MAKALAH HUKUM ISLAM KELOMPOK 4
DISUSUN OLEH Muhamamd Tito Erlangga
2513181010
Muhammad Fauzan Algifari
2513181022
Muhammad Hafiz Fajar
2513181006
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI FAKULTAS TEKNIK TEKNIK INDUSTRI 2019
HUKUM ISLAM
Pengertian Pengertian hukum Islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya. Dan hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul untuk melaksanakannya secara total. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan Allah Swt untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan amaliyah. Syariat Islam menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk menuju kepada Allah Ta’ala. Dan ternyata islam bukanlah hanya sebuah agama yang mengajarkan tentang bagaimana menjalankan ibadah kepada Tuhannya saja. Keberadaan aturan atau sistem ketentuan Allah swt untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah Ta’ala dan hubungan manusia dengan sesamanya. Aturan tersebut bersumber pada seluruh ajaran Islam, khususnya Al-Quran dan Hadits.
Definisi hukum Islam adalah syariat yang berarti aturan yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi SAW, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh umat Muslim semuanya. Sumber Hukum-Hukum Islam Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja namun adalah sebuah aturan-aturan untuk diterapkan di dalam sendi kehidupan manusia. Karena banyak ditemui permasalahanpermasalahan, umumnya dalam bidang agama yang sering kali membuat pemikiran umat Muslim yang cenderung kepada perbedaan. Untuk itulah diperlukan sumber hukum Islam sebagai solusinya, yaitu sebagai berikut: 1. Al-Quran Sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran, sebuah kitab suci umat Muslim yang diturunkan kepada nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. AlQuran memuat kandungan-kandungan yang berisi perintah, larangan, anjuran, kisah Islam, ketentuan, hikmah dan sebagainya. Al-Quran menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang ber akhlak mulia. Maka dari itulah, ayat-ayat Al-Quran menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu syariat. 2. Al-Hadist Sumber hukum Islam yang kedua adalah Al-Hadist, yakni segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, diamnya beliau. Di dalam Al-Hadist terkandung aturan-aturan yang merinci segala aturan yang masih global dalam Al-quran. Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka dapat berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Rasulullah SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum Islam. 3. Ijma’ Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena setelah
5
zaman mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah bersepakat. 4. Qiyas Sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Quran, Al-Hadits dan Ijma’ adalah Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut. Artinya jika suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dalam agama Islam dan telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui permasalahan hukum tersebut, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu hal itu juga, maka hukum kasus tersebut disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya. Macam-Macam Hukum Islam Tiap sendi-sendi kehidupan manusia, ada tata aturan yang harus ditaati. Bila berada dalam masyarakat maka hukum masyarakat harus dijunjung tinggi. Begitu pula dengan memeluk agama Islam, yaitu agama yang memiliki aturan. Dan aturan yang pertama kali harus kita pahami adalah aturan Allah. Segala aturan Ilahi dalam segala bentuk hukum-hukum kehidupan manusia tertuang di Al-Qur’an, yang dilengkapi penjelasannya dalam hadits Nabi SAW. Berikut ini adalah macam-macam hukum Islam, 1. Wajib Wajib adalah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan diberi siksa. Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum wajib adalah shalat lima waktu, memakai hijab bagi perempuan, puasa, melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu, menghormati orang non muslim dan banyak lagi. 2. Sunnah Sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk dikerjakan tetapi tuntutannya tidak sampai ke tingkatan wajib atau sederhananya perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendapatkan siksaan atau hukuman. Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum sunnah ialah shalat yang dikerjakan sebelum/sesudah shalat fardhu, membaca shalawat Nabi, mengeluarkan sedekah dan sebagainya. 3. Haram Haram ialah sesuatu perbuatan yang jika dikejakan pasti akan mendapatkan siksaan dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Contoh perbuatan yang memiliki hukum haram adalah berbuat zina, minum alkohol, bermain judi, mencuri, korupsi dan banyak lagi. 4. Makruh Makruh adalah suatu perbuatan yang dirasakan jika meninggalkannya itu lebih baik dari pada mengerjakannya. Contoh dari perbuatan makruh ini adalah makan bawang, merokok dan sebagainya. 5. Mubah Mubah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama antara mengerjakannya atau meninggalkannya. Contoh dari mubah adalah olahraga, menjalankan bisnis, sarapan dan sebagainya. 6
Tujuan Sistem Hukum Islam Sumber hukum syariat Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadist. Sebagai hukum dan ketentuan yang diturunkan Allah swt, syariat Islam telah menetapkan tujuan-tujuan luhur yang akan menjaga kehormatan manusia, yaitu sebagai berikut. 1. Pemeliharaan atas keturunan Hukum syariat Islam mengharamkan seks bebas dan mengharuskan dijatuhkannya sanksi bagi pelakunya. Hal ini untuk menjaga kelestarian dan terjaganya garis keturunan. Dengan demikian, seorang anak yang lahir melalui jalan resmi pernikahan akan mendapatkan haknya sesuai garis keturunan dari ayahnya. 2. Pemeliharaan atas akal Hukum Islam mengharamkan segala sesuatu yang dapat memabukkan dan melemahkan ingatan, seperti minuman keras atau beralkohol dan narkoba. Islam menganjurkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu dan mengembangkan kemampuan berpikirnya. Jika akalnya terganggu karena pesta miras oplosan, akalnya akan lemah dan aktivitas berpikirnya akan terganggu. 3. Pemeliharaan atas kemuliaan Syariat Islam mengatur masalah tentang fitnah atau tuduhan dan melarang untuk membicarakan orang lain. Hal ini untuk menjaga kemuliaan setiap manusia agar ia terhindar dari hal-hal yang dapat mencemari nama baik dan kehormatannya. 4. Pemeliharaan atas jiwa Hukum Islam telah menetapkan sanksi atas pembunuhan, terhadap siapa saja yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar. Dalam Islam, nyawa manusia sangat berharga dan patut dijaga keselamatannya. 5. Pemeliharaan atas harta Syariat Islam telah menetapkan sanksi atas kasus pencurian dengan potong tangan bagi pelakunya. Hal ini merupakan sanksi yang sangat keras untuk mencegah segala godaan untuk melakukan pelanggaran terhadap harta orang lain. 6. Pemeliharaan atas agama Hukum Islam memberikan kebebasan bagi setiap manusia untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya. Islam tidak pernah memaksakan seseorang untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Islam mempunyai sanksi bagi setiap muslim yang murtad agar manusia lain tidak mempermainkan agamanya. Untuk melengkapi postingan tentang pengertian hukum Islam, sumber dan tujuan, syariat Islam mulai berlaku untuk orang dewasa (mukallaf) atau orang yang sudah baligh, yakni sudah cukup umur, berakal sehat dan sudah menerima seruan agama sejak usia 9 tahun, bagi pria dan wanita bila sudah bermimpi basah (tanda dewasa).
7
HUKUM IBADAH Ibadah ( )عبادةsecara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi ibadah itu antara lain : 1. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya (yang digariskan) melalui lisan para Rasul-Nya, 2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah , yaitu tingkatan ketundukan yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi, 3. Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin. Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap. Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macammacam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia, Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58) Allah memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah . Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah , maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak 8
beribadah kepada Allah , ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah ). العبادة تعريف فأجاب-هللا رحمه العبادة: ويرضاه هللا يحبه ما لكل جامع اسم هي، والظاهرة الباطنة واألعمال األقوال من، والحج والصيام والزكاة فالصالة، األمانة وأداء الحديث وصدق، األرحام وصلة الوالدين وبر، بالعهود والوفاء، المنكر عن والنهي بالمعروف واألمر، والجهاد والمنافقين للكفار، والبهائم اآلدميين من والمملوك السبيل وابن والمسكين واليتيم للجار واإلحسان، والذكر والدعاء والقراءة، العبادة من ذلك وأمثال، ورسوله هللا حب وكذلك، إليه واإلنابة هللا وخشية، له الدين وإخالص، لحكمه والصبر، لنعمه والشكر، بقضائه والرضا، عليه والتوكل، لرحمته والرجاء، عذابه من والخوف، هلل العبادة من هي ذلك وأمثال Makna Ibadah Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah : Ibadah adalah segala sesuatu yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala, baik berupa ucapan dan amalan, yang nampak dan yang tersembunyi. Maka shalat, zakat, puasa, hajji, berkata benar, menyampaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua, silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad menghadapi orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan piaran, berdoa, berzikir, membaca al Quran, dan yang semisalnya termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam, takut dan inabah kepada-Nya, ikhlas hanya kepada-Nya, bersabar atas hukum-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, ridha dengan qadha-Nya, bertawakkal kepada-Nya, mengharap rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, dan yang semisalnya termasuk dalam ibadah.
9
HUKUM MUAMALAH Pengertian Pengertian muamalah dalam arti luas mempunyai arti yang meliputi permasalahan hukum waris, tetapi demikian dalam kajian fiqih kontemporer permasalahan atau hal yang meliputi tentang hukum waris telah dibahas dalam kelimuan sendiri, oleh sebab itu maka muamalah yang mempunyai arti sempit tidak masuk di dalamnya. Perbedaan definisi muamalah secara sempit ataupun secara luas hanya dibedakan berdasarkan cakupannya saja. Sedangkan muamalah dalam arti sempit ataupun dalam arti luas mempunyai kesamaan yaitu sama-sama mengatur hubungan antara manusia yang berhubungan dengan masalah-masalah keuangan atau pemutaran harta. Dari pandangan bahasa, muamalah bersumber dari kata aamala, yuamila, muamalat yang artina perlakukan atau perbuatan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata seperti ini merukapan kata kerja aktif yang harus memiliki dua buah pelaku, yang satu terhadap yang saling melakukan pekerjaan secara aktif, menjadikan kedua pelaku tersebut saling melakukan dari satu terhadap lainnya. ; Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya.
10
Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturanperaturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka. Sedangkan dalam arti yang sempit adalah pengertian muamalah yaitu muamalah adalah semua transaksi atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar menukar manfaat. Dari berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya. Prinsip hukum muamalah Hukum muamalah Islam mempunyai prinsip yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh Al quran dan sunah Rasul 2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan. 3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat. 4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan Terdapat 5 macam Hukum muamalah dalam ekonomi islam. 1. Syirkah 2. Mudharabah 3. Jual Beli (Bai’ Al Murabahah) 4. Titipan (Wadi’ah) 5. Transaksi Pemberian/ Perwakilan dalam Transaksi (Wakalah) Adapun ayat ayat dan hadis Nabi SAW “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”(QS An Nisa : 29 Hadis nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut. )ﺍﻠبﺨاﺮﻯ ﺮﻮﺍﻩ ( ﺗﺮﺍد ﺍﻟبﻴﻊ ﺇﻨﻤا Artinya : “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka suka sama suka.” (HR Bukhari) )ﻤﺴﻠﻢ ﻭ ﺍﻠبﺨاﺮﻯ ﺮﻮﺍﻩ ( ﻴﺘﻔﺮﻗا ﻟﻢ ﻣا ﻟﺨﻴاﺭ ﺑا ﺃﻠبﻴﻌاﻥ Artinya : “ Dua orang jual beli boleh memilih akan meneruskan jual beli mereka atau tidak, selama keduanya belum berpisah dari tempat akad.” (HR Bukhari dan Muslim) Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan jual beli dan tawar menawar dan tidak ada kesesuaian harga antara penjual dan pembeli, si pembeli boleh 11
memilih akan meneruskan jual beli tersebut atau tidak. Apabila akad (kesepakatan) jual beli telah dilaksanakan dan terjadi pembayaran, kemudian salah satu dari mereka atau keduanya telah meninggalkan tempat akad, keduanya tidak boleh membatalkan jual beli yang telah disepakatinya. Tujuan Muamalah Tujuan muamalah yaitu menciptakan hubungan yang harmonis antara sesama manusia menjadikan tercipta masyarakat yang rukun dan tentram. Sebab didalam muamalah tersirat sifat tolong menolong yang pada ajaran Islam sangat dianjurkan yang mana telah tercantum dalam Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 2, yang dijelaskan berikut ini: “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuata dosa dan permusuhan” Sedangkan dalam Al-Maidah ayat 2 Allah memberikan perintah kepada hamba-Nya yang beriman unutuk saling membantu dalam hal baik dan itulah yang disebut dengan albiir dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan Allah melarang mereka saling mendukung dalam hal kejahatan, kebathilan dan kedholiman serta perkara-perkara yang berkaitan dengan pelanggaran hukum berdasarkan agama Islam. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan penilaian bahwa Ayat yang mulia ini meliputi seluruh jenis untuk kemaslahatan para hamba, di dunia atapun di akhirat, baik antara mereka dengan sesama, maupun dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak terlepas dari dua kewajiban, kewajiban sebagai Hablum minallah yaitu hubungan terhadap Allah dan kewajiban sebagai makhluk sosial terhadap sesama. Contoh Muamalah Contoh muamalah dalam kehidupan sehari-hari adalah aktivitas pinjam meminjam yang didalam bahasa Arab yaitu Ariyah. Yaitu memberikan sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dan tidak merusakkan barangnya. Dan juga kegiatan jaul beli. Itulah penjelasan lengkap tentang muamalah dalam Islam. Semoga dapat bermanfaat untuk kalian yang sedang mencari materi. Terimakasih telah berkunjung dan semoga sukses selalu untuk Anda. Dalil Orang yang terjun dalam bidang usaha jual beli harus mengetahui hukum jual beli agar dalam jual beli tersebut tidak ada yang dirugikan, baik dari pihak penjual maupun pihak
12
pembeli. Jual beli hukumnya mubah. Artinya, hal tersebut diperbolehkan sepanjang suka sama suka. Allah berfirman. lihat Al-qur,an on line di gogle Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”(QS An Nisa : 29 Hadis nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut. )ﺇﻨﻤﺎ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﺗﺮﺍﺩ ( ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ Artinya : “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka suka sama suka.” (HR Bukhari) )ﺃﻠﺒﻴﻌﺎﻥ ﺑﺎ ﻟﺨﻴﺎﺭ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻴﺘﻔﺮﻗﺎ ( ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ ﻭ ﻤﺴﻠﻢ Artinya : “ Dua orang jual beli boleh memilih akan meneruskan jual beli mereka atau tidak, selama keduanya belum berpisah dari tempat akad.” (HR Bukhari dan Muslim) Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan jual beli dan tawar menawar dan tidak ada kesesuaian harga antara penjual dan pembeli, si pembeli boleh memilih akan meneruskan jual beli tersebut atau tidak. Apabila akad (kesepakatan) jual beli telah dilaksanakan dan terjadi pembayaran, kemudian salah satu dari mereka atau keduanya telah meninggalkan tempat akad, keduanya tidak boleh membatalkan jual beli yang telah disepakatinya.
13
HUKUM PIDANA ISLAM Dalam khazanah hukum positif, hukum menurut isinya dapat dibagi menjadi Hukum Privat (Hukum Sipil) dan Hukum Publik. Hukum Sipil dalam arti luas meliputi Hukum Perdata (Burgelijkrecht) dan Hukum Dagang (Handelsrecht), sedangkan dalam arti sempit meliputi Hukum Perdata saja. Hukum Publik terdiri dari Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Internasional. Berbeda dengan hukum positif, hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam, pada hukum perdata terdapat segi segi publik dan pada hukum publik ada segi segi perdatanya. Itulah sebabnya maka dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan hanyalah bagian bagiannya saja, seperti misalnya; Munakahat, Wirosah, Mu’amalat dalam arti khusus, jinayat atau ‘uqubah, al ahkam as sulthoniyyah, siyar, dan mukhosamat. A. Pengertian Jinayat Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahahmerupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam 14
keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari’at Islam adalah ketentuanketentuan hukum syara’ yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta. Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta’zir. Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Penentuan jenis pidana ta’zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan manusia. Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum uqubat (pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal; dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat. Keberadaan uqubat dalam Islam, yang berfungsi sebagai pencegah, telah disebutkan dalam Al-Qur’an: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orangorang yang berakal, supaya kamu bertaqwa. (QS. al-Baqarah [2]: 179). Yang dimaksud dengan “ada jaminan kehidupan” sebagai akibat pelaksanaan qishash adalah melestarikan kehidupan masyarakat, bukan kehidupan sang terpidana. Sebab, bagi dia adalah kematian. Sedangkan bagi masyarakat yang menyaksikan penerapan hukuman tersebut—bagi orang-orang yang berakal—tentulah menjadi tidak berani membunuh, sebab konsekuensi membunuh adalah dibunuh. Demikian pula halnya dengan hukuman-hukuman lainnya, sebagai bentuk pencegahan terjadinya kriminalitas yang merajalela. Yang dimaksud dengan tindakan kriminal adalah suatu perbuatan yang dipandang tercela oleh syara’. Oleh karena itu, suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan tindakan kriminal, kecuali apabila telah ditetapkan melalui nash syara’ (al-Qur’an, hadits, dan apa-apa yang ditunjuk keduanya). Jika manusia melanggar perintah/larangan Allah, berarti dia telah melakukan perbuatan tercela, dan dianggap telah melakukan tindakan kriminal, shg harus dijatuhi hukuman atas kriminalitas yang dilakukannya. Sebab, tanpa pemberlakuan hukuman bagi para pelanggar, hukum tidak akan memiliki arti apa-apa. Suatu perintah tidak akan bernilai apa-apa jika tak ada balasan (hukuman) bagi pelanggar yang mengabaikan perintah tersebut. 15
Syariat Islam telah menjelaskan bahwa pelaku kriminalitas akan mendapatkan hukuman, baik hukuman di dunia maupun hukuman di akhirat. Allah akan mengazab mereka di akhirat, dengan hukuman yang nyata, sebagaimana firmanNya: Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. (QS. Faathir [35]:36) Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini. Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa. (QS. al-Haaqqah [69]: 35-37) Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak, yang mengelupaskan kulit kepala. (QS. al-Ma’aarij [70]: 15-16) Demikianlah, ada banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan dasyatnya siksaan Allah di akhirat, bagi orang-orang yang berdosa. Bagi yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh, tentulah akan merasa ngeri sehingga akan menganggap enteng semua hukuman di dunia. Akan tetapi, sungguh Maha Pemurah lah Allah SWT. Bagi hambaNya yang beriman terhadap seluruh firman-firmanNya, Dia sediakan alternatif yang mampu “menebus” dosa-dosanya di akhirat, yakni berupa serangkaian hukum pidana di dunia. Allah telah menjelaskan dalam Qur’an dan Hadits, baik secara global maupun terperinci, hukum-hukum pidana bagi setiap pelaku kriminalitas. Seperti: mencuri, berzina, mabuk, merontokkan gigi orang lain, dan sebagainya. Allah memberikan wewenang pelaksanaan hukuman tersebut kepada Imam (khalifah: pemimpin tunggal atas seluruh kaum muslimin) dan wakil-wakilnya (para hakim), yaitu dengan menerapkan sangsi-sangsi yang telah ditetapkan oleh Negara Islam (Khilafah), baik berupa hudud, ta’zir, maupun kafarat (denda). Hukuman yang dijatuhkan ini akan menggugurkan siksaan di akhirat terhadap pelaku kejahatan. Dalilnya, adalah apa yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ubadah bin Shamit, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri, dan tidak bermaksiat dalam kebaikan. Siapa saja yang menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia, maka hukuman itu akan menjadi penebus baginya. Dan siapa saja yang melangggarnya kemudian Allah menutupinya (tidak sempat dihukum di dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak, maka Dia akan menyiksanya. Dan jika Allah berkehendak, maka Dia akan memaafkannya.” Oleh karena itu, tidak aneh jika kita jumpai dalam sejarah, kaum muslimin yang berbondongbondong meminta hukuman dunia, walaupun hanya dia dan Allah sajalah yang mengetahui perbuatan dosa yang dilakukannya. Mereka rela menahan sakitnya cambuk, rajam (dihujani batu sebagai hukuman atas pezina yang telah menikah), potong tangan, maupun hukuman mati, demi mendapatkan keridloan Allah di akhirat. B. Macam macam Jarimah Macam macam tindak pidana (Jarimah) dalam Islam dilihat dari berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga, yaitu hudud, qishosh diyat dan ta’zir. 16
1. Jarimah Hudud. Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-mnuman keras (surbah), dan murtad (riddah). . Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-mnuman keras (surbah), dan murtad (riddah). 2. Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishoshdan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan sengaja (qotl ‘amd), pembunuhan semi sengaja (qotl sibh ‘amd), pembunuhan keliru (qotl khotho’), penganiayaan sengaja (jarh ‘amd) dan penganiayaan salah (jarh khotho’). . Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishoshmaupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan sengaja (qotl ‘amd), pembunuhan semi sengaja (qotl sibh ‘amd), pembunuhan keliru (qotl khotho’), penganiayaan sengaja (jarh ‘amd) dan penganiayaan salah (jarh khotho’). Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja (qotl ‘amd) karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar’i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. “Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an nisa’: 93). Rosulullah SAW juga bersabda, ” Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah”. (Muttafaqun ‘alaih). Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta (‘Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (‘uqubah badaliah) dari hukuman mati 17
yang merupakan hukuman asli (‘uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya. Jarimah Ta’zir. Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaranpelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nas). . Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nas). Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam Hukum Pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, tetapi bukan berarti tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali berkaitan dengan hak Allah. Kejahatan ini diancam dengan hukuman hadd. Sementara qishoshberada pada posisi diantara hudud dan ta’zir dalam hal beratnya hukuman. Ta’zir sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara jnis-jenis hukuman yang lain. C. Ta’zir Jarimah hudud bisa berpindah menjadi Jarimah Ta’zir bila ada syubhat, baik itu shubhat fi al fi’li, fi al fa’il, maupun fi al mahal. Demikian juga bila Jarimah hudud tidak memenuhi syarat, seperti percobaan pencurian dan percobaan pembunuhan. Bentuk lain dari jarimah ta’zir adalah kejahatan yang bentuknya ditentukan oleh ulil amri sesuai dengan nilai nilai, prinsip prinsip dan tujuan syari’ah, seperti peraturan lalu lintas, pemeliharaan lingkungan hidup, memberi sanksi kepada aparat pemerintah yang tidak disiplin dan lain lain. Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari ‘azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta’zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha’ mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta’zir sering juga disamakan oleh fuqoha’ dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat. Bisa dikatakan pula, bahwa ta’zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir (selain had dan qishash diyat). Pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman dalam jarimah 18
ta’zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan benruk bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah. Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu: Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda. Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama. Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya. Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama uang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i. Hukuman hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman ta’zir antara lain: 1. Hukuman Mati Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati. 2. Hukuman Jilid Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi 19
tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud. Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Syafi’i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimahtidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda sebagai berikut: “Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud”. 3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan) Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama’ ulama’ lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya. Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya. 4. Hukuman Salib Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari. 5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi. Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, “Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah.”
20
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz. 6. Hukuman Pengucilan (al Hajru) Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah: “Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat.”
7. Hukuman Denda (tahdid) Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, “Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta hukuman.” Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang. Dalam Islam, sumber hukum bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, serta dari ijtihad para ulama (ahl ijtihad). Tujuan dari hukum Islam itu adalah kemaslahatan umat. Islam yang memiliki ajaran yang sempurna dan universal juga mengandung ajaran tentang hukum pidana yang dalam hal ini dapat diistilahkan dengan jinayah, atau sebagian Ulama mengistilahkan dengan sebutan jarimah. Jinayah adalah suatu nama untuk perbuatan atau tindakan pidana yang dilakukan seseorang yang yang dilarang Syara’, baik itu perbuatan atas jiwa, harta atau selain jiwa dan harta. Jarimah adalah segala larangan-larangan yang haram karena dilarang oleh Allah dan diancam dengan hukuman baik had ataupun ta’zir. Jika dilihat dari segi “hukuman” dalam hukum pidana Islam akan kita temui tiga macam hukuman, yaitu; Pertama: jarimatul hudud, yang berarti bahwa tindak pidana dimana kadar hukumannya itu telah ditentukan oleh Allah SWT. Kedua: Jarimatul Qisas dan diyat yakni tindak pidana yang dikenakan sanksi qisas dan diyat. Qisas dan diyat ini adalah hukuman yang ditentukan hukumannya, tetapi merupakan hak individu-individu, artinya bahwa hukuman itu ditentukan karena hanya mempunyai satu had (hukuman)yang telah ditentukan. Sebagai hak ini individu, bila pihak individu yang dirugikan karena tindak pidana itu menghendaki kemaafan, ini adalah merupakan haknya dan dapat diterima dan dibenarkan secara hukum, sehingga hukuman hadnya hilang karena adanya kemaafan tersebut.
21
Ketiga: Jarimah Ta’zir yakni perbuatan-perbuatan pidana yang hukumannya tidak disyariatkan menurut syara’, tetapi ditentukan oleh hakim (penguasa). Hakim sangat berperan penting dalam menentukan setiap keputusan agar sesuai dan memenuhi rasa keadilan serta kemaslahatan. Oleh karena itu, hakim harus lebih bijak dalam memahami hakikat kesalahan seriap orang yang terpidana. Adapun kamaludin al-hamam, pengikut madzhab hanafi, bahwa qishsash dan diyat termasuk dalam jarimah hudud. Karena, kadar hukumannya ditentukan oleh Allah. Sehingga jarimah hudud terbagi menjadi dua, yaitu: Jarimah hudud yang merupakan haq Allah, seperti: mencuri, berzina, berjudi, mabuk, riddah, qadaf. Maka pada jarimah hudud ini, tidak ada pengampunan setelah perkaranya dibawa kepada hakim. Diriwayatkan dari Imam Muslim dari Sofwan bin Umayyah yang berkata : “ Aku sedang tidur di (dalam) mesjid, sementara aku (membawa) kain. Tiba-tiba (kain itu) dicuri. Kami pun menangkap pencurinya lalu diserahkan kepada Rasulullah SAW, beliau memerintahkan (hukum) potong tangan. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, (apakah hukum potong tangan itu) untuk kain seharga 30 dirham? Lebih baik aku hibahkan saja kepadanya’ . Maka beliau menjawab, ‘ Jika demikian mengapa tidak engkau lakukan sebelum datang kepadaku’. Jarimah hudud yang menjadi haq individu, yaitu qishash. Sehingga dimungkinkan adanya pengampunan melalui diyat (pemberian kompensasi terhadap ahli waris) Yang menjadi permasalahan, apakah hukuman yang dijatuhkan terhadap terpidana hudud merupakan sebuah “pembalasan” atas perbuatan yang ia lakukan atau sebagai “sarana penghapusan dosa”. Jika hukuman tersebut merupakan sebuah “pembalasan” maka ketika seseorang telah dijatuhi hukuman, maka ia tetap masih menanggung dosa sampai ia benarbenar bertaubat. Sedangkan bila hukuman merupakan “sarana penghapusan dosa”, maka seseorang akan tetap menanggung dosa di Akherat sampai ia dihukum sesuai dengan had yang telah ditentukan oleh Allah, dan jika hukuman yang dijtuhkan tidak didasarkan pada hudud yang ditentukan oleh Allah maka hukuman tersebut tidak akan “menghapuskan dosa”. `Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa menyelesaikan (perkara) dengan pengampunan tanpa menjalankan (hukum) had dari hudud Allah, maka ia berarti melawan perintah Allah”. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda : “ Satu buah had (hudud) yang diterapkan di dunia ini, lebih baik daripada diturunkannya hujan selama 40 hari (subuh)”. Kebanyakan ulama memang berpendapat bahwa hukuman merupakan penghapus dosa, sehingga orang yang terkena hukuman itu tidak disiksa lagi di akherat nanti. Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat bukhori dan muslim dari ubaidah bin shamit, ” berjanjilah kamu sekalian dihadapanku untuk tidak menyekutukan Allah, untuk tidak berzina, untuk tidak mencuri dan untuk tidak membunuh nyawa yang diharamkan oleh Allah, kecuali dengan hak. Barang siapa yang teguh dengan janjinya, maka balasannya tersedia di tangan Allah. Tetapi barang siapa yang masih saja melanggar salah satu diantara janji22
janjinya itu, maka dia akan dikenai hukuman sebagai penghapus dosa tersebut baginya. Barang siapa yang masih juga melanggar janji-janji itu tetapi ditutupi oleh Allah, maka persoalannya terserah pula kepada Allah. Jika Dia menghendaki untuk mengampuninya, maka ia diampuni-Nya dan jika sebaliknya, maka orang yang bersangkutan itu akan disiksa.” Penulis akan mencoba menganalisis apakah hukuman sesuai hudud merupakan “pembalasan” atau “penghapus dosa” berdasarkan ayat-ayat al-qur’an berikut: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orangorang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.”( QS Al-baqarah:17) “Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosabaginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS Al-maidah:45) “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”(QS Al-isra: 33) “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS An-nisa:92) “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”(QS an-nuur:2) “Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).”(QS An-nuur:25) 23
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (An-nuur:4) “Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(An-nuur:5) “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,”(Annuur:23) “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(al-maidah:3) “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,”(al-maidah:33) “Kecuali orang-orang yang Taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka Ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(al-maidah:34) Beberapa ayat Al-Qur’an yang membahas tentang hokum membunuh dan qishash diantaranya, Al-baqarah:178, Al-maidah:45, Al-isra: 33, An-nisa:92. Dalam surat Al-isra: 33, disebutkan bahwa Allah memberikan kekuasaan kepada ahli warits korban pembunuhan untuk melakukan pembalasan. Ini menunjukkan bahwa qishash merupakan haq adamiy dan dalam hal ini adalah ahli warits. Meskipun proses hukumnya harus melalui hakim atau sulthan. Akan tetapi jika ahli warits memberikan maaf maka pelaku pidana pembunuhan wajib membayar diyat. Masih dalam ayat ini juga, …” tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh”menunjukkan bahwa memang qishash ini merupakan pembalasan atas tindak pidana tersebut. Akan tetapi sekaligus hukuman ini menjadi “penghapus dosa” sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Maidah:45. Sehingga qishash selain sebagai pembalasanjuga merupakan “penghapus dosa”. Sedangkan ayat mengenai zina, tidak secara spesifik menunjukkan apakah hukuman yang dijatuhkan merupakan pembalasan atau penghapus dosa. Adapun had yang dijatuhkan menurut surat An-nuur:2 yaitu didera sebanyak seratus kali. Sedangkan dalam beberapa hadits, jika ia muhshan/muhshanat (sudah menikah) maka di rajam. Sehingga menurut penulis, status hukuman rajam didekatkan dengan qishash pembunuhan. Karena dua kesamaan, yaitu akibat hukuman (kematian) dan adanya korban yang dirugikan bukan dalam bentuk harta benda (kematian anggota keluarga pada pidana pembunuhan dan “terenggutnya” kehormatan suami/istri pada pidana zina muhshan). Maka hukuman rajam selain sebagai pembalasan juga merupakan penghapus dosa. Sedangkan hukum dera karena zina ghairu muhshan bisa didekatkan pada hukum menuduh berbuat zina karena kesamaan konteks dan kedekatan jenis dan berat hukuman. Bahkan hukum zina sedikit lebih berat (100 kali dera) daripada hukum menuduh zina (80 kali dera). Sedangkan dalam surat An-Nuur:5, 24
disebutkan bahwa orang yang telah dihukum karena menuduh berbuat zina masih harus bertaubat. Ini menunjukkan bahwa hukuman itu tidak menghapuskan dosa secara langsung tanpa harus bertaubat. Maka penulis berpendapat, menuduh zina yang memiliki had sedikit lebih ringan saja masih harus bertaubat untuk mendapat ampunan, apalagi zina, perbuatan keji yang hadnya lebih berat. Sehingga dalam hukuman dera pada zina dan menuduh berbuat zina merupakan pembalasan dan tidak menghapuskan dosa. Adapun dalam kasus pencurian, surat Al-maidah:38 menyatakan bahwa hokum potong tangan “…. (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa potong tangan sebagai pembalasan, dan kata “sebagai siksaan dari Allah”, penulis pahami sebagai penghapus dosa. Karena siksa Allah merupakan penghapus dosa. sehingga orang yang sudah disiksa oleh Allah maka dosanya terhapus. Maka dalam konteks pencurian, hokum potong tangan merupakan pembalasan dan penghapus dosa. Dan perbuatan pidana berbuat kerusakan di bumi, seperti merampok, berdasarkan surat Almaidah: 33, maka ia dihukum bunuh atau disalib atau dipotong kaki dan tangannya secara bertimbal balik atau diasingkan. Dan hukuman ini hanyalah penghinaan (pembalasan) di dunia dan di akherat mereka tetap mendapat siksa. Sehingga hukuman ini hanyalah sebagai pembalasan dan tidak menghapuskandosa jika ia tidak bertaubat, sebagaimana surat Al-maidah:34 11
25
HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA Pengertian Kata Jinayat adalah bentuk jamak dari kata jinayah, yang berarti perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran. Bab Al-jinayah dalam fiqih Islam membicarakan bermacammacam perbuatan pidana (jarimah) dan hukumnya. Hukum had adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Sedangkan hukum ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukum ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya. Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara. A. Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia “Hukum Islam” merupakan terminologi khas Indonesia, jikalau kita terjemahkan langsung kedalam bahasa arab maka akan diterjemahkan menjadi al-hukm al Islam, suatu terminologi yang tidak dikenal dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka padanan yang tepat dari istilah “Hukum Islam” adalah al-fiqh al-Islamy atau al-Syari’ah al-Islamy, sedangkan dalam wacana ahli hukum barat digunakan istilah Islamic law . Sedangkan terminologi ”Hukum Perdata Islam” yang menjadi telaah utama makalah ini dapat penulis uraikan bardasarkan pengertian dari kata-kata penyusunnya, sebagai berikut : Hukum, adalah seperangkat peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang (negara), dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat, yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa, serta mengikat anggotanya, dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya. Sedangkan Hukum Perdata, adalah hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian didalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain kedua-duanya sebagai anggota masyarakat dan benda dalam masyarakat. Dalam terminologi Islam istilah perdata ini sepadan dengan pengertian mua’amalah. Kemudian frase Hukum Perdata disandarkan kepada kata Islam, Jadi dapat dipahami menurut hemat penulis bahwa ”Hukum Perdata Islam” adalah peraturan yang dirumuskan 26
B. 1)
2)
-
-
3)
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah laku mukallaf dalam hal perdata yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam (diIndonesia). Menurut Muhammad Daud Ali, ”Hukum Perdata Islam” adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya hanya sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat dan perwakafan. Sejarah Berlakunya Hukum Perdata Islam di Indonesia Hukum Islam Pada Masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat diklasifikasi kedalam dua bentuk, Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada hukum adat. Pada fase kedua ini Belanda ingin menerapkan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia, yaitu Belanda ingin menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda, dengan tahap-tahap kebijakkan strategiknya yaitu: Receptie in Complexu (Salomon Keyzer & Christian Van Den Berg [1845-1927]), teori ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan. Teori Receptie ( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat, implikasi dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam menjadi lambat dibandingkan institusi lainnya. di nusantara. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau mempertahankan beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang untuk mencegah resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan. Jepang hanya berusaha menghapus simbol-simbol pemerintahan Belanda di Indonesia, dan pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum di indonesia tidak begiti signifikan. 27
4)
5)
a)
b)
-
-
Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas dari pengaruh hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin, setelah kemerdekaan, walaupun aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar teori receptie (Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rosul. Disamping Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan teori Receptie a Contrario, yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru Pada awal orde baru berkuasa ada harapan baru bagi dinamika perkembangan hukum Islam, harapan ini timbul setidaknya karena kontribusi yang cukup besar yang diberikan umat Islam dalam menumbangkan rezim orde lama. Namun pada realitasnya keinginan ini menurut DR. Amiiur Nurudin bertubrukan denagn strategi pembangunan orde baru, yaitu menabukan pembicaraan masalah-masalah ideologis selain Pancasila terutama yang bersifat keagamaan. Namun dalam era orde baru ini banyak produk hukum Islam (tepatnya Hukum Perdata Islam) yang menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal, walaupun didapat dengan perjuangan keras umat Islam. Diantaranya oleh Ismail Sunny coba diskrisipsikan secara kronologis berikut ini : Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintah orde baru, dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu” dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama (PA) bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi pemeluk agama lainnya. Dengan UU No. 1 tahun 1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan bahwa Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam. Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Dengan disahkanya UU PA tersebut, maka terjadi perubahan penting dan mendasar dalam lingkungan PA. Diantaranya: PA telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Nama, susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam diseluruh Indonesia. Dengan univikasi hukum acara PA ini maka memudahkan terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA. Terlaksananya ketentuan-ketentuan dam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.
28
- Terlaksanya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara dan berwawasab Bhineka Tunggal ika dalam UU PA. c) Kompilasi Hukum Islam Inpres no. 1 tahun 1991 (KHI) Seperti diuraikan diawal makalah ini bahwa sejak masa kerajaan-kerajan Islam di nusantara, hukum Islam dan peradilan agama telah eksis. Tetapi hakim-hakim agama diperadilan tersebut sampai adanya KHI tidak mempunyai kitab hokum khusus sebagai pegangan dalam memecahkan kasus-kasus yang mereka hadapi. Dalam menghadapi kasus-kasus itu hakim-hakim tersebut merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering terjadi dua kasus serupa apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda referensi kitabnya, keputusannya dapat berbeda pula, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Guna mengatasi ketidakpastian hukum tersebut pada Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu membentuk proyek kompilasi hukum islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing tentang Hukum perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan tentang Hukum Perwakafan (BUKU III) Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya KHI tersebut. Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam. 6) Hukum Islam Pada Masa Reformasi Era reformasi dimana iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak ada lagi kekuasaan repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya keran-keran aspirasi politik umat Islam pada pemilu 1999, dengan bermunculannya partai-partai Islam dan munculnya tokoh-tokoh politik Islam dalam kancah politik nasional sehingga keterwakilan suara umat Islam bertambah di lembaga legislatif maupun eksekutif. Mereka giat memperjuangkan aspirasi umat Islam terrmasuk juga memperjuangkan bagaimana hukum Islam ikut juga mewarnai proses pembanguanan hukum nasional. Diantara produk hukum yang positif diera reformasi sementara ini yang sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain adalah Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf RUU tentang Perbankan Syariah yang saat ini sedang dibahas di DPR. C.
Dasar hukum berlakunya hukum perdata islam di indonesia Adapun dasar hukum berlakunya hukum islam di indonesia yaitu: 29
a. perkawinan: uu no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pp no. 9 tahun 1975, inpres no. 1 tahin 1991, uu no. 32 tahun 1954 tentang penetepan berlakunya uu no. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk di seluruh daerah luar jawa dan madura, uu no. 3 tahun 2006 amandemen uu no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama b. kewarisan: khi, dan uu no. 3 tahun 2006 amandemen uu no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama c.
perwakafan: uu no 41 tahun 2004 tentang wakaf dan pp no. 42 tahun 2006
Hukum Perdata Islam adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya hanya sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. peraturan yg berkaitan dengan hukum perdata dalam arti terbatas (perkawinan, waris dan wakaf),yg diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum islam-fiqh, fatwa, keputusan pengadilan, dan uu-yang dipedomani dan diberlakukan bagi umat islam Indonesia. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Ada tyang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara. Adapun dasar hukum berlakunya hukum islam di indonesia yaitu: a) perkawinan: UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pp no. 9 tahun 1975, inpres no. 1 tahin 1991, UU no. 32 tahun 1954 tentang penetepan berlakunya UU no. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk di seluruh daerah luar jawa dan madura, UU no. 3 tahun 2006 amandemen UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama b) kewarisan: KHI, dan UU no. 3 tahun 2006 amandemen UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama c) perwakafan: UU no 41 tahun 2004 tentang wakaf dan pp no. 42 tahun 2006 teori-teori berlakunya hukum perdata islam di indonesia: (1) teori receptio in complexu:berdasarkan kenyataan hukum islam diterima secara menyeluruh oleh umat islam (2)teori receptie: hukum yg berlaku bagi umat islam adalah hukum adat mereka masingmasing. hukum islam dapat berlaku apabila telah diresipsi oleh hukum adat, (3) teori receptie exit atau receptie a contrario: hukum adat baru berlaku kalau tdk bertentangan dengan hukum islam 30
II.Asas-asasHukumPidanaIslam Asas-asas Hukum Pidana Islam adalah asas-asas hukum yang mendasari pelaksanaan Hukum PidanaIslam,diantaranya: AsasLegalitas Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang menyatakannya. Asas ini berdasarkan pada Qur’an Surat
ayat
Al-Isra’
15
dan
Surat
Al-An’am
ayat
19.
Kedua ayat tersebut mengandung makna bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu. Selain itu, ayat lain dalam Al-Qur’an yang menyatakan asas ini ialah : Q.s. asy-syura 208 yang berbunyi : “ dan kami tidak membinasakan suatu negeri pun melainkan
sudah
ada
bagiannya
yang
memberi
peringatan”
dan
Q.s. al-qashas 59 yang berbunyi : “ dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan, kota-kota sebelum dia mengutus kota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, dan tidak pernah pula kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam melakukan
keadaan
kedzaliman”
Dua ayat tersebut menjadi azas legalitas yang mana suatu negara atau kota yang tidak ada yang memperingati atau membacakan ayat-ayat dan tidak ada yang melakukan kedzaliman maka Negara Asas
atau
kota
Larangan
itu
tidak
Memindahkan
boleh
menerapkan
Kesalahan
hukuman
Pada
pidana.
Orang
Lain
Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan mendapat imbalan yang setimpal. Seperti yang tertulis pada “
ayat
tiap-tiap
diri
38
Surat
bertanggung
jawab
Al-Mudatsir atas
apa
yang yang
artinya
telah
:
diperbuatnya.”
Allah SWT menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain. Asas
Praduga
Tak
Bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas persalahannya itu. Asas ini berdasarkan Al-Qur’an Surat
Al-Hujuraat
ayat
12
:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena 31
sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain…” III.Unsur-unsurHukumPidanaIslam Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai jarimah (tindak pidana), jika ada unsur formil (adanya UU/alquran dan hadis), materiil (sifat melawan hukum) dan unsur moral (pelakunya mukallaf) atau biasa bertanggung jawab terhadap tindakannya, sebuah pelanggaran tidak memenuhi unsur-unsur tersebut maka tidak dapat dikatakan jarimah (tindak pidana). Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam Hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan
moral,
Unsur
sebagai
berikut:
Yuridis
Normatif
Unsur ini harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan
diancam
dengan
hukuman.
UnsurMoral Adalah kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggung jawabkan. IV.Ciri-ciriHukumPidanaIslam Ciri-ciri
Hukum
1.
Islam
Hukum
Pidana adalah
bagian
Islam dan
adalah
bersumber
dari
sebagai ajaran
berikut:
Agama
Islam.
2. Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dicerai-pisahkan dengan iman dankesusilaanatauakhlakIslam. 3.
Hukum
Islam
mempunyai
istilah
kunci,
yaitu
syariah
dan
fikih.
4. Hukum Islam terdiri dari dua bagian utama, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah dalamartiyangluas. 5. Hukum Islam mempunyai struktur yang berlapis-lapis seprti dalam bentuk bagan bertingkat. 6.
Hukum
7.
Hukum
Islam Islam
mendahulukan dapat
dibagi
kewajiban menjadi
dari
hukum
hak, Taklifi
amal, dan
dan
pahala.
hukum
Wadh’i.
* Hukum Taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah SWT yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf (balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2:110), artinya: ” Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah 32
zakat.”Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam
surat
Al-Qur’an
Al-Isra’
(17:33),
artinya:
” Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
sesuatu
alasan
yang
benar.”
Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. * Hukum Wadh’i merupakan perintah Allah SWT yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah SWT, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum wad’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. Sebagai contoh, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan
wajibnya
berpuasa.
Ia
berdasarkan
firman
Allah
SWT:
“Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…” (Al-Baqarah: 185). Melalui contoh di atas, kita dapat memahami bahawa melihat anak bulan menjadi sebab wajibnya berpuasa. V.TujuanHukumPidanaIslam Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia
sehingga
terwujud
ketertiban
dan
ketentraman
masyarakat.
Namun bila tujuan Hukum Islam dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad, baik yang termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain tujuan Hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani individu dan masyarakat. Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-Syathibi dan disepakati oleh ahli Hukum Islam lainnya seperti yang telah dikutip oleh H.Hakam Haq, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Salah satu hal yang membedakan Hukum Pidana Islam dan hukum pidana sekuler adalah adanya dimensi-dimensi ukhrawi dalam berbagai konsepnya. Dalam konsep tujuan pemidanaan misalnya, penjatuhan hukuman tidak hanya bertujuan sebagai pembalasan, perbaikan, pencegahan, dan restorasi, tetapi juga meliputi sebagai penebusan dosa. Tujuan 33
pemidaan dalam Islam juga memperhatikan aspek-aspek keadilan dan kemaslahatan bagi korban dan pelaku kejahatan, sehingga kepentingan masing-masing pihak tidak dapat dinafikan begitu
saja.
Ayat
yang
menjelaskan
mengenai
penebusan
dosa
ialah
:
“ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang yang zalim. ” (Q.S. Al-Maidah ayat 45)
34