Lp Rds Proses.docx

  • Uploaded by: Yuni Wulandari
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Rds Proses.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,582
  • Pages: 19
LAPORAN PENDAHULUAN I. KONSEP DASAR A. DEFINISI Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa Inggris disebut neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali per menit; sianosis; merintih waktu ekspirasi (expiratory grunting); dan retraksi di daerah epigastrium, suprasternal, intekostal pada saat inspirasi. Bila di dengar dengan stetoskop akan terdengar penurunan masukan udara dalam paru. Syndrome distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyaline membrane disease (HMD) (Suriadierita Yulianni, 2010). Istilah SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan terdapatnya kumpulan gejala tersebut pada neonatus. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya kelainan di dalam atau di luar paru. Beberapa kelainan paru yang menunjukkan sindrom ini adalah pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH), pneumonia aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity (Ngastiyah, 2014). Jadi berdasarkan dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa RDS adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dan ketidakmampuan sel untuk menghasilkan surfaktan yang memadai.

B. PATOFISIOLOGI Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis

dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu memohon sisa udara fungsional (kapasitas residu fungsional ). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi), sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vaskular resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.

Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas. Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli. Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal, asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut. Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang terdiri dari : atelektasis  hipoksia  asidosis  transudasi  penurunan

aliran darah paru  hambatan pembentukan substansi surfaktan  atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.

D. ETIOLOGI Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) etiologi dari RDS yaitu: 1. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka. 2. Alveoli masih kecil sehingga mengalami

kesulitan berkembang dan

pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. 3. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh makrofag. 4. Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram. 5. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks atau pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH) 6. Bayi prematur atau kurang bulan diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan, maka semakin besar pula kemungkinan terjadi RDS.

E. KLASIFIKASI Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor Downes. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk menilai progresivitasnya.

Skor

Pemeriksaan

0

Frekuensi napas

< 60 x/menit

Retraksi

Tidak ada retraksi

Sianosis

Tidak ada sianosis

Air entry

Udara masuk

Merintih

Tidak merintih

1 60 – 80 x/menit Retraksi ringan Sianosis

Evaluasi :

2

Retraksi berat hilang Sianosis

dengan O₂ Penurunan

udara Tidak

= Gawat napas ringan

4–5

= Gawat napas sedang

>6

= Gawat napas berat

ada

udara

masuk di

dengan Dapat didengar tanpa

dengan stetoskop

<3

menetap

walaupun diberi O₂

masuk Dapat

> 80 x/menit

alat bantu

F. TANDA DAN GEJALA Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernapasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah lahir dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama. Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis

seperti dispnea atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun dan karena pirau vena-arteri dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan respiratory grunting. Selain tanda gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi, kardiomegali, pitting oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi. Tanda dan gejala dari RDS yaitu: a. Kesulitan dalam memulai respirasi normal b. Dengkingan (grunting) pada saat ekspirasi, diamati pada saat bayi tidak dalam keadaan menangis (disebabkan oleh penutupan glotis) merupakan tanda/indikasi awal penyakit, berkurangnya dengkingan mungkin merupakan tanda pertama perbaikan. c. Refraksi sternum dan interkosta d. Nafas cuping hidung b. Sianosis pada udara kamar c. Respiarasi cepat atau kadang lambat jika sakit parah d. Auskultasi; udara yang masuk berkurang e. Edema ekstremitas f. Pada foto rontgen ditemukan retikulogranular, gambaran bulat-bulat kecil dengan corakan bronkogram udara.

G. KOMPLIKASI Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi 3 hal: 1) Ruptur alveoli Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada 19 bayi dengan RDS yang tibatiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap 2) Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi 3) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik 4) PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya. Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi : 1)

Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume

dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi 2)

Retinopathy premature

Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress Pernafasan Pemeriksaan Kultur darah

Analisa gas darah

Kegunaan Menunjukkan keadaan bakteriemia  Menilai derajat hipoksemia  Menilai keseimbangan asam basa Menilai

Glukosa darah

keadaan

hipoglikemia

hipoglikemia,

dapat

menyebabkan

karena atau

memperberat takipnea Rontgen toraks

Mengetahui etiologi distress nafas  Leukositosis menunjukkan adanya infeksi

Darah rutin dan hitung jenis

 Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri  Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis

Pulse oxymetri

Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen

1. Gambaran radiologis Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate retikulogranuler ini, makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit membran hialin, walaupun manifestasi klinis belum jelas. 2. Gambaran laboratorium Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah : a. Pemeriksaan darah Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%, prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan kurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh. b. Pemeriksaan fungsi paru Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula perubahan pada fungsi paru lainnya seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung compliance’ berkurang,

functional residual capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’ yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu. c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik. 3. Gambaran patologi/histopatologi Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan yang terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel ductus yang nekrotik.

I. PENATALAKSANAAN 1.

Penatalaksanaan medik a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembaban ruangan juga harus adekuat (70-80%). b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang

terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasias retrolental), dll. c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara intravena. d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari. e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun harganya amat mahal.

2.

Penatalaksanaan keperawatan Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan berat badan lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu. Oleh karena itu, bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila menerima bayi baru lahir yang demikian harus selalu waspada bahaya yang dapat timbul. Masalah yang perlu diperhatikan ialah bahaya kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko terjadi gangguan pernapasna, kesuakran dalam pemberian

makanan, risiko terjadi infeksi, kebutuhan rasa aman dan nyaman (kebutuhan psikologik) (Ngastiyah, 2014).

II. KONSEP DASAR ASKEP A. PENGKAJIAN a. Identitas : lengkap, termasuk orang tua bayi b. Riwayat kesehatan : Keluahan utama, terutama sistem pernafasan : cyanosis, grunting , RR, cuping hidung b. Riwayat kesehatan : terutama umur kehamilan dan proses persalinan c. Pemeriksaan Fisik : 1)

Keadaan umum : kesadaran, vital sign

2)

Pemeriksaan persistem : terutama pada sistem yang terlibat langsung a) Sistem pernafasan : kesulitan dalam respirasi normal. Refraksi strenum dan interkosta, nafas cuping hidung, cyanosis pada udara kamar, grunting, respirasi cepat atau lambat b) Sistem

kardiovaskulaer

:

takikardia,

nadi

lemah/cepat,

akral

dingin/hangat, cyanosis perifer c) Sistem

gastrointestinal

:

muntah,

kembung,

peristaltik

menurun/meningkat d) Sistem perkemihan : keluaran urine, warna

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas neurologis (defisiensi surfaktan dan ketidakstabilan alveolar)

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapileralveolar 3. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan penurunan lemak subkutan, peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS.

C. INTERVENSI a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas neurologis (defisiensi surfaktan dan ketidakstabilan alveolar) Tujuan yang diharapkan : Pola nafas kembali efektif Kriteria Hasil : 1) Pengembangan dada simetris 2) Irama pernapasan teratur 3) Bernapas mudah 4) Tidak ada suara nafas tambahan Rencana Tindakan Rasional

Intervensi Monitor

kecepatan,

irama, Mengetahui

kedalaman dan upaya nafas

Monitor

apakah

gangguan dalam bernafas

pergerakan, Mengetahui

kemampuan

kesimetrisan dada, retraksi dada bernafas klien dan alat bantu pernafasan

Posisikan

klien

untuk Klien merasa nyaman

memaksimalkan ventilasi dan mengurangi dispnea

ada

Berikan oksigen sesuai program

Mempertahankan oksigen arteri

Alat-alat emergensi disiapkan Kemungkinan terjadi kesulitan dalam keadaan baik bernapas akut

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolar Tujuan yang diharapkan : pertukaran gas kembali normal Kriteria hasil : 1) Menunjukan

perbaikan

ventilasi

dan

oksigenisasi

jaringan

dengan TTV dalam rentang normal. 2) Bebas dari gejala distres pernafasan.

Rencana Tindakan : Intervensi

Rasional

Pantau dispnea, takipnea, bunyi Data dasar untuk menentukan napas,

peningkatan

upaya intervensi lebih lanjut

pernapasan, ekspansi, paru, dan kelemahan

Monitor

intake

dan

output Menjaga keseimbangan cairan

cairan

Jaga

alat

emergensi

dan Persiapan emergensi terjadinya

pengobatan tetap tersedia seperti masalah akut pernafasan ambu bag, ET tube, suction, oksigen

adekuat

Batasi pengunjung

Mengurangi tingkat kecemasan

c. Resiko gangguan termoregulasi : hipotermia berhubungan dengan penurunan lemak subkutan, peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS. Tujuan yang diharapkan : Hipotermia dapat teratasi Kriteria hasil : 1) Suhu axila 36-37˚C 2) RR : 30-60 X/menit 3) Warna kulit merah muda 4) Tidak ada distress respirasi 5) Tidak menggigil 6) Bayi tidak gelisah 7) Bayi tidak letargi Rencana Tindakan : Intervensi

Rasional

Monitor gejala dari hipotermia : Data dasar dalam menentukan fatigue, lemah, apatis, perubahan intervensi warna kulit

Monitor status pernafasan

Mengetahui adanya gangguan pernafasan

Pindahkan bayi dari lingkungan yang dingin ke dalam lingkungan / tempat yang hangat (didalam inkubator atau lampu

Menaikkan suhu tubuh bayi

sorot)

Segera ganti pakaian bayi yang

Pakaian yang dingin dan basah

dingin dan basah dengan pakaian akan yang hangat dan kering, berikan selimut.

membuat

memperburuk kondisi bayi

bayi

DAFTAR PUSTAKA Suriadi & Yuliani. 2010. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto. Ngastiyah. 2014. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC. Huda, Nuratif dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa NANDA NIC-NOC. Jakarta: Media Action. Herdman, T. Heather. 2015. Diagnosis Keperawatan: Difinisi Dan Klasifikasi 20152017/Editor,T. Heather Herdman; Edisi 10. Jakarta: EGC Nurarif, Amin H., Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta : Mediaction Jogja Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan: Difinisi Dan Klasifikasi 20122014/Editor,T. Heather Herdman; Alih Bahasa, Made Suwarwati Dan Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC

Related Documents

Lp Rds Proses.docx
June 2020 8
Rds
April 2020 3
Rds-final
November 2019 7
Askep Rds Baru.docx
November 2019 9
Rds-pe Noul Drum
July 2020 4

More Documents from ""