SELAT MALAKA SEBAGAI KAWASAN STRATEGIS TERPENTING DI DUNIA Selat Malaka adalah sebuah selat yang terletak di antara Semenanjung Malaysia (Malaysia) dan Pulau Sumatra (Indonesia). Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia: India, Indonesia dan Republik Rakyat Cina. Panjang Selat malaka diperkirakan 800 Km atau 500 mil laut. Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting dan tersibuk di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Sebanyak 90.000 kapal setiap tahunnya atau 7.500 kapal per bulannya, Kira-kira 150-200 kapal setiap hari lewat di Selat ini. Sebagian di antaranya adalah kapal-kapal tangki raksasa yang berukuran 180.000 dwt ke atas. 72 % perdagangan dunia melalui Selat Malaka. Sebanyak setengah dari minyak dunia yang diangkut oleh kapal tanker melintasi selat ini, jumlah itu diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per hari, suatu jumlah yang dipastikan akan meningkat mengingat besarnya permintaan dari negara Asia Timur, China merupakan negara pengimpor minyak terbanyak di dunia. Bagian titik tersempit Selat yang dapat dilayari di Philip Channel hanyalah kira-kira 800 meter atau 1,5 mil laut lebarnya, Arus laut dapat mencapai kecepatan 3 mil dengan perubahan kecepatan yang tidak teratur. Berbagai kedangkalan yang kurang dari 23 meter banyak terdapat di Selat ini. Tentu saja kedangkalan ini sangat berbahaya bagi kapal-kapal raksasa yang saratbebannya lebih dari 19 meter. Nelayan-nelayan setempat banyak pula yang menangkap ikan di perairan itu, selain ramainya lalu-lintas laut yang memotong antara Singapura dan Batam. Kemampuan Selat Malaka-Singapura yang sebenarnya sempit, dangkal, berbelokbelok, dan ramai itu semakin lama semakin terbatas untuk dapat melayani kapal-kapal tangki raksasa yang semakin lama semakin besar dan banyak itu. Frekuensi kecelakan yang jumlahnya sudah sedemikian besar terjadi, antara lain, karena kepadatan lalu-lintas dan keadaan fisik Selat ini. Kecelakaan ini tidak saja membawa kerugian bagi pemiliknya, tetapi juga menimbulkan bencana pencemaran laut yang pada akhirnya mempengaruhi kelestarian lingkungan laut dan kehidupan rakyat Negara-negara pantai. Pembajakan di selat Malaka meningkat dari 25 serangan pada 1994 hingga mencapai rekor 220 pada 2000. Lebih dari 150 serangan terjadi pada 2003. Frekuensi serangan meningkat kembali pada hingga awal 2004. dan saat ini mulai periode 2007 kasus perompakan-pembajakan sudah menurun. Data statistik Organisasi Maritim Internasional IMB (International Maritime Bureau) menunjukkan bahwa kasus pembajakan –perompakan di Selat Malaka saat ini turun drastis dari 19 kasus tahun 2006 menjadi 2 kasus. Ketakutan akan kemungkinan munculnya aksi terorisme apabila sebuah kapal besar dibajak dan ditenggelamkan pada titik terdangkal di Selat Malaka (kedalamannya hanya 25 m pada suatu titik) sehingga dengan efisien menghalang lajur pelayaran. Apabila aksi ini berhasil dilancarkan dengan sukses, efek yang parah akan timbul pada dunia perdagangan. Sebagai tanggapan dari krisis ini, angkatan laut Indonesia, Malaysia dan Singapura meningkatkan frekuensi patroli di kawasan tersebut pada Juli 2004.
Sesuai Konvensi Hukum laut PBB (UNCLOS 1982) selat Malaka dan selat Singapura berada di wilayah laut ke tiga negara pantai serta ZEE Indonesia dan Malaysia yang digunakan untuk pelayaran Internasional, Singapura megusulkan agar pengamanan selat malaka dikembangkan menjadi jasa bisnis pengamanan, namun Indonesia dan Malaysia menolak, negara asing tidak mempunyai kewenangan atas keamanan dan keselamatan di selat Malaka karena bertentangan dengan hak berdaulat negara pantai. Negara-negara besar AS, India, Jepang dan China telah menyatakan keinginannya untuk terlibat dalam mengamankan selat malaka, hal ini akan menambah dan menjadi konflik yang lebih luas karena masing-masing negara akan berebut menguasainya, namun negara-negara pantai di Selat Malaka yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura, mulai Juli 2004 lalu telah sepakat menyatakan bahwa negara pantailah yang berhak untuk pengamanan Selat Malaka sedangkan negara lain diharapkan hanya memberikan bantuan berupa sarana prasarana pengamanan dan informasi saja, tidak mengerahkan kekuatan kapal militernya dan berhak untuk menentukan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran selat malaka tersebut termasuk bagaimana kontribusi negara-negara yang menggunakan selat tersebut. Tiga negara tersebut telah menyusun sistem pengamanan terpadu dengan kosep ”Patroli Terkoordinasi” Malsindo , bukan ”Joint Patrol”, Sitem pengamanan maritim terpadu IMSS (Integrated Maritime Security System ) yang diterapkan dengan tujuan untuk meyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia bersama negara Malaysia, Singapura dan Thailand mampu mengamankan selat Malaka. IMSS merupakan sistem pengamanan terpadu dengan melibatkan beberapa komponen seperti Mallaca Straits Identification System (MSIS), Mallaca Straits Coordinated Patrol (MSCP), Coordinated Maritime Air Patrol Operation (CMAP), Hot Pursuit/cross Pursuit Border, Intellegence and Information exchange and publik Information Campaign. Para Menteri Pertahanan empat negara pada tanggal 13 september 2005 di Kuala Lumpur sepakat meluncurkan kerja sama pengamanan melalui udara Eyes in the Sky (EiS) guna mendukung patroli terkoordinasi dengan mendirikan Incident Hotline Station di Sabang, Dumai (Indonesia), Lumut (Malaysia), Changi (Singapura) dan Puket (Thailand) Amerika serikat telah meningkatkan investasinya di kawasan selat malaka yang dimulai dengan menghadirkan delegasi 12 perusahaan raksasa yang berskala global di Pulau Batam Propinsi Kepulauan Riau melalui US-Senior Executives Mission to Indonesia, dan menunjukkan keseriusannya untuk bekerjasama ekonomi dengan Indonesia hal ini adalah merupakan salah satu Strategi AS dalam upaya mengamankan kepentingannya di kawasan selat Malaka karena apabila suatu saat terjadi ketegangan di kawasan selat malaka maka AS berhak mengamankan dan menggelar kekuatan militernya di kawasan selat malaka dengan alasan untuk mengamankan Warganya yang ada di perusahaan di Kawasan Selat Malaka. Sesuai UU No 17 tahun 2008 pasal 198 ayat 1 tentang pelayaran antara lain menyebutkan bahwa Pemerintah dapat menetapkan perairan tertentu sebagai perairan wajib pandu dan perairan Pandu Luar Biasa yang artinya setiap kapal yang melintasi perairan wajib pandu dan peraira Pandu Luar Biasa wajib menggunakan jasa pemanduan. Saat ini Indonesia sudah siap melayani pemanduan kapal-kapal asing yang melintasi selat
Malaka dan selat Singapura mulai dari sebelah utara Tanjung Balai karimun sampai dengan perairan sebelah utara Pulau batam. Biaya pemanduan satu kapal VLCC selama melintasi selat malaka mencapai 65 ribu dolar AS, idealnya di selat malaka diperlukan 200 orang tenaga pemandu. Letkol Arh. Bambang Suartono S.IP Siswa Suspimjemenhan III