CASE BASED DISCUSSION SEORANG ANAK LAKI LAKI DENGAN SINDROM AUTISME DAN SPEECH DELAY Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Di RSUD Sunan Kalijaga Demak
Disusun oleh : Fadhli Rizal Makarim 01.210.6151
Pembimbing : dr. Catharina Rini, Sp. A.
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2015
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
:
Fadhli Rizal Makarim
NIM
:
01.210.6151
Fakultas
:
Kedokteran
Universitas
:
Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )
Tingkat
:
Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian
:
Ilmu Kesehatan Anak
Judul
:
Seorang anak laki laki dengan sindrom autisme dan speech delay
Demak,
Mei 2015
Mengetahui dan Menyetujui Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Sunan Kalijaga Kab. Demak
Pembimbing
dr. Catharina Rini, Sp. A.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Autisme, merupakan salah satu gangguan perkembangan yang semakin meningkat saat ini, menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua. Hingga saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autisme ini, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan dan penanganan yang tepat. Pada
awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang
disebabkan oleh faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional, tetapi barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak (Yeni, Murni, & Oktora, 2009). Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin, di desa di kota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Jumlah anak yang terkena autisme semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia, kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme. Di California pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autisme per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autisme terjadi pada 15.000-60.000 anak dibawah 15 tahun. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakan jumlah anak autisme dapat mencapai 150-200 ribu orang. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6-4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Yeni, Murni, & Oktora, 2009). Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus. Dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak (autisme infantil) yang datang pada praktek neurologi dan praktek dokter lainnya. Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Terapi anak autisme membutuhkan deteksi dini, intervensi edukasi yang intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik, dan peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak bidang, baik bidang kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang sosial. Dalam bidang kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan pengobatan khususnya medika mentosa, di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan latihan pada orang tua penderita. Terapi perkembangan perilaku dapat dilakukan dalam bidang psikologi, sedangkan mendirikan yayasan autisme sebagai lembaga yang mampu secara professional menangani masalah autisme adalah salah satu contoh yang dilakukan dalam bidang sosial (Yeni, Murni, & Oktora, 2009). Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi. Sejauh ini masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor risikonya sehingga strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal. Saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autisme (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
B. TUJUAN Pada makalah ini diajukan satu kasus anak laki laki dengan sindrom autisme dan speech delay yang datang ke Poli Anak RSUD Sunan Kalijaga Demak. Penyajian kasus ini bertujuan untuk mempelajari lebih dalam tentang cara mendiagnosis, penatalaksanaan di rumah sakit, dan pengelolaan secara komprehensif dan holistik pada pasien dengan sindrom autisme dan speech delay.
C. MANFAAT Penulisan diskusi kasus ini diharapkan dapat membantu tenaga medis untuk belajar menegakkan diagnosis, melakukan penatalaksanaan di rumah
sakit, dan pengelolaan secara komprehensif dan holistik pada pasien dengan sindrom autisme dan speech delay.
BAB II CASE BASED DISCUSSION
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama
: An. KNS
Umur
: 4 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin
: Laki laki
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Alamat
: Sidogemah RT01/RW02, Sayung, Demak
Nama Ayah
: Tn. K
Umur
: 35
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan
: SMA
Nama Ibu
: Ny. I
Umur
: 32
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Pendidikan
: SMP
No CM
: 050184
Masuk RS
: 4 Mei 2015
B. DATA DASAR 1.
Anamnesis (Autoanamnesis dan Alloanamnesis) Alloanamnesis dilakukan dengan ibu penderita pada tanggal 4 Mei 2015 di poli Anak RSUD Sunan Kalijaga Demak, didukung dengan beberapa catatan medis. Keluhan Utama
: Tidak bisa duduk diam.
Keluhan Tambahan : Belum dapat bicara
Riwayat Penyakit Sekarang •
Anak tidak bisa duduk diam dirumah, keluhan ini dirasakan ibu sejak anak mulai bisa berjalan dan berlari. Pasien sulit untuk diperintahkan duduk diam sebentar, atau beristirahat. Pasien sulit untuk tidur malam, tidur malam selalu diatas jam 22.00. Pasien juga sulit untuk tidur siang, sangat jarang sekali tidur siang. Hal ini semakin lama semakin sulit diam ketika anak mulai dapat aktif bermain sendiri dan bertambah parah pada satu tahun ini.
•
Anak selalu bergerak kesana kemari tanpa tujuan, sangat suka dengan permainan yang melibatkan bola, susah bila diajak bermain dengan orang lain.
•
Anak sering mengoceh sendiri, dengan kata kata yang tidak bisa dimengerti orang lain, suka tersenyum dan tertawa sendiri bila memandangi sesuatu. Pasien hanya bisa membentuk sepatah patah kata, tidak pernah bisa membentuk sebuah kata lengkap atau kalimat. Tidak bisa mengerti perintah jelas dari orang lain. Sulit diajak komunikasi dengan orang lain.
•
Nafsu makan pasien berubah-ubah seringkali baik, namun kadang buruk dan hanya mau minum susu melalui dot saja. Tidak ada keluhan lain yang diderita anak, tidak ada muntah,
Riwayat Penyakit Dahulu •
Anak
tidak
pernah
menderita
sakit
keras
sebelumnya
yang
menyebabkan harus sampai dirawat dirumah sakit. Anak juga tidak pernah sakit rutin yang mengganggu aktivitasnya sehari hari. Riwayat Penyakit Keluarga •
Tidak ada anggota keluarga baik dari keluarga ayah maupun ibu yang menderita keluhan yang serupa, mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, atau mengalami gangguan mental lainnya.
Riwayat Kehamilan dan Pemeliharaan Prenatal •
Ibu mengaku rutin memeriksakan kehamilan di bidan sebanyak 8x hingga bayi lahir. ibu juga mengaku sudah mendapatkan suntikan TT saat kehamilan sebanyak 1x. Ibu mengaku jarang menderita sakit selama kehamilan, tidak ada riwayat perdarahan selama kehamilan,
tidak ada riwayat trauma saat kehamilan, riwayat minum jamu jamuan dan obat tanpa resep diangkal oleh ibu. Obat yang diminum ibu selama masa kehamilan adalah vitamin dan obat penambah darah. •
Kesan : Riwayat kehamilan dan pemeliharaan prenatal baik.
Riwayat Persalinan •
Anak laki laki lahir dari ibu G3P2A1, hamil 36 minggu lahir spontan di RSUD Sunan Kalijaga Demak, langsung menangis, berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 48 cm, lingkat kepala saat lahir ibu lupa, lingkar dada saat lahir ibu lupa, tidak ada kelainan bawan.
•
Kesan : Neonatus aterm, lahir normal pervaginam.
Riwayat Pemeliharaan Postnatal •
Ibu membawa anaknya ke Posyandu secara rutin dan mendapat imunisasi dasar lengkap
Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak •
Pertumbuhan Berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 48 cm Berat badan sekarang 18 kg, tinggi badan 96 cm
•
Perkembangan Senyum
: 5 bulan
Miring
: ibu lupa
Tengkurap
: 5 bulan
Merangkak
: ibu lupa
Duduk
: 9 bulan
Berdiri
: 12 bulan
Berjalan
: 14 bulan
Berlari
: 19 bulan
Bicara
: 2 tahun
Saat ini anak berusi 4 tahun 7 bulan, anak tidak diikutkan dengan pendidikan anak usia dini, TK, atau kelompok lainnya. Kesan : Pertumbuhan sesuai umur, perkembangan terlambat.
Riwayat Makan dan Minum Anak Diberikan ASI saja dari lahir sampai umur 6 bulan, kemudian dilanjtukan dengan ASI dan susu formula sampai usia 1,5 tahun. Selanjutnya dilanjutkan susu formula saja. Mulai usia 6 bulan diberikan makanan tambahan berupa bubur susu milna. Mulai usia 10 bulan, anak diberikan nasi lunak dengan lauk lunak/cacah. Mulai usia 1 tahun, anak diberi makanan padat, seperti makanan keluarga 3 x sehari Jenis Makanan
Frekuensi
Nasi
3x sehari @ 1 piring
Tahu / tempe
2x sehari porsi tidak teratur
Telur
Frekuensi dan porsi tidak teratur
Ayam
1x sehari, porsi tidak teratur
Ikan
1x sehari porsi tidak teratur
Sayur
2x sehari, porsi tidak teratur
Buah
Frekuensi dan porsi tidak teratur
Susu
2x sehari , 1 gelas belimbing.
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan dan minuman cukup baik. Riwayat Imunisasi -
BCG
: 1 kali usia 2 bulan, scar (+) di lengan kanan atas
-
Hepatitis
: 4x (usia 0, sisanya ibu lupa)
-
Polio
: 4x (ibu lupa diberikan pada usia berapa)
-
DPT
: 3x (ibu lupa diberikan pada usia berapa)
-
Campak
: 1x (diberikan pada usia 9 bulan)
Kesan : Imunisasi dasar anak lengkap. Riwayat Keluarga Berencana - Ibu mengikuti program Keluarga Berencana yaitu pil KB. Riwayat Sosial Ekonomi
- Ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta dan menanggung 1 orang istri dan 2 orang anak. Gaji sebulan Rp 2.500.000., Biaya pengobatan ditanggung BPJS PBI Kelas III Kesan : keadan sosial ekonomi cukup
2. Pemeriksaan Fisik - Dilakukan tanggal di Poli Anak RSUD Sunan Kalijaga Demak. Anak laki-laki usia 4 tahun 7 bulan Keadaan Umum
: Compos mentis, aktif
a. Tanda Vital i. Tekanan darah
:-
ii. Nadi
: 116 x/ menit, isi dan tegangan cukup
iii. Suhu
: 36,7 C
iv. Pernapasan
: 28 x/ menit
b. Status Gizi Berat badan
: 18 kg
Tinggi badan : 96 cm Status gizi baik c. Status Generalis i.
Kepala
ii. Mata
: kesan mesocephal, rambut hitam : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks cahaya (+/+), isokor (± 3mm)
iii. Telinga
: discharge (-/-)
iv. Hidung
: secret (-), napas cuping hidung (-)
v.
: bibir kering (-), lidah tremor (-), pernapasan mulut (-)
Mulut
vi. Leher
: pembesaran KGB (-)
vii. Abdomen Inspeksi
: datar
Auskultasi
: peristaltik (+), bising usus (+) normal
Perkusi
: timpani di seluruh kuadran
Palpasi
: supel (+), nyeri tekan (-), hepar, lien tidak teraba
viii. Thorax
: pergerakan dinding dada saat inspirasi dan ekspirasi simetris, retraksi dinding dada (-), ICS tidak melebar
Jantung Inspeksi
: ictus cordis tampak
Palpasi
: ictus cordis teraba dengan 1 jari dari ICS 5 linea midclavikula 2 cm ke medial, pulsus parasternal (-), pulsus epigastrium (-)
Perkusi Kanan jantung
: ICS 5 linea sternalis dextra
Atas jantung
: ICS 2 linea parasternal sinistra
Pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra Kiri jantung Auskultasi Kesan
: ICS 5 linea midclavicula 2 cm ke medial : bunyi jantung I-II regular, bising (-) : Normal
Pulmo
Perkusi
:
sterm fremitus hemithorax dextra sama dengan sinistra
Palpasi
:
sonor di kedua lapang paru
Auskultasi
:
suara napas dasar vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Kesan ix. Genital x.
:
: laki-laki, tidak ada kelainan
Ekstremitas Sianosis Edema Akral dingin Pelebaran vena Capillary refill time Refleks fisiologis Refleks patologis Kesan: Normal
V.
Normal
Superior -/-/-/-/< 2”/ < 2” + N/+N -/-
Inferior -/-/-/-/< 2”/ < 2” + N/+N -/-
DAFTAR ABNORMALITAS i. Data Anamnesis Anak tidak bisa duduk diam dirumah Sulit untuk diperintahkan duduk diam sebentar, atau beristirahat Sulit untuk tidur malam
Sulit untuk tidur siang Selalu bergerak kesana kemari tanpa tujuan Susah diajak bermain dengan orang lain. Anak sering mengoceh sendiri, Suka tersenyum dan tertawa sendiri Tidak bisa membentuk sebuah kata lengkap atau kalimat. Tidak bisa mengerti perintah jelas dari orang lain Sulit diajak komunikasi dengan orang lain. ii. Data Pemeriksaan Fisik Tidak ada kelainan, semua dalam batas normal VI.
DIAGNOSIS BANDING 1. Sindrom autisme 2. Retardasi mental dengan gangguan emosi dan perilaku 3. ADHD 4. Speech delay
VII.
DIAGNOSIS SEMENTARA 1. Sindrom Autisme 2. Speech delay
VIII.
TERAPI Medikamentosa Non medikamentosa Konsul ke dokter spesialis kejiwaan, untuk pertimbangan penggunaan terapi medikamentosa Konsul ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi wicara
IX.
EDUKASI a. Edukasi tentang keadaan dan menjelaskan penyakit pasien. b. Mengedukasi bagaimana cara memberikan perintah dan mendidik pasien dengan gangguan perkembangan. c. Melatih untuk berbicara dengan mengucapkan kata kata yang mudah diucap secara sering.
X.
PROGNOSIS Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
XI.
Quo ad sanam
: ad malam
Quo ad fungsionam
: Dubia ad malam
INITIAL PLAN Initial plan Diagnosis Subyektif Menggali tentang faktor etiologi yang menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan anak. Obyektif •
EEG EEG untuk mencari gelombang tertentu yang menunjukkan adanya gangguan sel saraf, misalnya gelombang kejang atau gelombang lambat.
•
MRI Deteksi Autisme Sejak Dini dengan MRI Autisme merupakan kelainan pada hampir semua struktur otak. Antara lain di otak kecil (serebelum), lapisan luar otak besar (korteks serebri), sistem limbic (pengatur emosi), penghubung otak kiri dan kanan (korpus kalosum), ganglia basalis, dan batang otak.
•
Kromosom Tiga jenis tes itu, yakni G-banded karyotype tes, chromosomal microarray analysis (CMA), dan fragile X testing. Ketiga tes tersebut merupakan jenis tes yang sudah banyak dipakai. Karyotype test mengenali lanturan (aberasi) kromosom yang terkait dengan autis sebanyak 2 persen, sementara fragile X mutasi genetik ditemukan pada 0,5 persen pasien. Sedangkan CMA berhasil mendeteksi kelainan kromosom lebih dari 7 persen pada pasien.
•
Pemeriksaan Visus
•
Pemeriksaan Pendengaran Obyektif (BERA)
•
Tes IQ
Initial Plan Terapi Medikamentosa
•
Persidal 0,5mg
•
Piracetam 400mg
•
Neurobion ½ tab
•
Diazepam 0,5 mg
pulv. 3x1
Non Medikamentosa •
Terapi wicara
•
Terapi bersekolah
•
Psikoterapi supportif
Initial Plan Monitoring •
Di pantau perubahan atau laju perkembangan anak, terutama untuk masalah pemusatan perhatian, bicara, dan IQ.
•
Memantau keadaan fisik anak, jangan sampai kelelahan atau sampai jatuh sakit, karena akan memperberat dalam hal perawatan kedepannya.
Initial Plan Edukasi •
Edukasi tentang keadaan dan menjelaskan penyakit pasien.
•
Mengedukasi bagaimana cara memberikan perintah dan mendidik pasien dengan gangguan perkembangan.
•
Melatih untuk berbicara dengan mengucapkan kata kata yang mudah diucap secara sering.
•
Memberikan pengertian kepada ibu, karena terapi yang akan dilakukan nanti sifatnya akan panjang dan berkelanjutan, sehingga harus selalu sabar.
•
Selalu memantau perkembangan fisik dan psikis anak, sehingga anak selalu diperhatikan dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
XII.
FOLLOW UP Tanggal 7/5/2015 Pasien datang kembali ke poli tumbuh kembang RSUD Sunan Kalijaga Demak ingin kontrol pada hasil konsultasi dengan spesialis kejiwaan. Hasil dari poli jiwa RSUD Sunan Kalijaga Demak mengatakan bahwa anak menderita Sindrom Autisme dengan perilaku hiperaktif. Dokter jiwa menyarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Daerah Dr. Kariadi Semarang untuk mendapatkan terapi komprehensif.
Pasien juga telah melakukan terapi wicara sebanyak 1 kali sebelum kontrol ke poli tumbuh kembang. Belum ada perubahan yang signifikan dari keluhan yang diderita anak. Anak masih sering berlarian, dan sulit diajak berkomunikasi, dengan disertai keterlambatan bicara. Anak mengaku tidak ada keluhan tambahan lain selama beberapa hari ini, tidak batuk maupun pilek, tidak pernah demam. Nafsu makan baik selama beberapa hari ini, anak dapat makan dengan baik. Pasien kemudian pulang dengan diberikan rujukan untuk melakukan terapi komprehensif di RSDK.
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Autisme Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri. Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak yang ditandai dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya (Sadock, 2007).
B. Epidemiologi Penyandang autisme pada anak (autisme infantile) dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun terakhir semakin meningkat di dunia. Prevalensi anak autis di dunia pada tahun 1987 diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1 berbanding 500 kelahiran. Sedangkan, pada tahun 2000 prevalensi anak autisme meningkat menjadi 1 banding 150 kelahiran dan tahun 2001 perbandingannya berubah menjadi 1:100 kelahiran. Secara global prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih kurang 4 kalinya). Sedangkan penyandang autis di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 anak (Lubis, 2009).
Penelitian yang dilakukan di Brick
Township, New Jersey (Bertrand, 2001) melaporkan angka prevalensi autis yaitu 40 per 10.000 untuk anak 3-10 tahun dengan autisme dan 67 per 10.000 untuk seluruh spektrum autisme pada anak-anak. Penelitian terbaru di Canada menyatakan bahwa prevalensi autisme mencapai 0,6 sampai 0,7% atau satu berbanding 150 kelahiran (Fombonne, 2009). C. Etiologi Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang menjelaskan tentang aurisme infantil yaitu: 1. Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan bahwa autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orang tuanya dan mampu merasakan persaan negatif mereka. Anak tersebut meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada dunia sehingga menciptakan “benteng kekosongan” untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan (Lubis, 2009). 2. Genetik Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko lebih tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara kandung yang juga autis sekitar 3% (Kasran, 2003). Kelainan dari gen pembentuk metalotianin juga berpengaruh pada kejadian autis. Metalotianin adalah kelompok protein yang merupakan mekanisme kontrol tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi lainnya yaitu perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam berat, pematangan saluran cerna, dan penguat sistem imun. Disfungsi metalotianin akan menyebabkan penurunan produksi asam lambung, ketidakmampuan tubuh untuk membuang logam berat dan kelainan sisten imun yang sering ditemukan pada orang autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab lebih berisikonya laki-laki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan karena sintesis metalotianin ditingkatkan oleh estrogen dan progesteron (Kasran, 2003). 3. Studi biokimia dan riset neurologis Pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar. Penelitian ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di serebelum. Dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI), telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal dibandingkan dengan orang normal (Kasran, 2003).
D. Patogenesis Autisme Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam dan tidak ada satupun yang spesifik sebagai penyebab utama dari autisme. Ada indikasi bahwa faktor genetik berperan dalam kejadian autisme. Dalam suatu studi yang melibatkan anak kembar terlihat bahwa dua kembar monozygot (kembar identik) kemungkinan 90% akan sama-sama mengalami autisme; kemungkinan pada dua kembar dizygot (kembar fraternal) hanya sekitar 5-10% saja (Kasran, 2003). Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang teridentifikasi meskipun baru-baru ini telah dikemukakan terdapat keterkaitan antara gen serotonin-transporter. Selain itu adanya teori opioid yang mengemukakan bahwa autisme timbul dari beban yang berlebihan pada susunan saraf pusat oleh opioid pada saat usia dini. Opioid kemungkinan besar adalah eksogen dan opioid merupakan perombakan yang tidak lengkap dari gluten dan casein makanan. Meskipun kebenarannya diragukan, teori ini menarik banyak perhatian. Pada dasarnya, teori ini mengemukakan adanya barrier yang defisien di dalam mukosa usus, di darah-otak (blood-brain) atau oleh karena adanya kegagalan peptida usus dan peptida yang beredar dalam darah untuk mengubah opioid menjadi metabolit yang tidak bersifat racun dan menimbulkan penyakit (Kasran, 2003). Barrier yang defektif ini mungkin diwarisi (inherited) atau sekunder karena suatu kelainan. Berbagai uraian tentang abnormalitas neural pada autisme telah menimbulkan banyak spekulasi mengenai penyakit ini. Namun, hingga saat ini tidak ada satupun, baik teori anatomis yang sesuai maupun teori patofisiologi autisme atau tes diagnostik biologik yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebab utama autisme. Beberapa peneliti telah mengamati beberapa abnormalitas jaringan otak pada individu yang mengalami autisme, tetapi sebab dari abnormalitas ini belum diketahui, demikian juga pengaruhnya terhadap perilaku (Kasran, 2003). Kelainan yang dapat dilihat terbagi menjadi dua tipe, disfungsi dalam stuktur neural dari jaringan otak dan abnormalitas biokimia jaringan otak. Dalam kaitannya dengan struktur otak, pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar. Peneliti ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di serebelum. Dengan menggunakan
magnetic resonance imaging, telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Didukung oleh studi empiris neurofarmakologis dan neurokimia pada autisme, perhatian banyak dipusatkan pada neurotransmitter dan neuromodulator, pertama sistem dopamine mesolimbik, kemudian sistem opioid endogen dan oksitosin, selanjutnya pada serotonin, dan ditemukan adanya hubungan antara autisme dengan kelainan-kelainan pada sistem tersebut (Kasran, 2003). Sedangkan dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal dibandingkan dengan orang normal. Perlu disinggung bahwa abnormalitas serotonin ini juga tampak pada penderita down syndrome, kelainan hiperaktivirtas, dan depresi unipoler. Juga terbukti bahwa pada individu autistik terdapat kenaikan dari beta-endorphins, suatu substansi di dalam badan yang mirip opiat. Diperkirakan adanya ketidakpekaan individu autistik terhadap rasa sakit disebabkan oleh karena peningkatan kadar betaendorphins ini (Kasran, 2003).
E. Karakteristik, Gambaran Klinis, Kriteria Diagnosis, dan Diagnosis Banding Autisme Infantil 1. Karakteristik a. Kecenderungannya untuk melengkungkan punggungya ke belakang menjauhi pengasuhnya atau yang merawatnya, untuk menghindari kontak fisik. Mereka umumnya digambarkan sebagai bayi-bayi yang pasif atau kelewat gaduh (overlay agitated). Bayi yang pasif adalah mereka yang kebanyakan diam sepanjang waktu dan tidak banyak tuntutan pada orangtuanya. Sedangkan bayi yang gaduh adalah yang hampir selalu menangis tidak ada hentinya pada waktu terjaga (Rapin, 1997). Kira-kira
separuh
dari
anak-anak
autistik
menunjukkan
perkembangan yang normal sampai pada usia 1,5-3 tahun; kemudian gejala-gejala autisme mulai timbul. Individu demikian ini sering disebut sebagai menderita autisme “regresif”. Dibandingkan teman-teman sebayanya, anak-anak autistik seringkali
ketinggalan dalam hal
komunikasi, ketrampilan sosial dan kognisi. Di samping itu, perilaku disfungsional mulai tampak, seperti misalnya, aktivitas repetitif dan perilaku yang tidak bertujuan (non-goal directed behavior) (mengayunayunkan badan tiada hentinya, melipatlipat tangan), mencederai diri sendiri, bermasalah dalam makan dan tidur, tidak peka terhadap rasa sakit. Perilaku mencederai diri sendiri seperti menggigit diri sendiri dan membenturkan kepala mungkin merupakan bentuk stereotipi yang berat dan menurut teori yang baru disebabkan oleh peningkatan endorphin (Rapin, 1997). b. Salah satu karakterisitk yang paling umum pada anak-anak autistik adalah perilaku yang perseverative, kehendak yang kaku untuk melakukan atau berada dalam keadaan yang sama terus-menerus. Apabila seseorang berusaha untuk mengubah aktivitasnya, meskipun kecil saja, atau bilamana anak-anak ini merasa terganggu perilaku ritualnya, mereka akan marah sekali (tantrum). Sebagian dari individu yang autistik ada kalanya dapat mengalami kesulitan dalam masa transisinya ke pubertas karena perubahan-perubahan hormonal yang terjadi; masalah gangguan perilaku bisa menjadi lebih sering dan lebih berat pada periode ini. Namun demikian, masih banyak juga anak-anak autistik yang melewati masa pubertasnya dengan tenang. Umumnya gejala autisme berupa suatu gangguan sosiabilitasnya, kelainan komunikasi timbal-balik verbal dan nonverbal serta defisit minat dan aktivitas anak. Meskipun kurangnya dorongan untuk berkomunikasi atau menahan bicara memegang peranan pada semua anak yang pendiam, anak-anak dengan autisme benar-benar mengalami gangguan berbahasa. Pemahaman dan penggunaan bahasa untuk komunikasi serta geraktubuh (gesture) benar-benar defisien. Ketidak mampuan untuk menerjemahkan stimuli akustik menyebabkan anak-anak autistik mengalami agnosia auditorik verbal; mereka tidak mengerti bahasa atau hanya mengerti sedikit sehingga tidak dapat berbicara dan tetap tinggal dalam situasi nonverbal (Rapin, 1997). c. Anak-anak dengan autisme yang tidak begitu berat, dengan kelainan reseptif-ekspresif, menunjukkan daya pengertian (comprehension) yang lebih baik dari pada kemampuannya untuk berekspresi sehingga pada mereka itu tampak artikulasinya buruk dan mereka tidak memiliki
kepandaian gramatis. Kelompok anak-anak autistik lain yang kepandaian bicaranya terlambat, mungkin dapat berkembang cepat dari keadaan diam menjadi lancar berbicara dengan kalimat-kalimat yang jelas dan tersusun baik, tetapi mereka ini cenderung repetitif, non-komunikatif dan sering pula ditandai dengan echolalia yang berkelebihan (Rapin, 1997). d. Sekitar 75% penderita autisme adalah mereka dengan keterbelakangan mental (mentally retarded). Derajat kognitif individu ini secara bermakna berkaitan dengan beratnya gejala autisme. Tes IQ pra-sekolah tidak dapat meramalkan hasil yang dapat diandalkan karena beberapa anak dengan program perawatan yang efektif menunjukkan perbaikan yang nyata. Hasil dari uji neuropsikologis secara khas menunjukkan suatu profil kognitif yang tidak merata, di mana keterampilan nonverbal umumnya lebih tinggi dari pada keterampilan verbal (kecuali pada sindrom asperger di mana pola yang sebaliknya terlihat). Pemahaman yang buruk dari apa yang orang lain pikirkan, menetap sepanjang hidup dan kreativitas mereka biasanya terbatas. Anak-anak autistik dapat menunjukan reaksi yang paradoksikal terhadap suatu stimuli sensori; kadang-kadang hipersensitif dan kadang-kadang tidak menghiraukan suara atau bunyi tertentu, stimuli taktil atau rasa sakit. Persepsi visual biasanya jauh lebih baik dari pada persepsi auditorik (Rapin, 1997). 2. Gambaran Klinis Tanda-tanda awal pada pasien autisme berkaitan dengan usia anak. Usia anak dimana sindroma autisme dapat dikenal merupakan kunci untuk segera melakukan intervensi berupa pelatihan dan pendidikan dini. National Academy of Science USA menganjurkan bahwa pendidikan dini merupakan kunci keberhasilan bagi seorang anak dengan sindroma autisme. Pada umumnya semua peneliti sepakat bahwa sindroma autisme merupakan diagnosis sekelompok anak dengan kekurangan dalam bidang sosialisasi, komunikasi dan afeksi. Mereka juga sepakat bahwa mengenal tanda-tanda awal autisme yaitu sejak usia dini (bayi baru lahir bahkan sebelum lahir) sangat penting untuk upaya penanggulangan. Gejala autisme infantil dapat timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Seorang ibu yang cermat dapat melihat beberapa keganjilan
sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata dan kurang minat untuk berinteraksi dengan orang lain. Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam autisme dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu: a. Isolasi sosial Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak social ke dalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada. Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain sendiri. b. Kelemahan kognitif Sebagian besar (± 70%) anak autis mengalami retardasi mental (IQ < 70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan sensori montor. Terapi yang dijalankan anak autis meningkatkan hubungan social mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang dialami. Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autis terutama sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan oengaruh penarikan diri dari lingkungan social. c. Kekurangan dalam bahasa Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terlambat bicara. Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya mengoceh, merengek, menjerit, atau menunjukkan ekolali, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan TV, atau potongan kata yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Beberapa anak autis menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sebagai orang kedua “kamu” atau orang ketiga “dia”. Intinya anak autism tidak dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal. d. Tingkah laku stereotip Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perlaku yang berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient) seperti impulsif,
hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan pandangan mata kosong, melakukan permainan yang sama dan monoton. Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus menerus tanpa tujuan yang jelas. Sering berputar-putar, berjingkat-jingkat, dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisik. Misalnya karena adanya gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga tertarik pada hanya bagianbagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya pada roda mainan mobilmobilannya. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton. 3. Kriteria Diagnosis Gangguan Autisme Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnosis gangguan autisme adalah: A. Sejumlah enam hal atau lebih dari 1, 2, dan 3, paling sedikit dua dari 1 dan satu masing-masing dari 2 dan 3: 1. Secara kualitatif terdapat hendaya dalam interaksi social sebagai manifestasi paling sedikit dua dari yang berikut: a. Hendaya di dalam perilaku non verbal seperti pandangan mata ke mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, dan gerak terhadap rutinitas dalam interaksi social. b. Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai tingkat perkembangannya. c. Kurang kespontanan dalalm membagi kesenangan, daya pikat atau pencapaian akan orang lain, seperti kurang memperlihatkan, mengatakan atau menunjukkan objek yang menarik. d. Kurang sosialisasi atau emosi yang labil. 2. Secara fluktuatif terdapat hendaya dalam komunikasi sebagai menifestasi paling sedikit satu dari yang berikut: a. Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan berbicara (tidak menyertai usaha mengimbangi cara komunikasialternatif seperti gerak isyarat atau gerak meniru-niru)
b. Individu berbicara secara adekuat, hendaya dalam menilai atau meneruskan oembicaraan orang lain. c. Menggunakan kata berulang kali dan stereotip dan kata-kata aneh. d. Kurang memvariasikan gerakan spontan yang seolah-olah atau pura-pura bermain seuai tingkat perkembangan. 3. Tingkah laku berulang dan terbatas, tertarik dan aktif sebagai manifestasi paling sedikit satu dari yang berikut: a. Keasyikan yang meliputi satu atau lebih stereotip atau kelainan dalam intensitas maupun focus perhatian akan sesuatu yang terbatas. b. Ketaatan terhadap hal-hal tertentu tampak kaku, rutinitas atau ritual pun tidak fungsional. c. Gerakan stereotip dan berulang misalnya memukul, memutar arah jari dan tangannya serta meruwetkan gerakan seluruh tubuhnya. d. Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotip. B. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang berikut ini dengan serangan sebelum sampai usia 3 tahun : 1. Interaksi sosial 2. Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial 3. Permainan simbol atau imaginatif. C. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegrasi masa anak. Autisme infantil berdasarkan pedoman diagnostik PPDGJ III, antara lain: a. Biasanya tidak ada riwayat perkembangan abnormal yang jelas, tetapi jika dijumpai, abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun. b. Selalu dijumpai hendaya kualitatif dalam interaksi sosialnya. Ini berbentuk tidak adanya apresiasi adekuat terhadap isyarat sosio emosional yang tampak bagai kurangnya respon terhadap emosi orang lain dan/atau kurangnya modulasi terhadap perilaku dalam konteks sosial; buruk dalam menggunakan isyarat social dan lemah dalam integrasi perilaku sosial, emosional dan komunikatif; dan khususnya, kurangnya respon timbal balik sosial emosional.
c. Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk kurangnya penggunaan sosial dari kemampuan bahasa yang ada; hendaya dalam permainan imaginatif dan imitasi sosial; buruknya keserasian dan kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan; buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif kurang dalam kreativitas dan fantasi dalam proses pikir; kurangnya respons emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orang lain; hendaya dalam menggunakan variasi irama atau tekanan modulasi komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau mengartikan komunikasi lisan. d. Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas, pengulangan dan stereotipik. Ini berbentuk kecendrungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam aspek kehidupan sehari-hari; ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru atau kebiasaan sehari-hari yang rutin dan pola bermain. Terutama sekali dalam masa kanak, terdapat kelekatan yang aneh terhadap benda yang tak lembut. Anak dapat memaksa suatu kegiatan rutin seperti upacara dari kegiatan yang sebetulnya tidak perlu; dapat menjadi preokupasi yang stereotipik dengan perhatian pada tanggal, rute atau jadwal; sering terdapat stereotipik motorik; sering menunjukkan perhatian yang khusus terhadap unsur sampingan dari benda (seperti bau dan rasa); dan terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam tata ruang dari lingkungan pribadi (seperti perpindahan dari hiasan dalam rumah). e. Anak autisme sering menunjukkan beberapa masalah yang tak khas seperti
ketakutan/fobia,
gangguan
tidur
dan
makan,
mengadat
(terpertantrum) dan agresivitas. Mencederai diri sendiri (seperti menggigit tangan) sering kali terjadi, khususnya jika terkait dengan retardasi mental. Kebanyakan individu dengan autis kurang dalam spontanitas, inisiatif dan kreativitas dalam mengatur waktu luang dan mempunyai kesulitan dalam melaksanakan konsep untuk menuliskan sesuatu dalam pekerjaan (meskipun tugas mereka tetap dilaksanakan baik).
Abnormalitas perkembangan harus tampak dalam usia 3 tahun untuk dapat menegakkan diagnosis, tetapi sindrom ini dapat didiagnosis pada semua usia. 4. Diagnosis Banding Beberapa diagnosis banding autisme infantil, antara lain: a. Gangguan perkembangan pervasif yang lainnya Beberapa kelainan yang dimasukkan dalam kelompok ini adalah anak-anak
yang
mempunyai
ciri-ciri
autisme,
yaitu
gangguan
perkembangan sosial, bahasa, dan perilaku, namun cirri lainnya berbeda dengan autism infantil. Gangguan ini adalah sebagai berikut: 1) Sindroma Rett Sindroma Rett adalah penyakit otak yang progresif tapi khusus mengenai anak perempuan. Perkembangan anak sampai usia 5 bulan normal, namun setelah itu mundur. Umumnya kemunduran yang terjadi sangat parah meliputi perkembangan bahasa, interaksi social maupun motoriknya. 2) Sindroma Asperger Pada sindroma Asperger mempunyai ketiga ciri autism namun masih memiliki intelegensia yang baik dan kemampuan bahasanya juga hanya terganggu dalam derajat ringan. Oleh karena itu, sindroma Asperger sering disebut sebagai “high functioning autism”. Gangguan Asperger berbeda berbeda dengan autism infantil. Onset usia autisme infantile terjadi lebih awal dan tingkat keparahannya lebih parah dibandingkan gangguan Asperger. Pasien autisme infantil menunjukkan penundaan dan penyimpangan dalam kemahiran
berbahasa
serta
adanya
gangguan
kognitif.
Oral
vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih baik pada gangguan Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih berat pada autisme. Selain itu ditemukan adanya manerisme motorik sedangkan pada gangguan Asperger yang menonjol adalah perhatian terbatas dan motorik yang canggung, serta gagal mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit membedakan gangguan Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi mental. Gangguan Asperger biasanya memperlihatkan gambaran IQ yang lebih baik daripada autisme infantil, kecuali
autisme infantil high functioning. Batas antara gangguan Asperger dan high functioning autism untuk gangguan berbahasa dan gangguan belajar sangat kabur. Gangguan Asperger mempunyai verbal intelligence yang normal sedangkan autisme infantil mempunyai verbal intelligence yang kurang. Gangguan Asperger mempunyai empati yang lebih baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun keduanya mengalami kesulitan berempati 3) Sindroma Disintegratif Sindroma ini ditandai dengan kemunduran dari apa yang telah dicapai setelah umur 2 tahun, paling sering sekitar umur 3-4 tahun. Gangguan ini sangat jarang terjadi dan paling sering mengenai anak laki-laki dibanding perempuan. b. Gangguan perkembangan bahasa (disfasia) Disfasia terjadi karena gangguan perkembangan otak hemisfer kiri, sebagai daerah pusat berbahasa. Ada beberapa subtipe gangguan ini yang menyerupai dengan autism infantil khususnya ditinjau dari perkembangan bahasa wicaranya. Bedanya pada disfasia tidak terdapat perilaku repetitive maupun obsesif. Kriteria
Autisme Infantil
Disfasia
Insidensi
2-5 dalam 10.000
5 dalam 10.000
Ratio jenis kelamin
3-4 : 1
sama atau hampir
(Laki-laki:Perempuan) Riwayat keluarga adanya
sama 25 % kasus
25 % kasus
sangat jarang
tidak jarang
Komunikasi nonverbal
tidak ada/rudimenter
Ada
Kelainan bahasa
lebih sering
lebih jarang
lebih jarang
lebih sering
keterlambatan bicara / gangguan bahasa Ketulian yang berhubungan
(misalnya ekolalia, frasa stereotipik di luar konteks) Gangguan artikulasi
Tingkat intelegensia
sering
terganggu walaupun mungkin
parah
terganggu, seringkali kurang parah
Pola test IQ
tidak rata, rendah
lebih rata, walaupun
pada skor verbal,
IQ verbal lebih
rendah pada sub test
rendah dari IQ
pemahaman
kinerja
Perilaku autistik,
lebih sering dan
tidak ada atau jika
gangguan kehuidupan
lebih parah
ada, kurang parah
tidak ada/rudimenter
biasanya ada
sosial, aktivitas stereotipik dan ritualistik Permainan imaginatif
c. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun. Skizofrenia disertai dengan halusinasi atau waham, dengan insidensi kejang dan retardasi mental yang lebih rendah dan dengan IQ yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak autistik. Kriteria
Autisme Infantil
Skizofrenia dengan onset masa anakanak
Usia onset
<36 bulan
>5 tahun
Insidensi
2-5 dalam 10.000
Tidak diketahui, kemungkinan sama atau bahkan lebih jarang
Rasio jenis kelamin
3-4:1
1,67:1
(Laki-laki:Perempuan) Status sosioekonomi
Lebih sering pada Lebih sering pada sosioekonomi tinggi
sosioekonomi rendah
Penyulit prenatal dan
Lebih sering pada
Lebih jarang pada
perinatal dan disfungsi
gangguan
skizofrenia
otak
autistik
Karakteristik perilaku
Gagal untuk
Halusinasi dan
mengembangkan
waham, gangguan
hubungan : tidak ada
pikiran
bicara (ekolalia); frasa stereotipik; tidak ada atau buruknya pemahaman bahasa; kegigihan atas kesamaan dan stereotipik. Fungsi adaptif
Biasanya
selalu Pemburukan fungsi
terganggu Tingkat inteligensi
Pada sebagian besar
Dalam
kasus
normal
subnormal,
sering
terganggu
parah
rentang
(70%) Kejang grand mal
4-32%
Tidak ada atau insidensi rendah
d. Retardasi Mental (RM) Hal yang tidak mudah untuk membedakan autisme infantil dengan retardasi mental, sebab autisme juga sering disertai retardasi mental. Kirakira 40% anak autistik adalah teretardasi sedang, berat atau sangat berat, dan anak yang teretardasi mungkin memiliki gejala perilaku yang termasuk ciri autistik. Pada retardasi mental tidak terdapat 3 ciri pokok autism secara lengkap. Retardasi mental adalah gangguan intelegensi, biasanya diketahui setelah anak sekolah karena ketidaksanggupan anak mengikuti pelajaran formal. Pembagian retardasi mental mental dilihat dari kemampuan Intelligent Quetient (IQ), retardasi mental ringan IQ 5570, RM sedang IQ 40-55, RM berat 25-40, RM sangat berat IQ < 25.
Ciri utama yang membedakan antara gangguan autistik dan retardasi mental adalah: 1) Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua atau anak-anak lain dengan cara yang sesuai dengan umur mentalnya. 2) Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain. 3) Mereka memilki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa pembelahan fungsi e. Afasia didapat dengan kejang Afasia didapat dengan kejang adalah kondisi yang jarang yang kadang sulit dibedakan dari gangguan autistik dan gangguan disintegratif masa anak-anak. Anak-anak dengan kondisi ini normal untuk beberapa tahun sebelum kehilangan bahasa reseptif dan ekspresifnya selama periode beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebagian akan mengalami kejang dan kelainan EEG menyeluruh pada saat onset, tetapi tanda tersebut biasanya tidak menetap. Suatu gangguan yang jelas dalam pemahaman bahasa yang terjadi kemudian, ditandai oleh pola berbicara yang menyimpang dan gangguan bicara. Beberapa anak pulih tetapi dengan gangguan bahasa residual yang cukup besar f. Ketulian kongenital atau gangguan pendengaraan parah Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anak-anak tersebut sering membisu atau menunjukkan tidak adanya minat secara selektif terhadap bahasa ucapan. Ciri-ciri yang membedakan yaitu bayi autistik mungkin jarang berceloteh sedangkan bayi yang tuli memiliki riwayat celoteh yang relatif normal dan selanjutnya secara bertahap menghilang dan berhenti pada usia 6 bulan-1 tahun. Anak yang tuli berespon hanya terhadap suara yang keras, sedangkan anak autistik mungkin mengabaikan suara keras atau normal dan berespon hanya terhadap suara lunak atau lemah. Hal yang terpenting, audiogram atau potensial cetusan auditorik menyatakan kehilangan yang bermakna pada anak yang tuli. Tidak seperti anak-anak autistik, anak-anak tuli biasanya dekat dengan orang tuanya, mencari kasih sayang orang tua dan sebagai bayi senang digendong. g. Pemutusan psikososial
Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti pemisahan dari ibu, kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit, dan gagal tumbuh) dapat menyebabkan anak tampak apatis, menarik diri, dan terasing. Keterampilan bahasa dan motorik dapat terlambat. Anak-anak dengan tanda tersebut hamper selalu membaik dengan cepat jika ditempatkan dalam lingkungan psikososial yang menyenangkan dan diperkaya, yang tidak terjadi pada anak autistik.
F.
Anamnesis dan Pemeriksaan Psikiatri Autisme Infantil 1. Anamnesis Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau anak menurut usia: a.
Usia 0-6 bulan 1) Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis) 2) Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik 3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi 4) Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu 5) Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan 6) Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
b.
Usia 6-12 bulan 1) Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis) 2) Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik 3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan 4) Sulit bila digendong 5) Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan 6) Tidak ditemukan senyum sosial 7) Tidak ada kontak mata 8) Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
c.
Usia 1-2 tahun 1) Kaku bila digendong 2) Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da) 3) Tidak mengeluarkan kata
4) Tidak tertarik pada boneka 5) Memperhatikan tangannya sendiri 6) Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus 7) Mungkin tidak dapat menerima makanan cair d.
Usia 2-3 tahun 1) Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain 2) Melihat orang sebagai “benda” 3) Kontak mata terbatas 4) Tertarik pada benda tertentu 5) Kaku bila digendong
e.
Usia 4-5 tahun 1) Sering didapatkan ekolalia (membeo) 2) Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar) 3) Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah 4) Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala) 5) Temperamen tantrum atau agresif Secara umum ada beberapa gejala autisme yang akan tampak semakin
jelas saat anak telah mencapai usia 3 tahun, yaitu (Sartika, Dinda. 2011): a.
Interaksi sosial 1) tidak tertarik bermain bersama teman 2) lebih suka menyendiri 3) tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan 4) senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan
b.
Komunikasi 1) perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada 2) senang meniru atau membeo (ekolali) 3) anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian sirna 4) mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain 5) bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya
6) sebagian dari anak ini tidak berbicara (nonverbal) atau sedikit bicara (kurang verbal) sampai usia dewasa c.
Pola bermain 1) tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya 2) senang akan benda-benda yang berputar seperti kipas angin, roda sepeda, gasing. 3) tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik atau rodanya diputar-putar. 4) dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana.
d.
Gangguan sensoris 1) bila mendengar suara keras langsung menutup telinga 2) sering menggunakan indera pencium dan perasanya, seperti senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda. 3) dapat sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk. 4) dapat sangat sensitif terhadap rasa takut dan rasa sakit.
e.
Perkembangan terlambat atau tidak normal 1) perkembangan tidak sesuai seperti pada anak normal, khususnya dalam keterampilan sosial, komunikasi, dan kognisi. 2) dapat mempunyai perkembangan yang normal pada awalnya, kemusian menurun atau bahkan sirna, misalnya pernah dapat bicara kemudian hilang.
f.
Penampakan gejala 1) gejala di atas dapat mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil. Biasanya sebelum usia 3 tahun gejala sudah ada. 2) pada beberapa anak sekitar umur 5-6 tahun, gejala tampak agak berkurang. Gejala yang juga sering tampak adalah dalam bidang :
a.
Perilaku 1) memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang diulang-ulang. 2) tidak suka pada perubahan
3) dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong b.
Emosi 1) sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan. 2) kadang suka menyerang dan merusak. 3) kadang berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri 4) tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
2. Pemeriksaan Psikiatri a. Kesan Umum : tampak sakit jiwa b. Kesadaran : compos mentis c. Sikap : hipoaktif d. Tingkah laku : senyum sendiri, bicara sendiri, stereotipi e. Orientasi : baik/buruk f. Bentuk pikir : autistik g. Isi pikir : waham bizarre h. Progresi pikir : neologisme, ekolali, inkoherensi, irrelevansi i. Roman muka : sedikit mimik j. Afek : inappropiate k. Persepsi : halusinasi (+) l. Perhatian : sulit ditarik, sulit dicantum m. Hubungan jiwa : sulit n. Insigth : buruk
G. Penatalaksanaan Autisme Sampai saat ini tidak ada obat-obatan atau cara lain yang dapat menyembuhkan autisme. Meskipun demikian, obat-obat antidepresan yang bersifat seratogenik dapat mengendalikan gejala-gejala stereotipi dan perubahanperubahan iklim perasaan, tetapi masih diperlukan suatu penelitian klinis lebih lanjut dan lebih terkendali dari obat-obat ini (Kasran, 2003). Dalam tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku merupakan yang paling penting. Metode yang digunakan adalah metode Lovaas. Metode Lovaas adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavior Analysis (ABA). Berbagai kemampuan yang diajarkan melalui program ABA dapat dibedakan menjadi enam kemampuan dasar, yaitu:
1.
Kemampuan memperhatikan Program ini terdapat dua prosedur. Pertama melatih anak untuk bisa memfokuskan pandangan mata pada orang yang ada di depannya atau disebut
dengan
kontak
mata.
Yang
kedua
melatih
anak
untuk
memperhatikan keadaan atau objek yang ada disekelilingnya. 2.
Kemampuan menirukan Pada kemampuan imitasi anak diajarkan untuk meniru gerakan motorik kasar dan halus. Selanjutnya, urutan gerakan, meniru gambar sederhana atau meniru tindakan yang disertai bunyi-bunyian.
3.
Bahasa reseptif Melatih anak agar mempunyai kemampuan mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata.
4.
Bahasa ekspresif Melatih kemampuan anak untuk mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau berkomunikasi verbal.
5.
Kemampuan praakademis Melatih anak untuk dapat bermain dengan benar, memberikan permainan
yang
mengajarkan
anak
tentang
emosi,
hubungan
ketidakteraturan, dan stimulus-stimulus di lingkungannya seperti bunyibunyian serta melatih anak untuk mengembangkan imajinasinya lewat media seni seperti menggambar benda-benda yang ada di sekitarnya. 6.
Kemampuan mengurus diri sendiri Program ini bertujuan untuk melatih anak agar bisa memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Pertama anak dilatih untuk bisa makan sendiri. Yang kedua, anak dilatih untuk bisa buang air kecil atau yang disebut toilet traning. Kemudian tahap selanjutnya melatih mengenakan pakaian, menyisir rambut, dan menggosok gigi.
H. Prognosis Prognosis anak autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1.
Berat ringannya gejala atau kelainan otak.
2.
Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
3.
Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
4.
Bicara dan bahasa, 20 % anak autis tidak mampu berbicara seumur hidup, sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang berbeda-beda.
5.
Terapi yang intensif dan terpadu. Penanganan/intervensi terapi pada anak autisme harus dilakukan dengan intensif dan terpadu. Seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasi dengan anak. Penanganan anak autisme memerlukan kerjasama tim yang terpadu yang berasal dari berbagai disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog, neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik. Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi.
BAB III KESIMPULAN
1.
Autisme merupakan gangguan pada anak yang ditandai dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya.
2.
Beberapa faktor diduga menjadi penyebab autisme infantil antara lain teori psikoanalitik, genetik, serta berdasarkan studi biokimia dan riset neurologis
3.
Terapi perilaku merupakan tata laksana yang paling penting dengan menggunakan metode Lovaas.
4.
Faktor yang mempengaruhi prognosis autisme infantil antara lain berat ringannya gejala, usia, kecerdasan, bicara dan bahasa, serta terapi intensif dan terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Bertrand, J., Mars, A., Boyle, C., Bove, F., Yeargin-Allsop, M., Decoufle, P. 2001. Prevalence of autism in a United States Population. Pediatrics, 108; 1155-61. Fombonne, Eric. 2009. Epidemiology of Pervasive Developmental Disorders. Pediatrics Research, 6 (65); 591-8. Kasran, Suharko. 2003. Autisme: Konsep yang Sedang Berkembang. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jurnal Kedokteran Trisakti, Vol. 22 No. 1; 24-30. Lubis, Misbah. 2009. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis. Diambil
dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14528/1/09E01232.pdf. Diakses tanggal: 10 Mei 2015. Rapin, I. 1997. Autism. New Journal English Medicine, Vol 337; 97-104. Sadock, B. J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. University School of Medicine New York; Chapter 42. Sartika, Dinda. 2011. Karakteristik Anak Autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) Medan. Skripsi: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Yeni, A. F., Murni, J. Y., & Oktora, R. 2009. Autisme dan Penatalaksanaan. Diambil dari: http://www.Files-of-DrsMed.tk/. Diakses tanggal 10 Mei 2015.