Tumor Supratentorial Dewi muna safitri Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510
[email protected] Abstrak Pada orang tua yang mengalami gejala seperti pusing- pusing, mual, muntah, dan lainlain, terutama terdapat benjolan pada kepalayang tidak biasa ada, maka dapat dicurigai terjadi tumor jika onset sudah terjadi selama 6 bulan. Tumor yang terdapat pada bagian kepala bisa juga disebut sebagai tumor supratentoorial yang dapat dilakukan tatalaksana dengan pembedahan. Untuk mencegah hal tersebut maka lebih baik untuk menghindari factor resiko yang ada seperti terpapar dengan zat karsinogenik, tetapi sebenarnya tidak semua factor resiko dapat dihindari atau dicegah. Kata kunci: tumor supratentorial, sakit kepala, tatalaksana, pembedahan Abstract Abstract In the elderly experiencing pusing- symptoms such as dizziness, nausea, vomiting, and others, are particularly unusual lump in kepalayang exist, then the tumor may be suspected if the onset is already going for 6 months. Tumors were located on the head can also be referred to as a tumor supratentoorial to do with the management of surgery. To prevent that it is better to avoid any risk factors such as exposure to carcinogenic substances, but in fact not all of the risk factors can be avoided or prevented. Keywords: supratentorial tumors, headaches, surgery Pendahuluan Jika terdapat tumor supratentorial maka harus diperhatikan apakah sudah mengenai bagian- bagian saraf atau otot. Dengan terjadinya gangguan tersebut maka dapat menghambat aktivitas dan bahkan dapat berakibat fatal. Jika terdapat tumor maka harus secepatnya dilakukan tindakan tatalaksana Anamnesis Anamnesis adalah kumpulan informasi yang merupakan informasi dengan sifat subjektif yang diperoleh dari apa yang dipaparkan oleh pasien maupun keluarga pasien terkait dengan keluhan utama yang menyebabkan pasien mengadakan kunjungan ke dokter. Anamnesis diperoleh dari pasien atau penderita itu sendiri merupakan auto anamnesis, sedangkan informasi yang didapatkan dari keluarga pasien merupakan allo anamnesis. Anamnesis yang perlu ditanyakan untuk mendiagnosis kasus ini adalah:1 1. Identitas pasien: Wanita 51 tahun 2. Keluhan Utama: Sakit kepala seperti mau pecah 1
3. Riwayat Penyakit Sekarang Nyeri bertambah dengan mengejan atau batuk. 4. Riwayat Penyakit Dahulu: Ditanyakan untuk mengetahui apakah pernah mengalami hal yang sama sebelumnya, atau pernah mengalami hal yang berhubungan dengan keluhan atua penyakit sekarang. Sudah menopause 1 tahun yang lalu, sebelumnya memakai KB pil selama 20 tahun 5. Riwayat Penyakit Keluarga Penting untuk ditanyakan untuk mengethui apakah d keluarga ada yang pernah mengalami hal yang sama. 6. Riwayat Pengobatan Konsumsi 1 tablet bodrex tetapi belakangan konsumsi 2 tablet bodrex Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat keadaan umum pasien, kesadaran, tandatanda vital (TTV). Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dimulai dengan kepala, melihat apakah ada trauma atau luka. Selanjutnya,periksa mata apakah ada kelainan pada mata seperti mata menonjol, adanya sekret, ikterus, atau tanda radang. Mata perlu diperiksa karena pada penderita diabetes keluhan pandangan kabur sering didapatkan. Lalu pemeriksaan dilanjutkan dengan memeriksa telinga, hidung, mulut guna mencari adanya kelainan yang mungkin tampak. Pada pemeriksaan mulut mungkin dapat diperiksa bagaimana keadaan bibir apakah kering, diperiksa gusi dan sekitar mulut untuk melihat apakah ada kelainan seperti stomatotitis, serta perlu juga diperiksa keadaan lidah. Kemudian periksa leher untuk mencari apakah ada kelainan seperti benjolan,.1 Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Hasil dari pemeriksaan adalah: Tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 98 kali/menit, frekuensi nafas 24 kali/menit, suhu 36,6 derajat celcius. Sedangkan hasil inspeksi adalah kepala normocephal, rambut warna putih, pendek, distribusi merata, tidak mudah dicabut. Wajah simetris, deformitas negative. Mata dengan konjungtiva tidak pucat, skelra tidak ikterik, mata tidak cekung, pupil isokor dengan diameter 3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+). THT dengan hasil pemeriksaan Nomotia, tidak ada discharge dari telinga maupun hidung, tidak ada deviasi septum nasi, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang. Leher dengan Kelenjar getrah bening tidak membesar, JVP 5-2 mmH2O. Pemeriksaan paru yang dilakukan adalah inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi dengan hasil normal, begitu pula dengan pemeriksaan jantung, abdomen, dan ekstremitas. Sedangkan status psikiatrinya adalah tingkah laku normal, perasaan hati baik, orientasi baik, kecerdasan baik, dan daya ingat normal. hasil pemeriksaan status neurologis adalah sebagai berikut, sikap tubuh lurus dan simetris, gerakan abnormal negatif. Perlu juga dilakukan tanda rangsang meningeal seperti kaku kuduk, brudzinki sign yang ditanda dengan pasien menderita meningitis akan menekukkan lututnya atau melakukan fleksi saat keadaan berbaring diranjang dan kepala diangkat ke arah dada oleh dokter. Terdapat juga pemeriksaan laseque. Selain itu dapat dilakukan kernig’s sign yaitu psien berbaring dan dokter berusaha meluruskan kakinya dari posisi fleks lutut dan jika pasien mengalami meningitis maka akan terasa sakit otot. 2
1. Nervus I (Nervus Olfactorius)3,4,5 Fungsi: penghidu Zat: bau-bauan yang tidak asik (ex. kopi, tembakau) Caranya: - pasien tutup mata - salah satu lubang hidung ditutup dengan jari pemeriksa - lubang hidung yg tidak ditutup menghirup salah satu zat - tanyakan zat apa yang dihirup - lakukan hal yg sama pada lubang hidung lainnya Penilaian - Normosmia: kemampuan menghidu normal - Hiposmia: kemampuan menghidu menurun - Hiperosmia: meningkatnya kemampuan menghidu. Biasanya pd penderita hiperemis gravidarum, migren. - Anosmia: hilangnya penciuman - Kakosmia: mempersepsi adanya bau busuk, padahal tidak ada 2. Nervus II (Nervus Optikus) 3,4,5 Pemeriksaan terdiri dari: Ketajaman Penglihatan (visual acuity) Lapangan Pandang (visual field) Funduskopi (pemeriksaan oftalmoskopik) Cara Melakukan Tes Nervus II Ketajaman Penglihatan o Pemeriksaan kasar: pasien diminta untuk mengenali benda yang letaknya jauh. Ex: jam dinding, Tanya jam berapa, membaca buku/Koran o Pemeriksaan yg teliti: dgn menggunakan gambar snellen (optic snellen) seperti kalau mau pakai kaca mata. Penderita disuruh membaca gambar snellen pada jarak 6 meter. Tentukan baris ke berapa sampai penderita tidak mampu lagi membacanya. Lapangan Pandang o Caranya (metode konfrontasi Donder): o Penderita duduk/berdiri berha-dapan dengan pemeriksa o Penderita & pemeriksa masing-masing menutup salah satu mata yang berhadapan (ex. penderita tutup mata kiri, sedangkan pemeriksa tutup mata kanan, atau sebaliknya). o Mata penderita & pemeriksa yang tidak tertutup harus saling ber-tatapan (menghadap ke depan), jgn melirik o Pemeriksa lalu menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa & penderita. Gerakan dilakukan dari luar ke dalam. Gangguan lapangan pandang - Lapangan pandang menyempit - Hemianopsia Funduskopi (Pemeriksaan Oftalmoskopik)
3
o Menilai keadaan N.II, terutama papil nya. Papil adalah tempat serabut N.II memasuki mata o Penilaian terhadap papil: o Papil normal: bentuk lonjong, warna jingga muda, di bagian temporal sedikit pucat, batas dengan retina jelas, pembuluh darah muncul di tengah, bercabang ke atas & bawah o Papil atrofi primer: warna papil pucat, batas tegas, pembuluh darah berkurang. o Sembab papil: disebabkan oleh radang aktif / bendungan,disertai perburukan visus yang hebat. Pada sembab papil perlu ditentukan besarnya penonjolan, dinyatakan dalam dioptri. Penyebab Gangguan Nervus II: o Neuritis optika o Neuritis retrobulbar o Papilitis o Neuropati optic iskemik (ex. pada hiper-tensi dan arthritis) o Neuropati karena tekanan (ex. tumor, anerisma, gangguan hormonal tiroid) o Neuropati optic o/ infiltrasi (ex. karsinoma) o Defisiensi/intoksikasi (ex. def. vitamin B12, B1, intoksikasi etambutol, kloramfenikol) 3. Nervus III (Nervus Okulomotorius), Nervus IV (Nervus Troklearis), Nervus VI (Nervus Abdusen) 3,4,5 Fungsi N.III, IV, dan VI saling berkaitan dan diperiksa bersama-sama. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan mengangkat kelopak mata. Srabut N.III mengatur otot pupil Otot bola mata yg dipersarafi N. III, IV, VI: o N.III : menginervasi m. rektus internus (medialis), m. rektus superior, m. rektus inferior, m. levator palpebrae; serabut visero-motoriknya mengurus m. sfingter pupile (yaitu mengurus kontraksi pupil) dan m. siliare (mengatur lensa mata) o N.IV : menginervasi m. oblikus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke bawah dan nasal. o N.VI : menginervasi m. rektus eksternus (lateralis). Kerja otot ini menyebabkan lirik mata kea rah temporal. Cara Pemeriksaan Ptosis o Ptosis adlh kelopak mata terjatuh, mata tertutup, tdk dapat dibuka, akibat kelumpuhan N.III (otot m. levator palpebrae) o Untuk menilai tenaga m. levator pal-pebrae pasien diminta pejamkan mata, kemudian disuruh membuka matanya. Waktu pasien membuka mata, pemeriksa menahan gerakan ini dengan jalan memegang (menekan enteng) pada kelopak mata. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan mengangkat kelopak mata. Pupil
4
o Perhatikan besarnya pupil pada mata kiri dan kanan. Bila sama : isokor ; bila tidak sama : anisokor o Perhatikan bentuk pupil, apakah bundar dan rata tepinya (normal) atau tidak. o Miosis : pupil mengecil, dipersarafi oleh serabut parasimpatis dari N.III. Dapat dijumpai pada waktu tidur, tingkat tertentu dari koma, iritasi N.III, dan kelumpuhan saraf simpatis (sindrom Horner). o Midriasis : pupil melebar, dipersarafi oleh serabut simpatis (torakolumbal). Dijumpai pada kelumpuhan N.III, misalx oleh desakan tumor atau hematom, pd fraktur dasar tulang tengkorak. Refleks Pupil (Reaksi Cahaya Pupil) o Terdiri atas: 1. Refleks Cahaya Langsung (RCL) 2. Refleks Cahaya Tak Langsung (RCTL) o Caranya: Pasien disuruh melihat benda yang jauh. Mata disenter (diberi cahaya) dan lihat apa ada reaksi pupil. Pada keadaan normal, pupil akan mengecil : RCL (+); bila pupil mata yang TIDAK disinari ikut juga mengecil : RCTL (+). Apabila RCL (-) dan RCTL (+) : kerusakan pada N.II Apabila RCL (-) dan RCTL (-) : kelumpuhan N.III. Refleks Akomodasi o Penderita diminta melihat jauh, kemudian diminta melihat dekat. o Mis. jari pemeriksa atau benda (ex. pulpen) yang ditempatkan di dekat matanya. o Refleks Akomodasi (+) bila pupil mengecil : NORMAL o Refleks Akomodasi (-) bila terdapat kelumpuhan N.III. Kedudukan (Posisi) Bola Mata o Eksoftalmus: mata menonjol o Eksoftalmus bilateral dijumpai pada tirotoksikosis. o Enoftalmus: bola mata seolah-olah masuk ke dalam o Enoftalmus bisa dijumpai pd Sindrom Horner (yang disebabkan oleh kerusa-kan serabut simpatis leher) o Strabismus: posisi bola mata tidak simetris akibat adanya kontraksi atau tarikan yang berlebihan dari otot mata. Disebut juga juling/jereng. Strabismus konvergen: lirikan ke medial disebabkan oleh ke-lumpuhan m. rectus eksternus yang dipersarafi N.VI Strabismus divergen: lirikan ke lateral disebabkan oleh kelum-puhan m. rectus internus yang dipersarafi N. III. Gerakan Bola Mata o Penderita disuruh mengikuti jari pe-meriksa yang digerakkan kea rah lateral, medialatas, bawah, dan kea rah yang miring. o Perhatikan apakah mata pasien bias mengikutinya dan perhatikan bagai-mana gerakan bola mata. 5
o Pada pemeriksaan gerakan bola mata juga diperhatikan adanya diplopia (melihat kembar). Diplopia dijumpai pada kelumpuhan otot penggerak bola mata. o Perhatikan pula adanya nistagmus. Nistagmus adalah gerak bolak-balik bola mata yang involunter dan ritmik. Caranya: penderita disuruh terus melirik ke satu arah (ex. ke kanan/kiri/ atas/bawah) selama 5-6 detik. Jika ada nistagmus, akan terlihat dalam jangka waktu tersebut. 4. Nervus V (Nervus Trigeminus) 3,4,5 Bagian Motorik o Mengurus otot-otot u/ mengunyah, yaitu m. masseter, m. temporalis; m. pterigoid medialis (bfx u/ menutup mulut); m. pterigoid lateralis (bfx u/ menggerakkan rahang bawah ke samping) o Cara pemeriksaan - Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kita raba m. masseter dan m. temporalisnya. - Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan diperhatikan apakah ada deviasi dari rahang bawah, lalu mulut ditutup rapat (untuk menilai m. pterigoid medialis) - Pasien diminta untuk menggerakkan rahang bawahnya kiri dan kanan (untuk menilai m. pterigoideus lateralis) - Bila terdapat parese di sebelah kanan, rahang bawah tidak dapat digerakkan ke samping kiri. Begitu pula sebaliknya. Bagian Sensorik o Mengurus sensibilitas wajah melalui 3 cabang: - Cabang (ramus) oftalmik : mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak, sinus paranasalis dan sebagian mukosa hidung - Cabang (ramus) maksilaris : mengurus sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung. - Cabang (ramus) mandibularis : mengurus sensibilitas rahang bawah, gigi bawah, bibir bawah, mukosa pipi, 2/3 bag. Depan lidah, sebagian dari telinga (eksternal), meatus, dan selaput otak. o Cara Pemeriksaan: - Bagian sensorik N.V diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri, dan suhu pada daerah yang dipersarafinya (wajah).
Gambar 1. Daerah Sensibilitas N.V, cabang I, II, III 6
(I) (II) (III)
Ramus Oftalmik Ramus Maksilaris Ramus Mandibularis
5. Nervus VII (Nervus Fasialis) 3,4,5 Saraf otak N.VII mengandung 4 macam serabut: a. Serabut somato-motorik : mempersarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah. b. Serabut visero-motorik (parasimpatis) : datang dari nucleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilar serta sublingual dan lakrimalis. c. Serabut visero-sensorik : menghantar impuls dari alat pengecap di 2/3 bagian depan lidah (bersama-sama dengan N.V cab. Ramus mandibularis; sedangkan 1/3 bagian posterior oleh N.IX). d. Serabut somato-sensorik : rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh N.V. Secara anatomis, bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yaitu: a. Motorik: inervasi otot wajah b. Sensasi: sensasi eksteroseptif dari gendang telinga, sensasi pengecapan 2/3 bagian anterior lidah c. Parasimpatis: kelenjar ludah dan air mata Pemeriksaan a. Fungsi Motorik (sering dilakukan di klinik) o Suruh penderita mengangkat alis dan kerutkan dahi. Pada kelumpuhan jenis supranuklir sesisi, penderita dapat mengangkat alis dan mengerutkan dahi Pada kelumpuhan jenis perifer tampak adanya asimetri o Suruh penderita pejamkan mata Lumpuh berat : tidak dapat pejamkan mata Lumpuh ringan : tenaga pejaman kurang kuat Hal ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa, sedangkan pasien disuruh memejamkan mata o Suruh penderita menyeringai, senyum, menunjukkan gigi geligi, memonyong-kan bibir, menggembungkan pipi o Gejala Chovstek Dibangkitkan dgn jalan mengetok N.VII di bagian depan telinga Bila positif : kontraksi otot yang dipersarafinya Pada tetani gejala Chovstek (+) b. Fungsi Pengecapan o Suruh penderita julurkan lidah, letakkan bubuk gula/garam/kina (dilakukan secara bergantian dan diselingi istirahat) pada 2/3 lidah bagian depan 7
o Penderita disuruh menyebutkan apa yang ia rasakan o Ageusi : hilangnya rasa pengecapan (pada 2/3 lidah anterior) akibat kerusakan N.VII sebelum percabangan korda timpani Gangguan N. VII Kerusakan sesisi pada UMN N.VII (lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik) akan mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah bagian bawah (kurang dapat mengangkat sudut mulut, menyeringai, perlihatkan gigi, tersenyum). Pada wajah bagian atas tidak mengalami kelumpuhan (penderita masih dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi, dan menutup mata). Pada lesi LMN : semua gerakan otot wajah (baik yang volunteer maupun involunter) semuanya lumpuh. Pada Bell’s Palsy : kelumpuhan N.VII jenis perifer yang timbul secara akut, tanpa adanya kelainan neurologik lain. Pada Sindrom Guillain Barre : kelumpuhan N.VII perifer yang bilateral, muka tampak simetris. Perlu dicurigai bila pasien tidak dapat memejamkan kedua matanya. Beberapa penyebab gangguan N.VII o Strok (kebanyakan menyebabkan gangguan jenis sentral o Gangguan jenis perifer: Paralisis idiopatis (Bell’s palsy) Tumor di sudut serebelopontin Otitis media Meningitis karsinomatosa Tumor parotis Fraktur dasar tulang tengkorak · Beberapa penyebab gangguan pengecapan (N.VII, N.IX) Meningitis viral Pasca influenza Merokok Mulut kering Penyakit sistemik Defisiensi vitamin B12 dan A Obat-obatan (amitriptilin, ACE- inhibitor)
6. Nervus VIII (Nervus Vestibulokoklearis) Terdiri dari Saraf Vestibularis & Saraf Koklearis a. Saraf Vestibularis Berhubungan dengan: o Batang otak : serabut dari inti vestibularis mengadakan hubungan dengan inti saraf otak III, IV, dan VI (yg mengurus otot ekstraokuler). Sistem vestibuler memainkan peranan dalam mengurus gerak terkonjugasi bola mata yang reflektoris terhadap gerakan serta posisi kepala.
8
o Medulla Spinalis : hubungan dengan medulla spinalis terjadi melalui traktus vestibulospinalis lateralis dan medialis. Berperan mengatur tonus otot ekstensor badan dan anggota gerak terhadap gravitasi, dan mempertahankan sikap tegak. o Serebelum : bagian vestibuler dari serebellum (archicerebellum) berperan dalam mempertahankan keseimbangan. o Serebrum : hubungannya dengan korteks serebri masih belum berhasil dibuktikan. Gangguan saraf vestibularis: o Vertigo, terbagi atas 2 tipe Perifer: sekeliling berputar, nistagmus horizontal, lebih berat Sentral: orangnya yang seperti berputar, nistagmus vertikal, lebih ringan o Nistagmus : gerak infolunter yang bersifat ritmik dari bola mata (gejala objektif vertigo) o Salah tunjuk, kehilangan keseimbangan Pemeriksaan saraf vestibularis o Cara khusus untuk menimbulkan nistagmus: Manuver Nylen-Barany atau Manuver Hallpike Tes kalori Elektronistagmografi o Tes untuk menilai keseimbangan: Tes Romberg yang dipertajam : penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yg lain (tandem); tumit kaki yang satu berada di depan jari kaki lainnya. Lengan dilipat pada dada dan mata lalu ditutup untuk menilai adanya disfungsi vestibular. Pada orang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih. Tes melangkah di tempat (strepping test) : penderita disuruh jalan di tempat dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa. Tes ini dapat mendeteksi gangguan sistem vestibular. Hasil tes dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita beranjak lebih dari 1 m dari tempatnya semula, atau badan berputar lebih 30°. Salah tunjuk : penderita disuruh menyentuh telunjuk pemeriksa dengan menggunakan telunjuknya. Pada gangguan vestibular didapatkan salah tunjuk, demikian juga dengan gangguan serebellar. Penyebab gangguan sistem vestibular: o Gangguan jenis perifer Neuritis vestibular Vertigo posisional benigna Mabuk kendaraan Trauma Obat-obatan (ex. streptomisin) Labirintis Penyakit meniere Tumor di fossa posterior o Gangguan jenis sentral Strok atau iskemia batang otak 9
-
Migren basilar Trauma Perdarahan atau lesi di serebellum Lesi lobus temporalis Neoplasma
b. Saraf Koklearis Gangguan Saraf Koklearis o Gangguan ada saraf koklearis dapat menyebabkan tuli, tinnitus, atau hiperakusis. Ada 2 macam ketulian, yaitu: 1. Tuli perseptif atau tuli saraf - Dapat disebabkan oleh lesi di: a. reseptor di telinga dalam b.nervus koklearis c. inti serta serabut pendengaran di batang otak d.korteks auditif - Pada tuli saraf, konduksi udara dan konduksi tulang sama - sama berkurang, sehingga perbandingan hantarannya biasanya tidak berubah (Tes Rinne (+)). Akan tetapi, Tes Swabach memendek dan Tes Weber didapatkan lateralisasi ke arah yang sehat. - Terdapat kehilangan pendengaran, terutama untuk nada yang tinggi dan huruf mati yg tajam, seperti “s” & “t” 2. Tuli Konduktif (Tuli Obstruktif, Tuli Transmisi) - Disebabkan oleh gangguan telinga luar dan telinga tengah - Dapat pula disebabkan oleh sum-batan liang telinga luar, missalnya oleh serumen, air, darah, dll. - Gangguan di nasofaring yg menga-kibatkan obstruksi pada tuba Eustachii dapat menyebabkan tuli konduktif. - Gangguan terutama pada konduksi udara, sedang konduksi tulang tidak berubah, malah dapat bertambah, karenanya Tes Rinne (-). Disamping itu Tes Swabach memendek dan pada Tes Weber didapatkan lateralisasi ke sisi yang tuli. - Terdapat gangguan pendengaran, terutama pada nada yang rendah. o Tinitus : bunyi berdenging di telinga yang disebabkan oleh eksitasi atau iritasi alat pendengaran, sarafnya, inti serta pusat yang lebih tinggi. Obat-oabatan seperti kina, salisilat, dan streptomisin dapat menyebabkan tinnitus. Pemeriksaan Saraf Koklearis 1. Tes Swabach Pada tes ini, pendengaran penderita dibandingkan dengan pendengaran pemeriksa (yg normal). Garpu tala dibunyikan lalu ditempatkan di dekat telinga penderita. Setelah penderita tak medengar bunyi lagi, garpu tala tersebut diletakkan di dekat telinga pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa : swabach memendek (untuk konduksi udara). 10
-
Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid penderita. Bila penderita sudah tidak mendengar bunyi lagi, maka garpu tala di-tempatkan pada tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengar bunyinya à swabach memendek (untuk konduksi tulang). 2. Tes Rinne Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dgn konduksi udara. Pada telinga normal, konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang. Pada pemeriksaan, biasanya digunakan garpu tala frekuensi 128, 256 a/ 512 Hz. Garpu tala dibunyikan pada pangkalnya ditekan pada pada tulang mastoid penderita. Bila penderita sudah tidak mendengar lagi, garpu tala didekatkan pada telinga penderita. Jika masih terdengar bunyi, maka konduksi udara lebih baik dari konduksi tulang à RINNE (+) Bila tidak terdengar lagi bunyinya segera setelah garpu tala dipindahkan dari tulang mastoid ke dekat telinga à RINNE (-) 3. Tes Weber Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi penderita tepat di tengah. Penderita disuruh mendengarkan bunyinya dan menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras terdengar. Pada orang normal, kerasnya bunyi sama pada telinga kiri dan kanan. Pada tuli saraf, bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang sehat. Pada tuli konduktif, bunyi lebih keras terdengar pada telinga yg tuli. TES WEBER BERLATERALISASI ke kiri (atau ke kanan), bil bunyi lebih keras terdengar di telinga kiri (atau kanan) Tuli Perseptif (Tuli Saraf) : pendengaran berkurang, Rinne (+), weber lateralisasi ke telinga yang sehat Tuli Konduktif : pendengaran berkurang, Rinne (-), weber lateralisasi ke telinga yang tuli. 7. Nervus IX (Nervus Glosofaringeus), Nervus X (Nervus Vagus) 3,4,5 Pendahuluan - N.IX dan X diperiksa bersamaan, karena kedua saraf ini berhubungan erat satu sama lain, sehingga gangguan fungsinya jarang tersendiri, kecuali pada bagian yang perifer sekali. - Pembentukan suara (fonasi) dilakukan oleh pita suara, yang dipersarafi oleh N. laringeus rekurens (cabang dari N.X). - Pengucapan (artikulasi) kata-kata diurus oleh otot-otot mulut (masseter, pterigoideus lateralis, orbikularis oris), otot lidah, otot laring dan faring. Jadi, artikulasi merupakan kerja sama antara saraf otak V, VII, IX, X dan XII. Kelumpuhan nervus-nervus tersebut dapat mengakibatkan disartria Gangguan N.IX dan X - Disartria (cadel, pelo) : gangguan pengucapan akibat kelumpuhan N.V, VII, IX, X 11
-
Disfagia (salah telan) : akibat kelumpuhan N.IX, X Disfonia (suara serak) : akibat kerusakan N. Laringeus rekurens (cabang N.X) Afonia : suara tidak ada sama sekali · Pemeriksaan N.IX, X - Fungsi Motorik o Perhatikan kualitas suara pasien. Apakah suara normal/disfonia/afonia. o Minta pasien menyebutkan: AAAAAA….. pembentukan suara dilakukan oleh pita suara yang dipersarafi cabang N.X (N. Laringeus Rekurens), apabila lumpuh à disfonia o Artikulasi yang kurang baik (cadel) akibat adanya kelumpuahan N.V, VII, IX, X à disartria. o Pada kelumpuhan N.IX, X, palatum molle tidak sanggup menutup jalan ke hidung waktu bicara : suara hidung (bindeng/ sengau) o Kelumpuhan N.IX, X : disfagia (salah telan/ keselek) o Sekukan (hiccup, singultus) : kontraksi diafragma yang menyebabkan udara diinspirasi dengan kuat, dan bersamaan dengan itu, terdapat pula spasme faing dan berhentinya inspirasi karena menutupnya glottis. o Pengecapan : tesnya sulit dilakukan karena N.IX mempersarafi 1/3 bagian posterior lidah (sedangkan 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh N.V dan N.VII) - Fungsi Autonom N.X merupakan inhibitor dari jantung; paralysis menyebabkan takikardi, iritasi menyebabkan bradikardi. Oleh karena itu, pada pemeriksaan N.X perlu diperiksa frekuensi nadi. Beberapa Penyebab Gangguan N.IX dan X - Anerisma a. vertebralis - Strok bilateral (hemiparese dupleks) - Idiopatis - Hal yang menyebabkan gangguan pada m. Laringeus rekurens: anerisma aorta, tumor di mediastinum, tumor di bronkus
-
-
8. Nervus XI (Nervus Aksesorius) 3,4,5 Pendahuluan Saraf otak ini hanya terdiri dari serabut motorik (somatomotorik). Saraf XI menginervasi otot sternokleidomastoi-deus dan otot trapezius. Otot sternokleidomastoideus menyebabkan gerakan menoleh (rotasi) pada kepala. Otot trapezius menarik kepala ke sisi yang sama. Ia juga mengangkat, menarik dan memutar scapula, serta membantu mengangkat lengan dari posisi horizontal ke atas. Pemeriksaan Pemeriksaan Otot Sternokleidomastoideus o Pasien disuruh menggerakkan bagian badan (persendian) yang digerakkan oleh otot yang ingin kita periksa, dan kita tahan gerakan ini o Untuk mengukur tenaga otot sternokleido-mastoideus dapat dilakukan dengan hal berikut: kita suruh pasien menoleh misalnya ke kanan. Gerakan ini kita tahan dengan tangan kita yang ditempatkan di dagu. Bandingkan kekuatan otot kiri dan kanan. 12
-
-
-
Pemeriksaan Otot Trapezius o Tenaga otot diperiksa sebagai berikut: tempatkan tangan kita di atas bahu penderita. Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya, dan kita tahan. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan ototnya. o Untuk memeriksa kedua otot trapezius, pasien disuruh mengekstensikan kepalanya, dan gerakan ini kita tahan. Jika terdapat kelumpuhan otot trapezius satu sisi, , kepala tidak dapat ditarik ke sisi tersebut, bahu tidak dapat diangkat dan lengan tidak dapat dielevasi ke atas dari posisi horizontal. Gangguan pada N XI dan Penyebabnya Gangguan N XI dapat terjadi karena lesi supra-nuklir, nuklir atau infranuklir. Lesi supranuklir (sentral,upper motor neuron) dapat terjadi karena kerusakan di korteks, atau traktus piramidalis (di kapsula interna dan batang otak), misalnya oleh gangguan peredaran darah (strok). Lesi nuklir (perifer) didapatkan pada siringobulbi, dan ALS (amiotrofik lateral sclerosis). Pada lesi nuklir ini, selain parese, juga didapatkan atrofi dan fasikulasi pada otot. Lesi infranulkir (perifer, lower motor neuron) dapat terjadi karena kerusakan di ekstrameduler (di dalam tengkorak, di foramen jugulare, dan di leher. Hal ini menyebabkan paralysis dengan atrofi 9. Nervus XII (Nervus Hipoglosus) 3,4,5
- Saraf XII mengandung serabut somato-motorik yang menginervasi otot ekstrinsik dan otot intrinsic lidah. - Fungsi otot ekstrinsik lidah ialah menggerakkan lidah, dan otot intrinsik mengubah-ubah bentuk lidah - Inti saraf ini menerima serabut dari korteks traktus piramidalis dari satu sisi, yaitu sisi kontralateral. Dengan demikian ia sering terkena pada gangguan peredaran darah di otak (strok) Pemeriksaan - Inspeksi: suruh penderita membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak - Minta pasien menjulurkan lidahnya, perhatikan apakah posisi lidah simetris atau mencong - Pada parese satu sisi, lidah dijulurkan mencong ke sisi yang lumpuh - Jika terdapat kelumpuhan pada dua sisi, lidah tidak dapat digerakkan atau dijulurkan. Terdapat disartria (cadel, pelo) dan kesukaran menelan. Selain itu juga didapatkan kesukaran bernapas, karena lidah dapat terjatuh ke belakang, sehingga menghalangi jalan napas. - Untuk menilai tenaga lidah kita suruh pasien menggerakkan lidahnya ke segala jurusan dan perhatikan kekuatan geraknya. Kemudian pasien disuruh menekankan lidahnya pada pipinya. Kita nilai daya tekannya ini dengan jalan menekankan jari kita pada pipi sebelah luar. Jika terdapat parese lidah bagian kiri, lidah tidak dapat ditekankan ke pipi sebelah kanan, tetapi ke sebelah kiri dapat. Gangguan Pada N.XII Dan Penyebabnya 13
- Lesi N.XII dapat bersifat supranuklir, misalnya pada lesi di korteks atau kapsula interna, yang dapat disebabkan oleh misalnya pada strok. Dalam hal ini didaptkan kelumpuhan otot lidah tanpa adanya atrofi dan fasikulasi. - Pada lesi nuklir, didapatkan atrofi dan fasikulasi. Hal ini dapat disebabkan oleh siringobulbi, ALS, radang, gangguan peredaran darah dan neoplasma - Pada lesi infranuklir didapatkan atrofi. Hal ini disebabkan oleh proses di luar medulla oblongata, tetapi masih di dalam tengkorak, misalnya trauma, fraktur dasar tulang tengkorak, meningitis, dll Pemeriksaan Penunjang CT-scan dan MRI CT scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasien yang diduga menderita tumor intrakranial. Sensitifitas CT Scan untuk mendeteksi tumor yang berpenampang kurang dari 1 cm dan terletak pada basis kranii. Gambaran CT Scan pada tumor intrakranial umumnya tampak sebagai lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Penekanan dan perubahan bentuk ventrikel. Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan udem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya yang hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada waktu pemeriksaan CT scan disertai dengan pemberian zat kontras. Efek terhadap tulang berdekatan misalnya hiperostosis akibat meningioma. Lesi yang multiple kemungkinan adanya metastasis.6 MRI lebih unggul dibanding CT scan dengan kontras karena MRI lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif dalam mendeteksi tumor kecil, memberikan visualisasi yang lebih detil, terutama untuk daerah dasar otak, batang otak, dan daerah fossa posterior.6 Tumor Marker Usaha untuk mencari substansi yang menunjukkan pertumbuhan tumor spesifik dari darah atau cairan serebrospinal terbatas pada hubungan antara peningkatan alfa feto protein dan gonadotrofin khorionik manusia dengan germinoma ventrikel ketiga yang membantu diagnosis. Perkembangan antibodi monoklonal, dengan perbaikan pada sensitivitasnya mungkin memberikan pendekatan yang bermanfaat untuk lokasi tumor serta identifikasinya dimasa yang akan datang.6 Hematokrit berarti untuk memisahkan darah, artinya menandakan mekanisme pemisahan sel darah dan plasma oleh sentrifugasi. Uji ini secara tidak langsung mengukur masa eritrosit. Hasil dari uji ini berupa persentase volume eritrosit dalam seluruh darah. Pemeriksaan ini penting untuk mengetahui adanya anemia atau polisitemia.7 Nilai normal : 7 Wanita : 36-48% Pria : 42-52% Hemoglobin merupakan komponen utama eritrosit, sebagai kendaraan untuk transportasi oksigen dan karbon dioksida Hemoglobin terbentuk dari asam amino yang 14
membentuk protein tunggal disebut globin, dan senyawa yang disebut heme, yang mengadung atom besi dan pigmen merah porfirin. Pemeriksaan ini digunakan untuk screening penyakit yang terkait dengan anemia, untuk mengetahui keburukan anemia, monitor respon terhadap pengobatan anemia dan untuk mengevaluasi polisitemia. 7 Nilai normal : 7 Wanita : 12.0 - 16.0 g/dL Pria : 14.0 - 17.4 g/dL Trombosit merupakan elemen terkecil di darah. Sel-sel ini tidak ada nukleus, bundar atau oval, pipih. Aktivitas trombosit digunakan untuk pembekuan darah, integritas vaskular da vasokonstriksi, dan adhesi dan agregasi yang terjadi saat pembentukan plug platelet yang menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil. Jumlah trombosit digunakan untuk mengetahui kelainan perdarahan yang terjadi pada trombositopenia, uremia, penyakit liver, keganasan7 Nilai normal :7 Dewasa : 140.000 - 400.000 / mm3 Diagnosis Kerja Pada pasien yang sudah tua, pada onset gejala (umumnya 6 bulan atau kurang) dapat menjadi tanda keganasan. Gangguan cara berjalan (Gait disturbance), memori jangka pendek berkurang, sakit kepala pada lokasi yang sama dan persisten merupakan gejala terseringnya. Semakin bertumbuh tumornya, gejalanya semakin buruk. Tumor yang paling sering adalah pada lobus frontalis anterior dan lobus temporalis anterior. Jika tumornya berada pada basis cranii dan bertumbuh besar, bisa hampir tidak ada gejala atau dengan gejala nonspesifik, yang dapat keliru dengan proses penuaan seperti kehilangan memori, perubahan personalitas, atau kesulitan berjalan. 3,5,6 Etiologi Genetik dan Familial Predisposisi genetik pada tumor SSP muncul relatif jarang, walaupun glioma dapat diturukan sebagai bagian dari penyakit keluarga. Secara khusus, mutasi dari germline yang disebut gen tumor supresor menggambarkan beberapa sindrom genetik yang menyebabkan peningkatan insiden dari perkembangan tumor otak : type 1 neurofibromatosis (mutasi dari NF1), Turcot syndrome (mutasi dari APC), basal cell nevus syndrome (mutasi dari PTCH), dan Li-Fraumeni syndrome (mutasi dari TP53 atau CKEK2) berhubungan dengan peningkatan resiko tumor otak. 3,5,6 Beberapa laporan kasus telah menghubungkan antara tumor SSP dengan malformasi, termasuk meduloblastoma dengan abnormalitas sistem gastrointestinal dan genitourinaria, ependymoma dengan malformasi arteriovenus dari meningen, dan glioblastoma multiforme dengan malformasi arteriovenus angiomatus yang berdekatand an fistula arterivenus pulomonal. Tumor SSP dapat berhubungan dengan sindrom Down, kelainan yang melibatkan kromosom 21. Studi epidemiologi menemukan bahwa kasus tumor otak bisa 2-3 kali mempunyai hubungan dengan retardasi mental, walaupun hasilnya hanya signifikan pada satu studi. 15
Karena hanya sedikit dari proporsi tumor otak yang murni diturunkan, hal ini lebih berhubungan dengan interaksi gen dengan lingkungan. Bukti tmbahan etiologi familial berasal dari studi epidemiologi yang membandingkan keluarga dengan riwayat tumor otak dan dengan kontrol. Secara signifikan adanya riwayat keluarga meningkatkan kejadian tumor dan kanker jenis lainnya Industri dan Pekerjaan Banyak penelitian industri dan pekerjaan tentang tumor otak disebabkan karena pengetahuan bahwa beberapa pekerja terpapar karsinogenik atau substansi neurotoksik atau keduanya, seperti pelarut organik, hidrokarbon polisiklik aromatik, formaldehid, minyak pelumas, akrilonitril, dan senyawa phenol dan phenolic. Beberapa bahan kimia yang menginduksi tumor otak pada percobaan hewan adalah bagian dari paparan tempat kerja. Beberapa senyawa seperti hidrokarbon polisiklik aromatik secara umum menginduksi tumor otak melalui implantasi langsung atau secara transplasental tapi tidak melalui inhalasi atau paparan pada kulit yang merupakan hal paling berhubungan dengan populasi pekerja. Telah ada beberapa penelitian dari pekerja produksi dan proses karet sintetik, secara kolektif, penelitian ini menunjukkan peningkatan resiko kejadian tumor otak sekitar 90%. Vinyl cloride menginduksi tumor otak pada tikus, dan 9 dari 11 penelitian dari pekerja produksi polivinyl cloride menunjukkan peningkatan resiko meninggal karena tumor otak sebanyak dua kali. Paparan oleh viny cloride telah dihubungkan dengan peningkatan insiden glioma stadium tinggi.23,5,6 2.1.1 Radiasi Ionik Radiasi ionik adalah faktor resiko paling tegas yang telah ditemukan pada neoplasma glial dan meningeal. Iradiasi pada kranium, bahkan pada dosis rendah, dapat meningkatkan insiden meningioma oleh satu faktor dari sepuluh dan insiden tumor glial oleh satu faktor dari 3 sampai 7, dengan masa laten 10 tahun atau lebih dari 20 tahun setelah paparan.5 Terdapat kesepakatan yang wajar dari resiko kuat peningkatan tumor intrakranial yang terjadi setelah terapi radiasi ionik. Bahkan dengan dosis yang realtif rendah yang digunakan untuk terapi ringworm pada scalp (tinea kapitis) yang rata-rata 1,5 Gy, relatif beresiko 18, 10,dan 3 telah diobservasi untuk tumor selubung saraf, meningioma, dan glioma. 3,5,6 Epidemiologi Insidens tumor otak primer terjadi pada sekitar enam kasus per 100.000 populasi per tahun. Dimana tumor otak primer tersebut kira-kira 41% adalah glioma, 17%meningioma, 13% adenoma hipofisis dan 12% neurilemoma. Pada orang dewasa 60%terletak supratentorial sedang pada anak 70% terletak infratentorial. Pada anak yang paling sering ditemukan adalah tumor serebellum yaitu meduloblastoma dan astrositoma,sedangkan pada dewasa adalah glioblastoma multiforme.3 Patofisiologi3,5,6 Tumor intrakranial jinak memiliki efek yang membahayakan karena berkembang didalam rongga tengkorak yang berdinding kaku. Tumor intrakranial ganas berarti pertumbuhan yang cepat, diferensiasi yang buruk, selularitas yang bertambah, mitosis, nekrosis, dan proliferasi vaskular. Namun, metastasis kedaerah ekstrakranial jarang terjadi. 16
Gangguan neurologik pada tumor intrakranial biasanya disebabkan oleh dua faktor yaitu gangguan fokal akibat tumor dan gangguan akibat peningkatan tekanan intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahah sirkulasi cairan serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Tumor ganas menimbulkan edema dalam jaringan otak sekitarnya. Mekanisme belum begitu dipahami, tetapi diduga disebabkan oleh selisih osmotik yang menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan edema akibat kerusakan sawar darah otak, semua menimbulkan peningkatan volume intrakranial dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruang subarachnoid menimbulkan hidrosefalus. Peningkatan tekanan intrakranial akan membahayakan jiwa bila terjadi cepat. Mekanisme kompensasi memerlukan waktu berhari-hari atau berbulan-bulan untuk menjadi efektif sehingga tidak berguna bila tekanan intrakranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini bekerja menurunkan volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan terjadinya herniasi unkus atau serebelum. Herniasi unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis tergeser ke inferior melalui incisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan mesencephalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak. Kompresi medulla oblongata dan henti napas terjadi dengan cepat. Perubahan fisiologi lain yang terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial yang cepat adalah bradikardi progesif, hipertensi sistemik, dan gagal napas. Gejala klinis Gejala umum timbul akibat peningkatan tekanan intrakranial atau proses difus dari tumor tersebut. Tumor ganas menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor jinak. Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis dan pada mulanya hanya memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dahulu baru kemudian memberikan gejala umum. Terdapat 4 gejala klinis umum yang berkaitan dengan tumor otak, yaitu perubahan status mental, nyeri kepala, muntah, dan kejang. Perubahan status mental Gejala dini dapat samar. Ketidakmampuan pelaksanaan tugas sehari-hari, lekas marah, emosi yang labil, inersia mental, gangguan konsentrasi, bahkan psikosis.3 Fungsi kognitif merupakan keluhan yang sering disampaikan oleh pasien kanker dengan berbagai bentuk, mulai dari disfungsi memori ringan dan kesulitan berkonsentrasi hinggga disorientasi, halusinasi, atau letargi.7 17
Nyeri kepala Nyeri kepala merupakan gejala dini tumor intrakranial pada kira-kira 20% penderita. Sifat nyeri kepalanya berdenyut-denyut atau rasa penuh di kepala seolah-olah mau meledak. Awalnya nyeri dapat ringan, tumpul dan episodik, kemudian bertambah berat, tumpul atau tajam dan juga intermiten. Nyeri juga dapat disebabkan efek samping dari obat kemoterapi. Nyeri ini lebih hebat pada pagi hari dan dapat diperberat oleh batuk, mengejan, memiringkan kepala atau aktifitas fisik.7 Lokasi nyeri yang unilateral dapat sesuai dengan lokasi tumornya sendri. Tumor di fossa kranii posterior biasanya menyebabkan nyeri kepala retroaurikuler ipsilateral. Tumor di supratentorial menyebabkan nyeri kepala pada sisi tumor, di frontal orbita, temporal atau parietal. Muntah Muntah ini juga sering timbul pada pagi hari dan tidak berhubungan dengan makanan. Dimana muntah ini khas yaitu proyektil dan tidak didahului oleh mual. Keadaan ini lebih sering dijumpai pada tumor di fossa posterior. Kejang Kejang fokal merupakan manifestasi lain yang biasa ditemukan pada 14-15% penderita tumor otak. 20-50% pasien tumor otak menunjukan gejala kejang. Kejang yang timbul pertama kali pada usia dewasa mengindikasikan adanya tumor di otak. Kejang berkaitan tumor otak ini awalnya berupa kejang fokal (menandakan adanya kerusakan fokal serebri) seperti pada meningioma, kemudian dapat menjadi kejang umum yang terutama merupakan manifestasi dari glioblastoma multiforme.3 Kejang biasanya paroxysmal, akibat defek neurologis pada korteks serebri. Kejang parsial akibat penekanan area fokal pada otak dan menifestasi pada lokal ekstrimitas tersebut, sedangkan kejang umum terjadi jika tumor luas pada kedua hemisfer serebri8 Penatalaksanaan Pembedahan Lini pertama penatalaksanaan tumor otak adalah pembedahan. Tujuan dari pembedahan ini adalah :9 1. mendapatkan diagnosis histologis 2. mengurangi massa tumor untuk mencegah defisit neurologik iatrogenik sebisa mungkin 3. mengatasi hidrosefalus jika ada Pembedahan dapat menyembuhkan kebanyakan tumor jinak dengan pengurangan massa , sehingga tumor ganas tidak menyebar ke daerah esensial, seperti area bahasa.9 Jika pembedahan tidak dapat dilakukan, biopsi merupakan pilihan kedua , bahkan dapat dilakukan pada daerah kritis neuron di otak, dengan melakukan reseksi dapat menyebabkan kematian terhadap neuron major. Masalah dapat meningkat dengan derajat tumor yang lebih tinggi dengan memastikan pembuangan tumor lebih banyak lebih baik.9 Radioterapi Radioterapi merupakan opsi lain dari tumor otak. External beam radiotherapy masih menjadi alat penting sebagai tambahan pada pembedahan atau pada beberapa kasus, sebagai alternatif saja. Pada beberapa tumor, terapi ini dapat menyembuhkan dan dalam beberapa kasus dapat memperpanjang umur hidup. Radioterapi pada keseluruhan otak dilakukan pada 18
beberapa kasus tumor , seperti medulloblastoma dan limfoma pada cairan serebrospinal primer. Operasi radiologik stereotactic merupakan metode lain dari radioterapi, dengan memberikan dosis radiasi yang besar terhadap tumornya pada satu dosis, berdasarkan gambaran dari pemeriksaan penunjang yang sudah jelas lesinya. Teknik ini digunakan pada tumor yang terlihat jelas, seperti meningioma. 9 Kemoterapi Penggunaan kemoterapi meningkat pada kasus keganasan primer otak. Agen yang sering digunakan adalah temozolamide, merupakan agen alkylating yang memiliki sifat penetrasi baik terhadap sawar darah otak yang dapat menuju ke jaringan otak. Beberapa kombinasi radioterapi menunjukan keuntungan pada kasus glioma. Kemoterapi juga dapat dilakukan pada oligodendroglioma.9 Terapi lain Pengobatan lain yang menguntungkan pada tumor otak seperti kortikosteroid untuk mengurangi efek massa dan membantu mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Terapi antikonvulsan dapat digunakan pada pasien dengan kejang. 9 Komplikasi Komplikasi : Pengobatan radioterapi dan Temozolomide : pneumonia, supresi sumsum tulang. Pembedahan : intraoperative blood loss, perbedaan level hemoglobin sebelum dan sesudah operasi.8 Prognosis Prognosis baik jika diketahui dari awal dan dilakukan tatalaksana dengan baik, tetapi hanya jika tumor belum melukai saraf atau otot yang ada.6 Diagnosis Banding Migraine10 Migren (migraine) adalah suatu sindrom klinis akibat disfungsi integrasi sistem saraf pusat dengan manifestasi klinis berupa gangguan kepribadian dan tubuh yang luas, dapat dengan atau tanpa rasa sakit. Manifestasi klinis yang paling sering adalah sakit kepala yang timbul secara periodik (rekuren), pada awal serangan unilateral tetapi pada suatu waktu dapat bilateral atau menyeluruh. Serangan sakit dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa hari, rasa sakit dapat hanya samar-samar saja, tetapi dapat sangat berat sampai tidak tertahankan. Migren dibedakan atas dua bentuk. Bentuk pertama disebut migren klasik atau tipikal, sedangkan bentuk yang lain disebut migren atipikal. Migren klasik umumnya didahului oleh fase prodromal yang timbul pada waktu bangun tidur pagi hari atau setiap saat di siang hari berupa gejala-gejala yang samar. Tiba-tiba terjadi gangguan penglihatan berupa kunangkunang atau garis-garis silang dalam waktu singkat berubah berupa defek skotoma, biasanya bilateral, tetapi dapat pula hemianopsia. Setelah itu timbul rasa tebal (parestesia) pada bibir, muka, tangan dan kaki, afasia ringan, pusing, gangguan jalan, hemiparesis, penurunan kesadaran. Kelainan ini dapat berlangsung 5-15 menit, kadang lebih lama, kemudian mereda 19
dan dalam waktu singkat diikuti oleh sakit kepala unilateral, berdenyut sesuai dengan kelainan serebral yang ada, sedangkan intensitas sakit kepala semakin berat. Pada saat sakit kepala memuncak, dalam waktu satu jam atau sekitar itu mual dan muntah sering timbul. Sakit kepala ini dapat berlangsung beberapa jam atau hari dan sangat mengganggu pasien. Sinusitis11 Sinusitis dikatakan sebagai inflamasi pada sinus paranasal. Pada kasus akut (hingga 4 minggu), terdapat cairan nasal yang purulen (tidak bening), dan disertai obstruksi nasal, facial pain-pressure-fullness, atau keduanya. Subakut berlangsung pada minggu ke 4 hingga ke 8. Kronik sinusitis dikatakan sebagai kondisi inflamasi yang mempengaruhi sinus paranasal dan jalur nasal dengan mininum durasi 8 hingga 12 minggu sebelum adanya tindakan medis. Gejala sinusitis yang paling sering dilaporkan adalah facial pain, pressure, dan / atau sakit kepala. Rasa sakit pada wajah sering digambarkan seperti nyeri tumpul atau tekanan pada pipi bagian atas, antara mata, atau pada dahi. Rasa sakit yang tajam dan terlokalisir jarang ditemukan. Ada 4 gejala pada kasus sinusitis kronik, yaitu cairan mukopurulen dari anterior atau posterior , obstruksi nasal, facial pain-pressure-fullness, dan kurang pekanya indra penghidu. Dua atau lebih gejala tersebut dapat menegakkan diagnosis, tetapi harus ada dokumentasi inflamasi mukosa nasal.
Kesimpulan Tumor supratentorial merupakan tumor pada otak bagian cerebral. Tumor ini memiliki gejala klinis, salah satunya adalah rasa sakit kepala yang makin lama makin hebat. Terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan timbulnya tumor ini seperti genetik, zat karsinogenik, alkohol, dan lainnya. Penanganan untuk kasus ini pada lini pertama yaitu pembedahan, dan dapat ditambah dengan radioterapi maupun kemoterapi Daftar Pustaka 1. Bickley, Lynn S.; Szilagyi, Peter G. Bates' Guide to Physical Examination and History Taking. 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins: 2009. 2. Williams ME. Geriatric physical diagnosis. North Carolina:McFarland & company;2008.h. 260. 3. Lumbantobing S, Neurologi Klinik, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. 4. Mahar Marjono, Neurologi Klinis Dasar, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 2008. 5. Fitzgerald MJ, Gruener G, Mtui E, Clinical Neuroanatomy and Neuroscience Fifth edition International edition, Saunders Elsevier, British, 2007; 225-257 6. Seddighi A, Vaezi M, Seddighi AS, Naimian S, Yourdkhani F, Zoherhvand AH, et al. Brain tumors in elderly. July 2015. ICNSJ 2015; 2 (2):55-61.
20
7. Fischbach FT, Dunning MB. A manual of laboratory and diagnostic tests. 9th edition.Wolters Kluwer Health : China; 2015. p. 90-3,148-9 8. Lo BM, Talavera F, Arnold JL, Brenner BE, Hooker EA, Huff JS. Brain Neoplasms. Nov 2015. Available from URL : emedicine.medscape/article/779664-overview 9. Timmons J. Primary brain tumours. Feb 2012. SUMJ 1(1):31-7 10. Asdie AH, Dahlan P. Migren dan sakit kepala. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata MK, Setuyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2015 .h. 3634-6. 11. Dykewicz MS, Hamiles DL. Rhinitis and sinusitis. Dec 2009. JACI 2009; 125 (2):103-13.
21