LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. D DENGAN DIAGNOSA MEDIS THYPOID FEVER DI RUANG DAHLIA I RSUD WONOSARI
Disusun Oleh: Putri Puspita Devi, S.Kep 18310126
PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YOGYAKARTA 2018/2019
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan pada An. D dengan diagnosa medis “Thypoid Fever” telah diterima dan disahkan oleh pembimbing lahan dan pembimbing akademik Profesi Ners STIKes Yogyakarta.
Nama
: Putri Puspita Devi, S.Kep.
NIM
: 18310126.
Tempat Praktik
: RSUD Wonosari.
Gunungkidul, Pembimbing Lahan
(
Februari 2019
Pembimbing Akademik
)
(Salis Miftahul K, S.Kep, Ns, M.Kep)
Mahasiswa
(Putri Puspita Devi, S.Kep)
LAPORAN PENDAHULUAN THYPOID FEVER
A. Pengertian Thypoid Fever Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi oleh bakteri salmonella typhi dan bersifat endemik yang termasuk dalam penyakit menular (Cahyo, 2010). Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang disebabkan oleh salmonella thypii, penyakit ini dapat ditularkan melaui makanan, mulut, atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman salmonella thypii (Hidayat, 2012). Thypoid fever/demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan
dan
dengan
atau
tanpa
gangguan
kesadaran
(Susilaningrum, Nursalam, dan Utami, 2013). Demam tifoid disebarkan melalui jalur fekal-oral dan hanya menginfeksi manusia yang mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu penderita demam tifoid dan karier. Seseorang yang karier adalah orang yang pernah menderita demam tifoid dan terus membawa penyakit ini untuk beberapa waktu atau selamanya (Nadyah, 2014). Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi (Nurarif & Kusuma, 2015). Tifoid termasuk infeksi sistemik dengan gejala yang khas yaitu demam. Adapun demam yang dialami oleh pasien yang menderita penyakit ini umumnya memiliki pola khusus dengan suhu yang meningkat (sangat tinggi) naik-turun. Hal ini terjadi pada sore dan malam hari sedangkan di pagi hari hampir tidak terjadi demam. Jadi, demam tifoid merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri gram negatif (bakteri Salmonella typhii) yang menurunkan sistem pertahanan tubuh dan masuk melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
B. Klasifikasi Thypoid Fever Menurut WHO (2013), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan gejala klinis: a. Demam tifoid akut non komplikasi. Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25% penyakit menunjukkan adanya resespot pada dada, abdomen dan punggung. b. Demam tifoid dengan komplikasi Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen. c. Keadaan karier Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses.
C. Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Samonella Thposa/Eberthela Thyposa yang merupakan kuman negatif, motil dan tidak menghasilkan spora, hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 700C dan antiseptik. Salmonella Thposa memiliki ciri: 1. Terdiri dari basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, serta tidak berspora 2. Mempunyai sekurang - kurangnya tiga macam antigen, yaitu: a) Antigen O: Ohne Hauch (somatik, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida) antigen ini tidak menyebar ada dalam dinding sel kuman.
b) Antigen H: Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil c) Antigen Vi: Kapsul merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis. Ketiga jenis antigen ini terdapat pada tubuh manusia yang akan menimbulkan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (zat anti) (Susilaningrum, Nursalam, dan Utami, 2013).
D. Manifestasi Klinis Tanda dan Gejala tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika disbanding dengan orang dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10—20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodmol, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala klinis yang lain, yaitu: 1. Demam Demam lebih dari 7 hari. Pada kasus-kasus tertentu, demam berlangsung selama 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga, suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. 2. Gangguan saluran pencernaan. Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecahpecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue, lidah tifoid), ujung dan tepinya kemerehan, jarang disertai tremor. Pada abdomen terjadi splenomegali dan hepatomegali dengan disertai nyeri tekan dan kemudian mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Biasanya didapatkan kondisi konstipasi, kadang diare, mual, dan muntah.
3. Gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. 4. Pada punggung terdapat roseola (bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam). 5. Relaps Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam thypoid, akan tetap berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Soedarto (2017) mengemukakan bahwa manifestasi klinis klasik yang umum ditemui pada penderita demam typhoid biasanya disebut febris remitter atau demam yang bertahap naiknya dan berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungan dengan perincian : 1. Minggu pertama, demam lebih dari 40°C, nadi yang lemah bersifat dikrotik, dengan denyut nadi 80-100 per menit. 2. Minggu kedua, suhu tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah tampak kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan limpa dapat diraba. 3. Minggu ketiga, jika keadaan membaik : suhu tubuh turun, gejala dan keluhan berkurang. Jika keadaan memburuk : penderita mengalami delirim ,stupor, otot-otot bergerak terus, terjadi inkontinensia alvi dan urine. Selain itu terjadi meteorisme dan timpani, dan tekanan perut meningkat, disertai nyeri perut. Penderita kemudian kolaps, dan akhirnya meninggal dunia akibat terjadinya degenerasi mikardial toksik. 4. Minggu keempat, bila keadaan membaik, penderita akan mengalami penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
E. Patofisiologi Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus (Mansjoer, 2011). Setelah mencapai usus, salmonella typhosa menembus ileum dan ditangkap oleh sel mononukler . Satelah menyebabkan peradangan dan nekrose setempat, kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah (terjadi bakteremi primer) menuju ke organ-organ terutama hati dan limfa. Kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak dalam hati dan limfa sehingga organ tersebut membesar disertai nyeri pada perabaan. Pada akhir masa inkubasi (5—9 hari) kuman kembali masuk dalam darah (bakteremi sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong di atas Plak Peyer. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Pada masa bakteremi ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang mempunyai peran membantu proses peradangan lokal dimana kuman ini berkembang. Imunologi humoral local, diusus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh salmonella intraseluler. Bakteri salmonella typhy (S typhi) dan salmonella paratyphi (sparatyphi) masuk kedalam tubuh melalui makanan dan minuman yang sudah tekontamisa oleh bakteri tersebut. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus selanjutnya akan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus halus kurang baik maka bakteri akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya kelamina propia. Dilamina propia bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosis terutama oleh makrofak, kemudian bakteri yang hidup dan berkembang biak di dalam makrofak di bawa ke plague peyeri ileum distal selanjutnya ke kelenjar getah bening. Kemudian melalui duktus torasiklus bakteri didalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakiibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh organ retukuloendotelial tubuh terutama organ hati dan limpa. Di organ-organ ini bakteri akan meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan bekterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, didalam hati kuman masuk kendung empedu, berkembang biak bersma cairan empedu diekresikan secara “intermitten” kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menmbus usus, proses yang sama akan terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivitasi dan hiperaktif maka saat fagosistosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberpa mediator imflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti: demam, malais, myalgia, sakit kepala, sakit perut instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi.
F. Pathway Minuman dan makanan yang terkontaminasi bakteri salmonella typhi Saluran pencernaan Typhoid fever
Usus
Peningkatan asam lambung Perasaan tidak enak pada perut, mual, muntah (anorexia) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Proses infeksi Merangsang peningkatan peristaltic usus
Limfoid plaque penyeri di ileum terminalis Perdarahan dan perforasi intestinal
Diare Kuman masuk aliran limfe mesentrial
Nausea
Menuju hati dan limfa Kuman berkembang biak
Kekurangan volume cairan
Jaringan tubuh (limfa) Kurang intake cairan
Hipertrofi (hepatosplenomegali)
Peradangan Pelepasan zat pyrogen
Penekanan pada saraf di hati
Pusat termogulasi tubuh
Nyeri ulu hati
Hipertermia
Nyeri Akut
G. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah tepi perifer a. Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang belakang, defisiensi Fe, atau perdarah usus b. Pemeriksaan leucopenia, namun jarang kurang dari 3000/uL c. Trombositopenia, terutama pada demam tipoid berat d. Limfositosis relatif 2. Pemeriksaan serologis a. Serologi widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody, aglutinin yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum pasien demam typoid pada orang yang pernah ketularan salmonella dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap demam typoid. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah laboratorium.Maksud uji widal adalah menentukan adanya agglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam typoid.Akibat infeksi oleh S.Typhi, pasien membuat anti bodi (aglutini),yaitu: a. Aglutinin O,yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman). b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman). c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal sari simapi kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Mungkin tinggi titernya, mungkin besar kemungkinan pasien menmderita demam typoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari.
Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640. Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+). - Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+). Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasien dengan gejala klinis khas. b. Kadar IgM dan IgG (typhi-dot) 3. Pemeriksaan biakan salmonella a. Biakan darah terutama pada minggu 1—2 dariperjalanan penyakit b. Biakan Sumsum tulang masih positif sampai minggu ke 4 4. Pemeriksaan radiologi: a. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna 5. Urinalis Protein: bervariasi dari negative sampai positif (akibat demam). Leukosit dan eritrosit normal : bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit 6. Mikrobiologi Sediaan apus dan kultur dari tenggorok, uretra, anus, serviks dan vagina harus dibuat dalam situasi yang tepat. Pemeriksaan sputum diperlukan untuk pasien yang demam disertai batuk-batuk. Pemeriksaan kultur darah dan kultur cairan abnormal serta urin diperlukan untuk mengetahui komplikasi yang muncul.
H. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi adalah pada usus halus, tapi jarang terjadi. Apabila komplikasi ini dialami oleh seorang anak. Dapat berakibat fatal. Gangguan pada usus halus ini dapat berupa berikut ini:
1. Perdarahan usus. Bila sedikit, hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak maka terjadi melena yang dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan 2. Perforasi usus Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dapat terjadi pada bagian distal ileum. 3. Peritonitis Biasanya disertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut. Yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defens muscular) dan nyeri tekan.
I. Penatalaksanaan 1. Tirah baring atau bed rest. 2. Cairan dan kalori a. Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare bila perlu asupa cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung b. Pada ensolopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan dengan kadar natrium rendah c. Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskuler dan jaringan d. Pertahankan fungsisirkulasi dengan baik e. Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berika O2 f. Diit 1) Makanan tidak berserat dan mudah dicerna 2) Setelah demam reda, dapat segera diberikan mkanan yang lebih padat dengan kalori cukup 3. Obat-obat : a) Antibiotik: 1) Kloramfenikol 50—100 mg/kgBB/hari, oral atau IV dibagi dalam 4 dosis selama 10—14 hari. 2) Kotrimoksasol 6 mg/kgBB/hari, oral dalam 10 hari
3) Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari , oral diberikan selama 10 hari. 4) Seftriakson 80 mg/KgBB/hari, intravena atau IM sekali sehari selama 10 hari 5) Sefiksim 10 mg/kgBB/hari oral dibagi dalam dua dosis diberikan selama 10 hari. 6) Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran 7) Dexametason 1—3 mg/KgBB/hari IV dibagi 3 dosis hingga kesaaran membaik a) Antipiretik diberika apabila demam > 39 oC, kecuali pada pasien dengan kejang demam dapat diberikan lebih awal. b) Vitamin B kompleks dan vitamin C 4. Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam.
J. Fokus Pengkajian a. Identitas klien. b. Riwayat Keperawatan. 1) Keluhan utama. Demam lebih dari 1 minggu, gangguan kesadaran : apatis sampai somnolen, dan gangguan saluran cerna seperti perut kembung atau tegang dan nyeri pada perabaan, mulut bau, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa lendir, anoreksia dan muntah. 2) Riwayat penyakit sekarang. Ingesti makanan yang tidak dimasak misalnya daging, telur, atau terkontaminasi dengan minuman. 3) Riwayat penyakit dahulu. Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.
4) Riwayat kesehatan keluarga. Tifoid kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita demam tifoid dan menularkan kepada janin melalui darah. Umumnya bersifat fatal. 5) Riwayat kesehatan lingkungan. Demam tifoid saat ini terutama ditemukan di negara sedang berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Pengaruh cuaca terutama pada musim hujan sedangkan dari kepustakaan barat dilaporkan terutama pada musim panas. 6) Imunisasi. Pada tifoid kongenital dapat lahir hidup sampai beberapa hari dengan gejala tidak khas serta menyerupai sepsis neonatorium. 7) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan. 8) Nutrisi. 9) Gizi buruk atau meteorismus c. Pemeriksaan fisik. 1) Sistem kardiovaskuler. Takikardi, hipotensi dan shock jika perdarahan, infeksi sekunder atau septikemia. 2) Sistem pernapasan. Batuk nonproduktif, sesak napas. 3) Sistem pencernaan. Umumnya konstipasi daripada diare, perut tegang, pembesaran limpa dan hati, nyeri perut pada perabaan, bising usus melemah atau hilang, muntah, lidah tifoid dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor, mulut bau, bibir kering dan pecah-pecah. 4) Sistem genitourinarius. Distensi kandung kemih, retensi urine. 5) Sistem saraf.
Demam, nyeri kepala, kesadaran menurun : delirium hingga stupor, gangguan kepribadian, katatonia, aphasia, kejang. 6) Sistem lokomotor/muskuloskeletal. Nyeri sendi 7) Sistem endokrin. Tidak ada kelainan. 8) Sistem integumen. Rose spot dimana hilang dengan tekanan, ditemukan pada dada dan perut, turgor kulit menurun, membran mukosa kering. 9) Sistem pendengaran. Tuli ringan atau otitis media. 10) Sistem penciuman. d. Pemeriksaan diagnostik dan hasil. 1) Jumlah leukosit normal/leukopenia/leukositosis. 2) Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT dan fosfat alkali meningkat. 3) Minggu pertama biakan darah S. Typhi positif, dalam minggu berikutnya menurun. 4) Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga. 5) Kenaikan titer reaksi widal 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang memastikan diagnosis. Pada reaksi widal titer aglutinin O dan H meningkat sejak minggu kedua. Titer reaksi widal diatas 1 : 200 menyokong diagnosis.
K. Diagnosa Keperawatan Diagnosa yang biasa muncul yaitu : 1. Kekurangan volume cairan b/d kekurangan intake cairan. 2. Hipertermia b/d proses penyakit. 3. Nyeri akut b/d agen cidera biologis.
L. Fokus Intervensi
Diagnosa Keperawatan
Perencanaan Keperawatan Tujuan dan criteria hasil dilakukan
Intervensi
tindakan Fluid management
Kekurangan volume
Setelah
cairan b/d kekurangan
keperawatn …x24 jam, masalah
1. Berikan minuman per oral sesuai toleransi
intake cairan
resiko tinggi kekurangan cairan
2. Atur pemberian cairan per infus sesuai order
klien dapat teratasi dengan criteria
3. Kaji tanda-tanda dehidrasi
hasil:
4. Hitung balance cairan klien
Fluid balance 1. Keseimbangan cairan terpenuhi Hydration 1. Integritas kulit baik 2. Mukosa bibir lembab 3. Akral hangat 4. Capilarry refill < 3 detik
5. Ukur semua cairan output (muntah, diare, urine, ukur semua intake cairan.) Hydration management 1. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi 2. Monitor turgor kulit klien 3. Kaji mukosa bibir 4. Kaji integritas kulit 5. Kaji capillary refill klien
Hipertermia b/d proses Setelah penyakit
dilakukan
tindakan
Fever Treatment
keperawatn …x24 jam, masalah
1. Monitor suhu sesering mungkin
hipertermia klien dapat teratasi
2. Monitor IWL, BC, warna dan suhu kulit
dengan criteria hasil:
3. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Thermoregulation
4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
Kriteria hasil: 1. Suhu
normal
5. Monitor intake dan output (36,50C-
37,50C) 2. Tidak
6. Lakukan tapid sponge 7. Kolaborasi pemberian obat dengan dokter untuk
terjadi
kejang
demam
menurunkan demam klien Temperature regulation
3. Kulit dingin dan bebas
1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
dari keringat berlebihan
2. Monitor TD, nadi, dan RR, suhu 3. Monitor warna dan suhu kulit 4. Monitor tanda-tanda hipertermia 5. Berikan antipiretik jika perlu Vital sign Monitoring 1. Monitor TD, HR, RR dan Temperatur 2. Monitor kualitas dari nadi 3. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
Nyeri
akut
cedera biologis
b/d
agen Setelah
dilakukan
tindakan
Pain Management
keperawatn …x24 jam, masalah
1. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
nyeri akut klien dapat teratasi
termasuk lokasi, karakteristik, kapan dimulain atau
dengan criteria hasil:
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas dan faktor
Pain Control
pencetus
1. Mengenali awitan nyeri
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
2. Menggunakan tindakan
3. Gunakan
pencegahan 3. Melaporan
komunikasi
terapeutik
untuk
mengetahui pengalaman nyeri klien nyeri
dapat
dikendalikan 4. Skala nyeri 0 5. Tanda – tanda vital dalam batas normal
teknik
4. Kontrol lingkungan yang dapat memperburuk nyeri misalnya suhu ruangan atau kebisingan 5. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, nonfarmakologi dan interpersonal) 6. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 7. Gunakan kontrol nyeri sebelum nyeri bertambah berat
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2017). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Hidayat, A. A. A. (2013). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak jilid.2. Jakarta: Salemba Medika.
Johnson. (2014). Nursing Outcomes Classification (NOC). USA: Mosby.
Mc. Closkey. (2016). Nursing Intervention Clasiification (NIC). USA: Mosby
Nanda. (2014). Nursing Diagnosis Definition & Classification. Philadelphia.
Nelson. (2015). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi XII. Jakarta : EGC.
Nursalam, Susilaningrum, R., & Utami, S. (2008). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
Rampengan dan Laurentz. (2010). Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC.
Suriadi, dkk. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.
Wardana, I. M. T. L., et al. (2014).
Diagnosis demam thypoid dengan
pemeriksaan widal. Bali: Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
WHO (World Health Organization). Background Doc: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever 2013. Geneva, Swizerland