Lp Stemi (kgd) (2).docx

  • Uploaded by: UL
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Stemi (kgd) (2).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,982
  • Pages: 38
LAPORAN PENDAHULUAN

Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)

Disusun Oleh: Wani Djabir

18400048

Wendi nurohman

18400049

Yohana Entan Perwati

18400051

PROGRAM STUDI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GUNA BANGSA YOGYAKARTA 2018

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2012 penyakit kardiovaskuler lebih banyak menyebabkan kematian daripada penyakit lainnya. Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman dan Braunwald, 2010). Infark miokard adalah kematian sel miokard akibat iskemia yang berkepanjangan. Menurut WHO, infark miokard diklasifikasikan berdasarkan dari gejala, kelainan gambaran EKG, dan enzim jantung. Infark miokard dapat dibedakan menjadi infark miokard dengan elevasi gelombang ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi gelombang ST (NSTEMI) (Thygesen et al., 2012). ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut (SKA) yang paling berat (Kumar dan Canon, 2009). Pada pasien STEMI, terjadi penurunan aliran darah koroner secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler. Injuri vaskuler dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Alwi, 2014). Karakteristik gejala iskemia miokard yang berhubungan dengan elevasi gelombang ST persisten yang dilihat berdasarkan EKG dapat menentukan terjadinya STEMI. Saat ini, kejadian STEMI sekitar 25-40% dari infark miokard, yang dirawat di rumah sakit sekitar 5-6% dan mortalitas 1 tahunnya sekitar 7-18% (O’Gara et al., 2013). Sekitar 865.000 penduduk Amerika menderita infark Menurut American Heart Association (AHA) tahun 2015 mengatakan angka kematian penyakit kardiovaskular di Amerika Serikat sebesar 31,3%. Di Indonesia, berdasarkan laporan Direktorat Jendral Pelayanan Medik (DitjenYanmed) tahun 2013, penyakit sistem sirkulasi termasuk didalamnya penyakit kardiovaskular dan stroke menjadi penyebab kematian utama. Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5% (Ditjen Yanmed, 2013; Veronique, 2007; Riskesdas, 2013; Mozaffarian et al., 2015). Pada tahun 2013, ± 478.000 pasien di Indonesia didiagnosa penyakit jantung koroner. Saat ini, prevalensi STEMI meningkat dari 25% hingga 40% berdasarkan presentasi infark miokard (Depkes RI, 2013). Penelitian oleh Torry et al tahun 2011-2012 di RSU Bethesda Tomohon, angka kejadian STEMI paling tinggi dari keseluruhan kejadian SKA yaitu 82%, sedangkan untuk NSTEMI hanya 11% dan 7% pasien angina pektoris tidak stabil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2012-2013, STEMI juga merupakan kejadian tertinggi dari keseluruhan SKA yaitu sebesar 66,7% (Budiana, 2015). Berdasarkan penelitian, pasien STEMI yang mengalami distorsi sebesar 43.1%, sedangkan pasien STEMI tanpa distorsi QRS sebesar 56.9%. Pasien dengan distorsi cenderung memiliki infark yang lebih besar seperti yang dinilai berdasarkan Kilip Class II. Angka mortalitas pasien STEMI dengan distorsi QRS lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa distorsi QRS (Mulay dan Mukhedkar, 2013). Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis sehingga trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Dari penjelasan tersebut maka penulis akan menguraikan makalah tentang STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction). B. Tujuan 1. Tujuan umum Setelah proses pembelajaran kepemitraan umum kegawatdaruratan diharapkan mahasiswa ners dapat mengerti dan memahami konsep teori dan asuhan keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.

2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui dan memahami anatomi fisiologi jantung b. Untuk mengetahui definisi STEMI c. Untuk mengetahui etiologi STEMI d. Untuk mengetahui manifestasi klinis STEMI e. Untuk mengetahui patofisiologi STEMI f. Untuk mengetahui pathway STEMI g. Untuk mengetahui diagnostik test STEMI h. Untuk mengetahui penatalaksanaan madis STEMI i. Untuk mengetahui komplikasi STEMI j. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien STEMI C. Manfaat Penulisan Agar mahasiswa bisa mengerti dan memahami dasar teori medis dari pasien STEMI (Anatomi fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, pathway, manifestasi klinis, diagnosis test, penatalaksanaan dan komplikasi) dan bisa mengaplikasikan dengan menggunakan dasar teori keperawatan (diagnose keperawatan, intervensi).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Dan Fisiologi Putri & Wijaya (2013) di dalam buku Keperawatan Medikal Bedah 1 Secara fisiologis, jantung adalah salah satu organ tubuh yang paling vital fungsinya di bandingkan dengan organ tubuh vital lainnya. Dengan kata lain, apabila fungsi jantung mengalami gangguan amat besar pengaruhnya terhadap organ-organ tubuh lainnya terutama ginjal dan otak. Karena fungsi utama jantung adalah sebagai single pompa yang memompakan darah keseluruh tubuh untuk kepentingan metabolisme sel-sel demi kelangsungan hidup. Berikut adalah uraian dengan beberapa sub-topik anatomi fisiologi jantung di bawah ini: 1. Ukuran, posisi atau letak jantung Jantung manusia mendekati ukuran kepalan tangannya atau dengan ukuran panjang kira-kira 12cm dan lebar sekitar 9cm, jantung terletak antara tulang sternum, tepatmya di bawah tulang mediasternum diantara kedua paru-paru dan bersentuhan dengan diafragma, bagian atas jantung terletak di bawah sternal notch 1/3 dari jantung berada disebelah kanan dari midline sternum, 2/3 nya disebelah kiri dari midline sternum. Sedangkan bagian apek jantung di interkostal ke 5 atau tepatnya di bawah puting susu. 2. Ruang jantung Jantung kita di bagi menjadi 2 bagian ruang yaitu Atrium (serambi) dan ventrikel (bilik).Karena atrium hanya memompakan darah dengan jarak yang pendek, yaitu ke ventrikel. Oleh karena itu otot atrium lebih tipis dibandingkn dengan otot ventrikel. Ruang atrium dibagi menjadi 2 bagian, yaitu atrium kanan dan atrium kiri. Demikian halnya dengan ruang ventrikel, di bagi menjadi 2 yaitu ventrikel kanan dan ventrikel kiri. Jadi kita boleh mengatakan kalau jantung dibagi menjadi 2 yaitu jantung bagian kanan (atrium kanan dan ventrikel kanan) dan jantung kiri (atrium

kiri dan ventrikel kiri). Kedua atrium memiliki bagian luar organ masingmasing yaitu auricle. Dimanan kedua atrium dihubungkan dengan satu auricle yang berfungsi menampung darah apabila kedua atrium memiliki kelebihan volume. 3. Lapisan otot jantung Syaifuddin (2012) di dalam buku anatomi fisiologi lapisan otot jantung terdiri dari 3 lapisan, yaitu: a. Perikardium, Lapisan yang merupakan kantong pembungkus jantung, terletak di mediastinum minus, terletak di belakang korpus streni dan rawan iga II-VI. 1) Perikardium fibrosum (visual): Bagian kantong yang membatasi pergerakan jantung terikat di bawah sentrum tendinium diafragma, bersatu dengan pembuluh darah besar, melekat pada sternum melalui ligamentum sternoperikardial. 2) Perikardium serosum (parietal), dibagi menjadi dua bagian: Perikardium parietalis membatasi perikardium fibrosum, sering disebut epikardium, dan perikardium viseral (kavitas perikardialis) yang mangandung sedikit cairan yang berfungsi melumas untuk mempermudah pergerakan jantung. Di antara dua lapisan jantung ini terdapat lendir sebagai pelicin untuk menjaga agar pergesekan antara perikardium tersebut tidak menimbulkan gmgguan terhadap jantung. Pada permukaan posterior jantung terdapat perikardiun aerosum sekitar vena-vena besar membentuk sinus obligus dan sinus transfersus. b. Miokardium. Lapisan otot jantung menerima darah dari arteri koronaria. Arteri koronaria kiri bercabang menjadi arteri desending anterior dan arteri sirkumfleks. Arteri koranaria kanan memberikan darah untuk sinoatrial node, ventrikel kanan, permukaan diafragma ventrikel kanan. Vena koronaria mengembalikan darah ke sinus kemudian bersirkulasi langsung ke dalam paru. Susunan miokardium:

1) Susunan otot atria: Sangat tipis dan kurang teratur, serabutserabutnya disusun dalam dua lapisan. Lapisan luar mencakup kedua atria. Serabut Iuar ini paling nyata di bagian depan atria. Beberapa serabut masuk ke dalam septum atrioventrikular. Lapisan dalam terdiri dari serabut-serabut berbentuk lingkaran. 2) Susunan otot ventrikuler: Membentuk bilik jantung dimulai dari cincin atrioventrikular sampai ke apeks jantung. 3) Susunan otot atrioventrikular merupakan dinding pemisah antara serambi dan bilik (atrium dan ventrikel). c. Endokardium (permukaan dalam jantung). Dinding dalam atrium diliputi oleh membran yang mengilat, terdiri dari jaringan endotel atau selaput lendir endokardium, kecuali aurikula dan bagian depan sinus vena kava. 4. Katup jantung Nazmah A (2012) mengatakan di dalam buku panduan belajar membaca Elektrokardiografi. Katup jantung adalah pintu penghubung antara kedua atrium dengan kedua ventrikel dan kedua ventrikel dengan kedua cabang sirkulasinya. Dimana katup jantung ini berfungsi mencegah aliran darah agar tidak balik ke ruang jantung yang mempunyai tekanan lebih rendah. Ada 4 katup jantung yang harus kita ketahui adalah sebagai berikut : a. Katup trikuspid, yaitu katup yang menghubungkan antara atrium kanan dengan ventrikel kanan. Katup triskupid ini mempunyai 3 daun katup. b. Katup pulmonal, yaitu katup yang menghubungkan ventrikel kanan dengan sirkulasi pulmonal. Katup pulmonal juga memiliki 3 daun katup. c. Katup Mitral, yaitu katup Yang menghubungkan antara atrium kiri dengan ventrikel kiri. Katup mitral mempunyai 2 daun katup, makanya sering disebut dengan katup bicuspid.

d. Katup Aorta, yaitu katup yang menghubungkan antara ventrikel kiri dengan sirkulasi sistemik. Katup aorta juga memiliki 3 daun katup. Katup yang menghubungkan kedua atrium dengan kedua ventrikel dinamakan katup atrioventrikular (katup mitral/biskupid dan katup trikuspid), sedangkan katup yang menghubungkan antara kedua ventrikel dengan sirkulasi sistemik dan pulmonal dinamakan katup semilunar (katup aorta dan katup pulmonal). 5. Pembuluh darah besar jantung Putri & wijaya (2013) di dalam buku Keperawatan Medikal Bedah ada beberapa pembuluh darah besar yaitu: a. Vena cava superior, yaitu vena besar yang membawa darah kotor dari bagian atas diafragma ke atrium kanan. b. Vena cava inferior, yaitu vena besar yang membawa darah kotor dari bagian bawah diafragma ke atrium kanan c. Sinus coronary, yaitu vena besar di jantung yang membawa darah kotor dari jantung sendiri. d. Pulmonary trunk, yaitu pemuluh darah besar yang membawa darah kotor dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis e. Arteri pulmonalis, dibagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang membawa darah kotor dari pulmonary trunk ke kedua paru-paru f. Vena pulmonalis, dibagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang membawa darah bersih dari kedua paru-paru ke atrium kiri. g. Assending aorta, yaitu pembuluh darah besar yang membawa darah bersih dari ventrikel kiri ke arkus aorta ke cabangnya yang bertanggung jawab dengan organ tubuh bagian atas. h. Dessending aorta, yaitu bagian aorta yang membawa darah bersih dan bertanggung jawab dengan organ tubuh bagian bawah. 6. Arteri coroner Arteri koroner berasal dari bagian proksimal aorta (cabang pertama aorta) sebagai arteri koronaria kanan dan arteri koronaria kiri. Pembuluh ini tepat terletak tepat di sebelah dalam terhadap epikardium pada

permukaan jantung. Jantung menerima dua perdarahan yaitu epikardium dan miokardium di perdarahi oleh arteri koronaria dan cabang-cabangnya, sedangkan endokardium menerima O2 dan nutrien dari kontak langsung dengan darah di dalam ruang jantung. 7. Siklus jantung Nazmah A, (2012) di dalam buku panduan belajar membaca EKG Secara garis besar siklus jantung terdiri dari dua 2 komponen yaitu sistolik atau kontraksi dan diastolic atau relaksasi. Atau sering kita mendengarnya dengan sebutan Lub: Sistolik dan Dup: Diastolic. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya bahwa untuk mempermudah mempelajari siklus jantung, jantung di bagi menjadi dua bagian yaitu jantung bagian kanan (Atrium dan Ventrikel Kanan) serta jantung bagian kiri (Atrium dan Ventrikel Kiri). Dan sekedar mengingatkan kembali bahwa Sirkulasi jantung yang kita tahu terdiri dari sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal merupakan suatu sistem tertutup dari sirkulasi jantung, dimana apabila terjadi gangguan pada salah satu bagian dari sistem tersebut maka cepat atau lambat akan mempengaruhi sistem di dalamnya. Untuk itu kita boleh memulainya dari mana saja apabila kita membicarakan siklus jantung. Dimana atrium kanan menerima darah yang miskin oksigen dari vena kava superior, vena kava inferior dan sinus koronarius. Dari atrium kanan darah akan dialirkan ke ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis. Dari ventrikel kanan darah akan dipompakan ke 4 pulmonary arteri melalui katup pulmonal ke paru-paru kiri dan kanan untuk di oksigenisasi. Setelah darah di oksigenisasi di paru-paru, selanjutnya darah akan diteruskan ke atrium kiri melalui 4 vena pulmonalis. Dari atrium kiri darah akan dialirkan ke ventrikel kiri melalui katup biskupid atau katup mitral. Kemudian dari ventrikel kiri, melalui katup aorta darah dipompakan ke seluruh organ tubuh termasuk ke jantung itu sendiri kernudian setelah darah yang kaya akan oksigen dipakai maka darah akan dikembalikan lagi ke atrium kanan (Nazmah Abu, 2012)

Menurut Muttaqin (2009) di dalam buku Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular Dan Hematologi, Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di rongga dada, di bawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum. Ruang jantung terdiri dari dua rongga yang berdinding tipis di sebut atrium (serambi) dan dua ruang yang berdinding tebal disebut ventrikal (bilik).

Jantung terdapat di dalam sebuah kantung longgar berisi cairan

yang di sebut perikardium. Atrium dan ventrikel terletak berdampingan dipisahkan satu dari yang lain oleh katup satu arah. Sisi kiri dan sisi kanan jantung dipisahkan oleh sebuah dinding jaringan yang disebut septum. Keadaan normal tidak terjadi percampuran darah antara kedua ventrikal pada jantung yang sehat. Semua ruang tersebut dikelilingi oleh jaringan ikat. Ruang pada jantung terdiri atas empat ruang, yaitu yang berdinding tipis disebut atrium (serambi), dan dua ruang yang berdinding tebal disebut ventrikal (bilik). Atrium kanan yang berdinding tipis ini berfungsi sebagai tempat penyimpnanan darah dan sebagai penyalur darah dari venavena sirkulasi sistematik ke dalam ventrikal anan kemudian ke paru-paru. Darah yang berasal dari pembuluh darah vena ini masuk ke dalam atrium kanan melalui vena kava tidak ada katup-katup sejati. Hal yang memisahkan vena kava dari atrium jantung ini hanyalah lipatan katup atau pita otot. B. Definisi ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut yang paling berat. Sindroma koroner akut (SKA) merupakan satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK) (Firdaus I, 2012). SKA merupakan spektrum klinis yang mencakup angina tidak stabil, infark mikard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Myrtha R, 2011). STEMI merupakan sindroma klinis yang dididefinisikan dengan tanda gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST

elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard (AHA, 2013). Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2010). Klasifikasi STEMI menurut Libby, et al, (2008). 1. Infark anterior Adanya perubahan EKG ST elevasi pada lead V3 - V4 disebut infark anterior. Infark anterior terjadi bila adanya oklusi pada left anterior desending (LAD). LAD mensuplai darah ke dinding anterior ventrikel kiri dan 2/3 area septum intraventrikular anterior. Komplikasi dari STEMI anterior adalah disfungsi ventrikel kiri yang berat yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung dan shock kardiogenik. Oklusi LAD juga dapat menyebabkan AV block akibat infark pada septum intraventrikular. Sinus tachycardia merupakan tanda yang umum dijumpai akibat respon neurohormonal symphatetic untuk mengurangi cardiac output atau tekanan darah. 2. Infark inferior dan posterior Infark inferior dan posterior diakibatkan oleh oklusi right coronary artery (RCA) pada 80-90% pasien sedangkan 1020% pasien diakibatkan oleh oklusi arteri left circumflex (LCX). Pada infark inferior dijumpai adanya perubahan EKG ST elevasi pada lead II, III, aVF sedangkan infark posterior dijumpai adanya ST segmen depresi di V1 - V4.

3. Infark lateral Infark miokardial lateral terjadi bila dijumpai adanya perubahan ST elevasi pada EKG di lead I, aVL, V5, V6. Infark ini diakibatkan oleh cabang-cabang arteri yang mensuplai darah pada dinding lateral ventrikel

kiri yaitu cabang left circumflex (LCx), diagonal LAD dan cabang terminal dari right coronary artery (RCA). Karena LCx mensuplai AV junction, bundle his, dan anterior dan posterior muscle papillary pada 10% populasi, oklusi arteri ini berkaitan dengan abnormalitas konduksi jantung atau insufisiensi katup mitral yang berkaitan dengan dysfungsi muscle papillary. 4. Infark ventrikel kanan Infark ventrikel kanan biasa terjadi pada infark inferior dengan trias karakteristik yaitu hipotensi, peningkatan tekanan vena jugularis dengan tanda kusmaul’s, serta area paru bersih. Infark inferior di diagnosis bila dijumpai elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi kanan V3R dan V4R serta

adanya

Penatalaksanaan

abnormalitas

gerakan

dinding

ventrikel

kanan.

dilakukan

dengan

volume

loading

untuk

mempertahankan PCWP 1820 mmHg, menghindari penggunaan nitrat serta pemberian dobutamin untuk mengatasi hipotensi. C. Etiologi Umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak ateroskerotik yang sudah ada sebelumnya. Ini disebabkan karena injuri yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Nurarif AH & Hardhi K, 2013). Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Libby, et al, 2008). D. Manifestasi Klinik 1. Keluhan utama klasik Nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri

biasa dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan. Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Nyeri sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, et al., 2010). Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otototot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome) Jenis Angina

Pectoris

Stabil

Nyeri Dada

EKG

Enzim Jantung

Angina pada waktu

Depresi segmen ST

Tidak meningkat

istirahat/

Inversi gelombang T

aktivitas

ringan (ICS III-IV).

Tidak ada gelombang Q

NSTEMI

Hilang dengan nitrat

Depresi segmen ST

Meningkat minimal 2

Lebih berat dan lama

Inversi Gelombang T

kali

(> 20 menit). Tidak

dalam

hilang dengan nitrat, perlu opium STEMI

Lebih berat dan lama

Elevasi segmen ST

Meningkat minimal 2

(> 20 menit). Tidak

inversi gelombang T

kali nilai batas atas

hilang dengan nitrat, perlu opium

2. Respiratory a. Nafas yang memendek, dispnea, takipnea b. Krakles dapat terdengar jika ada kongesti pulmonary

normal

c. Dapat pula disertai edema paru 3. Neurologis Kecemasan, rasa kelelahan, pusing, mengindikasikan peningkatan stimulus simpatis atau penurunan kontraktilitas dan oksigenasi cerebral. Gejala ini dapat mengarahkan kepada gambaran syok kardiogenik. Sakit kepala, gangguan penglihatan, perubahan ucapan, perubahan fungsi motorik, dan perubahan kesadaran dapat mengindikasikan perdarahan cerebral jika klien mendapatkan trombolitik. 4. Gastrointestinal Mual dan muntah 5. Urinary Penurunan keluaran urin dapat mengindikasikan syok kardiogenik 6. Integumen Dingin, berkeringat, diaforesis, dan pucat, dapat muncul karena stimulus dari kurangnya kontraktilitas yang dapat mengindikasikan adanya shock kardiogenik. Oedema dapat muncul karena kurangnya kontaktilitas. 7. Psikologis Ketakutan akan kematian, atau penyangkalan terhadap penyakit dapat terjadi pada klien. E. Patofisiologi Infark miokard (serangan jantung) terjadi ketika arteri korener (setidaknya sebagian) tiba-tiba terhalang oleh bekuan darah yang menyebabkan setidaknya beberapa dari otot jantung yang mendapat suplai darah oleh arteri menjadi infark (mati). Pada kasus STEMI arteri koroner benar-benar diblokir oleh bekuan darah dan sebagai hasilnya hampir semua otot jantung yang disuplai oleh arteri yang terkena mulai mati (Fogoros RN, 2008). Serangan jantung tipe ini biasanya ditunjukkaan oleh perubahan karakteristik pada hasil EKG. Slah satu perubahan EKG adalah elevasi pada “segmen ST”. Segmen ST yang tinggi menunjukkan bahwa terjadi kerusakan otot jantung yang relatif besar (karena arteri koroner benar-benar tersumbat) (Fogoros RN, 2008).

STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vascular. Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen plak tersebut terekspos dalam darah dan kondisi yang mendukung trombogenesis (terbentuknya thrombus). Mural thrombus (thrombus yang menempel pada pembuluh darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri koroner. Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak, beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi platelet. Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut. Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang dapat berikatan dengan dua platelet secara simultan, menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi. Kaskade koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang rusak, tepatnya pada area rupturnya plak. Aktivasi faktor VII dan X menyebabkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner seringkali mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri dari agregat platelet dan benang-benang fibrin. Pada sebagian kecil kasus STEMI terjadi karena emboli arteri koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner tergantung pada:

1. Daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi 2. Apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak 3. Durasi oklusi koroner. 4. Kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang terkena 5. Kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-tiba 6. Faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan 7. Keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.

F. Pathway

G. Diagnostic Test Menurut Sudoyo, et al (2010), pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat dibagi menjadi 4, yaitu

1. Electrocardiograf (ECG) Gelombang Q dengan ST elevasi yang signifikan menunjukkan keakutan. Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF. Tabel 2.1 Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG No

Lokasi

Gambaran EKG

1

Anterior

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5

2

Anteroseptal

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3

3

Anterolateral

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan I dan aVL

4

Lateral

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL

5

Inferolateral

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).

6

Inferior

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan Avf

7

Inferoseptal

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3

8

True posterior

Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2

9

RV Infraction

Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R). Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior. Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama infark.

2. Serum Cardiac Biomarker Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan pelepasan protein spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan aliran darah dan limfatik local. Biomarker

kardiak dapat dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi. 1. Cardiac Troponin Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan jantung. Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI), troponin T (TnT), dan troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform TnC pada otot rangka dan jantung adalah identik. Karena itulah tidak ada perbedaan struktural diantara keduanya. Walaupun demikian, subform TnI dan TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda dengan jelas, dan immunoassay telah didesain untuk membedakan keduanya. Hal ini menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari cardiac troponin. Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji troponin menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip dengan waktu pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap tinggi selama kurang lebih 7-10 hari pasca MI. Cardiac troponin itu sensitif, kardiospesifik, dan menyediakan informasi prognostik untuk pasien dengan ACS. Terdapat hubungan antara level TnI atau TnT dengan tingkat mortalitas dan adverse cardiac event pada ACS. 2. Creatine Kinase-MB isoenzym Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan digunakan untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff diagnostik atau hasil tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas normal. Walaupun CK-MB lebih terkonsentrasi di miokardium (kurang lebih 15% dari total CK), enzim ini juga terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas CKMB tidaklah 100%. Elevasi false positive muncul pada beberapa keadaan klinis seperti trauma atau miopati. CKMB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah pada 24 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam.

CK-MB level walaupun sensitif dan spesifik untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac event dan tidak mempunyai nilai prognostik. 3. Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100] dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive peningkatan CK-MB otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten dengan sumber dari otot rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber otot jantung. Rasio diantara 3-5 menunjukkan gray area. Indeks relatif CK-MB/CK diperkenalkan untuk meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB untuk MI. Pemakaian indeks relatif CKMB/CK berhasil jika pasien hanya memiliki MI atau kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya. Oleh sebab itu, pada keadaan dimana terdapat kombinasi AMI dan kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat, polymyositis), sensitifitas akan jatuh secara signifikan. Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan hanya pada elevasi indeks relatif saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada keadaan klinis dimana total CK atau CK-MB pada batas normal. Indeks relatif hanya berfungsi secara klinis bila level CK dan CK-MB dua-duanya mengalami peningkatan. 4. Mioglobin Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI. Mioglobin adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan jantung. Berat molekulnya yang rendah menyebabkan pelepasannya yang cepat. Mioglobin biasanya meningkat pada 2-4 jam setelah terjadinya infark, puncaknya adalah pada 6-12 jam, dan kembali ke normal setelah 24-36 jam. Uji cepat mioglobin telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah kurang kardiospesifik. Uji serial setiap 1-2 jam dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifitas. Peningkatan atau perbedaan 25-40% setelah 1-2 jam adalah penanda kuat dari AMI. Pada kebanyakan penelitian, mioglobin hanya mencapai 90%

sensitifitas untuk AMI. Nilai prediktif negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi diagnosis AMI. Penelitian original yang mengevaluasi mioglobin menggunakan definisi origininal WHO tentang AMI yang distandarkan pada CK-MB. Dengan adopsi dari standar troponin untuk definisi AMI dari ESC/ACC, sensitifitas mioglobin untuk AMI menurun. 5. Creatine Kinase-MB isoforms Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-MB2. CKMB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh miokardium setelah MI. Kemudian berubah di serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera setelah gejala terjadi. Isoform CK-MB dapat dianalisis menggunakan elektroforesis tegangan tinggi. Rasio CK-MB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya, isoform jaringan CK-MB1 lebih dominan sehingga rasionya kurang dari 1. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika CK-MB2 meningkat dan rasionya >1,7. Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi di serum pada 2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah marker awal dari AMI. Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya adalah 92% pada 6 jam setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk CKMB dan 79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif sulit dilakukan oleh laboratorium. 6. C-reactive Protein CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara langsung pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai pada awal 1990an menunjukkan bahwa level CRP yang meningkat menunjukkan adverse cardiac events, baik pada prevensi primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk mengevaluasi profil risiko jantung pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP berguna sebagai indikator prognostik pada pasien dengan ACS. Peningkatan level CRP memprediksi kematian jantung dan AMI.

Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang digunakan. Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American Heart Association (AHA): 1) Total CK

= 38–174 units/L untuk laki-laki dan 96–140

units/L untuk perempuan. 2) Isoform CKMB

= rasio 1,5 atau lebih.

Tabel 3. Cardiac marker pada Miokard Infark Marker

Waktu Awal

Waktu Puncak

Waktu Kembali

Nilai

Peningkatan

Peningkatan

Normal

Rujukan

(jam)

(jam)

CK

4–8

12 – 24

72 – 96 jam

CK-MB

4–8L

12 – 24

48 – 72 jam

10-13 units/L

Mioglobin

2–4

4–9

< 24 jam

< 110 ng/mL

LDH

10 – 12

48 – 72

7 – 10 hari

Troponin

I4–6

12 – 24

3 – 10 hari

< 1,5 ng/mL

Troponin T

4–6

12 – 48

7 – 10 hari

< 0,1 ng/mL

3. Cardiac Imaging a. Echocardiography Abnormalitas

pergerakan

dinding

pada

two-dimentional

echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal akanada atau

tidaknya

abnormalitas

pergerakan

dinding

dengan

echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi dengan inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler,

efusi pericardial, dan thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI. b. High resolution MRI Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac MRI. c. Angiografi Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri. Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system: 1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark. 2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal. 3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal. 4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal. 4. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali mencapai 12.000-15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih lambat dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak selama minggu pertama dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2 minggu. H. Penatalaksanaan Medis

Menurut American Heart Ascossiation (2013), tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi

strategi

perfusi

yang

mungkin

dilakukan,

pemberian

antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain: 1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis. 2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi. Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan: 1) JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba. 2) Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.

3) Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospitaldoor-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit. 3. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih. 4. Melakukan terapi perfusi. Tatalaksana STEMI 1. Tatalaksana di Ruang Emergensi Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI. 2. Tatalaksana Umum a. Oksigen: suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. b. Nitrogliserin: Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. 1) Morfin: sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. 2) Aspirin: merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.

3) Penyekat Beta: Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam. 4) Terapi Reperfusi: reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna. 5) Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Tujuan manajemen medis dicapai dengan reperfusi melalui penggunaan obat trombolitik atau PTCA (percutaneous transluminal coronary angioplasty). PTCA dapat dikenal juga sebagai PCI (percutaneous cardiac intervention). PCI (Percutaneous Cardiac Intervention) primer: metode reperfusi yang direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu oleh tenaga ahli berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan STEMI dan gejala iskemik pada waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan untuk membuka hambatan pada arteri koroner dan menunjang reperfusi pada area yang

kekurangan

oksigen.

menggunakan balon/ stent/ ring.

Biasanya

dilakukan

dengan

I. Komplikasi Menurut Wijaya dan Putri (2013) dalam buku keperawatan medical bedah 1, komplikasi Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST sebagai berikut: 1. Disfungsi ventrikel Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan lokasi infark. 2. Gagal pemompaan (pump failure) Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru. 3. Aritmia Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik. 4. Gagal jantung kongestif Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik. 5. Syok kardiogenik Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang

ireversibel dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium. 6. Edema paru akut Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat. 7. Disfungsi otot papilaris Disfungsi

iskemik atau ruptur nekrotik

otot

papilaris akan

mengganggu fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis. 8. Defek septum ventrikel Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel. 9. Rupture jantung Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah

menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung. 10. Aneurisma ventrikel Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup. 11. Tromboembolisme Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik. 12. Perikarditis Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan. J. Nursing Care Plan 1. Diagnose yang mungkin muncul a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural b. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema paru akut c. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner d. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah,

misalnya

vasikonstriksi,hipovolemia,

dan

pembentukan

troboemboli e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung

f. Distress spiritual berhubungan dengan bedrest total akibat intoleransi aktivitas 2. Rencana keperawatan Rencana keperawatan (Ackley & Ladwig, 2011; Nurarif AH & Hardhi K, 2013; Moorhead S, et all. 2008) a. Penurunan curah Jantung berhubungan dengan gangguan irama jantung, stroke volume, pre load dan afterload, kontraktilitas jantung. Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 30 menit diharapkan curah jantung membaik / stabil dengan kriteria hasil: NOC: 1) Tanda Vital dalam rentang normal (Tekanan darah, Nadi, respirasi) 2) Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan 3) Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada asites 4) Tidak ada penurunan kesadaran 5) AGD dalam batas normal 6) Tidak ada distensi vena leher 7) Warna kulit normal NIC : 1) Evaluasi adanya nyeri dada 2) Catat adanya disritmia jantung 3) Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output 4) Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jan 5) Monitor balance cairan 6) Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan antiaritmia 7) Atur periode latihan dan istirahat untuk menghindari kelelahan 8) Monitor toleransi aktivitas pasien 9) Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan ortopneu 10) Anjurkan untuk menurunkan stress 11) Monitor TD, nadi, suhu, dan RR 12) Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri 13) Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan

14) Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas 15) Monitor jumlah, bunyi dan irama jantung 16) Monitor frekuensi dan irama pernapasan 17) Monitor pola pernapasan abnormal 18) Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit 19) Monitor sianosis perifer 20) Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik) 21) Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign 22) Jelaskan pada pasien tujuan dari pemberian oksigen 23) Sediakan informasi untuk mengurangi stress 24) Kelola pemberian obat anti aritmia, inotropik, nitrogliserin dan vasodilator untuk mempertahankan kontraktilitas jantung 25) Kelola pemberian antikoagulan untuk mencegah trombus perifer 26) Minimalkan stress lingkungan b. Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri. Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 30 menit diharapkan nyeri yang dirasakan klien berkurang. NOC: Tingkat nyeri, kontrol nyeri. Kriteria hasil: 1) Mampu

mengontrol

nyeri

(tahu

penyebab

nyeri,

mampu

menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2) Melaporkan

bahwa

nyeri

berkurang

dengan

menggunakan

manajemen nyeri 3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri) 4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. NIC: Manajemen nyeri

1) Lakukan pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi. Pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi penting untuk menentukan penyebab utama nyeri dan pengobatan yang efektif. 2) Kaji adanya nyeri secara rutin, biasanya dilakukan pada pemeriksaan TTV dan selama aktivitas dan istirahat. Pengkajian nyeri merupakan tanda-tanda vital fisiologis yang penting dan nyeri termasuk dalam “kelima tanda-tanda vital”. Nyeri akut sebaiknya dikaji saat istirahat (penting untuk kenyamanan) dan selama bergerak (penting untuk fungsi dan menurunkan risiko terjadinya kardiopulmonari dan tromboembolitik pada klien). 3) Minta klien untuk menjelaskan pengalaman nyeri sebelumnya, keefektifan intervensi manajemen nyeri, respon pengobatan analgetik termasuk efek samping, dan informasi yang dibutuhkan. Memperoleh

riwayat

nyeri

individu

membantu

untuk

mengidentifikasi faktor potensial yang mungkin mempengaruhi keinginan pasien untuk melaporkan nyeri, seperti intensitas nyeri, respon klien terhadap nyeri, cemas, farmakokinetik dari analgesik. Regimen manajemen nyeri harus secara individu kepada klien dan mempertimbangkan kondisi medis, psikologis dan fisiologis, usia, respon sebelumnya terhadap analgesik. 4) Manajemen nyeri akut dengan pendekatan multimodal. Multimodal analgesik mengkombinasikan dua atau lebih pengobatan, metode. Manfaat dari pendekatan ini adalah dosis efektif terendah dari setiap obat bisa diberikan, hasilnya efek samping dapat diminimalkan seperti terjadinya oversedasi dan depresi respirasi. 5) Jelaskan pada klien mengenai pendekatan manajemen nyeri, termasuk intervensi farmakologi dan nonfarmakologi. Salah satu langkah penting untuk meningkatkan kemampuan kontrol nyeri adalah klien memahami nyeri secara alami dengan baik, pengobatannya dan peran klien dalam mengontrol nyeri.

6) Minta klien untuk menjelaskan nafsu makan, eliminasi, dan kemampuan untuk istirahat dan tidur. Administrasikan terapi dan pengobatan untuk meningkatkan/ memperbaiki fungsi ini. Obatobatan golongan opioid

dapat menyebabkan konstipasi yang

biasanya terjadi dan menjadi masalah yang signifikan dalam manajemen nyeri. Opioid menyebabkan konstipasi dengan cara menurunkan motilitas usus danmengurangi sekresi mukosa. 7) Sebagai tambahan administrasi obat analgesik, dukung klien untuk menggunakan

metode

nonfarmakologi

untuk

membantu

mengontrol nyeri, seperti distraksi, imaginary, relaksasi dengan menarik napas dalam. Strategi perilaku-kognitif dapat menjadi sumber kontrol diri klien, keberhasilan personal, dan berpartisipasi aktif dalam pengobatannya sendiri. 8) Kolaborasi pemberian oksigen tambahan dengan kanula nasal atau masker sesuai indikasi. Meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk pemakaian miokardia dan juga mengurangi ketidaknyamanan sehubungan dengan iskemia jaringan. 9) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, contoh: a) Antiangina, seperti nitrogliserin (Nitro-Bid, Nitrostat, NitroDur). Nitrat berguna untuk kontrol nyeri dengan efek fasodilatasi koroner, yang meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi miokardia. Efek vasodilatasi perifer menurunkan volume darah kembali ke jantung (preload) sehingga menurunkan kerja otot jantung dan kebutuhan oksigen. b) Penyekat-B, seperti atenolol (tenormin); pindolol (visken); propanolol (inderal). Untuk mengontrol nyeri melalui efek hambatan rangsang simpatis, dengan begitu menurunkan TD sistolik dan kebutuhan oksigen miokard. Catatan: penyekat B mungkin dikontraindikasikan bila kontraktilitas miokardia sangat terganggu, karena inotropik negatif dapat lebih menurunkan kontraktilitas.

c) Analgesik, seperti morfin, meperidin (demerol). Dapat dipakai pada fase akut/nyeri dada berulang yang tak hilang dengan nitrogliserin untuk menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi dan mengurangi kerja miokard. d) Penyekat saluran kalsium, seperti verapamil (calan); diltiazem (prokardia).

Efek vasodilatasi dapat meningkatkan aliran

darah koroner, sirkulasi kolateral dan menurunkan preload dan kebutuhan

oksigen

miokardia.

Beberapa

diantaranya

mempunyai properti antidisritmia. 10) Periksa tanda Hipotensi/depresi

vital

sebelum

pernapasan

dan

sesudah

dapat

terjadi

obat

narkotik.

sebagai

akibat

pemberian narkotik. Masalah ini dapat meningkatkan kerusakan miokardia pada adanya kegagalan ventrikel

Daftar Pustaka

ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. 2013. Ackley BJ, Ladwig GB. (2011). Nursing Diagnosis Handbook an EvidenceBased Guide to Planning Care. United Stated of America: Elsevier. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. (2010). 17th Edition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New South Wales: McGraw Hill. Firdaus I. (2012). Strategi Farmako-invasif pada STEMI Akut. J Kardiol Indones; 33: 266-71. Fogoros R.N. (2008). STEMI-ST Segment Elevation Myocardial Infarction. Heart Health Center. Diakses pada tanggal 28 April 2013. http://heartdisease.about.com/od/heartattack/g/STEMI.htm Libby. P, Bonow. R.O, Mann. D.L, Zipes. D.P,. (2008). Braunwald’s Heart Disease: A textbook of Cardiovascular Medicine. Philadephia: Elsevier. Moorhead, Sue, et all. (2008). Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. USA: Mosbie Elsevier. Myrtha R. (2011). Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA). CDK 188; 38 (7): 541-542. NANDA

International.

(2009).

Nursing

Diagnosis:

Definition

and

Classification 2009-2011. USA: Willey Blackwell Publication. Nurarif AH, Hardhi K. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction. Wijaya dan Putri (2013). Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta: Nuha Medika Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Laporan Pembahasan A. Diagnose prioritas penurunan curah jantung B. Jenis obatan kardiovaskuler Obat-obat kardiovaskuler secara garis besar digolongkan atas 4 kelompok, yakni: 1. Obat anti angina (Nitrat) Nitrat merupakan vasodilator pembuluh darah coroner yang kuat, terutama pembuluh darah arteri. Efek dari nitrat adalah dapat mengakibatkan penurunan tekana darah, sehingga sering menimbulkan pusing atau nyeri kepala. Sedian oral, subligunial, intravena, dan transdermal. Dosis sedian 1 ampul sama dengan 10 mg. 2. Obat anti gagal jantung a. Dopamine Digunakan untuk meningkatkan tekanan darah, curah jantung, dan produksi urin pada klien dengan syok kardiogenik. Dosis 1 ampul dopamine sama dengan 200 mg b. Dobutamin Merupakan inotropic murni (tanpa tanda-tanda syok) yang menstimulus adrenoreseptor di jantung, sehingga dapat meningkatkan kontraktilitas. Dosis sediaan dalam 1 ampul sama dengan 250 mg c. Obat inotropik : 1. Glikosida jantung : digitalis, digoksin, digitoksin, quabain, strophantin K 2. Agonis β adrenergik : dobutamin 3. Inhibitor fosfodiesterase : milrinon, amrinon d. Diuretika : furosemid, hidroklorotiazid, metolazon, bumetanid e. Inhibitor : kaptropil, hidralazin, isosorbid, natrium nitroprusid, lisinopril 3. Obat anti aritmia Lognocain merupakan agen anti aritmia, khususnya pada aritmia pada ventrikel yang timbul akibat ischemia miokard (ventrikel takikardia dan ventrikel fibrilasi). Dosis sediaan 1 ampuls xylocaine 40 mg 4. Obat anti koagulasi Heparin merupakan mukopolisikarida yang menghambat bekuan darah dengan mengubah protobin menjadi thorombin, dan dapat pula menghambat agregasi platelet oleh thrombin. Heparin digunakan dalam pengobatan dan pencegahan tromboiboli di pembuluh darah dan arteri. Sedian 1 vial heparin sama dengan 25.000 IU. C. Cara menghitung dosis pemberian obat kardiovaskuler

1. Ubah dosis sediaan kedalam satuan microgram (µgram). 1mg = 1000 µgram 2. Lakukan pengenceran dengan cairan yang sesuai dengan reaksi obat. Faktor pengenceran yang sering digunakan adalah 20cc, 50cc, dan 500cc 3. Rumus perhitingan dosis obat 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑟𝑢𝑘𝑠𝑖 / 𝑑𝑖𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑥 𝐵𝐵 (𝐾𝑔)𝑥 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 (60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑚𝑐𝑒𝑟 D. Tindakan yang dilakukan pemberian dubutamin melalui syringe pump Preinteraksi 1. Explorasi diri 2. Baca catatan keperawatan dan medis 3. Cuci tangan 4. Siapkan alat : mesin syringe pump, obat sesuai dosis order, spuit 50 cc, selang infus microbe, threeway stopcock, kapas steril plester dan label. Interaksi 1. 2. 3. 4.

Ucapkan salam dan panggil nama klien Perkenalkan diri Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada klien atau keluarga. Kontrak waktu dan beri kesempatan kepada klien untuk bertany

Tindakan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Dekatkan alat ke klien Jaga privasi klien Atur posisi yang nyaman untuk klien Hubungkan selang infusmikrob dengan spuit yang sudah berisi obat Lepas selang infus klien dan klem Pasang threeway stopcock pada kateter infus yang terpasang pada klien Tutup threeway ke arah klien dan buka yang kearah luar Sambungkan selang infus microbe pada infus kateter yang sudah terpasang threeway stopcock 9. Letakan kassa steril dibawah threeway yang terhubung dengan infus kateter 10. Letakan spuit yang telah terhubung dengan selang microbe pada syringe pump 11. Nyalakan mesin syiringe pump 12. Atur dosis dan kecepatan pada syiringe pump 13. Biarkan obat mengalir dan menetes keluar, pastikan tidak ada udara dalam selang microbe.

14. Buka threeway kerang pasien dan tutup kearah keluar 15. Pasang label pada spuit dengan menulis nama pasien, tanggal pemasangan dan dosis perhitungan obat 16. Atur kembali posisi pasien 17. Rapikan alat 18. Cuci tangan

Terminasi dan evaluasi 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Tanyakan perasaan klien setelah dilakukan tindakan Simpulkan hasil prosedure tindakan Lakukan kontrak untuk tindakan selanjutnya Berikan reinforcement Akhiri tindakan dengan mengucapkan salam dokumentasi

Related Documents

Lp Stemi Fix.docx
May 2020 16
Lp-stemi-pci Siti.docx
November 2019 13
Lp Stemi Kuuu.doc
May 2020 15
Stemi
April 2020 24

More Documents from ""

1. Cover.docx
December 2019 36
Telaah Kritis Jurnal.docx
December 2019 35
Mkep Bab Iv - V.docx
November 2019 33
Leafleat.docx
December 2019 35