat khusus yang unik yaitu dapat mengenal suatu molekul, memberikan informasi tentang molekul spesifik dan sebagai terapi target tanpa merusak sel sehat sekitarnya. Antibodi monoklonal murni dapat diproduksi dalam jumlah besar dan bebas kontaminasi. Antibodi monoklonal dapat diperoleh dari sel yang dikembangkan di laboratorium, reagen tersebut sangat berguna untuk penelitian terapi dan diagnostik laboratorium. (Albert, B., et al., 2002; Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000) Antibodi monoklonal dapat diciptakan untuk mengikat antigen tertentu kemudian dapat mendeteksi atau memurnikannya. Manusia dan tikus mempunyai kemampuan untuk membentuk antibodi yang dapat mengenali antigen. Antibodi monoklonal tidak hanya mempertahankan tubuh untuk melawan organisme penyakit tetapi juga dapat menarik molekul target lainnya di dalam tubuh seperti reseptor protein yang ada pada permukaan sel normal atau molekul yang khas terdapat pada permukaan sel kanker. Spesifisitas antibodi yang luar biasa menjadikan zat ini dapat digunakan sebagai terapi. Antibodi mengikat sel kanker dan berpasangan dengan zat sitotoksik sehingga membentuk suatu kompleks yang dapat mencari dan menghancurkan sel kanker. (Albert, B., et al., 2002; Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000).

B. Sejarah penemuan anti bodi klon tunggal Pada tahun 1908, Metchnikoff dan Erlich mengemukakan mengenai teori imunologi yang membawa perubahan besar pada pemanfaatan antibodi untuk mendeteksi adanya antigen (zat asing) di dalam tubuh. Sebelum ditemukannya teknologi antibodi monoklonal, antibodi dahulunya diperoleh dengan cara konvensional yakni mengimunisasi hewan percobaan, mengambil darahnya dan mengisolasi antibodi dalam serum sehingga menghasilkan antibodi poliklonal. Apabila dibutuhkan antibodi dalam jumlah besar maka binatang percobaan yang dibutuhkan juga sangat besar jumlahnya. Selain itu bila

diproduksi dalam jumlah besar antibodi poliklonal jumlah antibodi spesifik yang diproduksi juga sangat sedikit, sangat heterogen dan sangat sulit menghilangkan antibodi lain yang tidak diinginkan, (Radji M. 2010). Maka dari itu dilakukan serangkaian penelitian untuk membuat antibodi spesifik secara in vitro, sehingga dapat diproduksi antibodi spesifik dalam jumlah besar, dan tidak terkontaminasi dengan antibodi lainnya. Tahun 1975, Georges Köhler, César Milstein, and Niels Kaj Jerne menemukan cara baru dalam membuat antibodi dengan mengimunisasi hewan percobaan, kemudian sel limfositnya difusikan dengan sel myeloma, sehingga sel hibrid dapat dibiakkan terus menerus. Sel myeloma adalah sel limfosit B yang abnormal yang mampu bereplikasi terus-menerus dan menghasilkan sebuah antibodi spesifik berupa paraprotein, sel myeloma disebut juga dengan sel B kanker. Mereka juga mampu membuat antibodi yang homogen yang diproduksi oleh satu klon sel hibrid. Antibodi tersebut lebih spesifik dibandingkan dengan antibodi poliklonal karena dapat mengikat satu epitop antigen dan dapat dibuat dalam jumlah yang tak terbatas. Definisi epitop sendiri adalah daerah spesifik pada antigen yang dapat dikenali oleh antibodi, (Riechmann, 1992). Antibodi yang homogen dan spesifik ini disebut antibodi monoklonal. Berkat temuan antibodi monoklonal Georges Köhler, César Milstein, and Niels Kaj Jerne mendapatkan hadiah Nobel di bidang fisiologi dan kedokteran pada tahun 1985.

Gambar 2.2 jenis epitop Antibodi monoklonal dibuat dengan cara penggabungan atau fusi dua jenis sel yaitu limfosit B yang memproduksi antibodi dengan sel kanker (sel

myeloma) yang dapat hidup dan membelah terus menerus. Hasil fusi antara sel limfosit B dengan sel kanker secara in vitro ini disebut dengan hibridoma. Apabila sel hibridoma dibiakkan dalam kultur sel, sel yang secara genetik mempunyai sifat identik akan memproduksi antibodi sesuai dengan antibodi yang diproduksi oleh sel aslinya yaitu sel limfosit B. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah proses pemilihan sel klon yang identik yang dapat mensekresi antibodi yang spesifik. Karena antibodi yang diproduksi berasal dari sel hibridoma tunggal (mono-klon), maka antibodi yang diproduksi disebut dengan antibodi monoklonal. Sel hibridoma mempunyai kemampuan untuk tumbuh secara tidak terbatas dalam kultur sel, sehingga mampu memproduksi antibodi homogen yang spesifik (monoklonal) dalam jumlah yang hampir tak terbatas. Antibodi monoklonal merupakan senyawa yang homogen, sangat spesifik dan dapat diperoleh dalam jumlah yang besar sehingga sangat menguntungkan jika digunakan sebagai alat diagnostik. Beberapa jenis kit antibodi monoklonal telah tersedia di pasaran untuk mendeteksi bakteri patogen dan virus, serta untuk uji kehamilan.

C. Jenis-jenis anti bodi klon tunggal Beberapa antibodi monoklonal yang digunakan untuk pengobatan berasal dari sel mencit/tikus sehingga sering menimbulkan reaksi alergi pada pasien yang menerima terapi antibody monoclonal tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka para peneliti melakukan pengembangan antibody monoclonal yang memiliki sedikit efek penolakan dari system imun pasien. Pengembangan tersebut menciptakan antibodi monoklonal generasi baru, antara lain: 1. Murine Monoclonal Antibodies Yaitu antibodi murni yang didapatkan dari tikus. Antibodi ini dapat menyebabkan human anti mouse antibodies (HAMA) yang menetralisir antibodi asing, mencegah kemampuan mereka untuk melibatkan sel kekebalan sebagaimana yang diinginkan, dan mempercepat penghapusan mereka. Hal itu dapat membatasi efektiviras MAE murine, dan bahkan bisa

menghasilkan efek samping yang merugikan yang mengingatkan pada ‘serum sickness’ yang diamati pada hari-hari terapi serum, seperti demam, menggigil, artralgia dan anafilaksis yang mengancam jiwa. Maka dari itu Chimeric MABs sebagai upaya untuk memecahkan masalah ini. (Biasanya antibodi ini memiliki akhiran dengan nama “momab” (contohnya Ibritumomab®).

2. Chimeric Monoclonal Antibodies Merupakan generasi kedua MABs. Antibodi chimeric mengambil nama mereka dari Chimera, sebuah binatang mistis dengan kepala singa, tubuh seekor kambing dan ekor naga. Rituxan atau Rituximab adalah jenis tertentu obat yang dikenal sebagai antibodi monoklonal chimeric. Rituxan merupakan hibrida dari antibodi dari dua sumber, yaitu manusia dan tikus. Antigen CD20 disuntikkan ke tikus, mendorong produksi antibodi. Antibodi sel kemudian diisolasi dari limpa hewan kemudian digabungkan dengan sel myeloma. Hal ini menghasilkan baris sel yang akan terus memproduksi antibodi tanpa batas. Rekayasa genetika lebih lanjut menghilangkan unsur-unsur sel tikus yang biasanya akan menghasilkan reaksi (alergi) kekebalan jika disuntikkan ke manusia. Terapi antibodi monoklonal basis awal untuk kanker terganggu dengan sejumlah masalah. Pada eksperimen awal, terdapat reaksi alergi dari bagian asing antibodi eksperimental dari tikus, yang disebut HAMA (human anti-mouse antibody) yang membatasi kegunaan dan mencegah digunakan lebih dari sekali. Para pengembang Rituxan mengatasi masalah ini dengan menghapus bagian antigen dari bagian tikus tersebut dengan antibodi chimeric. 3. Humanized Monoclonal Antibodies Humanized antibodies adalah antibodi dari spesies non-manusia yang sekuens proteinnya telah dimodifikasi untuk meningkatkan kesamaan mereka pada varian antibodi yang dihasilkan secara alami pada manusia. Proses "humanisasi" biasanya diterapkan untuk antibodi monoklonal yang

dikembangkan untuk manusia (misalnya, antibodi yang dikembangkan sebagai obat anti-kanker). Humanisasi ini diperlukan pada saat proses pengembangan antibodi spesifik yang melibatkan makhluk hidup lain dalam sistem kekebalan tubuh manusia , seperti pada tikus. Urutan protein antibodi yang diproduksi dengan cara ini adalah sedikit berbeda dari homolog antibodi yang terjadi secara alami pada manusia, oleh karenanya berpotensi imunogenik jika diberikan kepada pasien manusia. Tidak semua antibodi monoklonal dirancang untuk administrasi manusia perlu dilakuakn proses humanized karena banyak yang merupakan terapi intervensi jangka pendek. Menurut The International Nonproprietary nama akhir antibodi yang telah dimanusiawikan berakhiran -mab, seperti di omalizumab. Proses ini mempunyai keuntungan yang dapat dibuktikan dari fakta bahwa produksi antibodi monoklonal dapat dicapai dengan menggunakan DNA rekombinan untuk membuat konstruksi yang mampu berekspresi pada kultur sel mamalia. Artinya, segmen gen yang mampu memproduksi antibodi diisolasi dan dikloning ke dalam sel yang dapat tumbuh dalam sebuah tangki sehingga protein antibodi yang dihasilkan dari DNA dari gen kloning dapat dipanen secara massal. Tidak semua metode untuk menurunkan antibodi dimaksudkan untuk terapi manusia memerlukan langkah humanisasi (misalnya tampilan fag ) tetapi pada dasarnya semua tergantung pada teknik yang sama memungkinkan "sisipan" bagian dari molekul antibodi. 4. Fully Human Monoclonal Antibodies Antibodi ini merupakan antibodi yang paling ideal untuk menghindari terjadinya respon imun karena protein antibodi yang disuntikkan ke dalam tubuh seluruhnya merupakan protein yang berasal dari manusia. Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk merancang pembentukan antibodi monoklonal yang seluruhnya mengandung protein manusia tersebut adalah dengan teknik rekayasa genetika untuk menciptakan mencit transgenik yang membawa gen yang berasal dari manusia, sehingga mampu memproduksi antibodi yang diinginkan. Pendekatan lainnya adalah merekayasa suatu

binatang transgenik yang dapat mensekresikan antibodi manusia dalam air susu yang dikeluarkan oleh binatang tersebut. Salah satu contoh fully human monoclonal antibodies adalah Panitumumab.

Gambar 2.3 jenis-jenis antibodi monoklonal

D. Proses pembuatan anti bodi klon tunggal a. Hibridisasi Sel Somatik (Somatic cell hybridization) Monoclonal antibodies were first produced by applying the techniques of somatic cell genetics to antibody-producing cells. The cells that produce antibodies (B cells) are short-lived in culture. Thus, attempts to maintain B cells in culture and harvest antibody specificities failed for many years until Cesar Milstein and George Koehler succeeded in immortalising B cells via somatic cell hybridisation. In order to do this they built on several advances in the field, namely: (i) several mouse myeloma lines had been adapted to growth in culture largely through the work of M Potter and colleagues. Cesar Milstein and his colleagues decided to these cells for a new programme of research on the origin of antibody diversification and maturation, (ii) robust procedures for selection of hybrid cells (for example the Littlefield medium enabling HAT selection) and these were deployed in the studies that led to the discovery of monoclonal antibodies and, finally, (iii) the choice of myelomas as fusion partners proved crucial because when lymphocytes are fused with other (non myeloma) cell, the expression of the antibody genese is lost in the hybrid. Menurut Kohler dan Milstein dalam Hasibuan dan Sadi, S. (1998: 147), teknik hibridoma dilakukan dengan cara menggabungkan sel myeloma

dengan sel limfosit spesifik (sel B). Sel gabungan tersebut memiliki sifat gabungan dari kedua sel asalnya, yaitu menghasilkan antibodi spesiflk yang diturunkan dari sel limfosit spesifik dan mempunyai sifat dapat hidup terus menerus yang didapat dari sel myeloma. Sel myeloma bersifat immortal sedangkan limfosit mortal, sehingga pada prosedur fusi, sel myeloma dan limfosit yang tidak berfusi harus dibuang. Pada penelitian

yang menggunakan HAT

(hypoxanthine

aminopterin thimidin) yang bersifat toksik terhadap sel myeloma sedangkan sel limfosit akan mati dengan sendirinya. Pada akhirnya dalam medium fusi akan ditemukan hanya sel hibridoma. Sel hibridoma terdiri dari hibridoma producer yaitu sel yang mempunyai kemampuan menghasilkan antibodi dan non producer, yang tidak mempunyai kemampuan menghasilkan antibodi. Identifikasi sel ini ditentukan dari ada tidaknya anti IgG yang terbentuk pada kultur sel tersebut. (Suharti Netti dan Putra E, Andani. 2013: 132).

Gambar 2.4 Sel Hibridoma Sumber: Pandey, Shivanand. 2010: 89 b. Cara Pembuatan Antibodi Monoklonal Pembuatan antibodi monoklonal dilakukan dengan menggunakan teknik hibridoma yang mana telah dijelaskan. Adapun langkah-langkah pembuatan antibodi monoklonal yaitu:

Gambar 2.5 Teknik Hibridoma Sumber: Pandey, Shivanand. 2010: 89 1) Antigen yang telah dimurnikan disuntikkan ke hewan percobaan mencit (mice) untuk mendapatkan sel limfosit B yang spesifik. Antigen diperoleh dari organisme yang terinfeksi oleh virus atau bakteri dimurnikan dengan cara teknik pemurnian menurut Jumanto atau teknik van Regenmortel (1986), atau menggunakan teknik pemurnian lainnya. Contoh mendapatkan antigen, pada tanaman padi terinfeksi RTV (Rice Tungro Virus) diperoleh dari koleksi yang ada di Kelti Rekayasa Protein dan Imunologi (Kelti Biokimia), BB-Biogen, yang semula berasal dari lapang di Sukamandi, Subang, dan Serang. Pemurnian RTV dilakukan menggunakan teknik pemurnian menurut Jumanto yang merupakan modifikasi dari teknik van Regenmortel (1986). (Manzila, et al. 2004: 203). Antigen murni dimasukkan ke dalam mencit (proses imunisasi). Contoh, imunisasi dilakukan sesuai dengan metode Harlow dan Lane (1988) dengan cara sebagai berikut: antigen RTV diberikan secara intraperitonial (i.p) dengan dosis yang dilaporkan tidak mematikan tetapi imunogen (Dewanti-Hariyadi et al, dalam Manzila et al. 2004: 203), yaitu 25 ug patogen/mencit. Mencit yang digunakan berumur 4-6 minggu dengan menyuntikan 100 µl (10-20 ug) larutan antigen RTV

setiap kali secara intravenal, melalui vena ekor mencit, secara berkala dengan tenggang waktu satu minggu. 2) Limpa (spleen) dikeluarkan dari tikus setelah lebih dulu dimatikan dan dikerjakaan secara aseptis. Mencit yang sudah diinjeksi antigen yang diinginkan sebagai contoh antigen RTV, pada umur 6 minggu setelah imunisasi dimatikan dan direndam di dalam alkohol 70%. Limpa diambil secara aseptik dan dicuci 3 kali dengan media. (Dewanti-Hariyadi et al, dalam Manzila et al. 2004: 204). 3) Sel limfosit B sebagai penghasil Ab (antibody) tersebut kemudian diisolasi dari limpa (spleen) dipisahkan dari eritrosit dan cairan limpa dengan cara sentrifus (gradient centrfuge). Limpa diurut dengan jarum disposible untuk mengeluarkan sel dan suspensi selanjutnya dipipet ke dalam tabung sentrifugasi kira-kira 15 ml, kemudian disentrifugasi 3 kali dengan medium pencuci. Limpa yang masih utuh dan segar dipotong kecil-kecil untuk mengeluarkan sel limpa (limfosit). Potongan limpa ditekan-tekan (diurut) menggunakan pinset untuk mengeluarkan limfositnya ke dalam medium. (DewantiHariyadi et al, dalam Manzila et al. 2004: 204). 4) Sel penghasil Ab tersebut kemudian diisolasi dan selanjutnya dikawinkan dengan sel myeloma (sel kanker) dalam media PEG (polyethilene glycol) atau dapat juga dengan virus Sendai. Sel myeloma (sel kanker) dibiakan di dalam cawan petri hingga pertumbuhannya stabil. (Hasibuan dan Sadi, S. 1998: 148). Sel myeloma dan sel limfosil penghasil Ab difusikan, dengan cara mencampur 1 x 106 sel myeloma dengan 1 x 107 sel limfosit mencit, campuran sel difusikan difusikan disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm pada suhu kamar (37°C) selama 5-7 menit dan dituangi larutan PEG secara perlahan-lahan sebanyak 0,2-0,3 ml. (Dewanti-Hariyadi et al, dalam Manzila et al. 2004: 204).

5) Sel hibrid yang diperoleh kemudian diseleksi dalam medium HAT (hypoxanthine aminopterin thimidin), oleh karena tidak semua sel hibrid yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yakni sel limfosit B dengan sel myeloma, akan tetapi dapat terjadi hibrid antara sel limfosit B dengan sel limfosit B, atau sel myeloma dengan sel myeloma. 6) Sel hibrid yang terseleksi kemudian diuji untuk mengetahui kemampuan menghasilkan Ab yang diharapkan, jika hasilnya pasti maka sel tersebut dikultur (cloning) kemudian dipropagasi pada kultur jaringan (bioreaktor) atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk produksi MAb atau dapat pula dibekukan untuk koleksi. 7) Sel hibrid yang terseleksi kemudian diuji (assay) untuk mengetahui kemampuan menghasilkan Ab yang diharapkan dengan menggunakan kultur sel dan diuji antibodi. 8) Jika hasilnya pasti, maka sel tersebut kemudian dipropagasi dengan menggunakan kultur jaringan dalam skala besar (bioreaktor) untuk mendapatkan sel turunan yang sama persis dengan induknya (cloning), atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk produksi MAB, atau dapat pula dibekukan untuk koleksi (stock cell culture).

c. Teknik Memproduksi Monoklonal Antibodi Secara Massal dengan Metode Klonasi Antigen yang telah dimurnikan disuntikan ke dalam hewan percobaan mencit untuk mendapatkan sel limfosit B yang spesifik. 1. Sel limfosit B sebagasi penghasil Ab tersebut kemudian diisolasi dari limpa dan selanjutnya dikawinkan dengan sel myeloma (sel kanker leher rahim yang telah diisolasi) dalam media PEG (poliethilena glycol) atau dapat juga dengan bantuan virus sendai. 2. Sel hybrid yang diperoleh kemudian diseleksi dalam medium HAT (hypoxanthine aminopterin thimidin). Oleh karena itu tidak semua sel hybrid yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan (sel limfosit B

dengan sel myeloma dapat tumbuh cepat dan memproduksi antibodi), akan tetapi dapat terjadi hybrid antara sel limfosit B dengan limfosit B, atau sel myeloma dengan sel myeloma. 3. Sel hybrid yang terseleksi kemudian diuji (assay) untuk mengetahui kemampuan menghasilkan Ab yang diharapkan dengan menggunakan kultur sel dan diuji antibodi. Jika hasilnya pasti, maka sel tersebut dipropagasi dengan menggunakan kultur jaringan dalam skala besar (bioreactor) untuk mendapatkan sel keturunan yang sama persis dengan induknya (clonning), atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk produksi MAB, atau dapat pula dilakukan untuk koleksi (stock cell culture).

E. Mekanisme Antibodi Klon Tunggal dalam Menyerang Sel Kanker 1. Penggunaan anti bodi klon tunggal untuk obat terbatas Tidak seperti kemoterapi dan radioterapi, yang bekerja secara kurang spesifik, tujuan pengobatan antibodi monoklonal adalah untuk menghancurkan sel-sel limfoma non Hodgkin (kanker yang tumbuh pada sistem limfatik tubuh) secara khusus dan tidak mengganggu jenis-jenis sel lainnya. Semua sel memiliki penanda protein pada permukaannya, yang dikenal sebagai antigen. Antibodi monoklonal dirancang di laboratorium untuk secara spesifik mengenali penanda protein tertentu di permukaan sel kanker. Antibodi monoklonal kemudian berikatan dengan protein ini. Hal ini memicu sel untuk menghancurkan diri sendiri atau memberi tanda pada induk kekebalan tubuh untuk menyerang dan membunuh sel kanker. Sebagai contoh, rituximab, antibodi monoklonal yang dipakai dalam pengobatan limfoma non Hodgkin, mengenali penanda protein CD20. CD20 ditemukan di permukaan Sel B abnormal yang ditemukan pada jenis-jenis limfoma non Hodgkin yang paling umum. 2. Cara Antibodi Monoklonal untuk Mengatasi Sel Kanker Antibodi alami dalam tubuh manusia tidak dapat menyerang sel kanker karena tidak dapat mengenali sel-sel tersebut sebagai protein asing (antigen). Sehingga, fungsi utama antibodi monoklonal adalah untuk mengenali molekul khas yang terdapat pada permukaan sel kanker. Setelah mengenali sel abnormal tersebut, antibodi monoklonal akan mengikat sel kanker. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai cara kerja antibodi monoklonal, berikut ini adalah beberapa cara yang dapat dilakukan antibodi monoklonal untuk mengatasi sel kanker. a) Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) adalah cara yang dilakukan antibodi monoklonal untuk membuat sel-sel kanker terlihat bagi sel fagosit, sebagai natural killer di tubuh manusia. Ikatan antibodi monoklonal dengan antigen permukaan sel tumor memicu pelepasan perforin dan granzymes yang dapat menghancurkan sel tumor. Sel - sel yang hancur

ditangkap Antigen Presenting Cell (APC) lalu dipresentasikan pada sel B limfosit (sebagai penghasil antibodi alami di dalam tubuh) sehingga memicu pelepasan antibodi kemudian antibodi ini akan berikatan dengan target antigen. Pelepasan antibodi oleh sel B limfosit memicu sel T limfosit untuk mengenali dan membunuh sel target.

Gambar 2.6 Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) b) Complement dependent cytotoxicity (CDC) Pengikatan antibodi monoklonal dengan antigen memicu protein lain untuk mengawali pelepasan proteolitik dari sel efektor kemotaktik yang dapat menyebabkan terbentuknya lubang pada membran sel-sel kanker. Lubang ini membuat air dan ion natrium dapat keluar dan masuk sel kanker tanpa terkendali sehingga sel tersebut akan mengalami lisis atau pecah.

Gambar 2.7 Complement Dependent Cytotoxicity (CDC) c) Perubahan Transduksi Signal Pada setiap sel tubuh, terdapat reseptor growth factor yang merupakan target sel tumor untuk menginduksi sel-sel sehat tersebut agar mengalami

aktivitas metabolisme yang berlebihan dan terjadi pembelahan sel secara cepat sehingga timbul kanker. Transduksi sinyal dari sel kanker ini akan terus meluas sehingga pada suatu fase, jika tingkat keganasannya meningkat, pengobatan dengan kemoterapi tidak dapat mengendalikan atau menekan pertumbuhan sel ganas tersebut. Antibodi monoklonal sangat potensial untuk menormalkan laju perkembangan sel dan membuat sel sensitif terhadap zat sitotoksik (dari kemoterapi)

dengan

menghilangkan

signal

reseptor

ini.

Hasilnya,

perkembangan sel kanker dapat terhenti dan obat yang diberikan melalui kemoterapi dapat menghancurkan sel-sel kanker tersebut. d) Antibodi Directed Enzyme Prodrug Therapy (ADEPT) Antibodi Directed Enzyme Prodrug Therapy (ADEPT) adalah cara penggunaan antibodi monoklonal sebagai penghantar enzim dan obat-obatan untuk sampai ke sel kanker. Enzim yang dibawa oleh antibodi monoklonal akan mengaktifkan obat-obatan sehingga dapat meningkatkan kerja obat untuk membunuh sel-sel kanker. Selain obat-obatan, antibodi monoklonal juga dapat digabungkan dengan partikel radioaktif untuk dikirimkan langsung pada sel kanker.

Gambar 2.8 Antibodi Directed Enzyme Prodrug Therapy (ADEPT)

F. Produk-Produk Antibodi Klon Tunggal 1. Contoh Produk di Pasaran a) Transtuzumab ′′Trastuzumab′′

(Herceptin)

merupakan

suatu

antibodi

monoclonal

humanized yang menghambat sel pertumbuhan dengan cara mengikat bagian ekstraseluler reseptor HER2 protein tyrosine kinase. ′′Trastuzumab′′ juga menginduksi ADCC melalui sel NK dan monosit untuk melawan sel ganas. ′′Trastuzumab′′ mempunyai efek samping berupa disfungsi jantung (27% pada terapi kombinasi dan 8% terapi tunggal), mielosupresi dan diare.Ekspresi protein HER2 yang berlebihan ditemukan pada jaringan tumor KPKBSK dengan menggunakan teknik immunohistochemistry (IHC) 20%, fluorescence in situ hybridization (FISH) 6% dan kadar serum HER2 > 15 ng/ml pada ELISA

6%.

Immunohistochemistry

(IHC)

didapatkan

66

spesimen

memberikan hasil positif dan ELISA didapatkan 13 spesimen positif tetapi tidak satupun spesimen positif pada FISH. (Segota, E., et al., 2004; Heinmoller, P., et al., 2003). Kombinasi ′′trastazumab′′ dan kemoterapi memberikan hasil lebih baik growth inhibitor pada sel yang mengekspresi HER2. Kombinasi ′′trastuzumab′′ dengan kemoterapi terbukti secara klinis memberikan keuntungan pasien kanker payudara metastasis HER2 positif. Penelitian uji klinis randomisasi fase II efek penambahan kombinasi ′′trastazumab′′ dengan kemoterapi standar (gemcitabine dan cisplatin) pada pasien KPKBSK HER2 positif memberikan hasil toleransi yang baik secara klinis. Kombinasi paclitaxel, carboplatin dan ′′trastuzumab′′ dapat diberikan pada KPKBSK stage lanjut dengan toksisiti yang tidak lebih buruk dibandingkan dengan terapi tanpa ′′trastuzumab′′. Strategi yang paling menjanjikan dari target HER2 adalah penggunaan kombinasi inhibitor EGRF TK dengan inhibitor HER2dimerization. (Bunn, P.A., et al., 2001; Vogel, C.L., et al., 2002; Lanjer, C.J., et al., 2004). b) Cetuximab ′′Cetuximab′′ (Erbitux) merupakan antibodi monoclonal chimeric yang bekerja mengikat EGFR pada bagian ekstraseluler. ′′Cetuximab′′ memberikan

efek samping ruamacneiform, folikulitis pada wajah dan dada serta dilaporkan juga reaksi hipersensitif. Response rate (RR) lebih tinggi bila terjadi ruam pada kulit. Penelitianfase II monoterapi ′′cetuximab′′ pasien KPKBSK rekuren dan metastasis yang dideteksi EGFRnya dan yang telah diberikan satu atau lebih regimen kemoterapi sebelumnya, didapatkan 2 dari 29 (6,9%) parsial respons (PR) dan 5 pasien (17,2%) penyakitnya stabil. Uji klinis fase II pasien KPKBSK stage IIIB/IV rekuren atau metastasis didapatkan respons, 3,3% PR (2/60 pasien)dan 25% penyakitnya stabil (15/60 pasien). Hal ini menunjukkan toleransi ′′cetuximab′′ sangat baik. (Lynch, T.J., et al., 2004; Theinelt, C.D., et al., 2005). Efikasi ′′cituximab′′ ditambah kemoterapi lainnya telah diteliti. Penelitian fase I pada KPKBSK didapatkan PR 2 dari 19 pasien (10,5%) dengan dosis multipel ′′cetuximab′′ dan cisplatin. Uji klinis randomisasi terkontrol kemoterapinaive pasien KPKBSK stadium lanjut dengan ekspresi EGFR berlebihan didapatkan RR yang tinggi pada regimen ′′cetuximab′′, vinorelbine dan cisplatin dibandingkan hanya dengan ′′vinorelbine′′ dan ′′cisplatin′′ saja (31,7% vs 20,0%). Penelitian lain kombinasi ′′cetuximab′′ dilaporkan bahwa didapatkan RR yang hampir sama. Kombinasi ′′cetuximab′′ dengan docetaxel kemoterapi pada KPKBSK refrakter/resisten didapatkan 28% (13/47) PR dan 17% (8/47) penyakitnya stabil. ′′Cetuximab′′ yang ditambahkan regimen paclitaxel + carboplatin atau regimen gemcitabine + carboplatine pada KPKBSKnaïve didapatkan masing –masing RR 26% (31 pasien) dan 28,6% (35 pasien). (Lynch, T.J., et al., 2004; Theinelt, C.D., et al., 2005). c) Bevacizumab “Bevacizumab” (Avastin) merupakan antibodi monoclonal humanized yang bekerja pada target VEGF, menstimulasi formasi pembuluh darah baru tumor. ′′Bevacizumab′′ mempunyai efek samping berupa hipertensi sedang dan efek yang jarang terjadi adalah perforasi intestinal. Beberapa inhibitor angiogenesis telah diteliti pada KPKBSK termasuk VEGF, VEGFR antibodi dan inhibitor VEGFR TK. Penelitian terbaik inhibitor angiogenesis adalah ′′bevacizumab′′ suatu antiVEGF antibodi yang dikombinasikan dengan kemoterapi dan

′′erlotinib′′ pada KPKBSK stage lanjut atau rekuren. Uji klinis randomisasi terkontrol 99 pasien KPKBSK stage IIIB/IV atau rekuren, ′′bevacizumab′′ ditambahkan pada paclitaxel + carboplatin memberikan respons dan time to progression (TTP) yang baik dibandingkan dengan paclitaxel + carboplatin saja. Median TTP jauh lebih bermakna pada pasien yang 60 mendapatkan regimen ′′bevacizumab′′ dosis tinggi (15mg/kg) daripada yang mendapatkan dosis kecil (7,5mg/kg) (7,4 vs 4,2 bulan p=0,023). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada TTP pada grup ′′bevacizumab′′ dosis rendah dibandingkan paclitaxel + carboplatin saja. (Johnson, D.S., et al., 2005). Hasil awal uji klinis fase I/II ′′bevacizumab′′ dan ′′erlotinib′′ pada KPKBSK stage IIB/IV atau rekuren didapatkan PR 8 dari 40 pasien (20%) dan penyakit stabil 26 dari 40 pasien (65%), median survival time12,6 bulan danprogression free survival6,2 bulan. Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) E4599trial membandingkan regimen paclitaxel + carboplatin dengan ′′bevacizumab′′ (PCB) dan tanpa ′′bevacizumab′′ (PC) pada KPKBSK stage lanjut. Hal ini merupakan uji klinis faseIII pertama yang menunjukkan keuntungansurvivalterapi lini pertama kombinasi target biologi dengan kemoterapi, dilaporkan RR 27% pada PCB dibandingkan 10% pada PC, progression free survival (PFS) (6,4 vs 4,5 bulan) dan median survival rates (12,5 vs 10,3 bulan) dengan ′′bevacizumab′′. ′′Bevacizumab′′ memberikan toleransi yang baik bila dikombinasi dengan regimen paclitaxel + carboplatin yang

akan

mengubah

toksisiti

regimen

kemoterapi.

“Bevacizumab”

mempunyai efek samping hipertensi, proteinuria dan hemoragik. Kasus hemoragik sangat kecil tetapi dilaporkan terjadi hemoragik pulmoner yang merupakan sebab hambatan angiogenesis. Hilangnya neovessel dalam jumlah besar pada sentral tumor menyebabkan perdarahan ke dalam kaviti tumor yang nekrosis. (Johnson, D.S., et al., 2005).

G. Kelebihan dan Kekurangan Antibodi Klon Tunggal Adapun kelebihan antibodi klon tunggal ini telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain:

1. Untuk kepentingan penelitian (riset): enzymeimmunoassay (EIA), radiaoimmunoassasy (RIA) dan imonositokimia (immunocytochemistry). 2. Untuk uji klinis: a. Tes kehamilan dengan menggunakan antiserum terhadap hormon βhCG yang dihasilkan oleh plasenta ibu yang hamil muda. b. Tes golongan darah dengan menggunakan antiserum A dan B. 3. Untuk diagnosis Tes selorogis mendiagnosis penyakit seperti Sexually transmitted disease (AIDS), Toxoplasma, Hepatitis, dsb. Anti-HIV, HbsAg. 4. Untuk pengobatan a. Untuk terapi sel tumor dengan menitipkan obat sitotoksik pada molekul MAB. Dengan metode ini obat langsung tertuju pada sel-sel tumor yang berbahaya dan obat tidak merusak sel-sel tubuh lainnya yang sehat. b. Koreksi ketergantungan obat c. Deteksi metatasis tumor d. Mengurangi resiko yang berkaitan dengan transplatasi sumsum tulang. Adapun kelemahan dan kelebihan dari antibodi monoklonal, di antaranya: Kelebihan Though

Kekurangan

expensive,

monoclonal They are expensive

antibodies are cheaper to develop than Antibodi monoklonal mahal. conventional drugs because it is based on tested technology. Meskipun mahal, antibodi monoklonal lebih

murah

untuk

dikembangkan

daripada obat konvensional, karena antibodi

monoklonal

berdasarkan

teknologi yang telah teruji. Side effects can be treated and reduced There were many side effects. by using mice-human hybrid cells or by Antibodi monoklonal memiliki banyak

using fractions of antibodies. Efek

samping

dapat

efek samping.

dirawat

dan

dikurangi dengan menggunakan hibrid sel

tikus-manusia

atau

dengan

menggunakan molekul antibodi. They are used in different ways. Antibodi

monoklonal

It is difficult to get the right antibodies

menggunakan and attach a compound to it.

beberapa teknik

Sulit untuk mendapatkan antibodi yang tepat

dan

melekatkan

menggabungkannya

untuk

untuk menjadi

antibodi monoklonal. They bind to specific diseased or Body cells can be harmed. damaged cells needing treatment. Antibodi

monoklonal

Sel tubuh dapat dirugikan.

mengikat

penyakit yang spesifik atau sel rusak yang membutuhkan perawatan. They treat a wide range of conditions. Antibodi monoklonal merawat dengan kondisi yang jangkauannya lebih luar. Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan Antibodi Klon Tunggal Sumber bacaan: Marainesthai, 2017

H. Masa Depan Antibodi Klon Tunggal Bagi Kehidupan Kegunaan antibody klon tunggal bagi kepentingan manusia antara lain : 1. Terapi Oleh karena antibodi monoklonal memiliki spesifitas tinggi, maka pada gilirannya nanti dapat dititipi obat-obatan tertentu dengan tujuan langsung pada antigen yang spesifik. Keuntungan cara ini obat langsung tertuju pada sel target sehingga tidak meracuni sel lainnya. 2. Diagnosis

Saat ini telah banyak diterapkan cara diagnosis penyakit dengan menggunakan antibody monoclonal karena ketelitiannnya sangat tinggi. a. Uji kehamilan dengan hambatan aglunitasi menggunkan anti-b Hcg : Partikel lemak + anti-b Hcg + urine : jika tidak menggumpal berarti positif b. Uji golongan darah ABO : Dengan menggunakan serum anti-A dan serum anti-B, jika darah diberi anti-A menggumpal berarti memiliki aglutinogen A, jika anti-B menggumpal maka memiliki aglutinogen B c. Uji serum: misalnya untuk mendiagnosa apakah seseorang pernah mengidap virus HIV penyebab penyakit AIDS dengan cara mengambil serum kemudian diperiksa dengan menggunakan teknik ELISA 3. Penelitian Antibodi monoclonal telah banyak dipergunakan untuk kepentingan penelitian misalnya dengan teknik : a. ELISA (Enzyme Linkage immunoserbent assay), untuk mengetahui antibody dalam serum dengan teknik Elisa dilakukan dengan menggunakan antigen yang telah diketahui kemudian ditambahkan antibody yang spesifik antispesies yang telah dilabel dengan enzim dan ditambahkan substrat hasilnya berupa perubahan warna yang instensitasnya proporsional dengan kadar antibody. b. RIA( Radioimmuno Antibody technique), untuk mengetahui adanya suatu antigen dengan menggunakan antibody yang telah dilabel dengan zat flouresen apabila ada interaksi antigen antibody, maka jika disisnari oleh ultraviolet akan berpendar c. ICA (Immunochrographic assay)

BAB III PENUTUP A. Simpulan Antibodi klon tunggal merupakan antibodi buatan identifik karena diproduksi oleh salah satu jenis sel imun saja dan semua klonnya merupakan sel single parent. Antibodi monoklonal mempunyai sifat khusus yang unik yaitu dapat mengenal suatu molekul, memberikan informasi tentang molekul spesifik dan sebagai terapi target tanpa merusak sel sehat sekitarnya. Bioteknologi terbarukan ini hadir ketika G. Kohler dan Milstein pada 1975, menemukan teknik hibrid yang mampu membuat sel limfosit B penghasil antibodi menjadi sel yang immortal karena dilakukannya proses fusi dengan sel myeloma yang bersifat kekal. Pembuatan antibodi klon tunggal selalu melibatkan hewan perantara seperti mencit atau kelinci yang mana prosesnya secara in vivo adapun dengan proses in vitro yang dilakukan di dalam cawan petri. Karena prosesnya yang rumit menyebabkan produk antibodi klon tunggal mahal dipasaran. Sehingga pengembangan antibodi monoklonal ini masih tetap dilakukan, sehubungan manfaatnya yang mampu mendiagnosis dan mampu sebagai pengobatan kanker dan penyakit lain bahkan AIDS dengan sangat efektif. B. Saran Semoga makalah ini dapat menjadikan tambahan ilmu bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Namun, penulis juga membutuhkan kritik yang membangun untuk menjadikan tambahan ilmu bagi penulisnya.

DAFTAR PUSTAKA Abbas AK, Lichtman AH. Antibodies and antigens. In: Schmitt WR, Krehling H, editors. (2005). Cellular and molecular immunology. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. 43-64 Alberts, B., Johnson, A., Lewis, J., Raff, M., Robert, K., Walter, P. (2002). Manipulating proteins, DNA, and RNA. In: Anderson MS, Dilernia B, editors. Molecular biology of the cell. 4th ed.New York: Garland Science. 469-78. Bunn PA, Helfrich B, Soriano AF, Franklin WA, Garcia MV, Hirsch FR, et al. (2001). Expression of HER 2/neu in human lung cancer cell lines by immunohistochemistry and fluorescence in situ hybridization and its relationship to in vitro cytotoxicity by trastuzumab and chemotherapeutic agents. Clin Cancer Res. 7: 3239-50. Hasibuan, A. P., & Suharni, S. (1998). Pembuatan Antibodi Monoklonal Terhadap Salmonella typhimurium dengan Teknik Hibridoma. Penelitian dan Pengembangan Aplikasi lsotop dan Radiasi. Heinmőller P, Gross C, Beyser K, Schmidtgen C, Maass G, Pedrocchi M, et al. HER 2 status in non small cell lung cancer: result from patient screening for enrollment to a phase II study of herceptin. Clin Cancer Res 2003; 9: 5238-44. Johnson DH, Fehrenbacher L, Novotny WF, Herbst RS, Nemunatis JJ, Joblons DM, et al. (2004). Randomized phase II trial comparing bevacizumab plus carboplatin and paclitaxel with carboplatin and paclitaxel alone in previously untreated locally advanced or metasatic non small cell lung cancer. J Clin Oncol. 22: 2184-91. Jumanto, M. M., Manzila, I., & Suryadi, Y. Produksi Antibodi Monoklonal (McAb) untuk Deteksi Virus Kerdil Hampa Padi: Produksi Hibridoma Penghasil McAb. Kőhler, G. dan Milstein, C. (1975). Continous cultures of fused cells secreting antibody of predifined specificity. Nature. 256: 495-7. Lanjer CJ, Stephenson P, Thor A, Vangel M, Johnson DH. (2004). Trastuzumab in the treatment of advanced non small cell lung cancer: is there a role? focus on eastern cooperative oncology group study 2598. J Clin Oncol. 22: 1180-7. Lynch TJ, Lilenbaum R, Bonomi P Ansari R, Govindan R, Janne PA, et al. (2004). A phase II trial of cetuximab as therapy for recurrent non small cell lung cancer (NSCLC). Proc Am Soc Clin Oncol. 22: abst 7084.

Nelson PN, Reynolds GM, Waldron EE, Ward E, Giannopoulos K, Murray PG. (2000). Demystified monoclonal antibodies. J Clin Pathol: Mol Pathol. 53: 111-7. Nurcahyo, H. (2011). Diktat Bioteknologi. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta. Pandey, S. (2010). Hybridoma technology for production of monoclonal antibodies. Hybridoma, 1(2), 017. Radji, Maksum. 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan. Segota E, Bukowski RM. (2004). The promise of targeted therapy: cancer drugs become more specific. Cleveland Clin J Med. 71: 551-60. Suharti, N., & Andani, E. P. (2013). Pengembangan Antibodi Monoklonal terhadap Antigen Spesifik Mycobacterium Tuberculosis sebagai Kandidat Diagnosis Tuberkulosis melalui Sputum. In Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III. ISSN (pp. 23392592). Thienelt CD, Bunn PA, Hanna N, Rosenberg A, Needle MN, Long ME, et al. (2005). Multicenter phase I/II study of cituximab with paclitaxel and carboplatin in untreated patients with stage IV non small cell lung cancer. J Clin Oncol. 23: 8786-93. Vogel CL, Cobleigh MA, Tripathy D, Gutheil JC, Harris LN, Fehrenbacher L, et al. (2002). Efficacy and safety of trastuzumab as a single agent in first line treatment of HER 2 overexpressing metastatic breast cancer. J Clin Oncol. 20: 719-26.

Related Documents


More Documents from ""

Instrumen Penelitian.docx
November 2019 63
Bab 1 Hand Hygiene.docx
April 2020 25
Farmasi.docx
April 2020 37
Kia Dan Kb.docx
April 2020 25