I. KONSEP DASAR A. Anatomi dan fisiologi 1. Pengertian Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibodi, dan fungsi pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama berhubungan imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi dan penolakan jaringan. Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yg terjadi pada autoimunitas dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.
Sumber: Medicastore.com, 2018 2. Fungsi Sistem Imun a. Sumsum Tulang Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam sumsum tulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel darah putih, (termasuk limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem kekebalan tubuh juga terdapat di tempat lain.
1
b. Thymus Glandula thymus memproduksi dan mematurasi atau mematangkan T limfosit yang kemudian bergerak ke jaringan limfatik yang lain,dimana T limfosit dapat berespon terhadap benda asing. Thymus mensekresi 2 hormon thymopoetin dan thymosin yang menstimulasi perkembangan
dan aktivitas T
limfosit. 1) Limfosit T sitotoksik limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel. Sel T sitotoksik memonitor sel di dalam tubuh dan menjadi aktif
bila menjumpai sel dengan
antigen permukaan yang
abnormal. Bila telah aktif sel T sitotoksik menghancurkan sel abnormal. 2) Limfosit T helper Limfosit yang dapat meningkatkan respon sistem imun normal. Ketika distimulasi oleh antigen presenting sel sepeti makrofag, T helper melepas faktor yang yang menstimulasi proliferasi sel B limfosit. 3) Limfosit B Tipe sel darah putih ,atau leukosit
penting untuk
imunitas yang diperantarai antibodi/humoral. Ketika stimulasi
oleh antigen spesifik limfosit B akan
menjadi sel memori dan sel plasma
yang
di
berubah
memproduksi
antibodi. 4) Sel plasma Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma sel berbeda dari limfosit lain ,memiliki retikulum endoplamik kasar dalam jumlah yang banyak ,aktif memproduksi antibodi c. Getah Bening Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang perjalanan limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae, selangkangan, dan para- aorta daerah.
2
d. Nodus limfatikus Nodus limfatikus (limfonodi) terletak sepanjang sistem limfatik. Nodus limfatikus mengandung limfosit dalam jumlah banyak dan makrofag yang berperan melawan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfe bergerak melalui sinus,sel fagosit menghilangkan benda asing. Pusat germinal merupakan produksi limfosit. e. Tonsil Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga mulut dan nasofaring. Tiga kelompok tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual dan tonsil pharyngeal. f. Limpa Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam darah ,merusak eritrosit tua dan sebagai penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari 2 tipe jaringan: pulpa merah dan pulpa putih a. Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit b. Pulpa putih terdiri limfosit dan makrofag Benda asing di dalam darah yang melalui pulpa putih dapat menstimulasi limfosit .
3. Mekanisme Pertahanan a. Mekanisme Pertahanan Non Spesifik Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Terdiri dari kulit dan kelenjarnya, lapisan mukosa dan enzimnya, serta kelenjar lain beserta enzimnya, contoh kelenjar air mata. Kulit dan silia merupakan system pertahan tubuh terluar, demikian pula sel fagosit (sel
makrofag,
monosit,
polimorfonuklear)
merupakan komponen mekanisme pertahahan.
3
dan
komplemen
b. Mekanisme Pertahanan Spesifik Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme,
maka
imunitas
spesifik
akan
terangsang.
Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yg diperankan oleh limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari cara diperolehnya, mekanisme pertahanan spesifik disebut juga sebagai respons imun didapat. c. Imunitas humoral adalah imunitas yg diperankan oleh limfosit B dengan atau tanpa bantuan dari imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yg disekresi oleh plasma. Terdapat 5 kelas imunoglobulin yg kita kenal, yaitu IgG, IgM, IgA, IgD, dan IgE. Pembagian Antibody (Imunoglobulin) 1) Antibodi (antibody, gamma globulin)adalah glikoprotein dengan struktur tertentu yang disekresi dari pencerap limfosit-B yang telah teraktivasi menjadi sel plasma, sebagai respon dari antigen tertentu dan reaktif terhadap antigen tersebut. Pembagian Immunglobulin. 2) Antibodi A (Immunoglobulin A, IgA) adalah antibodi yang memainkan peran penting dalam imunitas mukosis. 3) Antibodi D (Immunoglobulin D, IgD) adalah sebuah monomer dengan fragmen yang dapat mengikat 2 epitop. 4) Antibodi E (antibody E, immunoglobulin E, IgE) adalah jenis antibodi yang hanya dapat ditemukan pada mamalia. 5) Antibodi
G
(Immunoglobulin
G,
IgG)
adalah
antibodi
monomeris yang terbentuk dari dua rantai berat dan rantai ringan, yang saling mengikat dengan ikatan disulfida, dan mempunyai dua fragmen antigen-binding. 6) Antibodi M (Immunoglobulin M, IgM, macroglobulin)adalah antibodi dasar yang berada pada plasma B.
4
7) Imunitas seluler didefinisikan sbg suatu respon imun terhadap suatu antigen yg diperankan oleh limfosit T dg atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya.
B. Definisi Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reaksi alergi. Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan peningkatan permeabilitas vaskular. Syok anafilaksis merupakan jenis syok distributif adalah hasil dari reaksi hipersensitivitas segera, ini adalah peristiwa hidup yang mengancam yang memerlukan intervensi secepatnya. Respon antibodi antigen yang parah menyebabkan penurunan perfusi jaringan dan inisiasi respon syok umum. Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I" yang ditandai dengan curah jantung dan tekananarteri yang menurun hebat.
C. Etiologi Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan reaksi anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan antirabies. Alergi terhadap
gigitan
serangga,
kuman-kuman,
insulin,
ACTH,
zat
radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain), vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang, dll juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik. 1. Alergen Ada yang menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan.
5
Alergen Penyebab Anafilaksis Makanan
Krustasea:Lobster, udang dan kepiting Moluska : kerang Ikan Kacang-kacangan dan biji-bijian Buah beri Putih telur Susu Dan lain-lain
Obat
Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin Enzim
: Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah Toxoid : ATS, ADS, SABUA Ekstrak alergen untuk uji kulit Dextran Antibiotika: Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Amphote ricin B, Nitrofurantoin. Agen diagnostik-kontras Vitamin B1, Asam folat Agent anestesi: Lidocain, Procain, Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine, Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT Bisa
Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
serangga Lain-lain
Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid
D. Tanda dan Gejala 1. Ringan : a.
Rasa kesemutan serta hangat pada bagian perifer, dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta tenggorok.
6
b.
Kongesti nasal
c.
Pembengkakan periorbital
d.
Pruritus
e.
Bersin – bersin dan mata yang berair
f.
Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak
2. Sedang a. Rasa hangat b. Cemas c. Gatal – gatal d. Bronkospasme e. Oedem saluran nafas atau laring dengan dispnea f. Batuk serta mengi g. Awitan gejala sama seperti reaksi yang ringan 3. Berat Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda –tanda serta gejala yang sama seperti diuraikan diatas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi bronkospasme, oedem laring, dispnea berat, serta sianosis. Disfagia (kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare dan serangan kejang – kejang dapat terjadi. Kadang – kadang timbul henti jantung dan koma.
E. Komplikasi Komplikasinya meliputi : 1. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas. 2. Bronkospasme persisten 3. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian). 4. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler). 5. Kerusakan otak permanen akibat syok. 6. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan. Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian.
7
F. Kalsifikasi Berdasarkan reaksi tubuh : 1. Lokal : reaksi anafilaktik lokal biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal. 2. Sistemik : reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam sistem organ berikut ini : a.
Kardiovaskuler
b.
Respiratorius
c.
Gastrointestinal
d.
Integumen
G. Patofisiologi Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator gadar meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot polos bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovaskular. Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tusukan / suntikan. Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan merangsang membrane
8
sel makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi. Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE – Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan
mediator-mediator
endogen
seperti
histamine,
kinin,
serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas. Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya memberikan antihistamin. Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase lambat anafilaksis. Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang
9
sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan histamine secara langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium, antibiotika : vankomisin, polimiksin B. Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa: 1. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative. 2. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare. 3. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring. 4. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium. 5. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak. 6.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF.
10
WOC Syok Anafilaktik Makanan, Obat-obatan, dan gigitan serangga
Kontak dengan alergen Timbul reaksi hipersensitivitas Antigen terikat pada antibody (IgE) di permukaan sel mast
Terjadi degranulasi pengeluaran histamine, serotonin, bradikinin
Pelebaran PD (vasodilatasi)
Maldistribusi volume sirkulasi
11
Aliran Darah Balik (Venous Return) ↓
Tekenan darah ↓
Syok anafilatik
B1 (breathing)
Peningkatan pengeluran histamin Kontraksi otot polos bronkiolus
B2 (Blood)
Peningkatan pengeluran histamin Vasodilatasi
B3 (Brain) Peningkatan pengeluran histamin Suplai darah ke organ vital (otak) menurun iskemia
12
Prongnosis penyakit jangka panjang
Ansietas
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
Peningkatan pengeluran histamin
Peningkatan pengeluran histamin
Kontrasi otot polos
Kontraksi otot polos
B6 (Bone) Peningkata pengeluran histamine & bradikinin
Dispnue, bronkospasme, stridor. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Arus balik vena &volume darah menurun
Maldistribusi vol darah
Permabilitas kapiler
Asidosis res. Penurunan kesadaran
Pergeseran cairan intravaskuler
Suplai darah ke organ vital (lambung) menurun
Reaksi hipersensitivitas Eritema, urtikaria, angioedema
Asam lambung
Resiko cidera oedema
Penurunan curah jantung
Hipovolemi intravaskuler
tekanan darah menurun
Miksi menurun
Tekanan perfusi menurun
Gangguan eliminasi urine
Hipotensi, bradikardi, keringat dingin dan pucat
Gangguan perfusi jaringan perifer
13
Mualmuntah,diare
Dehidrasi Resiko Kekurangan volume cairan
Gangguan integritas kulit
H. Diagnosa Medik Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya : 1. Skin tes Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan adanya reexposure dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial. 2. Pemeriksaan Laboratorium a. Hematologi
:
Hitung
sel
meningkat,
Hemokonsentrasi,
trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun. Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan jumlah . b. Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat. 3. Radiologi a. X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug. b. EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia 4. Kadar komplemen dan antibody Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan IgE menurun setelah reaksi anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati kadar IgE nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam kehidupan. 5. Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti IgE terpapar oleh antigen imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat spesifitas sel yang disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi langsung ( non imunologik ) pada pelepasan histamin.
14
6. Radio allergo sorbent test ( RAST ) Antigen
spesifik
antibodi
IgE
dapat
diukur
dengan
menggunakan RAST. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig . ikatan radioaktif ini mencerminkan antigenspesifik antibodi.
I. Penatalaksanaan Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 1520 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung. Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan : 1. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
15
2. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai. Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis. 3. Sistem pernapasan a. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yamg dapat dilakukan dengan segera adalah
melakukan punksi membran
krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit. b. Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan maupun pada kardiovaskular. c. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah seperti pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
16
4. Sistem Kardiovaskular a.
Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh darah
atau
yang terkumpul
di
jaringan
splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular. b.
Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
c.
Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
d.
Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4 mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml. Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada
keadaann
Association,
anafilaksis
menganjurkan
yang
berat,
pemberian
American
Heart
epinefrin
secara
endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat
17
yang cepat. Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan : 1) Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulasi reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian amiofilin dan kortikosteroid secara intravena. 2) Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dangan AH2 bekerja secara kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai ranitidin. 3) Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami
gangguan
napas
maupun
gangguan
kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W. Sudoyo, IPD, Hal.190-192)
18
II. Konsep asuhan keperawatan A. Pengkajian 1. Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan reaksi anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin,
sefalosporin,
neomisin,
tetrasiklin,
kloramfenikol,
sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan antirabies. Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain), vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang, dll juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik. 2. Riwayat Keperawatan a.
Riwayat kesehatan : Keluhan utama klien terlihat sesak.
b.
Riwayat kesehatan masa lalu : klien sebelumnya pernah mengalami riwayat alergi baik obat, makanan, atau debu.
c.
Riwayat keluarga : Adanya penyakit tertentu dalam keluarga, yaitu ibu atau bapak klien mempunyai riwayat alergi yang sama.
3. Pemeriksaan fisik a. Kepala Inspeksi : Bentuk semestris / tidak, warna rambut hitam / tidak, distribusi rambut merata / tidak. Palpasi : rambut rontok / tidak, kulit kepala kotor / tidak, ada benjolan / tidak , tekstur rambut kasar / halus. b. Mata Inspeksi : bentuk mata simetris / tidak, reflek kedip baik / tidak Palpasi
: konjungtiva merah muda / tidak, adanya nyeri tekan
/tidak c. Hidung Inspeksi : hidung simetris / tidak,adanya inflamasi / tidak, adanya sekret / tidak.
19
Palpasi
: adanya nyeri tekan / tidak pada daerah sinus, adanya
massa / tidak. d. Mulut Inspeksi : bentuk mulut simetris / tidak, andanya kelainan kongenental / tidak seperti bibir sumbing, mukosa bibir kering / tidak, gigi ada yang berlubang / tidak, adanya caries gigi atau tidak. Palatum berada di tengah / tidak. e. Leher Inspeksi : bentuk leher simetris / tidak, leher bersih / tidak, adanya lesi / tidak. Palpasi : adanya benjolan / tidak, adanya pembesaran kelenjar tiroid / tidak, adanya bendungan vena jugularis / tidak. f. Dada 1) Paru – paru Inspeksi : bentuk dada simetris / tidak,adanya interaksi interkosta / tidak, amati klavikula dan scapula simetris / tidak. Palpasi : merasakan paru kanan / kiri sama / tidak. Auskultasi : apakah suara paru vesikuler/ wheezhing / creckles Perkusi : suara paru sonor / tidak. 2) Jantung Inspeksi : bentuk dada simetris atau tidak Palpasi : adanya nyeri tekan / tidak Auskultasi : bunyi S1LUB, adanya suara tambahan / tidak. Bunyi S2 DUB adanya suara tambahan / tidak Perkusi : bunyi jantung normal / tidak adanya sura tambahan. g. Abdomen Inspeksi : bentuk perut simetris / tidak, adanya massa / tidak, adanya benjolan / tidak. Palpasi
: adanya nyeri tekan / tidak
Auskultasi :mendengarkan peristaltic usus 5 – 35 kali/ menit atau tidak
20
h. Ektremitas Inspeksi : Kaki kiri dan kanan simetris / tidak Palpasi : adanya lesi atau tidak i. akral Palpasi : Dingin, hangat / tidak.
B. Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas: spasme jalan nafas, sekresi tertahan, banyaknya mukus, adanya jalan nafas buatan, sekresi bronkus, adanya eksudat di alveolus, adanya benda asing di jalan nafas. 2. Gangguan perfusi jaringan perifer, berhubungan dengan penurunan curah jantung dan vasodilatasi arteri. 3. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan kapasitas vaskuler.
C. Intervensi Diagnosa Keperawatan
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
NIC
Airway suction
Definisi :
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dan saluran pernafasan untuk mempertahankan kebersihan jalan nafas.
Tidak ada batuk Suara napas tambahan
Respiratory status : Ventilation Respiratory status : Airway patency
Kriteria Hasil :
Batasan Karakteristik :
Intervensi Keperawatan
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu
21
Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan. Berikan O2 dengan
Perubahan frekwensi napas Perubahan irama napas Sianosis Kesulitan berbicara atau mengeluarkan suara Penurunan bunyi napas Dipsneu Sputum dalam jumlah yang berlebihan Batuk yang tidak efektif Orthopneu Gelisah Mata terbuka lebar
Faktor Yang Berhubungan :
mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas.
Lingkungan Perokok pasif Mengisap asap Merokok Obstruksi jalan nafas Spasme jalan nafas Mokus dalam jumlah berlebihan Eksudat dalam jalan alveoli Maten asing dalan jalan napas Adanya jalan napas buatan Sekresi bertahan/sisa sekresi Sekresi dalam bronki Fisiologis : Jalan napas alergik Asma Penyakit paru obstruktif kronik Hiperplasi dinding
menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan dan nasotrakeal Monitor status oksigen pasien Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll
Airway Management
22
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan Pasang mayo bila perlu Lakukan fisioterapi dada jika perlu Keluarkan sekret dengan batuk atau suction Auskultasi suara
bronkial Infeksi Disfungsi neuromuskular
nafas, catat adanya suara tambahan Lakukan suction pada mayo Berikan bronkodilator bila perlu Berikan pelembab udara Kassa basah NaCI Lembab Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. Monitor respirasi dan status O2
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Ketidakefektifan NOC perfusi jaringan perifer Circulation status Definisi : Penurunan Tissue Perfusion : sirkulasi darah ke perifer cerebral yang dapat mengganggu kesehatan Kriteria Hasil :
NIC
Batasan Karakteristik : Mendemonstrasikan status sirkulasi yang Tidak ada nadi ditandai dengan : Perubahan fungsi motorik Tekanan systole Perubahan dan diastole dalam karakteristik kulit rentang yang (warna, elastisitas, diharapkan rambut, kelembapan, Tidak ada kuku, sensasi, suhu) ortostatik Indek ankle-brakhial hipertensi <0 span=""> Tidak ada tanda Perubahan tekanan tanda peningkatan darah diekstremitas tekanan Waktu pengisian intrakranial (tidak kapiler > 3 detik lebih dari 15
23
Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tum pul Monitor adanya paretese lnstruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi Gunakan sarung tangan untuk proteksi Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
Klaudikasi Warna tidak kembali ketungkai saat tungkai diturunkan Kelambatan penyembuhan luka perifer Penurunan nadi Edema Nyeri ekstremitas Bruit femoral Pemendekan jarak total yang ditempuh dalam uji berjalan 6 menit Pemendekan jarak bebas nyeri yang ditempuh dalam uji berjalan 6 menit Perestesia Warna kulit pucat saat elevasi
Faktor Yang Berhubungan :
Kurang pengetahuan tentang faktor pemberat (mis, merokok, gaya hidup monoton, trauma, obesitas, asupan garam, imobilitas) Kurang pengetahuan tentang proses penyakit (mis, diabetes, hiperlipidemia) Diabetes melitus Hipertensi Gaya hidup monoton Merokok
mmHg)
Mendemonstrasikan, kemampuan kognitif yang ditandai dengan : Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi Memproses informasi Membuat keputusan dengan benar Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran membaik tidak ada gerakan gerakan involunter
24
Monitor kemampuan BAB Kolaborasi pemberian analgetik Monitor adanya tromboplebitis Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
Diagnosa Keperawatan
Resiko kekurangan volume cairan Definisi : Berisiko mengalami dehidrasi vaskular, selular, atau intraselular. Faktor Risiko :
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi Keperawatan
NOC
NIC
Fluid management
Fluid balance Hydration Nutritional Status: Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
Kehilangan volume cairan aktif Kurang pengetahuan Penyimpangan yang mempengaruhi absorbs cairan Penyimpangan yang mempengaruhi akses cairan Penyimpangan yang mempengaruhi asupan cairan Kehilangan bertebihan melalui rute normal (mis, diare) Usia lanjut Berat badan ekstrem Faktor yang mempengaruhi kebutuhan cairan (mis, status hipermetabolik) Kegagalan fungsi regulator Kehilangan cairan melalul rute abnormal (mis, slang menetap) Agens farmasutikal (mis., diuretik)
Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal Tidak ada tandatanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Timbang popok/pembalut jika diperlukan Pertahankan catatan intake dan output yang akurat Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan Monitor vital sign Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian Kolaborasikan pemberian cairan IV Monitor status nutrisi Berikan cairan IV pada suhu ruangan Dorong masukan oral Berikan penggantian nesogatrik sesuai output Dorong keluarga untuk membantu pasien makan Tawarkan snack (jus buah, buah segar) Kolaborasi dengan dokter Atur kemungkinan tranfusi Persiapan untuk tranfusi
Hypovolemia
25
Management
26
Monitor status cairan termasuk intake dan ourput cairan Pelihara IV line Monitor tingkat Hb dan hematokrit Monitor tanda vital Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan Monitor berat badan Dorong pasien untuk menambah intake oral Pemberian cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan Monitor adanya tanda gagal ginjal
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2006. Keperawatan medical bedah. EGC
Nurarif.A.M dan Kusuma. H. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis & Nanda NIC-NOC. Jogjakarta : Mediaction
Price.S.A dan Wilson. L.M. 2006. Patofisiologi. EGC
Prof. Dr. H. Tabrani Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat (critical Care) Jilid 3. Penerbit P.T. Alumni : Bandung.
Sudoyo. W Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I Edisi iv. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran. Jakarta.
Wijaya.A.S dan Putri.Y.M. 2013. KMB 2 Keperawatan Medical Bedah (Keperawatan Dewasa). Bengkuli : Numed
27