LEMBAR TUGAS MANDIRI
Modul Infeksi Tropis Tingkat 3 / Semester 6 / Tahun Ajaran 2018/2019 Ashila Putri Disamantiaji 1606893525 – Kelompok Diskusi 14
Diagnosis Infeksi HIV
I.
Pendahuluan Pemicu ketiga membahas mengenai pasien wanita berusia 35 tahun yang sedang menjalani kehamilan pertama dengan usia janin tiga bulan. Pasien ini datang dengan keluhan berupa tumbuhnya daging pada bibir kemaluan yang kemudian diidentifikasi sebagai kondiloma akuminata di sekitar labia mayora. Sebagai bagian dari program triple elimination yang dilaksanakan untuk menunjang perawatan antenatal dari ibu hamil, pemeriksaan HIV dilakukan pada pasien tersebut beserta pasangannya. Suaminya memiliki habitus astenikus atau tampak kurus dan memiliki keluhan batuk yang tidak sembuh selama satu bulan lamanya dan sering berpergian ke luar kota. Berdasarkan pemeriksaan tersebut, pasien beserta pasangannya diketahui memiliki hasil pemeriksaan HIV yang positif dengan kemungkinan penularan yang berasal dari pasangan pasien. Janin yang sedang dikandung pasien pun berisiko mengalami penularan secara vertikal baik melalui transplasenta ataupun perinatal saat proses melahirkan. Oleh karena itu, pada lembar tugas mandiri ini akan dibahas mengenai penegakan diagnosis HIV baik secara umum maupun pada populasi khusus seperti pada ibu hamil dan neonatus yang lahir dari ibu dengan status serologi positif terhadap infeksi HIV.
II.
Isi Pemeriksaan secara umum Dalam mendiagnosis pasien dengan dugaan infeksi HIV, anamnesis yang terpadu, pemeriksaan fisik, dan evaluasi dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan setelah melakukan diskusi dengan pasien mengenai implikasi dari infeksi HIV. Data yang diperlukan saat menganamnesis pasien dengan dugaan infeksi HIV ialah faktor risiko yang dimiliki oleh pasien untuk menentukan apakah pasien termasuk ke dalam kelompok individu yang memiliki risiko tinggi untuk mengidap infeksi HIV, seperti tenaga
kesehatan, pengguna napza suntik (penasun), lelaki dengan orientasi seksual penyuka sesame jenis, dan pekerja seks komersial (PSK). Pasien dengan infeksi HIV seringkali juga perlu menghadapi tekanan yang berasal dari stigma di masyarakat, permasalahan kesehatan mental, dan penyakit oportunistik lainnya yang dapat menyertai infeksi HIV sehingga selama anamnesis, seorang dokter juga perlu mengetahui ada tidaknya keluarga yang mendukung pasien secara moral, masalah kesehatan jiwa pada pasien, komorbiditas yang menyertai, status ekonomi, dan ketersediaan asuransi kesehatan. Hal ini dikarenakan faktor-faktor tersebut juga dapat memengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan dan follow-up yang di kemudian hari perlu dilakukan yang nantinya dapat berdampak pada peningkatan risiko transmisi infeksi HIV pasien pada orang-orang di sekitarnya. Pasien yang tidak bersedia untuk menjalani pemeriksaan HIV perlu memberikan pernyataan berisi penolakan secara tertulis. 1 Pemeriksaan laboratorium merupakan metode utama yang digunakan dalam penegakan diagnosis infeksi HIV. Terdapat banyak modalitas yang dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV, baik pemeriksaan langsung—isolasi virus, deteksi antigen, ataupun deteksi asam nukleat, maupun pemeriksaan tidak langsung—pemeriksaan serologi yang lebih rutin dilakukan di Indonesia. Pemeriksaan serologi dilakukan dengan dasar munculnya antibodi terhadap HIV yang muncul di sirkulasi darah ±3–12 minggu setelah pajanan pertama dengan virus. Spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan HIV dapat berupa serum, plasma, whole blood, dan Dried Blood Spot (DBS). Spesimen berupa DBS dapat digunakan karena berdasarkan studi, asam nukleat HIV yang berada di dalam DBS memiliki kondisi yang stabil selama beberapa bulan dalam suhu ruang. Hal ini dapat terus bertahan apabila spesimen DBS dikeringkan dengan benar dan disimpang bersama desikator. Hal ini memungkinkan dilaksanakannya pengumpulan spesimen di daerah terpencil untuk kemudian dikirim ke laboratorium regional/pemerintah yang terletak jauh dari daerah tempat pasien berada. 2,3 Kementrian kesehatan di Indonesia telah menetapkan bahwa dalam menegakkan infeksi HIV, dokter perlu mengikuti algoritma strategi III yang telah ditetapkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 15 tahun 2015 tentang Pelayanan Laboratorium Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik. Angka “3” pada strategi III menandakan bahwa terdapat tiga macam pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk mendiagnosis infeksi HIV. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pemeriksaan yang akan dilakukan pada setiap tahap. Pemeriksaan pertama perlu memiliki sensitivitas tertinggi, yaitu pada ≥99%, sedangkan pemeriksaan kedua harus memiliki
spesifisitas ≥98% dan lebih tinggi dibandingkan spesifisitas dari pemeriksaan pertama. Pemeriksaan ketiga perlu memiliki spesifisitas yang lebih tinggi lagi dari pemeriksaan pertama dan kedua dengan spesifisitas ≥99%. Pemeriksaan bertingkat seperti ini perlu dilakukan mengingat sensitivitas yang tinggi memiliki dampak/konsekuensi berupa penurunan spesifisitas dan banyaknya kasus false-positive. Selain itu, akan lebih baik apabila pemeriksaan pertama yang dilakukan mampu mendeteksi antigen HIV-1 maupun HIV-2. 4,3 Selain sensitivitas dan spesifisitas, prinsip/mekanisme kerja dari pemeriksaan pertama, kedua, dan ketiga juga harus berbeda atau pemeriksaan dilakukan dengan penggunaan antigen yang berbeda jenisnya. Secara umum, jenis pemeriksaan yang bisa dilakukan pada tiap pemeriksaan ialah rapid test—dengan prinsip kerja aglutinasi/imunokromatografi, ataupun Enzyme Immunoassay (EIA) dan pemilihannya pun didasarkan pada ketersediaan sarana-prasarana, sumber daya manusia, waktu yang diperlukan untuk memperoleh hasil, dan jumlah spesimen yang perlu diperiksa dalam satu kali pengerjaan. Rapid test menyediakan alternatif pemeriksaan yang cepat (kurang dari 30 menit), sederhana—pengelolaan spesimen sederhana dan tidak invasif, serta tidak memerlukan alat yang canggih maupun tenaga kerja terlatih untuk membaca hasil di pelayanan kesehatan primer. 3 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada strategi III, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang perlu dilakukan dengan prinsip kerja/reagen dari masing-masing pemeriksaan yang berbeda. Hasil dari setiap pemeriksaan diinterpretasikan sebagai reaktif ataupun nonreaktif. Hasil nonreaktif dari pemeriksaan pertama menandakan tidak adanya anti-HIV pada spesimen yang diambil dari pasien dan begitu pula sebaliknya. Hasil pemeriksaan yang reaktif pada pemeriksaan pertama perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan kedua. Apabila hasil pemeriksaan pertama bersifat reaktif dan hasil pemeriksaan kedua bersifat negatif, kedua pemeriksaan tersebut perlu dilakukan ulang dengan sampel yang sama. Pemeriksaan ketiga dapat dilakukan apabila kedua pemeriksaan atau salah satu pemeriksaan memiliki hasil yang reaktif. Apabila ditemukan hasil yang reaktif pada ketiga pemeriksaan, spesimen pasien dianggap mengandung anti-HIV atau HIV positif. Hasil yang nonreaktif pada kedua pemeriksaan setelah pengulangan dapat diinterpretasikan sebagai HIV negatif. Apabila pasien memiliki dua hasil pemeriksaan yang bersifat reaktif dan satu yang bersifat nonreaktif, kasus pasien didefinisikan sebagai indeterminate. Untuk menginterpretasi pasien dengan satu hasil pemeriksaan yang reaktif, perlu dilakukan penilaian risiko pada pasien. Pasien yang berisiko akan diinterpretasi sebagai kasus indeterminate, sedangkan pasien yang tidak berisiko akan diinterpretasi sebagai kasus nonreaktif. 3,4
Hasil pemeriksaan yang positif perlu ditindak lanjut dengan merujuk pasien untuk melakukan pengobatan. Apabila hasil negatif, pasien yang berisiko perlu melakukan pemeriksaan ulang minimum pada bulan ketiga, keenam, dan ke-12 bulan sejak pemeriksaan pertama dilakukan. Hasil yang negatif setelah pemeriksaan ulang menunjukkan pasien tidak memiliki anti-HIV dan disarankan untuk berperilaku hidup sehat. Pada kasus indeterminate, pemeriksaan perlu diulang dengan spesimen yang baru setidaknya dua minggu sejak pemeriksaan pertama dilakukan. Bila hasil tetap indeterminate, lanjutkan pemeriksaan dengan menggunakan PCR. Jika pelayanan kesehatan setempat tidak menyediakan pemeriksaan PCR, rapid test/EIA dapat diulang pada bulan ke-3, ke-6, dan ke-12 sejak pemeriksaan pertama dilakukan. Jika hasil dari pemeriksaan pengulangan tetap indeterminate dan pasien berasal dari kelompok yang tidak berisiko mengalami infeksi HIV/memiliki faktor risiko yang rendah, kasus tersebut dapat diinterpretasi sebagai kasus nonreaktif, sedangkan pada individu yang memiliki risiko tinggi akan tetap diinterpretasi sebagai kasus indeterminate. 3,4
Gambar 1. Algoritma penegakan diagnosis HIV berdasarkan Permenkes no. 15 tahun 2015. 3
Diagnosis infeksi HIV hanya dapat dikonfirmasi dengan melakukan pemeriksaan Western Blot yang spesifik setelah melakukan pemeriksaan berupa rapid test/EIA yang memiliki sensitivitas tinggi. Dari seluruh individu yang menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan pertama dengan menggunakan EIA, hanya 10% yang terkonfirmasi mengalami infeksi HIV. Tingkat false-positive yang tinggi ini terjadi karena adanya autoantibodi ataupun antibodi terhadap penyakit hepar, vaksin influenza, infeksi virus akut, dan malignansi yang memiliki cross-reactivity dengan antigen HIV. Oleh karena itu, pemeriksaan konfirmasi perlu untuk dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan western blot maupun pemeriksaan lainnya yang memiliki spesifisitas tinggi. 4 Pemeriksaan western blot memiliki prinsip kerja yang memanfaatkan perbedaan berat molekular dari antigen-antigen HIV. Akibat perbedaan berat ini, antigen-antigen tersebut dapat dipisahkan dan antibodi yang menempel pada antigen tersebut akan terdeteksi sebagai pita-pita yang tersusun diskret. Hasil western blot yang negatif ditandai dengan tidak adanya penemuan pita, sedangkan hasil yang positif didefinisikan apabila setidaknya dua dari tiga protein HIV—p24, gp41, dan gp120/160, dapat terdeteksi. Berdasarkan definisi tersebut, hasil yang tidak memenuhi kriteria hasil positif maupun negatif akan dianggap sebagai hasil indeterminate. Terdapat dua penjelasan mengapa pasien dapat mengalami hasil yang indeterminate, yaitu: 1. Pasien memiliki antibodi/autoantibodi yang juga mampu bereaksi terhadap protein/antigen HIV, atau 2. Pasien sedang berada pada fase window period/awal infeksi di mana antibodi terhadap HIV belum dapat terdeteksi. Pada kasus indeterminate ini, western blot perlu diulangi dalam waktu satu bulan. Selain menggunakan western blot, kasus indeterminate dapat pula ditindaklanjuti dengan pemeriksaan langsung, yaitu pemeriksaan deteksi HIV atau komponen dari virus tersebut. Beberapa pemeriksaan langsung yang tersedia sebagai alternatif dari pemeriksaan western blot ialah p24 antigen capture assay, dan pemeriksaan materi genetik HIV berupa RNA menggunakan PCR, bDNA, ataupun NASBA. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut memiliki sensitivitas yang sangat tinggi dan memiliki peran dalam menilai prognosis pasien, kecepatan progresivitas penyakit pada pasien, serta responsivitas pasien terhadap terapi antiviral yang diberikan. Meskipun hasil pemeriksaan molekular ini memiliki hasil yang sangat sensitif, pemeriksaan yang bersifat spesifik tetap dibutuhkan untuk mengeliminasi kasus-kasus false-positive. Oleh karena itu pemeriksaan pertama yang sensitif dan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan yang spesifik seperti western blot tetap menjadi baku emas dari diagnosis infeksi HIV. 2,4
Gambar 2. Pemeriksaan Western Blot A. Skema langkah pemeriksaan dan deteksi antigen yang telah terpisah berdasarkan berat molekular menggunakan antibodi yang telah terkonjugasi dengan enzim dan penambahan substrat yang akan memberikan warna. B. Hasil pemeriksaan western blot, strip nomor 1 merupakan contoh hasil infeksi HIV positif, strip nomor 3&4 menandakan hasil indeterminate, dan strip nomor 5 menandakan hasil negatif. 4
Pemeriksaan pada bayi di bawah usia 18 bulan (Early Infant Diagnosis/EID) Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif memiliki kemungkinan untuk mendapatkan infeksi tersebut selama masa kehamilan secara transplasental (in utero), saat persalinan (intrapartum), dan saat pemberian ASI (post-partum). Diagnosis infeksi HIV pada bayi tidak dapat dilakukan dengan menggunakan deteksi antibodi karena adanya kemungkinan bayi tersebut masih memiliki antibodi maternal yang ditransfer ke janin selama masa kehamilan. Antibodi maternal ini dapat bertahan di dalam peredaran darah bayi hingga bayi berusia 18 bulan. Oleh karena itu, metode pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi berusia di bawah 18 bulan ialah dengan menggunakan pemeriksaan molekular berupa deteksi asam nukleat. Deteksi asam nukleat yang disarankan menurut Permenkes no. 15 tahun 2015 ialah PCR DNA kualitatif yang mendeteksi hasil integrasi DNA virus pada DNA sel host. Pemeriksaan deteksi antigen HIV saat ini tidak direkomendasikan untuk dilakukan pada bayi karena sensitivitas serta spesifisitasnya yang rendah pada beberapa bulan pertama kehidupan dibandingkan pemeriksaan langsung lainnya. 3–5
Gambar 3. Algoritma diagnosis HIV pada bayi dan anak <18 bulan dari ibu hamil dengan status HIV positif. 3
Pemeriksaan pada ibu hamil dan wanita usia subur Pemeriksaan HIV direkomendasikan untuk dilakukan oleh seluruh wanita yang aktif secara seksual dan perlu menjadi komponen dari antenatal care. Pemeriksaan pada wanita yang aktif secara seksual bertujuan untuk menurunkan transmisi infeksi ke pasangan, sedangkan pemeriksaan pada ibu hamil bertujuan untuk meminimalisasi risiko transmisi infeksi dari ibu ke anak. Risiko infeksi dari ibu ke anak ini dapat terminimalisasi karena deteksi awal infeksi HIV pada ibu hamil memungkinkan ibu untuk memulai ART lebih dini dan mempertimbangkan opsi proses kelahiran melalui operasi C-sectio. Sang ibu juga akan memiliki waktu lebih panjang untuk membuat keputusan mengenai pemberian ASI pada anak mengingat masih adanya risiko transmisi infeksi melalui ASI. Pada wanita hamil, pemeriksaan HIV ini perlu dilakukan secepat mungkin dengan pengulangan pemeriksaan pada trimester ketiga kehamilan. Wanita dengan status HIV yang tidak terdokumentasi ataupun tidak diketahui statusnya pada saat melahirkan perlu menjalani pemeriksaan ketika melahirkan ataupun sesudah proses kelahiran berlangsung. Pasangan dari wanita yang sedang hamil juga disarankan melakukan pemeriksaan HIV apabila status imunologis pasangan tersebut tidak diketahui. 1,5
III.
Penutup Diagnosis infeksi HIV perlu diawali dengan mengidentifikasi faktor risiko yang dimiliki oleh pasien saat proses anamnesis. Setelah itu, sesuai dengan Permenkes no. 15 tahun 2015, Indonesia mengimplementasi strategi III untuk mendiagnosis kasus infeksi HIV yang memerlukan tiga macam pemeriksaan. Ketiga pemeriksaan tersebut harus memiliki prinsip kerja yang berbeda atau diuji dengan menggunakan reagen yang berbeda. Pemeriksaan pertama perlu memiliki sensitivitas yang tinggi, pemeriksaan kedua perlu memiliki spesifisitas yang tinggi, dan pemeriksaan ketiga perlu memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dua pemeriksaan sebelumnya. Baku standar pemeriksaan HIV yang dianjurkan oleh CDC ialah EIA dengan sensitivitas tinggi sebagai pemeriksaan pertama dan Western Blot dengan spesifisitas tinggi untuk mengkonfirmasi diagnosis infeksi HIV. Untuk menjawab kekhawatiran pasien akan penularan infeksi HIV yang ia alami ke janin yang sedang dikandungnya, pasien perlu diberikan konseling mengenai kegiatan pemeriksaan infeksi HIV selama kehamilan, obat-obatan yang perlu diminum untuk menurunkan risiko transmisi infeksi dari ibu ke janin, serta adanya kemungkinan pasien tersebut tidak dapat melakukan proses melahirkan secara normal serta pemberian ASI kepada sang anak.
DAFTAR REFERENSI
1.
Panel on Treatment of HIV-Infected Pregnant Women and Prevention of Perinatal Transmission. Recommendations for Use of Antiretroviral Drugs in Pregnant HIV-1Infected Women for Maternal Health and Interventions to Reduce Perinatal HIV Transmission in the United States. [Internet]. 2018. [cited 2019 Feb 13]. Available from: http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/PerinatalGL.pdf.
2.
WHO Regional Office for South-East Asia. Guidelines for HIV Diagnosis and Monitoring of Antiretroviral Therapy [Internet]. 2009 [cited 2019 Feb 13]. Available from: http://apps.searo.who.int/PDS_DOCS/B4375.pdf?ua=1
3.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 15 tahun 2015: Pelayanan Laboratorium Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik [Internet]. Jakarta; 2015 [cited 2019 Feb 13]. Available from: https://draguscn.com/wp-content/uploads/2018/02/pmkno-15-ttg-laboratorium-hiv-dan-infeksi-oportunistik1.pdf
4.
Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related Disorders. In: Harrison’s Infectious Diseases. 2nd ed. McGraw-Hill Education; 2013. p. 880–90.
5.
Committee on Obstetric Practice HIV Expert Work Group. Prenatal and Perinatal Human Immunodeficiency Virus Testing [Internet]. 2015 [cited 2019 Feb 13]. Available from: https://www.acog.org/-/media/Committee-Opinions/Committee-onObstetric-Practice/co752.pdf?dmc=1&ts=20180919T0244218755