Lutfi.docx

  • Uploaded by: Menik Rieskaa
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lutfi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,501
  • Pages: 7
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia kadang dirundung kekurangan untuk sebuah keinsyafan akan kelemahannya. Dan kadang dilimpahi nikmat harta untuk mendidik makna syukur dalam dirinya. Dengan adanya dua kelompok manusia tersebut maka terjadilah dalam hidup bermayarakat kita suatu trasnsaksi dan interaksi untuk saling melengkapi didalam hidup ini.Yang dilanda kekurangan meminjam kepada yang berkecukupan sepotong hartanya untuk memenuhi kebutuhannya dengan janji akan mengembalikannya pada bulan tertentu dan hari tertentu. Orang

yang

berkecukupanpun

memberinya

pinjaman

sesuai

yang

dibutuhkannya dengan harapan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Kejadian semacam ini akan terus terjadi pada masyarakat dalam irama saling melengkapi. Allah SWT yang Maha Tahu benar-benar memperhatikan kejadian ini hingga menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad SAW untuk mengatur tentang ini semua agar transaksi dan interaksi yang seharusnya saling menguntungkan ini tidak berubah menjadi suatu kedholiman. Lihatlah kedzoliman dibalik peminjaman yang disertai syarat menguntungkan disaat mengembalikan. Peminjam akan dipaksa untuk mengembalikan dalam keadaan apapun, apakah Ia dalam kelonggaran atau dalam kesempitan. Artinya Ia harus mengembalikan disaat tidak ada biarpun harus mengambil haknya orang lain yang akhirnya menyebabkan terjadinya rentetan kedzoliman- kedzoliman yang lain. Tidak ada rahmat disini. Sehingga kita bisa saksikan orang yang berhutang dua juta pada akhirnya harus membayar tiga juta dikarenakan tempo yang berkepanjangan dalam membayar hutang. Disisi lain ada kedzoliman dari peminjam yang sebenarnya Allah SWT telah memberikan kelonggaran kepadanya, akan tetapi karena dibuai oleh kerakusan sehingga ia lebih senang menunda-nunda pengembalian sehingga hilanglah rahmat dan syukur. Itulah orang yang dimurkai oleh Allah.

Allah mengajarkan keindahan disaat berada dan kekurangan. Di saat kita meminjami seseorang agar semata-mata mencari ridho Allah SWT. Ketulusan ini harus di jaga jangan sampai tercemari oleh kerakusan untuk meraup keuntungan di balik kebutuhan saudaranya. Sungguh suatu lahan kedoliman yg sangat luas adalah jika ada orang yang butuh pertolongan dari kita dan saat itu kita mampu memenuhinya lalu kebutuhan tersebut kita manfaatkan dan kita rubah menjadi suatu penganiayaan dengan memberi pinjaman dengan syarat mengembalikan dengan keuntungan. Karena itu Allah benar-benar memperhatikan interaksi tersebut sehingga jika ada orang yang memberi pinjaman kepada orang yang membutuhkannya agar tidak terjerumus dalam memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Sehingga jika ada pememinjam dalam kondisi pailit yang sesungguhnya maka wajib yang meminjami untuk memberi tempo pada peminjam tanpa harus membebani tambahan sepeserpun. Dan begitu juga sebaliknya, Allah SWT akan murka kepada orang yang telah meminjam akan tetapi dia menunda pengembaliannya padahal disaat itu sudah jatuh tempo dan diapun mampu untuk membayarnya. Disini ada satu keserasian dalam irama membangun keindahan dalam kebersamaan agar tidak ada si kaya memeras si miskin dan tidak ada si miskin yang tidak menghargai kebaikan si kaya yang telah menolongnya. bishshowab.

B. Rumusan Masalah : 

Apakah yang di maksud dengan pinjam meminjam.?



Apakah syarat dan rukun pinjam meminjam.?



Apakah syarat dan rukun pinjam meminjam.?

Wallahu a'lam

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ariyah (Pinjam Meminjam) Secara etimologi, ariyah adalah dari kata “ara “ yang berarti datang dan pergi, menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata “taawuru” yang sama artinya (saling menukar dan menganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam.1 Itulah makna perkataan ‘Ariyah yang shahih dan pengambilannya. Sedangkan pengertiannya dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini terdapat perincian beberapa madzhab : 1. Madzhab Maliki (Al Malikiyah) ‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu yang dipinjam Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos. Atau manfaat bajak untuk membajak tanah pada masa yang ditentukan. Maka pemberian hak memiliki manfaat tersebut dinamakan ‘Ariyah (meminjamkan). 2. Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah) ‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara cumacuma.

Sebagian

ulama

mengatakan

bahwa

‘Ariyah

adalah

“membolehkan” bukan “memberikan hak milik”. Pendapat ini tertolak dari dua segi, yaitu : 1. Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan memberikan hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan

kecuali

dengan

tujuan

meminjam

pengertian

memberikan hak milik. 2. Bahwasannya orang yang meminjam boleh meminjamkan sesuatu yang ia pinjam kepada orang lain jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda 1

penggunaannya

dengan

perbedaan

Abdul RahmanGhazalyDkk, FiqihMuamalah, (Jakarta :Kencana, 2010), cet I, hlm 247

orang

yang

menggunakan

baik

dari

segi

kekuatan

atau

kelemahannya.

Seandainya meminjamkan itu hanya membolehkan, maka orang yang meminjam tidak sah meminjamkan kepada orang lain. 3. Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah) Perjanjian meminjamkan ialah membolehkan mengambil manfaat dari orang yang mempunyai keahlian melakukan derma dengan barang yang halal diambil manfaatnya dalam keadaan barangnya masih tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang melakukan kesukarelaan. Misalnya adalah Ani meminjamkan buku fiqh (halal diambil manfaatnya) kepada Lina (orang yang berkeahlian melakukan amal sukarela), maka sahlah ani untuk meminjamkan buku fiqh tersebut kepada Lina. 4. Madzhab Hambali (Al Hanabilah) ‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan ongkos. B. Landasan syara’ Ariyah (Pinjam Meminjam) Ariyah di anjurkan mandub dalam islam, yang di dasarkan dalam alquran dan sunah.

‫علَى ْال ِب ِ ِّر َوالت َّ ْق َوى‬ َ ‫َوتَعَ َاونُوا‬

“… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…” [Al-Maa-idah: 2] Dan juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ع ْو ِن أ َ ِخ ْي ِه‬ َ ‫ع ْو ِن ْالعَ ْب ِد َما َكانَ ْالعَ ْب ُد فِي‬ َ ‫وهللاُ فِي‬. َ “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong saudaranya”2 Dalam hadist bukhari muslim dari annas, dinyatakan bahwa rosulullah saw, telah meminjam kuda dari abu talhah, kemudian beliau mengendarainya.

Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6577), (IV/38, no. 2074)], Ahmad (II/407), Sunan at-Tirmidzi (V/28, no. 2646), Sunan Ibni Majah (I/82, no. 225). 2

Dalam hadist lain yang diriwayatkan dari abu daud dengan sanad yang jayid dari safwan ibn umaya, dinyatakan rosulullah SAW, pernah meminjam perisai dari Abu Shafwan bin Umayyah pada waktu perang Hunain. Shafwan bertanya, “apakah engkau merampasnya, ya Muhammad..?” Nabi menjawab, “Cuma meminjam dan aku bertanggung jawab”. C. Rukun Dan Syarat Ariyah 1. Rukun Ariyah Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah. Ulama Syafiiyah, dalam ariyah di syaratkan adanya lapazh shigat akad, yakni ucapan ijab dan kabul dari peminjam dan

yang

meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.3 Secara jumhur para ulama fiqih4 menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat yaitu ; a. Mu’ir (peminjam) b. Musta’ir (yang meminjamkan) c. Mu’ar (barang yang di pinjamkan) d. Sigat, yakni barang sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk

mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan. 2. Syarat Ariyah Ulama fiqih menyaratkan dalam aqad ariyah sebagai berikut ; a. Mu’ir berkal sehat b. Pemegangan barang oleh peminjam Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dengan hibah. c. Barang (musta’ar)

3 4

Abdullah bin aburrahmanabasam, syarahbulughulmaram, hlm 606 WahbahAzZuhaili, Fiqih Islam WaAdillatuhu, (Jakarta :GemaInsani, 2011), hlm 573

Dapat di manfaatkan tanpa merusak zatnya, jika mustaar tidak dapat dimanfaatkan akad tidak sah. contoh tanah, barang, binatang dan lainya. Diharamkan meminjam senjata, kuda kepada musuh juga dilarang meminjamkan al-quran, atau yang berkaitan dengan al-quran kepada orang kafir, juga diharamkan meminjamkan alat buru kepada orang yang sedang ihram. D. Akad Ariyah (Pinjam Meminjam) E. Tanggung Jawab Peminjam Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda: “Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”. Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda: “Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (Dikeluarkan al-Daruquthin) F. Hukum Kerusakan Atas Pinjaman Hukum atas kerusakan barang tergantung pada akadnya yaitu amanah dan dhamanah. Apabila barang

yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan

sebagaimana fungsinya, si peminjam tidak diharuskan mengganti, Sebab pinjam-meminjam itu sendiri berarti saling percaya- mempercayai. Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka wajib menggantinya. Shofwan bin Umaiyah menginformasikan, Sesungguhnya Nabi saw. telah meminjam beberapa baju perang dari shofwan pada waktu Perang Hunain. Shofwan bertanya: “Paksaankah, ya Muhammad?” Rosulullah saw. menjawab: “Bukan, tetapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian (baju perang itu) hilang

sebagian, maka Rosulullah saw. mengemukakan kepada shofwan akan menggantinya. Shofwan berkata: “Saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam Islam.” (HR. Ahmad dan Nasai). Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak ada tanggungan atasnya, kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi pinjaman mempersyaratkan penerima pinjaman harus bertanggung jawab : Al-Amir ash-Shan’ani dalam Subulus Salam III: 69) menjelaskan, ”Yang dimaksud kata madhmunah(terjamin) ialah barang pinjaman yang harus ditanggung resikonya, jika terjadi kerusakan, dengan mengganti nilainya. Adapun yang dimaksud kata mu’addah (tertunaikan) ialah barang pinjaman yang mesti dikembalikan seperti semula, namun manakala ada kerusakan maka tidak harus mengganti nilainya.” Lebih lanjut dia menyatakan, “Hadits yang diriwayatkan Shafwan di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat, bahwa ’ariyah tidak harus ditanggung resikonya, kecuali ada persyaratan sebelumnya. Dan, sudah dijelaskan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat.”

More Documents from "Menik Rieskaa"

Lutfi.docx
December 2019 6
Kdk Menik.docx
December 2019 26