Lp Tenggelam, Terpeleset, Gigitan Serangga Air.docx

  • Uploaded by: DewaWisnuBudiSuryawan
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Tenggelam, Terpeleset, Gigitan Serangga Air.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,778
  • Pages: 46
BAB I PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG Tenggelam, terpleset di pinggir kolam, atau pun gigitan serangga air merupakan kasus-kasus kecelakaan atau kegawatdaruratan yang bisa terjadi di dalam air. Prevalesi kejadian tenggelam di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada akses ke air, iklim, dan kebiasaan berenang. Badan Kesehatan Sedunia (WHO, 2014) melaporkan kematian tenggelam dan terpeleset di pinggir kolam termasuk 10 penyebab utama kematian pada anak-anak dan dewasa. Data menunjukan kejadian setiap tahunnya merenggut 372.000 jiwa. Kasus tenggelam terkadang menjadi kasus yang dilema dalam bidang kedokteran forensik. Di Indonesia mencapai 633 kejadian dengan jumlah korban tenggelam keseluruhan sekitar 5097 orang korban dan yang meninggal sekitar 278 orang atau sekitar 5,4% (Basarnas, 2015). Kejadian tenggelam di Semarang pada tahun 2015 terdapat 9 kejadian, dengan korban keseluruhan mencapai sekitar 71 orang korban dan yang meninggal sekitar 14 orang (Basarnas Semarang, 2015). Berdasarkan data Bagian Ilmu Kedokteran Forensik RSUP Sanglah pada tahun 2010-2012 didapatkan 97 data jenazah yang dicurigai meninggal dunia akibat tenggelam, dengan rincian 25 orang pada tahun 2010 serta masing-masing 20 dan 26 orang untuk 2011 dan 2012 (Rizki, 2015).

Pemerintah

sendiri

telah

mencanangkan

pelatihan-pelatihan

untuk

menyelamatkan orang tenggelam. Banyaknya kasus tersebut di Indonesia menjadi acuan pembuatan makalah ini.

1.2

RUMUSAN MASALAH 1.2.1 Bagaimana konsep dasar tenggelam ? 1.2.2 Bagaimana konsep askep gadar pada pasien tenggelam ? 1.2.3 Bagaimana konsep dasar terpeleset di pinggir kolam ? 1.2.4 Bagaimana konsep askep gadar pada pasien terpeleset di pinggi kolam ? 1.2.5 Bagaimana konsep dasar gigitan serangga air ? 1.2.6 Bagaimana konsep askep gadar pada pasien gigitan serangga air ?

1

1.3

TUJUAN 1.3.1 Untuk mengetahui konsep dasar tenggelam 1.3.2 Untuk mengetahui konsep askep gadar pada pasien tenggelam 1.3.3 Untuk mengetahui konsep dasar terpeleset di pinggir kolam 1.3.4 Untuk mengetahui konsep askep gadar pada pasien terpeleset di pinggi kolam 1.3.5 Untuk mengetahui konsep dasar gigitan serangga air 1.3.6 Untuk mengetahui konsep askep gadar pada pasien gigitan serangga air

2

BAB II PEMBAHASAN

2.1

KONSEP DASAR TENGGELAM A. Definisi Tenggelam Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan pernafasan sampai kematian. Definisi tenggelam mengacu pada ‘adanya cairan yang masuk hingga menutupi lubang hidung dan mulut’, sehingga tidak terbatas pada kasus tenggelam di kolam renang, atau perairan seperti sungai, laut, dan danau saja, tetapi juga pada kondisi terbenamnya tubuh dalam selokan atau kubangan dimana bagian wajah berada di bawah permukaan air (Putra, 2014). Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam cairan dan cairan tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai alveoli paru-paru. Pada umumnya tenggelam merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung maupun karena ada faktor-faktor lain seperti korban dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat, atau bisa saja dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan (Wilianto, 2012). Hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam tetapi tidak terjadi kematian (Onyekwelu, 2008). Tenggelam dapat menyebabkan kematian atau kecacatan. Menurut Kongres (2002), tenggelam adalah suatu kejadian berupa gangguan respirasi akibat tenggelam atau terendam oleh cairan. Menurut Dr. Boedi Swidarmoko SpP, tenggelam (drowning) adalah kematian karena asfiksia pada penderita yang tenggelam. Istilah lain, near drowning adalah untuk penderita tenggelam yang selamat dari episode akut dan merupakan berisiko besar mengalami disfungsi organ berat dengan mortalitas tinggi. Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan air laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik, sedangkan pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli sehingga menyebabkan hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum, dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia, hemokonsentrasi dan hipertonis. Jadi yang dimaksud dengan tenggelam adalah suatu istilah dari suatu keadaan yang disebabkan karena seseorang menghirup air atau cairan ke paru-paru sehingga 3

menghambat/mencegah udara yang mengandung oksigen untuk sampai dan berhubungan dengan bagian depan permukaan alveolus di paru-paru, dimana bagian ini merupakan bagian penting yang berfunsi untuk pertukaran gas di paru-paru dan proses oksigenisasi darah.

B. Etiologi Tenggelam 1. Tidak bisa berenang 2. Kelelahan dan kehabisan tenaga 3. Terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obat-obatan 4. Ketidakmampuan akibat hipotermia, syok, atau cedera 5. Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang

Selain itu, kondisi umum dan faktor resiko pada kejadian korban tenggelam antara lain : 1. Pria lebih beresiko untuk mengalami kejadian tenggelam terutama dengan usia

18-24 tahun 2. Kurang pengawasan terhadap anak terutama yang berusia 5 tahun ke bawah 3. Tidak memakai pelampung ketika menjadi penumpang angkutan air 4. Kondisi air melebihi kemampuan perenang, arus kuat dan air yang sangat dalam 5. Ditenggelamkan

dengan

paksa

oleh

orang

lain

dengan

tujuan

membunuh,kekerasan atau permainan di luar batas.

C. Manifestasi Klinis Korban Tenggelam 1. Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan dangkal sampai apneu. 2. Cianosis 3. Peningkatan edema paru 4. Kolaps sirkulasi 5. Hipoksemia 6. Asidosis 7. Timbulnya hiperkapnia 8. Lunglai 9. Postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi 10. Koma dengan cedera otak yang irreversible 4

Stone, CK., Humphries, R., 2004 menyebutkan bahwa adanya buih / busa berwarna merah muda pada mulut atau hidung mengindikasikan sudah terjadi edema pulmo pada korban tenggelam.

D. Klasifikasi Tenggelam 1. Berdasarkan Kondisi Kejadian a. Tenggelam Yaitu suatu keadaan dimana penderita akan meneguk air dalam jumlah yang banyak sehingga air masuk ke dalam saluran pernapasan, dan saluran nafas atas, tepatnya bagian epiglotis akan mengalami spasme yang mengakibatkan saluran nafas menjadi tertutup serta hanya dapat dilalui oleh udara yang sangat sedikit. b. Hampir Tenggelam Yaitu suatu keadaan dimana penderita masih bernafas dan membatukkan air keluar. 2. Berdasarkan Kondisi Paru – Paru Korban a. Typical Drawning Yaitu keadaan dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban saat korban tenggelam. b. Atypical Drawning 1) Dry Drowning

Yaitu keadaan dimana hanya sedikit bahkan tidak ada cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan. 2) Immersion Syndrom

Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin (suhu < 20°C) yang menyebabkan terpicunya reflex vagal yang menyebabkan apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan menyebabkan terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral. 3) Submersion of the Unconscious

Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit jantung khususnya coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang mengalami trauma kepala saat masuk ke air.

5

4) Delayed Dead

Yaitu keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.

E. Patofisiologi Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang individu tenggelam. Keadaan terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam menyebabkan adanya gasping dan kemudian aspirasi, dan diikuti dengan henti nafas (apnea) volunter dan laringospasme. Hipoksemia dan asidosis yang persisten dapat menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung dan kerusaka sistenm saraf pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan paru yang kering, namun karena aspiksia membuat relaksi otot polos, air dapat masuk ke dalam paru dan menyebabkan edema paru. Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan air laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik, sedangkan pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli sehingga menyebabkan hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum, dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia, hemokonsentrasi dan hipertonis. Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan vagotonia, vasokontriksi paru, dan hipertensi. Air segar dapat menembus membran alveolus dan menggangu stabilitas alveolus dengan menghambat kerja surfaktan. Selain itu, air segar dan hipoksemi dapat menyebabkan lisis eritrosit dan hiperkalemia. Sedangkan, air garam dapat menghilangkan surfaktan, dan menghasilkan cairan eksudat yang kaya protein di alveolus, intertitial paru, dan membran basal alveolar sehingga menjadi keras dan sulit mengembang. Air garam juga dapat menyebabkan penurunan volume darah dan peningkatan konsentasi elektrolit serum. Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan merupakan faktor yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup korban tenggelam. Karena itu, ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat survival korban.

6

F. Pathway Tenggelam Wet drowning

Dry drowning

Tubuh pasien basah akibat tenggelam

Jalan napas korban terbenam

Penyakit, ketakutan

Korban berusaha menahan napas Terjadi proses konduksi

Kehilangan panas tubuh

Korban berusaha bernapas, cairan masuk ke rongga orofaring/laring

Penurunan suhu tubuh

Laringospasme involunter asfiksia

Hipotermia

Saraf parasimpatis aktif

Korban tidak bisa menghirup udara Reflek Vagal Air tertelan banyak

O2 turun dan CO2 tidak bisa keluar

Obstruksi laring

Hiperkapnia, hipoksemia, asidosis

Ketidakefektifan Pola Napas

Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak

Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas 7

Tidak terjadi pertukaran udara

Di air tawar

Di air laut

Air teraspirasi dalam alveoli

Air lebih hipotonis dari pada plasma darah

Air menuju ruang alveolar

Air dalam alveoli cepat berpindah ke sirkulasi darah

Hipoksia dan abnormalitas thoraks Ekspansi volume darah, hemodilusi, hemodialisis Osmosis air ke jarinfgan paru karena konsentrasi elektrolit tinggi Overload sirkulasi, hiponatremia, ratio natrium dan kalium tidak seimbang Gangguan Pertukaran Gas Hipoksia otot jantung

Tekanan sistolik menurun

Penurunan Curah Jantung

8

G. Pemeriksaan Penunjang Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan monitoring saturasi oksigen. Radiografi dada mungkin menunjukkan perubahan akut, seperti infiltrasi alveolar bilateral. Selain itu, pemeriksaan sistem saraf pusat, EKG, dan analisis gas darah juga diperlukan (Elzouki, 2012). Berikut pemeriksaan diagnostic lainnya yaitu: 1. Laboratorium 2. BGA + oksimetri, methemoglobinemia dan carboxyhemoglobinemia CBC prothrombin time, partial thromboplastin time, fibrinogen, D-dimer, fibrin 3. Serum elektrolit, glukosa, laktat, factor koagulasi 4. Liver enzymes 5. Aspartate aminotransferase dan alanine minotransferase, 6. Renal function tests (BUN, creatinine) 7. Urinalisis

9

H. Penatalaksanaan Korban Tenggelam Akibat yang paling penting dan merugikan dari tenggelam adalah hipoksia. Oleh karena itu, oksigenasi, ventilasi dan perfusi harus dikembalikan sesegera mungkin. Untuk mencapainya akan diperlukan pertolongan RJP dengan segera dan aktivasi system layanan kegawatdaruratan. 1. Menyelamatkan Korban dari Air Hal pertama yang dilakukan apabila menemukan kejadian near drowning adalah menyelamatkan korban dari air. Untuk menyelamatkan korban tenggelam, penolong harus dapat mencapai korban secepat mungkin, sebaiknya menggunakan alat angkut (perahu, rakit, papan selancar atau alat bantu apung). Setidaknya diperlukan dua orang dewasa untuk mengangkat korban dari dalam air ke perahu penyelamatan. Untuk menghindari terjadinya post-immersion collapse, sebaiknya korban diangkat dari dalam air dengan posisi telungkup. Selain itu, penolong juga harus memperhatikan keselamatan dirinya. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa stabilisasi tulang leher tidak perlu dilakukan kecuali terdapat keadaan yang menyebabkan tenggelam menunjukkan adanya kemungkinan terjadi trauma. Keadaan ini termasuk riwayat menyelam, adanya tanda-tanda cedera atau tanda-tanda intoksikasi alkohol. Dengan tidak adanya indikator tersebut, cedera tulang belakang kemungkinan tidak terjadi. Stabilisasi tulang leher secara manual dan alat stabilisasi mungkin menghambat pembukaan jalan nafas yang adekuat, mempersulit dan mungkin memperlambat penghantaran nafas bantuan. Prinsip pertolongan di air : a. Raih (dengan atau tanpa alat) b. Lempar (alat apung) c. Dayung (atau menggunakan perahu mendekati penderita) d. Renang (upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung) 2. Bantuan Hidup Dasar Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan fokus utama pada perbaikan jalan nafas dan oksigenesasi buatan. Penilaian pernapasan dilakukan dengan tiga langkah, yaitu look (melihat adanya pergerakan dada), listen (mendengar suara nafas), dan feel (merasakan ada tidaknya hembusan nafas) 10

Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernafas dengan normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to neck stoma. Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian nafas buatan untuk mengurangi hipoksemia. Melakukan pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban saat pemberian napas mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dianjurkan hingga 10-15 kali sekitar 1 menit. Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami henti jantung akibat hipoksia. 3. Bantuan hidup lanjut Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve Mask) atau tabung oksigen. Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini keadaan korban belum membaik maka dapat dilakukan intubasi trakeal. Penanganan Spesifik : a. Penanganan Muntah saat Resusitasi Korban mungkin akan muntah saat penolong melakukan kompresi dada atau bantuan nafas. Sesuai dengan penelitian selama 10 tahun di Australia, dua per tiga dari korban yang mendapatkan nafas bantuan dan 86% dari korban yang memerlukan kompresi-ventilasi muntah. Jika hal ini terjadi, miringkan korban ke samping dan bersihkan muntahan menggunakan jari, pakaian atau penyedot (suction). Jika terdapat kecurigaan cedera spinal cord, korban sebaiknya digulingkan dimana kepala, leher dan badan digerakkan bersamaan untuk melindungi saraf tulang leher. b. Menghangatkan kembali Untuk mencegah kehilangan panas tubuh, pakaian yang basah sebaiknya dilepaskan sebelum pasien dibungkus dengan selimut tebal. Minuman hangat tidak dapat membantu dan sebaiknya dihindari. Menggigil merupakan tanda prognostik yang baik.

11

c. Transportasi dan Indikasi Rujuk ke Rumah Sakit Korban near drowning sebaiknya segera dibawa ke unit gawat darurat terdekat untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut sehingga dapat meminimalkan komplikasi atau kecacatan yang mungkin ditimbulkan. Tidak dianjurkan menunda transportasi untuk pemeriksaan sekunder kecuali korban benar-benar dapat dikategorikan “stabil”. Sebelum dirujuk, korban (terutama pada korban dengan penurunan kesadaran) harus diamankan di sebuah tandu (bila tersedia) dan diposisikan dengan nyaman. Korban dengan fraktur, cedera kepala atau tulang belakang sebaiknya diletakkan di papan dengan penyangga tulang belakang. Evaluasi terhadap kesadaran dan tandatanda vital dilakukan secara berkala selama perjalanan. Semua pasien tenggelam yang mengalami amnesia oleh karena kejadian tersebut, kehilangan atau depresi kesadaran, ditemukan adanya periode apnea, atau mereka yang memerlukan nafas buatan harus dirujuk ke unit gawat darurat terdekat, meskipun tanpa gejala di tempat kejadian. Selain itu, pertimbangan untuk merujuk korban juga tergantung pada ada tidaknya aspirasi air, karena terdapat risiko terjadinya edema paru.

Dalam

Raoof

(2008),

penatalaksanaan

pasien

dengan near

drowning umumnya terbagi menjadi tiga fase, antara lain perawatan prehospital, perawatan unit gawat darurat, penatalaksanaan rawat inap. 1. Perawatan pre hospital Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C). Pasien harus dipindahkan dari air secepatnya, namun menyelamatkan pernafasan dapat dimulai walau korban masih berada di air. Cara memindahkan pasien harus benar dengan meminimalkan gerakan pada leher pasien untuk menghindari terjadinya cedera medula spinal. Ketika pasien telah berada di permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika nadi tidak teraba. Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada korban yang mengalami hipotermia karena bradikardi dan atrial fibrilation (AF). Heimlich Maneuver tidak banyak menguntungkan bila digunakan untuk mengeluarkan air yang tertelan, teknik ini seharusnya hanya digunakan saat penyebab obstruksi jalan nafas adalah benda asing. Oksigen tambahan (100%) dapat diberikan jika 12

tersedia. Pasien yang mengalami apneu harus dilakukan intubasi sesegera mungkin. 2. Perawatan di unit gawat darurat Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus dilakukan pengkajian ulang secara hati-hati untuk mengetahui adanya tanda-tanda trauma seperti trauma spinal, trauma dada, atau trauma abdomen. Pengkajian status neurologi termasuk reflek batang otak dan GCS diperlukan untuk memastikan prognosis pasien. Pakaian yang basah harus dilepas, pasien dengan hipotermia harus dihangatkan dengan menggunakan berbagai cara. Seperti selimut hangat, bantalan pemanas, mandi

air

hangat,

teknik forced

warm

air.

Kadang-kadang peritoneal

lavage dan pleural lavage dengan larutan hangat juga digunakan. Oksimetri nadi dan EKG digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan aritmia jantung. Analisis gas darah arteri, serum elektrolit, level etanol, pemeriksaan urin biasanya dilakukan. Cervical spine imaging, radiografi dada, CT scan dilakukan jika dicurigai adanya trauma. Pasien yang sudah terlihat membaik dapat dipulangkan setelah dilakukan monitoring selama 7 sampai 12 jam. Pasien dengan distres respiratori berat dan perubahan status mental diperlukan intubasi dan ventilasi mekanik. 3. Perawatan rawat inap Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah cedera neurologi sekunder, iskemia yang menetap, hipoksemia, edema serebral, asidosis, dan abnormalitas elektrolit. Pasien dengan hipotermia diperlukan resusitasi sampai suhu mencapai 32 atau 35oC. Pasien dengan hipotensi dilakukan resusitasi cairan dan diberikan obat inotropik bila perlu. Radiografi dada biasanya menunjukkan gambaran normal sampai edema pulmonar yang menyebar. Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik spektrum luas.

Secara singkat, penanganan korban tenggelam dapat dilakukan dengan cara antara lain : 1. Pindahkan penderita secepat mungkin dari air dengan cara teraman 2. Bila ada kecurigaan cedera spinal, pertahankan posisi kepala, leher dan tulang punggung dalam satu garis lurus. Pertimbangkan untuk menggunakan papan 13

spinal dalam air, atau bila tidak memungkinkan pasanglah sebelum menaikan penderita ke darat 3. Buka jalan nafas penderita, periksa nafas. Bila tidak ada maka upayakan untuk memberikan nafas awal secepat mungkin dan berikan bantuan nafas sepanjang perjalanan 4. Upayakan wajah penderita menghadap ke atas 5. Sampai di darat atau perahu lakukan penilaian dini dan RJP bila perlu 6. Berikan oksigen bila ada sesuai protokol. 7. Jagalah kehangatan tubuh penderita, ganti pakaian basah dan selimuti 8. Lakukan pemeriksaan fisik, rawat cedera yang ada 9. Segera bawa ke fasilitas kesehatan.

I. Komplikasi Tenggelam Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian near-drowning, seorang pasien beresiko terjadinya komplikasi seperti: 1. Hipoksia atau iskemik injuri cerebral 2. ARDS (acute respiratory distress syndrome) 3. Kerusakan pulomal sekunder akibat respirasi 4. Cardiak arrest 5. Anoksia 6. Shock 7. Myoglubinuria 8. Insufisiensi ginjal 9. Infeksi Sistemik dan intravaskuler koagulasi juga dapat terjadi selama 72 jam pertama setelah resusitasi.

2.2

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TENGGELAM A. Pengkajian Keperawatan 1. Pengkajian Primer a. A : Airway (Jalan Nafas) Kaji adanya sumbatan jalan nafas total ataupun sebagian dan gangguan servikal, distress pernafasan, atau ada tidaknya secret.

14

b. B : Breathing (Pola Nafas) Kaji ada tidaknya pernafasan, adekuatnya pernafasan, frekuensi nafas, pergerakan dinding dada, dan suara pernafasan. c. C : Circulation Kaji ada tidaknya denyut nadi, CRT, kemungkinan syok, adanya perdarahan eksternal, kekuatan dan kecepatan nadi, warna dan kelembaban kulit, tanda – tanda perdarahan eksternal, serta tanda – tanda jejas atau trauma. d. D : Disability Kaji kondisi neuromuscular pasien, tingkat kesadaran (GCS), keadaan ekstremitas, kemampuan motorik dan sensorik. e. E : Exposure Kaji suhu tubuh pasien serta ada tidaknya jejas ataupun trauma 2. Pengkajian Sekunder a. Identitas klien Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. b. Keluhan utama c. Riwayat kejadian d. Pemeriksaan fisik Lakukan pemeriksaan fisik head to toe dengan menggunakan teknik IAPP

B. Diagnosa Keperawatan 1. Risiko ketidakefektifak perfusi jaringan otak 2. Gangguan pertukaran gas 3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas 4. Ketidakefektifan pola nafas 5. Penurunan curah jantung 6. Hipotermia

15

C. Intervensi Keperawatan No 1

Diagnosa Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)

Risiko

Setelah

ketidakefektifan

selama ... x ... jam diharapkan tidak terjadi

perfusi

peningkatan

otak

jaringan

dilakukan

tekanan

tindakan

Intervensi (NIC)

keperawatan Manajemen Edema Serebral

intracranial

dengan

Kriteria Hasil :

□ Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, keluhan pusing, pingsan □ Monitor status neurolgi dengan ketat dan bandingkan dengan

Perfusi Jaringan : Serebral □ Tekanan darah sistolik dan diastolic normal □ MAP dalam batas normal

nilai normal □ Monitor tanda-tanda vital □ Monitor TIK dan CPP

□ Sakit kepala menurun atau hilang

□ Monitor status pernapasan : frekwensi, irama, kedalaman

□ Tidak gelisah

pernapasan

□ Tidak mengalami muntah

□ Berikan anti kejang sesuai kebutuhan

□ Tidak mengalami penurunan kesadaran

□ Hindari fleksi leher, atau fleksi ekstrem pada lutut/panggul

□ Tidak demam

□ Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau lebih □ Hindari cairan IV hipotonik □ Monitor nilai-nilai laboratorium : osmolalitas serum dan urin, natrium, kalium □ Lakukan latihan ROM pasif

16

2

Gangguan

Setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

pertukaran gas

selama …. X .... jam, diharapkan hasil AGD

□ Pertahankan kepatenan jalan nafas

pasien dalam batas normal dengan kriteria

□ Posisikan

Acid Base Management

pasien

untuk

mendapatkan

ventilasi

yang

hasil :

adekuat(mis., buka jalan nafas dan tinggikan kepala dari

Respiratory status: Gas Exchange

tempat tidur)

□ PaO2 dalam batas normal (80-100 mmHg)

□ Monitor hemodinamika status (CVP & MAP)

□ PaCO2 dalam batas normal (35-45 mmHg)

□ Monitor kadar pH, PaO2, PaCO2, dan HCO3 darah melalui

□ pH darah normal (7.35 – 7.45)

hasil AGD

□ SaO2 normal (95-100%)

□ Catat adanya asidosis/alkalosis yang terjadi akibat kompensasi

□ Tidak ada sianosis

metabolisme, respirasi atau keduanya atau tidak adanya

□ Tidak ada penurunan kesadaran

kompensasi □ Monitor tanda-tanda gagal napas □ Monitor status neurologis □ Monitor status pernapasan dan status oksigenasi klien □ Atur intake cairan □ Auskultasi bunyi napas dan adanya suara napas tambahan (ronchi, wheezing, krekels, dll) □ Kolaborasi pemberian nebulizer, jika diperlukan □ Kolaborasi pemberian oksigen, jika diperlukan.

3

Ketidakefektifan

Setelah

bersihan

selama .... x .... jam, diharapkan jalan nafas

jalan

dilakukan

tindakan

keperawatan Airway Management

17

□ Buka jalan nafas menggunakan head tilt chin lift atau jaw

nafas

bersih dengan kriteria hasil :

thrust bila perlu

Respiratory status : Airway Patency

□ Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

□ Respirasi dalam batas normal

□ Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas

□ Irama pernafasan teratur

buatan (NPA, OPA, ETT, Ventilator)

□ Kedalaman pernafasan normal

□ Lakukan fisioterpi dada jika perlu

□ Tidak ada akumulasi sputum

□ Bersihkan secret dengan suction bila diperlukan

□ Batuk berkurang / hilang

□ Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan □ Kolaborasi pemberian oksigen □ Kolaborasi pemberian obat bronkodilator □ Monitor RR dan status oksigenasi (frekuensi, irama, kedalaman dan usaha dalam bernapas) □ Anjurkan pasien untuk batuk efektif □ Berikan nebulizer jika diperlukan

4

Ketidakefektifan

Setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

pola nafas

selama …. X ….. jam, diharapkan pola nafas

□ Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea

pasien teratur dengan kriteria hasil :

□ Pertahankan jalan nafas yang paten

Respiratory status : Ventilation

□ Siapkan peralatan oksigenasi

□ Respirasi dalam batas normal (dewasa: 16 –

□ Monitor aliran oksigen

Oxygen Therapy

□ Monitor respirasi dan status O2

20 x/menit) □ Irama pernafasan teratur

□ Pertahankan posisi pasien

□ Kedalaman pernafasan normal

□ Monitor volume aliran oksigen dan jenis canul yang

18

□ Suara perkusi dada normal (sonor)

digunakan.

□ Retraksi otot dada tidak ada

□ Monitor keefektifan terapi oksigen yang telah diberikan

□ Tidak terdapat orthopnea

□ Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi

□ Taktil fremitus normal antara dada kiri dan

□ Monitor tingkat kecemasan pasien yang kemungkinan

dada kanan

diberikan terapi O2

□ Ekspansi dada simetris □ Tidak terdapat akumulasi sputum □ Tidak terdapat penggunaan otot bantu napas 5

Penurunan curah

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama

Cardiac Care

jantung

…..x….

□ Evaluasi adanya nyeri dada (Intesitas, lokasi, rambatan, durasi,

jam,

diharapkan

tidak

terjadi

penurunan curah jantung dengan kriteria hasil:

serta faktor yang menimbulkan dan meringankan gejala)

Cardiac Pump Effectiveness

□ Monitor EKG untuk perubahan ST, jika diperlukan

□ Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam

□ Lakukan penilaian komprehenif untuk sirkulasi perifer (Cek

batas normal

nadi perifer, edema,CRT, serta warna dan temperatur

□ Heart rate dalam batas normal

ekstremitas) secara rutin

□ Peningkatan fraksi ejeksi

□ Monitor tanda-tanda vital secara teratur

□ Peningkatan nadi perifer

□ Monitor status kardiovaskuler

□ Tekanan vena sentral (Central venous

□ Catat tanda dan gejala dari penurunan curah jantung □ Monitor status repirasi sebagai gejala dari gagal jantung

pressure) dalam batas normal □ Gejala angina berkurang

□ Monitor abdomen sebagai indikasi penurunan perfusi.

□ Edema perifer berkurang

□ Monitor nilai laboratorium terkait (elektrolit)

19

□ Gejala nausea berkurang

□ Sediakan terapi antiaritmia berdasarkan pada kebijaksanaan

□ Tidak mengeluh dispnea saat istirahat

unit (Contoh medikasi antiaritmia, cardioverion, defibrilator),

□ Tidak terjadi sianosis

jika diperlukan □ Monitor dispnea, keletihan, takipnea, ortopnea.

Cardiac Care : Acute □ Monitor kecepatan pompa dan ritme jantung □ Auskultasi bunyi jantung □ Auskultasi paru – paru untuk crackles atau suara nafas tambahan lainnya □ Monitor faktor-faktor yang mempengaruhi aliran oksigen (PaO2, nilai Hb, dan curah jantung), jika diperlukan. 6

Hipotermia

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama

Control temperature

.... x ....jam, diharapkan suhu tubuh pasien □ Monitor suhu dan tanda – tanda vital lainnya paling tidak kembali normal dengan kriteria hasil :

setiap 2 jam, sesuai kebutuhan

Termoregulation

□ Monitor warna kulit

□ Tidak menggigil

□ Sesuaikan suhu lingkungan untuk kebutuhan pasien

□ Melaporkan kenyamanan suhu

□ Berikan medikasi yang tepat untuk mencegah atau mengontrol

□ Tidak terjadi penurunan suhu kulit

menggigil

□ Suhu tubuh normal (36.5oC – 37.5oC)

□ Selimuti pasien untuk mencegah kehilangan suhu tubuh

□ Capilary repil time (CRT) < 3 detik

20

2.3

KONSEP DASAR TERPLESET DI PINGGIR KOLAM A. Definisi Terpeleset merupakan kejadian yang terjadi saat tubuh tidak seimbang akibat lantai basah atau licin yang dapat mengakibatkan mengalami trauma yang cukup serius. Setelah berenang biasanya pengunjung / wisatawan bersantai di pinggiran kolam renang, tetapi apabila tidak hati-hati bisa terjadi terpeleset di pinggiran kolam renang. Akibat dari kejadian itu bisa mengakibatkan cedera fisik seperti memar, luka-luka, kram, hingga cedera kepala. Hal ini butuh tenaga ahli profesional untuk menanganinya. Jadi, di kolam renang setidaknya ada tenaga medis untuk antisipasi.

B. Etiologi Terpeleset diakibatkan oleh terlalu sedikitnya faktor gesekan antara alas kaki dengan lantai kerja sehingga menyebabkan terjadinya kehilangan keseimbangan. Penyebab terpeleset di pinggir kolam antara lain: 1. Produk basah yang terdapat di lantai pinggir kolam. Contohnya adalah lumpur, sabun, minyak, dan air 2. Produk kering yang menyebabkan lantai pinggir kolam licin. Contohnya adalah akrilik, kaca, kayu, serbuk, granula dan plastic 3. Bahan lantai yang terlalu licin 4. Cairan yang sudah membeku 5. Alas kaki yang tidak memiliki permukaan luas untuk bergesekan dengan lantai. Contohnya sandal jepit, sepatu berhak, slipper dan lain lain

C. Manifestasi Klinis 1. Nyeri konstan dan tumpul serta bertambah berat yang menjalar ke arah lateral dan bergerak (fleksi) atau bila ada kompresi dada. 2. Kelemahan : khusunya pada otot yang letaknya proksimal dari tungkai dalam pola upper motor neuron (neuron motorik atas), walaupun distribusi pasti hilangnya kekuatan otot tergantung pada lokasi kompresi. Reflek tendon profunda meningkat dan respons plantar adalah ekstensor . 3. Sensori menurun / parestesia : asenden sampai atau tepat dibawah dermatom setinggi persarafan yang mengalami kompresi 4. Ataksia : hilangnya propiosepsi ( kolumna posterior ) 21

5. Parestesi distal ekstremitas dan arefleksia 6. Motorik : Kerusakan UMN yang mengenai kedua kaki (parestesia spastik) atau jika parah terkena keempat anggota gerak (tetraparesis spastik). Lesi pada medula spinalis servikalis juga dapat menyebabkan paraparesis spastik yang bersamaan dengan campuran gambaran LMN dan UMN pada anggora gerak atas, karena kerusakan simultan pada medula spinalis dan radiks saraf pada leher. 7. Sensorik : Sensasi kutaneus di bawah lesi terganggu 8. Otonom 9. Gangguan kandung kemih : Urgensi dan frekuensi berkemih, retensi urin, inkontinensia dan kontipasi: gejala dari disfungsi otonom.

22

D. Pathway Pasien tergelincir  jatuh

Jatuh dengan posisi kepala menyentuh tanah/lantai lebih dahulu

Benturan hebat

Cedera kepala, servikal, fraktur basis cranii

Perdarahan di otak

Jatuh dengan posisi duduk

Jatuh dengan posisi terlentang atau tengkurap

Cedera tulang belakang

Fraktur rahang, hidung, dada, atau abdomen Risiko Perdarahan

Cedera medula spinalis Kegawatan breathing,internal bleeding Kelumpuhan

Risiko Ketidakefektifan Perfusi jaringan otak

Peningkatan TIK

Respons nyeri hebat dan akut

Ketidakefektifan Pola Nafas Gangguan Pertukaran Gas

Nyeri Akut

E. Pemeriksaan Penunjang 1. Sinar X spinal : untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang belakang (fraktur atau dislokasi) ketika terpleset. 2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas pada otak 3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal 4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru dan organ – organ pada thorak 5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi 23

F. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan medis pasien terpeleset di pinggir kolam tergantung pada jenis traumanya 1. Tiga fokus utama penanganan awal pasien terpleset dan kemungkinan mengalami cedera medula spinalis yaitu : 1. Mempertahankan usaha bernafas, 2. Mencegah syok dan 3. Imobilisasi leher (neck collar dan long spine board). Selain itu, fokus selanjutnya adalah mempertahankan tekanan darah dan pernapasan, stabilisasi leher, mencegah komplikasi (retensi urin atau alvi, komplikasi kardiovaskuler atau respiratorik, dan trombosis vena-vena profunda). Terapi Utama : a. Farmakologi : Metilprednisolon 30 mg / kg bolus selama 15 menit, lalu 45 menit setelah pemberian bolus pertama, lanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg/jam selama 23 jam. b. Imobilisasi : 1) Pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV untuk mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien 2) Traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gardner – Wellsbrace pada tengkorak 3) Tirah baring total dan pakaian brace halo untuk pasien dengan fraktur servikal ringan. c. Bedah : Untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia diskus atau fraktur vertebrata yang mungkin menekan medula spinalis; juga diperlukan untuk menstabilisasi vertebrata untuk mencegah nyeri kronis. 2. Kortikosteroid dosis tinggi bisa mengurangi gejala 3. Pembedahan memiliki morbiditas dan mortalitas yang signifikan, namun berperan pada kasus dengan instabilitas spinalis, adanya perkembangan defisit neurologis selama radioterapi, kompresi pada area yang pernah diradiasi (medula spinalis pernah menerima dosis radiasi maksimal yang bisa ditolerir) 4. Fisioterapi sangat penting dalam memaksimalkan pulihnya fungsi neurologis 5. Tindakan – tindakan untuk mengurangi pembengkakan pada medulla spinalis dengan menggunakan glukokortikoid steroid intravena.

24

G. Komplikasi Dari segala posisi saat terjatuh, pada saat jatuh terlentanglah yang paling berbahaya, karena posisi terjatuh ini berhubungan dengan otak. Beberapa hal yang dapat terjadi ketika jatuh terlentang adalah : 1. Gagar Otak Pada saat terjatuh dengan bagian kepala belakangnya membentur lantai, bisa saja mengalami gegar otak dan mengakibatkan gangguan syaraf bahkan dapat mengalami amnesia. 2. Patah Tulang Terjatuh juga dapat mengakibatkan patah tulang dan jika terjadi pada tulang belakang sangat berbahaya. 3. Pendarahan Bagian Dalam Tubuh Terjatuh juga dapat membuat organ-organ dalam tubuh mengalami pendarahan. Bukan hanya pendarahan akibat luka di kulit atau tubuh bagian luar, pendarahan atau luka di dalam tubuh juga dapat terjadi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, jika terjatuh dan menemukan hal-hal yang tidak semestinya atau perilaku orang yang jatuh tidak seperti biasanya, ada baiknya segera membawa ke rumah sakit untuk memeriksakannya lebih lanjut. 4. Syaraf Terjepit Kejadian syarat terjepit dapat terjadi apabila terjatuh dengan posisi punggung membentur lantai. Selain dapat mengakibatkan keseleo pada tulang, retak, mengganggu struktur tulangnya, dapat juga mengakibatkan kelumpuhan pada saraf. 5. Kematian Hal terburuk dan paling fatal yang tidak diharapkan semua orang adalah resiko kematian. Karena itu, diharapkan jika sedang melakukan aktivitas di sekitar kolam renang agar lebih berhati-hati dalam setiap hal yang dilakukan

25

2.4

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERPELESET DI PINGGIR KOLAM A. Pengkajian Keperawatan 1. Pengkajian Primer a. Airway Pastikan kepatenan jalan napas dan kebersihannya segera. Partikel-partikel benda asing seperti darah, muntahan, permen karet, gigi palsu, atau tulang. Obstruksi juga dapat disebabkan oleh lidah atau edema karena trauma jaringan. Jika pasien tidak sadar, selalu dicurigai adanya fraktur spinal servikal dan jangan melakukan hiperekstensi leher sampai spinal dipastikan tidak ada kerusakan. Gunakan chin lift dan jaws thrust secara manual untuk membuka jalan napas. b. Breathing Kaji irama, kedalaman dan keteraturan pernapasan dan observasi untuk ekspansi bilateral dada. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya krekels, wheezing atau tidak adanya bunyi napas. Jika pernapasan tidak adekuat atau tidak ada dukungan pernapasan pasien dengan suatu alat oksigenasi yang sesuai. c. Circulation Tentukan status sirkulasi dengan mengkaji nadi, dan catat irama dan ritmenya dan mengkaji warna kulit. Jika nadi karotis tidak teraba, lakukan kompresi dada tertutup. Kaji tekanan darah. Jika pasien hipotensi, segera pasang jalur intravena dengan jarum besar (16-18). Mulai penggantian volume per protokol. Cairan kristaloid seimbang (0,9 % salin normal atau ringer’s lactate) biasanya di gunakan. Kaji adanya bukti perdarahan dan kontrol perdarahan dengan penekanan langsung. d. Disability Pengkajian yang cepat pada status neurologis pasien diperlukan pada saat pasien tiba di ruang UGD. Pemeriksaan meliputi tingkat kesadaran pasien dan status neurologisnya. Pemeriksaan dilakukan dengan mengkaji GCS (Glasgow Coma Scale) pasien, ukuran dan reaksi pupil, dan tanda lateralizing. Jika GCS kurang, bisa menjadi tanda bahwa pasien akan mengalami penurunan reflex jalan nafas sehingga pasien tidak mampu mempertahankan jalan nafas yang paten. Dalam keadaan ini, penggunaan 26

airway definitive diperlukan. Skor GCS maksimum (15) mengindikasikan level kedasaran yang optimal, sedangkan skor minimal (3) mengindikasikan pasien mengalami koma (Planas, 2017). e. Exposure Kaji suhu tubuh pasien serta ada tidaknya jejas ataupun trauma 2. Pengkajian Sekunder a. Identitas klien Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. b. Keluhan utama c. Riwayat kejadian d. Pemeriksaan fisik Lakukan pemeriksaan fisik head to toe dengan menggunakan teknik IAPP

B. Diagnosa Keperawatan 1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak 2. Gangguan pertukaran gas 3. Ketidakefektifan pola napas 4. Risiko Perdarahan 5. Nyeri akut

27

C. Intervensi Keperawatan No 1

Diagnosa Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)

Risiko

Setelah

dilakukan

ketidakefektifan

keperawatan selama ... x ... jam

perfusi jaringan otak

diharapkan tidak terjadi peningkatan

Intervensi (NIC)

tindakan Manajemen Edema Serebral

tekanan intracranial dengan Kriteria

□ Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, keluhan pusing, pingsan □ Monitor status neurolgi dengan ketat dan bandingkan dengan nilai

Hasil :

normal

Perfusi Jaringan : Serebral □ Tekanan

darah

sistolik

□ Monitor tanda-tanda vital dan

diastolic normal □ MAP dalam batas normal □ Sakit kepala menurun atau hilang □ Tidak gelisah □ Tidak mengalami muntah □ Tidak

mengalami

kesadaran □ Tidak demam

penurunan

□ Monitor TIK dan CPP □ Monitor

status

pernapasan

:

frekwensi,

irama,

kedalaman

pernapasan □ Berikan anti kejang sesuai kebutuhan □ Hindari fleksi leher, atau fleksi ekstrem pada lutut/panggul □ Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau lebih □ Hindari cairan IV hipotonik □ Monitor nilai-nilai laboratorium : osmolalitas serum dan urin, natrium, kalium □ Lakukan latihan ROM pasif

28

2

Gangguan

Setelah

dilakukan

tindakan

pertukaran gas

keperawatan selama …. X .... jam,

□ Pertahankan kepatenan jalan nafas

diharapkan hasil AGD pasien dalam

□ Posisikan pasien untuk mendapatkan ventilasi yang adekuat(mis.,

Acid Base Management

batas normal dengan kriteria hasil :

buka jalan nafas dan tinggikan kepala dari tempat tidur)

Respiratory status: Gas Exchange

□ Monitor hemodinamika status (CVP & MAP)

□ PaO2 dalam batas normal (80-100

□ Monitor kadar pH, PaO2, PaCO2, dan HCO3 darah melalui hasil

mmHg)

AGD

□ PaCO2 dalam batas normal (35-45

□ Catat adanya asidosis/alkalosis yang terjadi akibat kompensasi

mmHg)

metabolisme, respirasi atau keduanya atau tidak adanya kompensasi

□ pH darah normal (7.35 – 7.45)

□ Monitor tanda-tanda gagal napas

□ SaO2 normal (95-100%)

□ Monitor status neurologis

□ Tidak ada sianosis

□ Monitor status pernapasan dan status oksigenasi klien

□ Tidak ada penurunan kesadaran

□ Atur intake cairan □ Auskultasi bunyi napas dan adanya suara napas tambahan (ronchi, wheezing, krekels, dll) □ Kolaborasi pemberian nebulizer, jika diperlukan □ Kolaborasi pemberian oksigen, jika diperlukan.

3

Ketidakefektifan

Setelah

dilakukan

tindakan

pola nafas

keperawatan selama …. X ….. jam,

□ Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea

diharapkan pola nafas pasien teratur

□ Pertahankan jalan nafas yang paten

dengan kriteria hasil :

□ Siapkan peralatan oksigenasi

Oxygen Therapy

29

□ Monitor aliran oksigen

Respiratory status : Ventilation □ Respirasi

dalam

batas

normal

(dewasa: 16 – 20 x/menit)

□ Monitor respirasi dan status O2 □ Pertahankan posisi pasien

□ Irama pernafasan teratur

□ Monitor volume aliran oksigen dan jenis canul yang digunakan.

□ Kedalaman pernafasan normal

□ Monitor keefektifan terapi oksigen yang telah diberikan

□ Suara perkusi dada normal (sonor)

□ Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi

□ Retraksi otot dada

□ Monitor tingkat kecemasan pasien yang kemungkinan diberikan

□ Tidak terdapat orthopnea

terapi O2

□ Taktil fremitus normal antara dada kiri dan dada kanan □ Ekspansi dada simetris □ Tidak terdapat akumulasi sputum □ Tidak terdapat penggunaan otot bantu napas 4

Risiko Perdarahan

Setelah

dilakukan

tindakan

Bleeding Precautions

keperawatan selama …. X …. Jam,

□ Monitor dengan ketat resiko terjadinya perdarahan pada pasien

diharapkan tidak terjadi perdarahan

□ Catat nilai hemoglobin dan hematokrit sebelum dan setelah pasien

dengan kriteria hasil : Blood Loss Severity

kehilangan darah sesuai indikasi □ Monitor tanda dan gejala perdarahan menetap (contoh : cek semua

□ Tidak terjadi kehilangan darah

sekresi darah yang terlihat jelas maupun yang tersembunyi/ for frank

yang terlihat

or accult blood)

30

□ Tidak terjadi distensi abdomen

□ Monitor komponen koagulasi darah (termasuk Protrombin time

□ Tidak terjadi penurunan tekanan

(PT), Partial Thromboplastin Time (PTT), fibrinogen, degradasi

darah sistol (< 90 mmHg) □ Tidak terjadi penurunan tekanan darah diastolic (< 70 mmHg)

fibrin/ split products, dan trombosit hitung dengan cara yang tepat □ Monitor tanda-tanda vital ortostatik, termasuk tekanan darah □ Pertahankan agar pasien tetap tirah baring jika terjadi perdarahan

□ Tidak terjadi peningkatan denyut nadi apical (> 100 x/menit)

aktif □ Berikan produk-produk penggantian darah (misalnya, trombosit dan

□ Suhu tubuh dalam batas normal

Plasma Beku Segar (FFP)) denga cara yang tepat

(36.5˚C – 37.5˚C) □ Tidak

terjadi

penurunan

hemoglobin (Hgb) □ Tidak terjadi penurunan hematokrit (Hct)

Bleeding Reduction □ Identifikasi penyebab perdarahan □ Monitor pasien akan perdarahan secara ketat □ Beri penekanan langsung atau penekanan pada balutan, jika sesuai □ Beri kompres es pada daerah yang terkena dengan tepat □ Monitor jumlah dan sifat kehilangan darah □ Monitor ukuran dan karakter hematoma, jika ada □ Perhatikan kadar hemoglobin/ hematokrit sebelum dan sesudah kehilangan darah □ Monitor kecenderungan dalam tekanan darah serta parameter hemodinamik, jika tersedia (misalnya, tekanan vena sentral dan kapiler paru/ artery wedge pressure)

31

□ Monitor status cairan, termasuk asupan (intake) dan haluaran (output) □ Monitor penentu dari jaringan pelepasan oksigen (misalnya, PaO2, SaO2, dan kadar hemoglobin dan cardiac output), jika tersedia □ Monitor tanda dan gejala perdarahan peristen (yaitu : periksa semua sekresi darah yang tampak ataupun yang tersembunyi / okultisme) □ Atur ketersediaan produk-produk darah untuk transfuse, jika perlu □ Pertahankan kepatenan akses IV □ Beri produk-produk darah (misalnya, trombosit dan plasma beku segar), dengan tepat 5

Nyeri Akut

Setelah

dilakukan

tindakan

Pain Management

keperawatan selama .... x ….. jam,

□ Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,

diharapkan nyeri berkurang dengan

karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau

kriteria hasil :

beratnya nyeri dan factor pencetus □ Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon

Pain Level □ Melaporkan gejala nyeri berkurang

pasien terhadap ketidaknyamanan (mis., suhu ruangan,pencahayaan

□ Melaporkan lama nyeri berkurang

dan suara bising)

□ Tidak

tampak

ekspresi

wajah □ Kurangi atau eliminasi faktor-faktor yang dapat mencetus atau

kesakitan

meningkatkan nyeri (mis., ketakutan, kelelahan, keadaan monoton,

□ Tidak gelisah □ Tanda – tanda vital normal

dan kurang pengetahuan) □ Pilih

32

dan

implementasikan

tindakan

yang

beragam

(mis.,

farmakologi, nonfarmakologi, interpersonal) untuk memfasilitasi penurunan nyeri sesuai kebutuhan □ Ajarkan penggunaan teknik non farmaklogi (relaksasi) □ Berikan individu penurun nyeri yang optimal dengan peresepan analgesic □ Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri Analgesic Administration □ Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat □ Cek riwayat alergi terhadap obat □ Pilih analgesik yang tepat atau kombinasi dari analgesik lebih dari satu jika diperlukan □ Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

33

2.5

KONSEP DASAR GIGITAN SERANGGA A. Definisi Gigitan Serangga Air Serangan binatang laut berbahaya merupakan salah satu resiko yang dihadapi oleh para wisatawan dan orang yang berada/bekerja di air laut. Disamping itu resiko karena sifat alamiah laut seperti arus, pasang surut, ombak, suhu air laut, kondisi di dasar laut dan jenis pekerjaan/kegiatan yang dilaukan di laut juga menimbulkan resiko trauma di air laut. Binatang laut berbahaya dapat dibagi jadi dua kelompok yaitu binatang laut yang menggigit dan binatang laut yang menyengat. Binatang laut yang menggigit misalnya hiu, barakuda, paus pembunuh, belut laut dan sebagainya. Bila binatang tersebut menyerang manusia akan menyebabkan luka dengan perdarahan yang masif, sehingga sering menyebabkan kematian akibat kehilangan darah. Tindakan bedah/operatif, atau ligasi (pasang torniquet diproximal luka) untuk menghentikan perdarahan perlu segera dilakukan guna mencegah kematian. Trauma karena serangan binatang laut yang menyengat biasanya tidak berat / hebat, namun binatang ini mengeluarkan toksin saat dia menyengat yang menyebabkan terjadinya reaksi antigen-antibody, bila reaksinya hebat bisa menyebabkan kematian Binatang laut yang dikatagorikan menggigit dan menyengat salah satunya adalah serangga air. Serangga air merupakan kelompok serangga yang sebagian hidupnya berada di badan air. Serangga air sebagai makanan ikan dan sebagian dapat menyalurkan patogen pada manusia dan hewan. Serangga air merupakan indikator yang baik bagi kualitas air. Beberapa dari serangga air sensitif terhadap polusi sedangkan yang lain dapat hidup dan berkembang biak air yang terganggu dan sangat terkena polusi (Popoola dan Otalekor, 2011). Serangga

air sangat

penting dalam sistem ekologi karena berbagai alasan. Serangga air adalah utama bioindikator dalam badan air seperti sungai. Biomonitoring berkaitan dengan penggunaan serangga atau tanggapan terhadap rangsangan di habitat air untuk menentukan kualitas lingkungan sehat atau tercemar. Mempelajari siklus

hidup serangga air dan hubunganya

dengan

organisme lain dan lingkungan dapat memberikan wawasan tentang berbagai bidang ekologi, termasuk dinamika populasi, persaingan dan interaksi predator mangsa (Merritt et al., 2008). Pada ekosistem perairan, serangga air berperan dalam siklus nutrien dan merupakan komponen penting dari jaring makanan di perairan (Jana et al., 2009). 34

B. Manifestasi Klinis Gigitan Serangga Air Tanda dan gejala dari gigitan serangga tergantung dari jenis gigitan dan ketahanan tubuh seseorang terhadap reaksi alergi. Beberapa tanda dan gejala yang biasa muncul setelah mengalami gigitan oleh serangga yaitu: 1. Kulit bengkak 2. Ruam pada kulit yang tergigit 3. Kemerahan 4. Nyeri pada luka 5. Reaksi alergi 6. Demam 7. Sesak nafas 8. Mual

Contoh

masalah

serius

yang

diakibatkan oleh gigitan serangga air

adalah reaksi alergi berat (anaphylaxis). Reaksi ini tergolong biasa, namun dapat mengancam kahidupan dan membutuhkan pertolongan darurat. Tanda gejala yang muncul adalah: 1. Shock. Dimana ini bisa terjadi bila sistem peredaran darah tidak mendapatkan masukan darah yang cukup untuk organ – organ vital 2. Batuk,

desahan,

sesak

nafas,

merasa

sakit

di

dalam

mulut

atau

kerongkongan/tenggorokan. 3. Bengkak di bibir, lidah, telinga, kelopak mata, telapak tangan, tapak kaki, dan selaput lendir (angioedema)

C. Patofisiologi Gigitan Serangga Air Gigitan atau sengatan serangga akan menyebabkan kerusakan kecil pada kulit lewat gigitan atau sengatan. Antigen yang akan masuk langsung direspon oleh sistem imun tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat yang kompleks. Reaksi terhadap antigen tersebut biasanya akan melepaskan histamin, serotonin, asam formic atau kinin. Lesi yang timbul disebabkan oleh respon imun tubuh terhadap antigen yang dihasilkan melalui gigitan atau sengatan serangga. Reaksi yang timbul melibatkan mekanisme imun. Reaksi yang timbul dapat dibagi dalam 2 kelompok :

35

1. Reaksi immediate (Reaksi segera) a. Ditandai dengan reaksi lokal atau reaksi sistemik b. Timbul lesi karena adanya toksin yang dihasilkan oleh gigitan atau sengatan serangga. c. Nekrosis jaringan yang lebih luas dapat disebabkan karena trauma endotel yang dimediasi oleh pelepasan neutrofil. Spingomyelinase D adalah toksin yang berperan dalam timbulnya reaksi neutrofilik. Enzim Hyaluronidase yang juga ada pada racun serangga akan merusak lapisan dermis sehingga dapat mempercepat penyebaran dari racun tersebut. 2. Reaksi delayed (Reaksi lambat) Kebanyakan penderita merespon sesaat setelah merasa digigit serangga, namun ada pula gejala yang timbul dengan delayed reaction, misalnya beberapa hari setelah gigitan berlangsung. Keluhan kadang-kadang diikuti dengan reaksi sistemik gatal seluruh tubuh, urtikaria, dan angioedema, serta dapat berkembang menjadi suatu ansietas, disorientasi, kelemahan, GI upset (cramping, diarrhea, vomiting), dizziness, sinkop bahkan hipotensi dan sesak napas. Gejala dari delayed reaction mirip seperti serum sickness, yang meliputi demam, malaise, sakit kepala, urtikaria, limfadenopati dan poliartritis

36

D. Pathway Gigitan Serangga Air Gigitan serangga air

Racun masuk ke dalam tubuh

Toksik menyebar melalui darah

Toksik ke jaringan sekitar gigitan

Inflamasi Gangguan sistem neurologis

Gangguan pada hipotalamus

Gangguan sistem cardiovaskuler

Reaksi endotoksik

Sistem imun

Nyeri

Risiko Infeksi

Nyeri Akut

Miokard

Kontrol suhu dan nyeri terganggu

Gangguan sistem pernafasan Curah jantung Kelumpuhan otot – otot pernafasan Penurunan Curah Jantung Hipertermia

Sesak nafas Sekresi mediator nyeri : histamin, bradinin, prostaglandin kejaringan

Nyeri Akut Ketidakefektifan Pola Nafas

37

E. Pemeriksaan Penunjang Gigitan Serangga Air Dari gambaran histopatologis pada fase akut didapatkan adanya edema antara sel-sel epidermis, spongiosis, parakeratosis serta sebukan sel polimorfonuklear. Infiltrat dapat berupa eosinofil, neutrofil, limfosit dan histiosit. Pada dermis ditemukan pelebaran ujung pembuluh darah dan sebukan sel radang akut. Pemeriksaan pembantu lainnya yakni dengan pemeriksaan laboratorium dimana terjadi peningkatan jumlah eosinofil dalam pemeriksaan darah. Dapat juga dilakukan tes tusuk dengan alergen tersangka.

F. Penatalaksanaan Medis Gigitan Serangga Air Terapi biasanya digunakan untuk menghindari gatal dan mengontrol terjadinya infeksi sekunder pada kulit. Gatal biasanya merupakan keluhan utama. Campuran topikal sederhana seperti menthol, fenol, atau camphor bentuk lotion atau gel dapat membantu untuk mengurangi gatal, dan juga dapat diberikan antihistamin oral seperti diphenyhidramin 25-50 mg untuk mengurangi rasa gatal. Steroid topikal dapat digunakan untuk mengatasi reaksi hipersensitifitas dari sengatan atau gigitan. Infeksi sekunder dapat diatasi dengan pemberian antibiotik topikal maupun oral, dan dapat juga dikompres dengan larutan kalium permanganat. Jika terjadi reaksi berat dengan gejala sistemik, lakukan pemasangan tourniket proksimal dari tempat gigitan dan dapat diberikan pengenceran Epinefrin 1 : 1000 dengan dosis 0.3-0.5 mg/kgBB diberikan secara subkutan dan jika diperlukan dapat diulang sekali atau dua kali dalam interval waktu 20 menit. Epinefrin dapat juga diberikan intramuskuler jika syok lebih berat. Dan jika pasien mengalami hipotensi, injeksi intravena 1 : 10.000 dapat dipertimbangkan. Untuk gatal dapat diberikan injeksi antihistamin seperti klorfeniramin 10 mg atau difenhidramin 50 mg. Pasien dengan reaksi berat danjurkan untuk beristirahat dan dapat diberikan kortikosteroid

2.6

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERGIGIT SERANGGA AIR A. Pengkajian Keperawatan 1. Pengkajian Primer a. A : Airway (Jalan Nafas) Kaji adanya sumbatan jalan nafas total ataupun sebagian dan gangguan servikal, distress pernafasan, atau ada tidaknya secret. 38

b. B : Breathing (Pola Nafas) Kaji ada tidaknya pernafasan, adekuatnya pernafasan, frekuensi nafas, pergerakan dinding dada, dan suara pernafasan. c. C : Circulation Kaji ada tidaknya denyut nadi, CRT, kemungkinan syok, adanya perdarahan eksternal, kekuatan dan kecepatan nadi, warna dan kelembaban kulit, tanda – tanda perdarahan eksternal, serta tanda – tanda jejas atau trauma. d. D : Disability Kaji kondisi neuromuscular pasien, tingkat kesadaran (GCS), keadaan ekstremitas, kemampuan motorik dan sensorik. e. E : Exposure Kaji ada tidaknya pembengkakan pada daerah gigitan, kemerahan sampai dengan perubahan warna kulit, nyeri, gatal-gatal pada area yang terkena gigitan dan adanya peningkatan suhu tubuh 2. Pengkajian Sekunder a. Identitas klien Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. b. Keluhan utama c. Riwayat kejadian d. Pemeriksaan fisik Lakukan pemeriksaan fisik head to toe dengan menggunakan teknik IAPP

B. Diagnosa Keperawatan 1. Penurunan curah jantung 2. Ketidakefektifan pola nafas 3. Nyeri akut 4. Hipertermia 5. Risiko Infeksi

39

C. Intervensi Keperawatan

No 1

Diagnosa Keperawatan Penurunan jantung

curah

Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)

Intervensi (NIC)

Setelah diberikan asuhan keperawatan

Cardiac Care

selama …..x…. jam, diharapkan tidak

□ Evaluasi adanya nyeri dada (Intesitas, lokasi, rambatan, durasi, serta

terjadi

penurunan

curah

jantung

faktor yang menimbulkan dan meringankan gejala)

dengan kriteria hasil:

□ Monitor EKG untuk perubahan ST, jika diperlukan

Cardiac Pump Effectiveness

□ Lakukan penilaian komprehenif untuk sirkulasi perifer (Cek nadi

□ Tekanan

darah

sistolik

dan

perifer, edema,CRT, serta warna dan temperatur ekstremitas) secara

diastolik dalam batas normal

rutin

□ Heart rate dalam batas normal

□ Monitor tanda-tanda vital secara teratur

□ Peningkatan fraksi ejeksi

□ Monitor status kardiovaskuler

□ Peningkatan nadi perifer

□ Catat tanda dan gejala dari penurunan curah jantung

□ Tekanan venous

vena

sentral

pressure)

(Central

dalam

batas

□ Monitor status repirasi sebagai gejala dari gagal jantung □ Monitor abdomen sebagai indikasi penurunan perfusi. □ Monitor nilai laboratorium terkait (elektrolit)

normal □ Gejala angina berkurang

□ Sediakan terapi antiaritmia berdasarkan pada kebijaksanaan unit

□ Edema perifer berkurang

(Contoh medikasi antiaritmia, cardioverion, defibrilator), jika

□ Gejala nausea berkurang

diperlukan

□ Tidak

mengeluh

dispnea

saat

□ Monitor dispnea, keletihan, takipnea, ortopnea.

40

istirahat □ Tidak terjadi sianosis

Cardiac Care : Acute □ Monitor kecepatan pompa dan ritme jantung □ Auskultasi bunyi jantung □ Auskultasi paru – paru untuk crackles atau suara nafas tambahan lainnya □ Monitor faktor-faktor yang mempengaruhi aliran oksigen (PaO2, nilai Hb, dan curah jantung), jika diperlukan.

2

Ketidakefektifan

Setelah

pola nafas

keperawatan selama …. X ….. jam,

□ Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea

diharapkan pola nafas pasien teratur

□ Pertahankan jalan nafas yang paten

dengan kriteria hasil :

□ Siapkan peralatan oksigenasi

Respiratory status : Ventilation

□ Monitor aliran oksigen

□ Respirasi

dilakukan

dalam

tindakan

batas

normal

(dewasa: 16 – 20 x/menit)

Oxygen Therapy

□ Monitor respirasi dan status O2 □ Pertahankan posisi pasien

□ Irama pernafasan teratur

□ Monitor volume aliran oksigen dan jenis canul yang digunakan.

□ Kedalaman pernafasan normal

□ Monitor keefektifan terapi oksigen yang telah diberikan

□ Suara perkusi dada normal (sonor)

□ Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi

□ Retraksi otot dada

□ Monitor tingkat kecemasan pasien yang kemungkinan diberikan

□ Tidak terdapat orthopnea

terapi O2

□ Taktil fremitus normal antara dada

41

kiri dan dada kanan □ Ekspansi dada simetris □ Tidak terdapat akumulasi sputum □ Tidak terdapat penggunaan otot bantu napas 3

Nyeri Akut

Setelah

dilakukan

tindakan

Pain Management

keperawatan selama .... x ….. jam,

□ Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,

diharapkan nyeri berkurang dengan

karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau

kriteria hasil :

beratnya nyeri dan factor pencetus □ Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon

Pain Level □ Melaporkan gejala nyeri berkurang

pasien terhadap ketidaknyamanan (mis., suhu ruangan,pencahayaan

□ Melaporkan lama nyeri berkurang

dan suara bising)

□ Tidak

tampak

ekspresi

wajah □ Kurangi atau eliminasi faktor-faktor yang dapat mencetus atau

kesakitan

meningkatkan nyeri (mis., ketakutan, kelelahan, keadaan monoton,

□ Tidak gelisah

dan kurang pengetahuan)

□ Tanda – tanda vital dalam batas □ Pilih normal

dan

implementasikan

tindakan

yang

beragam

(mis.,

farmakologi, nonfarmakologi, interpersonal) untuk memfasilitasi penurunan nyeri sesuai kebutuhan □ Ajarkan penggunaan teknik non farmaklogi (relaksasi) □ Berikan individu penurun nyeri yang optimal dengan peresepan analgesic

42

□ Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri Analgesic Administration □ Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat □ Cek riwayat alergi terhadap obat □ Pilih analgesik yang tepat atau kombinasi dari analgesik lebih dari satu jika diperlukan □ Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali 4

Hipertermia

Setelah

dilakukan

tindakan Fever Treatment

keperawatan selama .... x .. jam,

□ Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya

diharapkan tidak terjadi hipertermia

□ Monitor warna kulit dan suhu

dengan kriteria hasil:

□ Monitor asupan dan keluaran, sadari perubahan kehilangan cairan yang tak dirasakan

Thermoregulation □ Suhu tubuh dalam rentang normal

□ Beri obat atau cairan IV (misalnya, antipiretik, agen antibakteri, dan

(36.5oC – 37.5oC) □ Denyut nadi dalam rentang normal

agen anti menggigil ) □ Tutup pasien dengan selimut atau pakaian ringan, tergantung pada

(80 – 150 x/menit)

fase demam (yaitu : memberikan selimut hangat untuk fase dingin ;

□ Respirasi dalam batas normal (24 –

menyediakan pakaian atau linen tempat tidur ringan untuk demam

40 x/menit)

dan fase bergejolak /flush) 43

□ Warna kulit normal

□ Dorong konsumsi cairan

□ Jumlah sel darah putih normal

□ Pantau komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan demam

dalam rentang normal (3.600 –

serta tanda dan gejala kondisi penyebab demam (misalnya, kejang,

11.000 / cmm)

penurunan tingkat kesadaran, ketidakseimbangan asam basa, dan perubahan abnormalitas sel) □ Monitor hasil laboratorium yang sesuai (leukosit, hemoglobin)

5

Risiko Infeksi

Setelah

dilakukan

tindakan Kontrol Infeksi

keperawatan selama … x … jam, Perlindungan infeksi diharapkan tidak terjadi infeksi dengan □ Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan, seperti: demam, kriteria hasil:

kemerahan, adanya pus pada luka urine warna keruh atau berkabut. □ Pertahankan

Status Imunitas

aseptic

pada

prosedur

□ Klien bebas dari tanda dan gejala □ Instruksikan infeksi

pasien

untuk

menjaga

hygiene

melindungi tubuh terhadap infeksi

□ Luka tidak ada pus atau tidak bau leukosit

dalam

normal (4000 – 9000)

□ Lakukan perawatan luka yang tepat

batas □ Tingkatkan intake nutrisi □ Tingkatkan istirahat pasien

□ Suhu tubuh dalam batas normal □ Monitor hitung granulosit, WBC (36.5oC – 37.5oC)

invasif

(seperti

pemasangan infus, kateter, dll)

Keparahan Infeksi

□ Jumlah

teknik

□ Lakukan kultur luka □ Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai

44

pribadi

untuk

BAB III PENUTUP

3.1

SIMPULAN Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan pernafasan sampai kematian. Penyebab dari tenggelam bermacam – macam, antara lain tidak bisa berenang, kelelahan dan kehabisan tenaga, terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obatobatan, ketidakmampuan akibat hipotermia, syok, atau cedera, serta ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang. Penatalaksanaan korban tenggelam prinsip pertolongan di air yaitu raih, lempar, dayung, dan renang. Adapun penanganan selanjutnya adalah memberikan bantuan hidup dasar (BHD) yang berprinsip pada ABC (Airway, Breathing, dan Circulation) serta memberikan bantuan hidup lanjutan. Terpeleset merupakan kejadian yang terjadi saat tubuh tidak seimbang akibat lantai basah atau licin yang dapat menyebabkan trauma yang cukup serius. Pada orang yang terpeleset di pinggir kolam, jenis pemeriksaan penunjangnya tergantung dengan jenis trauma atau lokasi traumanya. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan sinar X spinal, CT scan, foto rongent thorax, maupun AGD. Binatang laut yang dikatagorikan menggigit dan menyengat salah satunya adalah serangga air. Beberapa tanda dan gejala yang biasa muncul setelah mengalami gigitan oleh serangga air yaitu kulit bengkak, ruam pada kulit yang tergigit, kemerahan, nyeri pada luka, reaksi alergi, demam, sesak nafas, dan mual. Pemeriksaan penunjang pada kasus gigitan serangga air adalah pemeriksaan laboratorium, dimana biasanya terjadi peningkatan jumlah eosinofil dalam pemeriksaan darah.

3.2

SARAN Kasus – kasus seperti tenggelam, terpeleset di pinggir kolam, serta gigitan serangga air termasuk kasus kegawatdaruratan, sehingga perlu dilakukan penanganan segera. Perawat maupun mahasiswa perawat diharapkan dapat memahami konsep asuhan keperawatannya, sehingga dapat mengaplikasikannya di lapangan apabila menemukan kasus yang serupa.

45

DAFTAR PUSTAKA Bulechek, Gloria M. Butcher, Howard K. Dochterman, Joanne. Wagner, Cherly. 2013. Nursing Intervensions Classification (NIC). USA: ELSEVIER.

Carie. 2012. Sengatan Hewan Laut. Terdapat:http://www.healthline.com/health/marineanimal-stings-or-bites (diakses tanggal 24 September 2018.)

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta: EGC

Kasihsa,

Dian.

2013.

Askep

Gadar

Gigitan

Binatang.

(online).

Available

https://www.pdfcoke.com/doc/172297625/Askep-Gadar-Gigitan-Binatang

:

(diakses

tanggal 24 September 2018 pukul 08.00 WITA

Lombardo, M.C. 2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Price, S. A, dan

Wilson, L. M.

Patofisiologis: Konsep Klinis Proses- proses Penyakit. Jakarta :EGC

Moorhead, Sue. Johnson, Mario. Maas, Meridean. Swanson, Elizabeth. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). USA: ELSEVIER

NANDA International. 2015. Diagnosa Keperawatan Defisinisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC

Thygerson,A.,Gulli,B.,&Krohmer,J.R. 2011. First AID; Pertolongan pertama (5th ed.). Jakarta: Erlangga.

Via, Alfa. 2015. Makalah Kegawatdaruratan Gigitan Serangga. (Online). Available : https://dokumen.tips/documents/makalah-kgd-serangan-gigitan-binatang.html Diakses pada tanggal 24 September 2018 pukul 08.00 WITA

46

Related Documents


More Documents from "rury"