LEMBAR TUGAS MANDIRI
Modul Infeksi Tropis Tingkat 3 / Semester 6 / Tahun Ajaran 2018/2019 Ashila Putri Disamantiaji 1606893525 – Kelompok Diskusi 14
Penegakan Diagnosis Infeksi Rubella melalui Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
I.
Pendahuluan Pada pemicu pertama, pasien laki-laki berusia 4 tahun datang dengan keluhan utama berupa demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam ini disertai oleh bercak makulopapular eritematosa yang tidak gatal dan tersebar diskret di sekitar wajah dan badan bagian atas pasien. Selain kedua keluhan tersebut, pasien juga ditemukan tidak memiliki keluhan yang berhubungan dengan saluran pernapasan seperti batuk maupun pilek. Penelusuran riwayat yang dilakukan saat anamnesis menunjukkan bahwa pasien telah menerima imunisasi dasar yang lengkap, namun belum mendapatkan imunisasi tambahan. Riwayat kontak dengan orang lain yang memiliki keluhan serupa juga tidak diketahui. Melalui pemeriksaan fisik ditemukan adanya perbesaran dua buah nodus limfa di leher kanan dan kiri pasien dengan diameter ± 1 cm, batas yang jelas dan masih dapat digerakkan, serta tidak diikuti oleh nyeri tekan. Turgor kulit pasien juga ditemukan masih baik yang menandakan bahwa level hidrasi pasien yang masih terhitung baik. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis kerja yang kelompok diskusi 14 buat ialah infeksi virus Rubella jika ditinjau lagi dari segi usia, demam, lesi kulit, dan tidak adanya gejala yang menunjukkan keterlibatan saluran pernapasan. Gejala klinis yang disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksius dapat saling bertumpang tindih dan penegakan diagnosis yang tepat diperlukan untuk mencegah progresi dari penyakit infeksius tersebut dan di sisi lain mencegah terjadinya pengobatan yang berlebihan—yang kemudian dapat berujung pada peningkatan resistensi terhadap agen-agen antimikrobial. Oleh karena itu, pada lembar tugas mandiri ini akan dibahas materi mengenai anamnesis serta pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis infeksi Rubella.
II.
Isi Rubella merupakan suatu penyakit infeksius akut yang dicirikan dengan periode / gejala prodromal yang minimum atau bahkan tidak ditemukan, lesi kulit makulopapular, dan limfadenopati tergeneralisasi yang terutama dapat diamati di bagian sekitar telinga, di bawah mata, dan di sekitar leher. Virus ini dapat ditemukan baik di darah dan sekret nasofaring seseorang yang terinfeksi oleh virus Rubella sehingga virus ini dapat ditransmisikan tanpa membutuhkan vektor, yaitu melalui respiratory droplets. 1 Dalam mendiagnosis infeksi spesifik secara akurat, diperlukan pemahaman mengenai epidemiologi, faktor risiko, kelompok umur/populasi yang rentan terhadap infeksi tersebut. Perolehan data melalui anamnesis dan pemeriksaan dapat membantu dokter mengidentifikasi fokus-fokus gejala serta pemeriksaan lanjutan yang perlu dilaksanakan. Dalam menghadapi suatu kasus yang diduga merupakan kasus penyakit infeksi, terdapat beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi etiologi yang mendasari penyakit infeksi tersebut. Pertanyaan pertama yang dapat digunakan untuk mempersempit kemungkinan etiologi dari penyakit infeksius yang diderita pasien ialah pertanyaan mengenai musim/cuaca. 2 Pada suatu komunitas di mana vaksinasi terhadap Rubella jarang atau tidak sama sekali dilakukan, outbreak dari infeksi Rubella terjadi secara tahunan pada musim dingin/semi—sama seperti VZV dan virus campak; dan epidemi dapat terjadi setiap 3–8 tahun sekali karena adanya penumpukan kelompok-kelompok yang rentan dalam suatu populasi. Literatur lain juga menyebutkan bahwa epidemi dari infeksi Rubella terjadi setiap 6–9 tahun sekali dengan wabah berskala lebih kecil terjadi di antaranya setiap 3–4 tahun sekali. Infeksi dengan manifestasi di kulit yang disebabkan oleh enteroviral ataupun diperantarai oleh vektor berupa arthropoda biasanya tejadi pada musim panas dan musim gugur. Usia juga dapat menjadi informasi yang penting dalam menentukan etiologi suatu penyakit infeksi. Infeksi Rubella biasanya terjadi pada anak-anak dalam kelompok umur 5–9 tahun atau anak pada kelompok umur prasekolah dan usia sekolah. 1,3,4 Akan tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan dapat ditemukannya infeksi Rubella pada kelompok usia remaja dan dewasa muda. Informasi mengenai kondisi kesehatan pasien secara umum beserta status gizi pasien dapat kita nilai untuk mengetahui kerentanan pasien terhadap mikroorganisme. Status gizi berkorelasi dengan jumlah sel dan fungsi dari sistem imun seseorang. Makronutrien serta mikronutrien tentunya diperlukan oleh sel-sel imun untuk melakukan ekspansi klonal—dalam hal ini sel-sel sistem imun adaptif, proliferasi, serta untuk menjalankan fungsi dari sel imun itu sendiri sehingga status gizi yang buruk/malnutrisi sering kali dikaitkan dengan kondisi imunosupresi ataupun kondisi yang rentan terhadap infeksi
oleh mikroorganisme. 5 Penderita penyakit campak yang mengalami malnutrisi dan tidak memiliki akses terhadap sistem pelayanan kesehatan yang baik memiliki gejala yang lebih parah—seperti pneumonia, ulkus pada mukosa mulut, otitis media yang lebih parah, lesi kulit yang hemoragik, dan lesi pada kornea mata yang dapat berujung pada kebutaan, jika dibandingkan dengan penderita penyakit campak yang memiliki status gizi baik dan memiliki akses ke pelayanan kesehatan yang adekuat. 1 Metode transmisi mikroorganisme juga dapat dijadikan informasi yang mampu mempersempit kemungkinan etiologi dari infeksi yang dialami oleh pasien. Dokter dapat menanyakan tentang penggunaan jarum suntik ataupun obat-obatan terlarang; adanya promiskuitas; riwayat transfusi darah; riwayat kontak dengan nyamuk/kutu; riwayat kontak dengan suatu peternakan, hewan liar, ataupun hewan peliharaan; riwayat konsumsi daging, sayuran, dan susu yang tidak dipasteurisasi; serta riwayat kontak dengan individu lain yang diduga juga terinfeksi. 2 Dalam menilai riwayat kontak dengan individu lain yang diduga juga terinfeksi, periode inkubasi dari rubella yang cukup lama perlu ikut dipertimbangkan—sekitar 18±3 hari.
4
Riwayat tindakan medis yang baru saja dilakukan seperti operasi, pemasangan
kateter ataupun benda asing lainnya yang memiliki kemungkinan untuk menjadi porte d'entrée juga perlu ditelusuri. Pada individu-individu dengan imunodefisiensi, adanya kemungkinan mikroorganisme yang menginfeksi merupakan suatu agen oportunistik juga perlu diingat. Pertanyaan-pertanyaan lainnya yang dapat ditanyakan saat anamnesis untuk mengevaluasi penyakit infeksius ialah riwayat imunisasi, riwayat perjalanan ke daerah endemis, riwayat obat yang sedang dikonsumsi, dan ada tidaknya wabah yang sedang terjadi di komunitas tempat pasien berasal. 2 Pola dari demam juga dapat dijadikan sebagai klu dalam mencari etiologi dari suatu penyakit infeksi. Pada dasarnya, demam dapat disebabkan penyakit infeksius, kondisi inflamasi, dan keganasan. Infeksi virus yang self-limiting dan infeksi bakteri yang sederhana seperti faringitis dan otitis media merupakan etiologi paling sering dari demam akut sehingga evaluasi pada awalnya perlu diarahkan untuk mengidentifikasi suatu agen yang infeksius. Detail pertanyaan mengenai demam yang perlu ditanyakan ialah awal mula demam (onset), pola dari demam, serta manifestasi lokal yang mengikuti demam tersebut. Demam yang memiliki etiologi berupa bakteri biasanya muncul dengan kenaikan suhu yang bertahap dan mengalami resolusi secara cepat begitu antibiotik mulai diberikan kepada pasien. Pengecualian berlaku pada infeksi bakteri yang telah menimbulkan kerusakan jaringan yang ekstensif di mana demam dapat tetap berlanjut selama beberapa hari meskipun seluruh bakteri telah tereradikasi dari tubuh. Berbeda dengan infeksi bakteri, demam yang disebabkan oleh infeksi
virus biasanya muncul dengan suhu yang meningkat secara tiba-tiba—terkadang disertai oleh flushing atau kemerahan pada muka, dan demamnya menurun secara lambat dalam rentang waktu tertentu. Relapsing fever atau demam yang mengalami kekambuhan merupakan dua kejadian demam atau lebih yang dipisahkan oleh periode penurunan temperatur menjadi normal selama beberapa hari. Demam seperti ini dapat di amati pada penderita infeksi malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax—demam tertian, yaitu demam yang terjadi pada hari pertama dan ketiga atau dengan kata lain memiliki interval selama dua hari, ataupun yang disebabkan oleh Plasmodium malariae—demam quartan, yaitu demam yang terjadi pada hari pertama dan keempat atau dengan kata lain memiliki interval selama tiga hari. 6 Peningkatan suhu melebihi 38.5oC merupakan kejadian yang sangat terjadi pada penderita infeksi rubella, namun lebih umum dijumpai pada penderita eksantema yang disebabkan oleh enterovirus, campak, dan infeksi Mycoplasma pneumonia. Demam yang bersifat hiperpireksia lebih sering berkaitan dengan etiologi yang bersifat noninfeksius seperti demam sentral—demam akibat disfungsi di hipotalamus, hipertermia malignan, ataupun heatstroke. 4 Setelah melihat demam, seorang dokter perlu mencari manifestasi lokal lainnya yang dapat menjadi fokus untuk membuat diagnosis kerja. 2 Sebagai salah satu dari lima eksantema yang biasa terjadi pada anak-anak, infeksi Rubella biasanya muncul dengan disertai manifestasi berupa ruam pada kulit. Dalam menghadapi kasus demam yang disertai ruam, morfologi dan distribusi dari lesi kulit perlu diamati lebih lanjut. Penyakit yang memiliki manifestasi pada kulit dapat dikelompokkan berdasarkan morfologi dari lesi kulit itu sendiri, yaitu lesi kulit eritematosa, makulopapular, ruam yang berasal dari ekstravasasi eritrosit—petekiae/purpura, dan ruam vesikulobulosa. Setiap ruam memiliki algoritmanya sendiri yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit yang mendasari ruam kulit tersebut. Pada kelompok makulopapular—yang merupakan jenis ruam dari infeksi Rubella, lesi kulit yang dapat diamati ialah makula—perubahan warna, dan papula—penonjolan dari permukaan kulit yang bersifat padat dan berukuran <1 cm. Dalam membedakan penyakit kulit dengan ruam makulopapular, hal pertama yang perlu dilihat ialah distribusi dari lesi kulit makulopapular itu sendiri. Distribusi lesi kulit dapat dibagi menjadi distribusi yang bersifat sentral dan perifer—ruam lebih banyak ditemukan di ekstremitas tubuh. Setelah melihat tipe distribusi, langkah selanjutnya ialah mengidentifikasi apakah ruam makulopapular tersebut disertai oleh demam atau tidak. Infeksi rubella dan eksantema dengan etiologi virus lainnya memiliki ruam makulopapular yang disertai demam dengan tipe distribusi sentral di mana lesi lebih banyak di temukan di daerah wajah dan tubuh penderita. 7,8
Gambar 1. Algoritma untuk ruam makulopapular. 8
Setelah membahas mengenai pendekatan yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis infeksi Rubella melalui anamnesis serta pengamatan dari segi demam dan manifestasi lokal yang menyertai—yaitu ruam, paragraf ini akan membahas mengenai manifestasi klinis infeksi Rubella secara keseluruhan yang dapat diamati dari masa prodromal hingga resolusi dari penyakit. Gejala pertama dari Rubella muncul setelah periode inkubasi selama 14–21 hari atau paling tidak 12 hari. Pada anak-anak, tanda pertama dari penyakit yang biasa diamati ialah ruam kulit tanpa disertai gejala/periode prodromal sebelumnya, berbeda dengan infeksi pada orang dewasa/remaja di mana periode eksantema/erupsi kulit biasanya diawali oleh periode prodromal selama 1–5 hari lamanya. Gejala yang dapat diamati pada periode prodromal ialah demam ringan, sakit kepala, nyeri tenggorokan, konjungtivitis, dan limfadenopati yang tergeneralisasi. Begitu ruam pada kulit muncul, gejala-gejala pada periode prodromal ini akan menghilang. Pada beberapa pasien, periode prodromal dapat ditemukan bersifat lebih lama ataupun dengan gejala yang lebih berat. Sekitar satu dari 5 penderita infeksi rubella selama masa prodromal dapat pula mengalami suatu enantema yang disebut sebagai Forschheimer spot. Forschheimer spot merupakan suatu petekiae yang terdapat pada palatum molle dan uvulae. Enantema semacam ini juga dapat ditemukan pada penderita scarlet fever dan campak sehingga forschheimer spot bukanlah merupakan tanda patognomonik dari infeksi rubella yang memiliki signifikansi dalam diagnosis seperti Koplik’s spot pada penyakit campak. Selama masa prodromal, limfadenopati dapat diamati paling cepat 7 hari sebelum erupsi kulit dimulai. Perbesaran dari kelenjar getah bening ini paling prominen terjadi pada hari pertama dari erupsi
kulit. Rasa sakit akibat perbesaran KGB tersebut dapat menghilang dalam 1 hingga 2 hari, akan tetapi perbesaran tersebut tetap dapat terpalpasi selama beberapa minggu lamanya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, limfadenopati pada infeksi Rubella bersifat tergeneralisasi, akan tetapi perbesaran kelenjar getah bening suboksipital, postaurikular, dan servikal merupakan limfadenopati yang paling prominen pada penderita infeksi Rubella. Limfadenopati juga bukanlah merupakan tanda patognomonik dari infeksi Rubella karena tanda ini dapat pula ditemukan pada infeksi campak, VZV, adenovirus, dan CMV. 1,4,9 Periode eksantema dimulai dengan munculnya ruam pada bagian retroaurikular/di belakang telinga ataupun pada muka yang kemudian secara cepat meluas ke bagian tubuh lainnya secara kraniokaudal. Ruam pada infeksi Rubella ini memiliki warna kemerahan yang cenderung ke arah merah jambu—berbeda dengan campak yang cenderung berwarna merah keunguan dan scarlet fever yang berwarna merah kekuningan. Susunan dari ruam kulit dari infeksi Rubella bersifat diskret atau tersusun secara terpisah antara satu lesi dengan lainnya— gambaran rubiliform, dan cenderung menyatu membentuk konfluens / gambaran morbiliform pada bagian batang tubuh (trunk). Eksantema pada wajah akan menghilang pada hari kedua dan diikuti menghilangnya eksantema pada tubuh di hari ke-3 serta eksantema pada ekstremitas di hari ke-4. Erupsi, penyebaran, serta resolusi dari ruam kulit pada infeksi Rubella terjadi secara lebih cepat dibandingkan ruam pada infeksi campak. Sekitar 40% kasus infeksi Rubella dapat terjadi tanpa gejala ruam pada kulit. Deskuamasi dari erupsi kulit biasanya tidak diamati akan tetapi dapat diamati pada beberapa kasus. Komplikasi yang dapat mengikuti infeksi Rubella antara lain ialah trombositopenia, arthralgia/arthritis, dan ensefalitis. Arthralgia dan arthritis pada sendi-sendi kecil tangan-kaki, sendi lutut, dan bahu utamanya ditemukan pada orang dewasa/remaja yang menderita infeksi rubella. Gejala klinis ini sangat menyakinkan untuk rubella, terutama jika ada keterlibatan sendi-sendi berukuran kecil pada tangan. Ensefalitis dapat terjadi akan tetapi sangat jarang, yaitu 1 di antara 5000 kasus infeksi Rubella. 7,9
Tidak adanya gejala yang bersifat patognomonik serta adanya tumpang tindih antara infeksi Rubella dengan penyakit eksantema lainnya menyebabkan penegakan diagnosis Rubella tidak dapat dilakukan hanya dengan melakukan anamnesis serta pemeriksaan fisik pada pasien. Pemeriksaan penunjang yang dapat menunjukkan keberadaan virus atau adanya infeksi pada tubuh pasien dibutuhkan untuk mengkonfirmasi diagnosis kerja berupa infeksi Rubella. Akan tetapi, anamnesis serta pemeriksaan fisik tetap memegang peranan penting dalam mempersempit serta mengarahkan evaluasi lanjutan yang perlu dilakukan oleh dokter kepada pasien. 1,3,4
III.
Penutup Dalam mendiagnosis pasien pada pemicu yang hadir dengan keluhan utama berupa demam, dokter perlu mencari tahu apakah demam tersebut disertai dengan fokus gejala-gejala lainnya. Fokus gejala ini dapat mengarahkan pertanyaan serta pemeriksaan yang perlu dilakukan selanjutnya baik dalam fase anamnesis maupun dalam fase pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya tanda-tanda patognomonik ataupun gejala yang dapat mengarahkan diagnosis ke satu jenis eksantema. Hal ini merupakan hal yang biasanya ditemui dalam proses penegakan diagnosis kerja berupa infeksi Rubella. Infeksi Rubella hadir dengan gejala-gejala pada masa prodromal—malaise, sakit kepala, sakit tenggorokan, limfadenopati, forschreimer spots, konjungtivitis, dan demam ringan yang jarang sekali melebihi 38.5 derajat selsius. Pada periode eksantema, infeksi Rubella hadir dengan ruam makulopapular berwarna merah jambu dengan distribusi yang bersifat sentral dan susunan yang lebih dominan diskret—lesi yang berkonfluens dapat ditemukan pada batang tubuh. Riwayat kontak dengan teman di sekolah ataupun orang lain di tempat umum yang juga memiliki gejala serupa dapat mendukung pembuatan diagnosis kerja berupa infeksi Rubella. Akan tetapi karena infeksi Rubella tidak memiliki gejala yang patognomonik, diagnosis infeksi Rubella hanya dapat dikonfirmasi apabila telah dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan IgM yang spesifik terhadap Rubella ataupun penemuan RNA virus melalui PCR. 4 Anamnesis dan pemeriksaan fisik tetap memegang peranan penting dalam mengarahkan seorang dokter untuk membuat diagnosis kerja, akan tetapi diagnosis infeksi Rubella pada pasien di pemicu hanya dapat ditegakkan apabila telah dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat mengkonfirmasi adanya virus tersebut dalam tubuh pasien.
DAFTAR REFERENSI
1.
Goering R, Dockrell H, Zuckerman M, Roitt I, Chiodini P. Mims’ Medical Microbiology. 5th ed. Saunders; 2012. 358-61 p.
2.
Marcdante K, Kliegman RM. Nelson Essentials of Pediatrics. 7th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. 315-7, 329-32 p.
3.
Lambert N, Strebel P, Orenstein W, Icenogle J, Poland GA. Rubella. Lancet (London, England) [Internet]. 2015 Jun 6 [cited 2019 Jan 29];385(9984):2297–307. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25576992
4.
Cherry J, Demmler-Harrison G, Kaplan S, Steinbach W, Hotez P. Feigin and Cherry’s
Textbook of Pediatric Infectious Diseases. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019. 553-9, 1601-12 p. 5.
Alwarawrah Y, Kiernan K, MacIver NJ. Changes in Nutritional Status Impact Immune Cell Metabolism and Function. Front Immunol [Internet]. 2018 May 16 [cited 2019 Jan 30];9:1055. Available from: http://journal.frontiersin.org/article/10.3389/fimmu.2018.01055/full
6.
Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW St., Schor NF, Behrman RE. Nelson’s Textbook of Pediatrics. 20th ed. Elsevier; 2016. 1277-9, 1548-51 p.
7.
McFarlin A, Leigh LeGros T, Murphy-Lavoie H. Approach to the Pediatric Patient with a Rash. In 2013 [cited 2019 Jan 29]. p. 149–52. Available from: https://pdfs.semanticscholar.org/cfe1/8bc028ac77c9ba6dcfbd1f58db3052d97249.pdf
8.
Murphy-Lavoie H, Legros TL. Approach to the Adult Rash. In 2013 [cited 2019 Jan 29]. p. 1598–601. Available from: https://pdfs.semanticscholar.org/02e2/04962379c715addaf3dfcaf6f955936ed658.pdf?_ ga=2.175704674.1347729976.1548854324-792079400.1545289113
9.
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. 2nd ed. Badan Penerbit IDAI; 2008. 122-4 p.