BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecatatan utama pada kelompok produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatn di rumah sakit, dua pertiga berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah pasien cedera kepala mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Di samping penerangan di lokasi kejadian dan selama transportasi ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas. Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan.Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif-non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial
baik
sementara
atau
permanen.
Trauma
kepala
dapat
menyebabkan kematian/ kelumpuhan pada usia dini. Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh
1
benda keras.Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan. Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa; kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun. Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ. Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada dekade 3 kehidupan diseluruh kota besar didunia dan diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun yang disebabkan oleh trauma toraks di Amerika. Sedangkan insiden penderita trauma toraks di Amerika Serikat diperkirakan 12 penderita per seribu populasi per hari dan kematian yang disebabkan oleh trauma toraks sebesar 20-25% . Dan hanya 10-15% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana untuk menolong korban dari ancaman kematian. Canadian Study dalam laporan penelitiannya selama 5 tahun pada "Urban Trauma Unit" menyatakan bahwa insiden trauma tumpul toraks sebanyak 96.3% dari seluruh trauma toraks, sedangkan sisanya sebanyak 3,7% adalah trauma tajam. Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks masih didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas (70%). Sedangkan mortalitas pada setiap trauma yang disertai dengan trauma toraks lebih tinggi (15.7%) dari pada yang tidak disertai trauma toraks (12.8%) Pengelolaan trauma toraks, apapun jenis dan penyebabnya tetap harus menganut kaidah
2
klasik dari pengelolaan trauma pada umumnya yakni pengelolaan jalan nafas, pemberian ventilasi dan kontrol hemodinamik . Berdasarkan data-data di atas maka kami akan membahas bagaimana tentang kegawatdaruratan pada trauma thorak. Untuk menambah pengetahuan kami pada bagian trauma pada umumnya dan kegawatdaruratan pada trauma thorak pada khususnya. B. Tujuan Penulisan Makalah Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang : 1. Pengertian Cedera Kepala 2. Klasifikasi Cedera Kepala 3. Etiologi Cedera Kepala 4. Patofisiologi Cedera Kepala 5. Manifestasi Klinis Cedera Kepala 6. Pemeriksaan Penunjang Cedera Kepala 7. Penatalaksaanan Cedera Kepala 8. Komplikasi Cedera Kepala 9. Pencegahan Cedera Kepala 10. Definisi trauma abdomen 11. Etiologi trauma abdomen 12. Manifestasi Klinis trauma abdomen 13. Klasifikasi trauma abdomen 14. Patofisiologi trauma abdomen 15. Komplikasi trauma abdomen 16. Pemeriksaan diagnostik trauma abdomen 17. Penatalaksanaan gawat darurat trauma abdomen 18. Pengertian Trauma Torax 19. Etiologi Trauma Torax 20. Anatomi Trauma Torax 21. Gejala umum trauma thorak Trauma Torax 22. Penanganan kegawatdaruratan Trauma Torax 23. Jenis truma thorak. Trauma Torax 3
BAB II PEMBAHASAN
I.
TRAUMA KEPALA A. Pengertian Cedera Kepala Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kapala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan
gangguan
neurologis. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama transpotasi korban kerumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruan gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak.Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedara kepala menjadi ringan segera di tentukan saat pasien tiba di rumah sakit. Trauma atau cedera kepala juga di kenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak. Cedera kepala, dikenal juga sebagai cedera otak, adalah gangguan fungsi otak normal karena trauma (trauma tumpul atau trauma tusuk).
4
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh masa karena hemoragi, serta edema serebral disekitar jaringan otak. Jenis-jenis cedera otak meliputi komosio, kontusio serebri, kontusio batang otak, hematoma epidural, hematoma subdural, dan fraktur tengkorak.
B. Klasifikasi Cedera Kepala Klasifikasi cedera kepala yang terjadi melalui dua cara yaitu efek langsung trauma pada fungsi otak (cedera primer) dan efek lanjutan dari selsel otak yang bereaksi terhadap trauma (cedera sekunder). 1. Cedera primer Cedera primer, terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, lasetasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. 2. Cedera sekunder Cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tidak ada pada area cedera.Konsekuensinya meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale (GCS) nya, yaitu: a. Ringan 1. GCS = 13 – 15 2. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. 3. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
5
b. Sedang 1. GCS = 9 – 12 2. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. 3. Dapat mengalami fraktur tengkorak. c. Berat 1. GCS = 3 – 8 2. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. 3. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi,
atau hematoma
intrakranial.
C. Etiologi Cedera Kepala Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam.Benda tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, pukulan benda tumpul, Sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam (bacok) dan tembakan. Menurut penelitian Evans di Amerika (1996), penyebab cedera kepala terbanyak adalah 45% akibat kecelakaan lalu lintas, 30% akibat terjatuh, 10% kecelakaan dalam pekerjaan,10% kecelakaaan waktu rekreasi,dan 5% akibat diserang atau di pukul. Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor. Hal ini disebabkan sebagian besar (>85%) pengendara sepeda motor tidak menggunakan helm yang tidak memenuhi standar. Pada saat penderita terjatuh helm sudah terlepas sebelum kepala menyentuh tanah, akhirnya terjadi benturan langsung kepala dengan tanah atau helm dapat pecah dan melukai kepala.
D. Patofisiologi Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder.Cedera otak primer adalah cedera
6
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik.Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cedera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cedera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
E. Manifestasi Klinis Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak. 1. Cedera kepala ringan a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
7
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas. c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan. 2. Cedera kepala sedang a. Kelemahan pada salah satu tubuh
yang disertai dengan
kebingungan atau hahkan koma. b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan
TTV,
gangguan
penglihatan
dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan. 3. Cedera kepala berat a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan. b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik. c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur. d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
F. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto polos tengkorak (skull X-ray) Untuk mengetahui lokasi dan tipe fraktur. 2. Angiografi cerebral Bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya suatu pertumbuhan intrakranial hematoma. 3. CT-Scan Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya perdarahan intrakranial, edema kontosio dan pergeseran tulang tengkorak.
8
4. Pemeriksaan darah dan urine. 5. Pemeriksaan MRI 6. Pemeriksaan fungsi pernafasan Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata). 7. Analisa Gas Darah Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
G. Penatalaksaanan Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu : 1. Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (AirwaysBrething-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan cenderung memper-hebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. 2. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan inkubasi pada kesempatan pertama. 3. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya. 4. Pemeriksaan neurologos mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil, refleks okulor sefalik dan reflel okuloves tubuler. Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah (syok). 5. Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang dan natrium bikarbonat. 6. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi, komputer otak, angiografi serebral, dan lainnya. Penanganan non medis pada cedera kepala, yaitu: 1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. 2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
9
vasodilatasi. 3. Pemberian analgetik. 4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40% atau gliserol. 5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole. 6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak. Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala beratsurvei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
H. Komplikasi Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala adalah; 1. Edema pulmonal Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan
dewasa.
Edema
paru
terjadi
akibat
refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadaan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110
10
mmHg pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut. 2. Kejang Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap.Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut.Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.Hati-hati terhadap efek pada sistem pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan. 3. Kebocoran cairan serebrospinalis Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga. 4. Hipoksia 5. Gangguan mobilitas 6. Hidrosefalus 7. Oedem otak 8. Dipnea
11
I. Pencegahan Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu : a. Pencegahan Primer Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm. b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu : 1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway). Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera.Untuk menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya.Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway. 2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing) Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatanadalah
membantu
12
pernafasan.
Keterlambatan
dalam
mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian. 3. Menghentikan perdarahan (Circulations). Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat.Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infus dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah.Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah. c. Pencegahan Tertier Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat
kecelakaan
lalu
lintas
untuk
mengurangi
kecacatan
dan
memperpanjang harapan hidup.Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial. 1. Rehabilitasi Fisik a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh. b. Perlengkapan splint dan caliper. c. Transplantasi tendon 2. Rehabilitasi Psikologis Pertama-tamadimulai
agar
pasien
segera
menerima
ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya.Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
13
3. Rehabilitasi Sosial a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain. b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
II. TRAUMA ABDOMEN A. Definisi trauma abdomen Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ. Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). B. Etiologi Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya. Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen.Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
14
a. Paksaan /benda tumpul Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. b. Trauma tembus Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.
C. Manifestasi Klinis a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium): 1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ 2) Respon stres simpatis 3) Perdarahan dan pembekuan darah 4) Kontaminasi bakteri 5) Kematian sel Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan
perdarahan.
Sedangkan
organ
berongga
bila
pecah
mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi b. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium) ditandai dengan: 1) Kehilangan darah.
15
2) Memar/jejas pada dinding perut. 3) Kerusakan organ-organ. 4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut. 5) Iritasi cairan usus (FKUI, 1995). Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma abdomen menunjukkan manifestasi sebagai berikut : 1) Laserasi, memar,ekimosis 2) Hipotensi 3) Tidak adanya bising usus 4) Hemoperitoneum 5) Mual dan muntah 6) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd arteri karotis), 7) Nyeri 8) Pendarahan 9) Penurunan kesadaran 10) Sesak 11) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent. 12) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal 13) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada perdarahan retroperitoneal. 14) Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur pelvis 15) Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
16
D. Klasifikasi Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu : a. Trauma tumpul (blunt injury) Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir). Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal. b. Trauma tajam (penetration injury) Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong.
Luka
tembak
dengan
kecepatan
tinggi
akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%),
17
usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%). Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen dan trauma pada isi abdomen. a. Trauma pada dinding abdomen Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi. 1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor. 2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi karena trauma penetrasi. b. Trauma pada isi abdomen Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002) terdiri dari: 1) Perforasi organ viseral intraperitoneum Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen. 2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah. 3) Cedera thorak abdomen Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi (Sjamsuhidayat, 1998).
18
E. Patofisiologi Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan
yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga
tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme : a) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga. b) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks. c) Terjadi
gaya
akselerasi-deselerasi
secara
mendadak
menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler
19
dapat
F. Komplikasi a) Trombosis Vena b) Emboli Pulmonar c) Stress ulserasi dan perdarahan d) Pneumonia e) Tekanan ulserasi f) Atelektasis g) Sepsis
G. Pemeriksaan diagnostik a. Trauma Tumpul 1. Diagnostik Peritoneal Lavage DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh
team bedah untuk pasien dengan
trauma tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai : a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-obatan. b) Perubahan sensasi trauma spinal c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas e) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi f)
Adanya lap-belt sign (kontusio dinding kecurigaan trauma usus
20
perut) dengan
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang
membesar.
Adanya
aspirasi
darah
segar,
isi
gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-150)Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih. (Scheets, 2002 : 279-280) 2. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma) Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya
21
peralatan khusus di tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang tepat, noninvansive,
akurat
dan
murah
untuk
mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150) a) Computed Tomography (CT) Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151) b. Trauma Tajam 1. Cedera thorax bagian bawah Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan. 2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
22
3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple contrast pada cedera flank maupun punggung Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries anterior. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151) c. Pemeriksaan Radiologi 1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal 2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru
23
maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur. 3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus a) Urethrografi Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila kita curigai adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi digunakan dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc di fossa naviculare. Dimasukkan
15-20
cc
kontras
yang
diencerkan.
Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada pelvis. b) Sistografi Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CTScan sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 148) c) CT Scan/IVP Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera
24
ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik putusnya a.renalis,
ataupun
parenchyma
yang
mengalami
kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki. d) Gastrointestinal Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper GI Track ataupun GI tract
bagian
bawah
dengan
kontras
harus
dilakukan.(American College of Surgeon Committee of Trauma,2004:149). d. Pemeriksaan Laboratorium 1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri 2) Penurunan hematokrit/hemoglobin 3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT, 4) Koagulasi : PT,PTT 5) MRI
25
6) Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik 7) CT Scan 8) Radiograf dada
mengindikasikan peningkatan diafragma,
kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X. 9) Scan limfa 10) Ultrasonogram 11) Peningkatan serum atau amylase urine 12) Peningkatan glucose serum 13) Peningkatan lipase serum 14) DPL (+) untuk amylase 15) Penigkatan WBC 16) Peningkatan amylase serum 17) Elektrolit serum 18) AGD (ENA,2000:49-55)
H. Penatalaksanaan gawat darurat a. Pre Hospital Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas. 1. Airway Dengan kontrol
tulang belakang. Membuka
jalan napas
menggunakan teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat
26
mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya. 2. Breathing Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan). 3. Circulation Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas). Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul) 1.
Stop makanan dan minuman
2.
Imobilisasi
3.
Kirim kerumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam) 1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis. 2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka. 3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan
dimasukkan
kembali
kedalam
tubuh,
kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril. 4.
Imobilisasi pasien.
5.
Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
27
6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang. 7.
Kirim ke rumah sakit.
b. Hospital 1. Trauma penetrasi Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan. a. Skrinning pemeriksaan rontgen b. Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
hemo
atau
pneumotoraks
atau
untuk
menemukan adanya udara intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum. c.
IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
d. Uretrografi Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra. e. Sistografi Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung kencing, contohnya pada : -
fraktur pelvis
-
trauma non-penetrasi
2. Penanganan pada trauma benda tumpul: a. Pengambilan contoh darah dan urine Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
28
b. Pemeriksaan rontgen Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera. c. Study kontras urologi dan gastrointestinal Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau decendens dan dubur (Hudak & Gallo, 2001).
III. TRAUMA TORAX A. Pengertian Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001). Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).. Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
B. Etiologi 1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax.
29
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.
C. Anatomi Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk. Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior. Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus. Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal, hanya ruang potensial yang ada. Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.
30
D. Gejala umum trauma thorak Gejala yang sering dilihat pada trauma torak adalah : 1. nyeri dada, bertambah pada saat inspirasi 2. sesak nafas 3. klien menahan dadanya dan bernafas pedek. 4. Pembengkakan local dan krepitasi pada saat palpasi 5. Dyspnea, takypnea 6. Takikardi 7. Hypotensi 8. Gelisah dan agitasi 9. sianotik dengan tanda trauma torak atau jejas pada dadanya. Lebih dari 90 % trauma toraks tidak memerlukan tindakan pembedahan berupa torakotomi, akan tetapi tindakan penyelamatan dini dan tindakan elementer perlu dilakukan dan diketahui oleh setiap petugas yang menerima atau jaga di unit gawat darurat. Tindakan penyelamatan dini ini sangat penting artinya untuk prognosis pasien dengan trauma toraks. Tindakan elementer ini adalah : 1. Membebaskan dan menjamin kelancaran jalan nafas. 2. Memasang infus dan resusitasi cairan. 3. Mengurangi dan menghilangkan nyeri. 4. Memantau keasadaran pasien. 5. Melakukan pembuatan x-ray dada kalau perlu dua arah. Trauma torak yang memerlukan tindakan dan atau pembedahan gawat/ segera adalah yang menunjukkan : 1. Obstruksi jalan nafas 2. Hemotorak massif 3. Tamponade pericardium / jantung 4. Tension pneumotorak 5. Flail chest 6. Pneumotorak terbuka 7. Kebocoran bronkus dan trakeobronkial.
31
E. Penanganan kegawatdaruratan ATLS menggunakan pendekatan primary dan secondary survey. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada jam-jam pertama setelah terjadinya trauma. 1. Primary survey Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan menyiapkan metoda perawatan individu yang mengalami multiple secara konsisten dan enjaga tim agar tetap berfokus pada prioritas keperawatan. Masalah-masalah yag mengancam nyawa terkait jalan nafas, sirkulasi, dan status kesadaran pasien diidentifikasi, di evaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan menit sejak dating di unit gawat darurat. Komponen primary survey : a. Airway b. Breathing c. Circulation d. Disability e. Exposure and environment a. Airway Penilaian jalan nafas merupakan langkah pertama pada penanganan pasien trauma. Penilaian jalan nafas dilakukan bersamaan dengan menstabilkan leher. Tahan kepala dan leher pada posisi netral dengan tetap mempertahankan leher dengan menggunakan servical collar dan meletakkan pasien pada spine board. Dengarkan suara spontan yang menandakan pergerakan udara melalui pita suara. Jika tidak ada suara buka jalan nafas pasien dengan menggunakan chin lift atau maneuver modified jaw thrust. Periksa orofaring, jalan nafas mungkin terhalang sebagian atau sepenuhnya oleh cairan (darah,saliva,muntahan) atau serpihan kecil seperti gigi, makanan atau benda asing. Intervensi sesuai dengan kebutuhan (suction, reposisi) dan kemudian evaluasi kepatenan jalan nafas.
32
Alat-alat untuk mempertahankan jalan nafas seperti nasofaring, orofaring, LMA, pipa trakea, combitube atau cricothyotomy mungkin dibutuhkan untuk membuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas. b. Breathing Untuk menilai pernafasan perhatikan proses respirasi sontan dan catat kecepatan, kedalaman serta usaha untuk melakukannya, periksa dada untuk mengetahui penggunaan otot bantu nafas dan gerakan naik turunnya dinding dada secara simetris saat respirasi. Cedera tertentu misalnya luka terbuka, flail chest dapat dilihat dengan mudah. Lakukan auslkultasi suara pernafasan bila didapatkan adanya kondisi serius dari pasien. Selalu diasumsikan bahwa pasien yang tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada dalam kondisi hipoksia sampai terbukti sebaliknya. Intervensi keperawatan : 4. Oksigen tambahan untuk semua pasien. 5. Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan 6. Pertahankan posisi pipa trakea 7. Bila terdapat trauma thorak, tutup luka dada selama proses penghisapan, turunkan tekanan pneumotoraks, stabilisasi bagianbagian yang flail dan masukkan pipa dada. 8. Perlu dilakukan penilaian ulang status pernafasan pasien. c. Circulation Penilaiaan primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup evaluasi adanya perdarahan, denyut nadi dan perfusi. d. Perdarahan Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang massif dan tekan langsung daerah tersebut. Jika memungkinkan, naikkan daerah yang mengalami perdarahan sampai diatas etinggian jantung. Kehilangan darah dalam jumlah bear dapat terjadi didalam tubuh.
33
e. Denyut nadi Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada atau tidaknya nadi, kualitas, laju dan ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat dilihat secara langsung setelah terjadi trauma. Raba denyut nadi karotis. Sirkulasi di evaluasi melalui auskultasi apical. Cari suara denguban jantung yang menandakan adanya penyumbatan pericardial. Mulai dari tindakan pertolongan dasar sampai dengan lanjut untuk pasien yang tidak teraba denyut nadinya. f. Perfusi kulit Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit basah, pucat, sianosis atau bintik-bintik mungkin menandakan keadaan syok hipovolemik. Cek warna, suhu kulit, adanya keringat dan crt. Waktu crt adalah ukuran perfusi yang cocok pada anak-anak, tetapi kegunaannya berkurang seiring dengan usia pasien dan menurunnya kondisi kesehatan. Namun demikian, semua tanda-tanda syok terjadi belum tentu akurat dan tergantung pada pengkajian. Selain kulit tanda-tanda hipoperfusi juga Nampak pada organ lain, misalnya oliguria, perubahan tingkat esadaran, takikardi dan distritmia. Selain itu perlu diperhatikan juga adanya penggelembungan atau pengempisan pembuluh darah di leher yang tidak normal. Mengembalikan volume sirkulasi darah mrupakan tindakan yang penting untuk dilakukan dengan segera. Berikan 1-2 liter cairan isotonic kristaloid solution (0,9% normal salin atau ringer laktat). Ada anak-anak pemberian berdasarkan berat badan yaitu 20 ml per kg bb. Dalam pemberian caran perlu diperhatikan repon pasien dan setiap 1 ml darah yang hilang dibutuhkan 3 ml cairan kristaloid. g. Disability Tigkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan mnemonic AVPU. Sebagai tambahan, cek kondisi pupil, ukuran, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya. Pada saat survey primer, penilaian neurologis hanya dilakukan secara singkat. Pasien yang memiliki resiko hipoglikemia, misalkan pasien dengan dm. harus di cek kadar gula dalam darahnya.
34
Apabila didpat kondisi hipoglikemi berat maka bias diberikan dextrose 3%. Adanya penurunan tingkat kesadaran akan dilakukan pengkajian lebih lanjut pada survey sekunder. GCS dapat dihitung segera setelah pemeriksaan survey sekunder. Mnemonic AVPU meliputi : aware (sadar), verbal (berespons terhadap suara),pain (berespon terhadap rangsang nyeri), unresponsive (tidak berespon). h. Exposure dan environment control (pemaparan dan control lingkungan) Exposure Lepas semua pakaian klien secara cepat untuk memeriksa cedea, perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi klien secara umum, catat kondisi tubuh atau adanya zat bau kimia seperti alcohol, bahan bakar atau urine. Environmental control Klien harus dilindungi dari hipotermia. Hipotermia penting karena ada kaitannya dengan vaso kontriksi pembuluh darah dan koagulopati. Pertahankan atau kembalikan suhu normal tubuh dengan mengeringkan klien dan gunakan lampu pemanas, selimut, pelindung kepala, system penghangat udara, dan berikan cairan. 2. Secondary survey Pada survey ini dilakukan pemeriksaan lengkap head to toe. Apabila ditemukan masalah maka tidak akan dilakukan tindakan dengan segera, akan dicatat dan diprioritaskan untuk tindakan selanjutnya. Pada secondary survey ini dilakukan tindakan sebagai berikut : c. Full set of vital signs, five intervensions and facilication of family presence d. Give comfort measures e. History and head to toe examination f. Inspect the posterior surfaces 8. Full set of vital signs, five intervensions and facilication of family presence
35
Pemeriksaan tanda-tanda vital adalah hal dasar untuk menentukan tindakan selanjutnya. 5 intervensi meliputi : b. Pemasangan monitor jantung c. Pasang nasogastrik tube d. Pasang foley kateter e. Pemeriksaan laboratorium f. Pasang oksimetri Memfasilitasi kehadiran keluarga berarti memberikan kesempatan untuk bersama klien walaupun klien dalam keadaan gawat darurat. Berdasarkan
kesepakatan
emergency nurses
association,
keluarga
diberikan kesempatan untuk bersama dengan pasien selama proses invasive dan resusitasi. Pihak medis harus mempunyai standar prosedur tentang bagaimana cara menenangkan, mendukung dan memberikan informasi pada anggota keluarga. 3. Give comfort measures Korban trauma sering mengalami masalah terkait dengan kondisi fisik dan psikologisnya. Metode farmakologis dna non farmakologis banyak digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan kecemasan. Dokter dan perawat yang terlibat dalam tim trauma harus bias mengenali keluhan dan melaukan intervensi bila dibutuhkan. 4. History and head to toe examination History Jika klien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada pasien unuk mendapa informasi tentang riwayat kesehatan klien, anggota keluarga juga bias menjadi sumber informasi. Informasi penting tentang bagaimana proses terjadinya trauma harus diperoleh dari klien atau keluarganya untuk mempermudah dalam menentukan tindakan selanjutnya. Head Pada kepa;a dilakukan inspeksi secara sitematis, palpasi tengkorak untuk mendapatkan fragmen tulang yang tertekanm hematoma, laserasi
36
dan nyeri. Ekimosis di belakang telinga atau didaerah periorbital adalah indikasi adanya fraktur tengkorak bacilar. Face Inspeksi wajah degan seksama. Perhatikan apakah ada cairan keluar dari telinga, hidung, mata dan mulut. Cairan jenih yang keluar dari hidung dan telinga diasumsikan sebagai cairan serebrospinal. Neck Inspeksi leher klien dan pastikan bahwa pada saat pengkajian leher klien tidak bergerak. lakukan inspeksi dan palpasi terhadap adanya luka, jejas ekimosis, distensi pembuluh darah leher, udara dibawah kulit dan dviasi trakea. Chest Inspeksi dada untuk mengetahui adanya ketidaksimetrisan, perubahan bentuk, traua penetrasi atau luka lain, lakukan auskultasi jantung dan paru. Palpasi dada untuk mengetahui adanya perubahan bentuk, udara dibawah kulit dan area lebam/jejas. Abdomen Inspeksi perut untuk mengetahui adanya memar, massa, pulsasi atau obyek yang menancap. Perhatikan adanya pengeluaran isi perut, auskultasi suara perut di 4 kuadran dan secara lembut palpasi dinding perut untuk memeriksa adanya kekakuan, nyeri, rebound pain. Pelvis Periksa panggul untuk mengetahui adanya perdarahan, lebam, jejas, perubahan bentuk, atau trauma penetrasi. Pada laki-laki periksa adanya priapism, sedangkan pada wanita periksa adanya pendarahan. Inspeksi daerah perineum terhadap adanya darah, feses atau adanya darah dan untuk mengetahui posisi prostat. Ekstremitas Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan bentu, dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka lain. Periksa sensorik, motorik dan kondisi neurovascular pada masing-masing
37
ekstremitas. Lakukan palpasi untuk mengetahui adanya jejas, lebam, krepitasi dan ketidaknormalan suhu. 5. Inspect the posterior surfaces Dengan tetap mempertahankan kondisi tulang belakang dalam kondisi netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini membutuhkan beberapa orang anggota tim. Pemimpin tim menilai keadaan posterior klien dengan mecari tanda-tanda jejas, lebam, perubahan warna atau luka terbuka. Palpasi tulang belakang untuk mencari tonjolan, perubahan bentuk, pergeseran atau nyeri. Pemeriksaan rectal dapat dilakukan pada tahap ini apabila belum dilakukan pada saat pemeriksaan panggul dan pada saat kesempatan ini juga dapat digunakan untuk mengambil baju klien yang berada dibawah tubuh klien. Apabila pada pemeriksaan tulang belakang tidak ditemukan adanya kelainan atau ganggguan dank lien dapat terlentang makan backboard dapat diambil. 6. Monitoring dan evaluasi Setelah secondary survey selesai dilakukan, prioritaskan klien dan rawat cedera sesuai dengan waktunya. Beberapa cedera tertentu yang ditemukan pada saat survey sekunder dapat dinilai dengan mendetail dan terfokus. Klien yang mengalami rauma thorak harus melakukan pemeriksaan thorak secara teratur. Pada saat klien trauma berada di unit gawat darurat, nilai ulang kien secara regular dan teratur untuk mengetahui penurunan kondisi atau cedera yang tidak terdeteksi sebelumnya.
F. Jenis truma thorak. Dinding dada : 1. Patah tulang rusuk, tunggal dan jamak : b. Merupakan jenis yang paling sering. c. Tanda utama adalah tertinggalnya gerakan nafas pada daerah yang patah, disertai nyeri waktu nafas dan atau sesak.
38
2.
Flailchest : a. Akibat adanya patah tulang rusuk jamak yang segmental pada satu dinding dada. b. Ditandai dengan gerakan nafas yang paradoksal. Waktu inspirasi nampak bagian tersebut masuk ke dalam dan akan keluar waktu ekspirasi. Hal ini menyebabkan rongga mediastinum goncangan gerak ( flailing ) yang dapat menyebabkan insertion vena cava inferior terdesak dan terjepit. c. Gejala klinis yang nampak adalah keadaan sesak yang progressif dengan timbulnya tanda-tanda syok.
Rongga pleura : 1. Pneumotorak : 4. Disebabkan oleh robekan pleura dan atau terbukanya dinding dada. Dapat berupa pneumotorak yang tertutup dan terbuka atau menegang (“tension pneumotorak”). Kurang lebih 75 % trauma tusuk pneumotorak disertai hemotorak. 5. Pneumotorak menyebabkan paru kollaps, baik sebagian maupun keseluruhan yang menyebabkan tergesernya isi rongga dada ke sisi lain. Gejalanya sesak nafas progressif sampai sianosis dengan gejala syok. 2.
Hemotoraks : a. Adanya darah dalam rongga pleura. Dibagi menjadi hemotorak ringan bila jumlah darah sampai 300 ml saja. Hemotorak sedang bila jumlah darah sampai 800 ml dan hemotorak berat bila jumlah darah melebihi 800 ml. b. Gejala utamanya adalah syok hipovolemik .
3.
Kerusakan paru: a. 75 % disebabkan oleh trauma torak ledakan. (“blast injury”) . Perdarahan yang terjadi umumnya terperangkap dalam parenkim paru
39
b. Gejala klinis mengarah ke timbulnya distress nafas karena kekurangan kemampuan ventilasi. Perdarahan yang timbul akan membawa akibat terjadinya hipotensi dan gejala syok. 4. Kerusakan trakea, bronkus dan sistem trakeobronkoalveolar. a. Terjadi kebocoran jalan nafas yang umumnya melalui pleura atau bawah kulit bawah dada sehingga menimbulkan emfisema subkutis. b. Disebabkan oleh sebagian besar akibat trauma torak tumpul di daerah sternum c. Secara klinis leher membesar emfisematous dengan adanya krepitasi pada dinding dada. Sesak nafas sering menyertai dan dapat timbul tension pneumotorak. 5. Kerusakan jaringan jantung dan perikardium. a. Gejala klinis akan cepat menunjukkan gejala syok hipovolemik primer dan syok obstruktif primer. Bendungan vena di daerah leher merupakan tanda penyokong adanya tamponade ini. Juga akan nampak nadi paradoksal yaitu adanya penurunan nadi pada waktu inspirasi, yang menunjukkan adanya massa (cair) pada rongga pericardium yang tertutup. b. Penyebab tersering adalah trauma torak tajam di daerah parasternal II – V yang menyebabkan penetrasi ke jantung. Penyebab lain adalah terjepitnya jantung oleh himpitan sternum pada trauma tumpul torak. c. Melakukan fungsi perikardium yang mengalami tamponade dapat bertujuan diagnostik sekaligus langkah pengobatan dengan membuat dekompressi terhadap tamponadenya. 6. Kerusakan pada esofagus. a. Relatif jarang terjadi, menimbulkan nyeri terutama waktu menelan dan dalam beberapa jam timbul febris. Muntah darah / hematemesis, suara serak, disfagia atau distress nafas. b. Tanda klinis yang nampak umumnya berupa empisema sub kutis, syok dan keadaan umum pasien yang tidak nampak sehat. Sering dijumpai tanda “Hamman” yang berupa suara seperti mengunyah di daerah
40
mediastinum atau jantung bila dilakukan auskultasi. Diagnosis dapat dibantu dengan melakukan esofagoram dengan menelan kontras. 7.
Kerusakan Ductus torasikus: a. Menimbulkan gejala chylotoraks. Gejala klinis ditimbulkan oleh akumulasi chyle dalam rongga dada yang menimbulkan sesak nafas karena kollaps paru. Kejadian ini relatif jarang dan memerlukan pengelolaan yang lama dan cermat.
8. Kerusakan pada Diafragma : a. Disebabkan umumnya oleh trauma pada daerah abdomen, atau luka tembus tajam kearah torakoabdominal. b. Akan menimbulkan herniasi organ perut. Kanan lebih jarang dibandingkan kiri. c.
Gejala klinis sering terlewatkan karena 30 % tidak memberikan tanda yang khas. Sesak nafas sering nampak dan disertai tanda-tanda pneumotoraks atau gejala hemotoraks.
41
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara hasil CT Scan dengan nilai GCS pada pasien cedera kepala. Dimana hal ini dapat dipengaruhi oleh efek buruk cedera kepala karena melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung terjadi beberapa saat setelah trauma terjadi sedangkan trauma secara tidak langsung merupakan cedera otak sekunder yang bisa terjadi beberapa jam setelah kejadian bahkan beberapa hari setelah penderita terpapar trauma. Cedera otak sekunder terjadi karena perubahan aliran darah ke otak dan juga terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena meningkatnya volume isi kepala. Kedua mekanisme tersebut memperberat cedera otak yang sudah ada.Cedera otak bisa menimbulkan dampak fisik, kognitif, emosi dan sosial. Prognosis cedera otak bisa sangat bervariasi dari mulai sembuh total sampai cacat menetap bahkan kematian. Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ. Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul
42
B. Saran Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
43
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.ums.ac.id/22036/2/04._BAB_I.pdf. Diakses pada tanggal 17 Maret 2016 pukul 11.47 WIB http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25734/4/Chapter%20I.pdf. Diakses pada tanggal 17 Maret 2016 pukul 11.48 WIB http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-ekapurnama-5391-2babii.pdf. Diakses pada tanggal 17 Maret 2016 pukul 11.50 WIB https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/05/cedera_kepala_files_of_drsmed _fkur.pdf. Diakses pada tanggal 17 Maret 2016 pukul 11.54 WIB Kozier, Berman dan Audrey. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi 5. Jakarta: EGC Sylvia, Price dan Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Vol. 2. Jakarta: EGC Smeltzer, dan Bare, BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Alih bahasa: Kuncara. Jakarta: EGC Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing Brunner & Suddarth (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Ed. 8. EGC: Jakarta. Docthwrman, Joanne McCloskey. (2004). Nursing Interventions Classification. St Louis, Mossouri, Elsevier inc. Herdman, T Heather, dkk. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi. Edisi 10. Jakarta: EGC Nurarif, A. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NIC NOC Jilid 3. Jogjakarta: MediAction Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta., E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4, Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius Brunner & Suddarth.2002.Keperawatan Medikal Bedah volume 2.Jakarta:EGC Kartikawati,Dewi.2010.Dasar Dasar Darurat.Jakarta:Salemba Medika
Keperawatan
Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong.2002.Buku Ajar Bedah.Jakarta:EGC http://healthy.blogspot.com/2008/12/konsep-kegawatdaruratan-trauma.html
44
Gawat
diakses pada tanggal 14 september 2011 http://3rr0rists.net/medical/trauma-thorax-apa-dan-bagaimanapenanganannya.html diakses pada tanggal 14 september 2011 http://ged3kert4.blogspot.com/2009/06/asuhan-keperawatan-kegawatdaruratan_24.html diakses pada tanggal 15 september 2011
45