LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA “An. A ” DENGAN STATUS EPILEPTIKUS OK. HIDROSEFALUS SDH DI RUANG 7 HCU RSUD. Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
(DEPARTEMEN ANAK)
Oleh: Mukhammad Agus Sholi (NIM. 1814314901006)
PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG 2018/2019
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada “An. A” dengan Status Epileptikus ok. Hidrosefalus SDH di Ruang 7 HCU RSUD. Dr. Saiful Anwar Kota Malang Pada Departemen Anak dibuat oleh: Nama
: Mukhammad Agus Sholi
NIM
: 1814314901006
Program Studi : Profesi Ners
Malang, ...............2018 Disetujui Oleh :
Pembimbing Institusi
Pembimbing Klinik
(..............................................)
(.............................................)
LAPORAN PENDAHULUAN
1. PENGERTIAN STATUS EPILEPTIKUS Status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus. Status epileptikus adalah gawat darurat medik yang memerlukan pendekatan terorganisasi dan terampil agar meminimalkan mortalitas dan morbiditas yang menyertai.
2. KLASIFIKASI a. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus. Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonikklonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani. b. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus) Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
c. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus) Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome. d. Status Epileptikus Mioklonik Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif. e. Status Epileptikus Absens Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati. f. Status Epileptikus Non Konvulsif Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens. g. Status Epileptikus Parsial Sederhana 1) Status Somatomotorik Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized
epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik). 2) Status Somatosensorik Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march. h. Status Epileptikus Parsial Kompleks Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme,
gangguan
berbicara,
dan
keadaan
kebingungan
yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus nonkonvulsif pada beberapa kasus.
3. ETIOLOGI Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal. Ada tiga subtipe utama status epileptikus pada anak: kejang demam lama, status epileptikus idiopatik dimana kejang berkembang pada ada atau tidaknya lesi atau serangan sistem saraf pusat yang mendasari, dan status epileptikus bergejala bila kejang terjadi bersama dengan gangguan neurologis atau kelainan metabolik yang lama. Etiologi status epileptikus antara lain alkohol, anoksia, antikonvulsanwithdrawal, penyakit cerebrovaskular, epilepsi kronik, infeksi SSP, Hidrosefalus, toksisitas obat-obatan, metabolik, trauma dan tumor.
4. PATOFISIOLOGI Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan CSS
dilatasi sistem
yang berlebihan
subarachnoid. Keadaan
pada
ventrikel
satu
atau
otak dimana lebih
terjadi
ventrikel
akumulasi
atau
ruang
ini disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan
antara produksi dan absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS yang berlebihan terjadi
diatas hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma subdural atau koleksi cairan subdural. Pada kasus akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem ventrikuler, keadaan ini disebut sebagai hidrosefalus internal. Hidrosefalus timbul akibat terjadi ketidak seimbangan antara produksi dengan absorpsi dan gangguan sirkulasi CSS, sehingga menyebabkan lepasnya muatan listrik abnormal di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan gejala kejang sesaat atau status epileptikus. Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut. Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion natrium dan kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
5. MANIFESTASI KLINIS a. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan. b. Kelainan gambaran EEG. c. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen. d. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya). e. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar. f. Raut muka pucat dan badannya berkeringat. g. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal. h. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat. i. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba. j. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendangmenendang. k. Gigi geliginya terkancing. l. Bola matanya berputar- putar. m. Terkadang keluar busa dari mulut dan diikuti dengan buang air kecil. n. klien sadar kembali dengan lesu, nyeri otot dan sakit kepala.
6. KOMPLIKASI a. Retradasi mental b. IQ rendah c. Kerusakan otak akibat hipoksia jaringan otak d. Hal ini akan menyebabkan efek samping pada penurunan prestasi belajar terutama bagi penderita yang masih dalam masa belajar. e. Otak : Peningkatan Tekanan Intra Kranial, Oedema serebri, Trombosis arteri dan vena otak, Disfungsi kognitif. f. Gagal Ginjal : Myoglobinuria, rhabdomiolisis
g. Gagal Nafas : Apnoe, Pneumonia, Hipoksia, Hiperkapni, Gagal nafas h. Pelepasan Katekolamin : Hipertensi, Oedema paru, Aritmia, Glikosuria, dilatasi pupil, Hipersekresi, hiperpireksia i. Jantung : Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme j. Metabolik
dan
Sistemik
:
Dehidrasi,
Asidosis,
Hiper/hipoglikemia,
Hiperkalemia, Hiponatremia, Kegagalan multiorgan k. Idiopatik : Fraktur, tromboplebitis, DIC l. Komplikasi terburuk status epileptikus adalah kematian.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK a. Pemeriksaan laboratorium 1) Elektrolit : tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang 2) Glukosa
: hipoglikemi, dapat menjadi presipitasi (pencetus kejang)
3) Ureum atau kreatinin
:
meningkat,
dapat
meningkatkan
resiko
timbulnya aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrotoksik yang berhubungan dengan pengobatan. 4) Pungsi lumbal (PL)
: untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS,
tanda-tanda infeksi, perdarahan (hemoragik subarachnoid, subdural) sebagai penyebab kejang tersebut. b. Pemeriksaan EEG Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal, kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12 % pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal). c. MRI
: melokalisasi lesi-lesi fokal.
d. Pemeriksaan radiologis Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika dan sebagainya. Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel, sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak. Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma dan hematoma.
8. PENATALAKSANAAN a. Penatalaksanaan medis 1) Farmakoterapi : Anti kovulsion untuk mengontrol kejang 2) Pembedahan : Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler 3) Jenis obat yang sering digunakan a) Phenobarbital (luminal). Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah. b) Primidone (mysolin) Di
hepar
primidone
di
ubah
menjadi
phenobarbital
dan
phenyletylmalonamid. c) Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Tak berhasiat terhadap petit mal.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus, ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.
d) Carbamazine (tegretol).
Mempunyai
khasiat
psikotropik
yang
mungkin
disebabkan
pengontrolan bangkitan epilepsi itu sendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyai efek psikotropik.
Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkah laku.
Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.
e) Diazepam.
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).
Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
f) Nitrazepam (Inogadon). Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
g) Ethosuximide (zarontine) Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal h) Na-valproat (dopakene)
Obat pilihan kedua pada petit mal
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
Efek samping mual, muntah, anorexia
i) Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.
Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.
j) ACTH Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.
b. Penatalaksanaan keperawatan Cara menanggulangi kejang epilepsi : 1) Selama Kejang
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
Ajarkan penderita untuk mengenali tanda-tanda awal munculnya epilepsi atau yang biasa disebut “aura”. Jika Penderita mulai merasakan aura,
maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2) Setelah Kejang
Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas tidak mengalami gangguan.
Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal.
Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang.
Pasien pada saat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yang hilang selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.
Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
9. PENCEGAHAN Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak
hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
10. PROGNOSIS Hasil neurologis pasca status epileptikus telah membaik secara bermakna sejak penemuan unit perawatan intensif modern dan manajemen agresif kejang yang lama. Angka mortalitas status epileptikus adalah sekitar 5% pada kebanyakan seri. Kebanyakan kematian terjadi pada kelompok bergejala, kebanyakan darinya mempunyai kelainan CSS serius dan mengancam jiwa sebelum mulainya status epileptikus. Bila tidak ada serangan neurologis progresif atau gangguan metabolic, morbiditas status epileptikus adalah rendah.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian 1. Pemeriksaan Fisik a. Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali.
Adakah dispersi bentuk kepala.
Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum.
b. Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
c. Muka/wajah
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah, sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa sehingga wajah tertarik ke sisi sehat.
Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus.
Apakah ada gangguan nervus cranial.
d. Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan.
Apakah keadaan sklera, konjungtiva.
e. Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
f. Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas.
Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya.
g. Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus.
Adakah cynosis.
Bagaimana keadaan lidah.
Adakah stomatitis.
h. Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil.
Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat.
i. Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid.
Adakah pembesaran vena jugulans
j. Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale.
Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan.
k. Jantung
Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya.
Adakah bunyi tambahan.
Adakah bradicardi atau tachycardia.
l. Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen.
Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus.
Adakah tanda meteorismus.
Adakah pembesaran lien dan hepar.
m. Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya.
Apakah terdapat oedema, hemangioma.
Bagaimana keadaan turgor kulit.
n. Ekstremitas
Apakah terdapat oedema atau paralise terutama setelah terjadi kejang.
Bagaimana suhunya pada daerah akral.
o. Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi.
B. Diagnosa Diagnosa yang mungkin muncul pada kejang demam menurut Nanda (2005), yaitu: 1.
PK: Kejang berulang b.d hipertermi
2.
Risiko trauma fisik b.d kurangnya koordinasi otot
3.
Hipertermia b.d proses infeksi
4.
Kurangnya pengetahuan keluarga b.d keterbatasan informasi.
C. Perencanaan No. 1.
Diagnosa PK: berulang
NOC
Kejang
NIC
Setelah dilakukan
b.d
hipertermi
1.
1.
Longgarkan pakaian, berikan
tindakan keperawatan
pakaian tipis yang mudah
3x24 jam diharapkan klien
menyerap keringat.
tidak mengalami kejang
Rasional : proses konveksi
selama berhubungan
akan terhalang oleh pakaian
dengan hiperthermi.
yang ketat dan tidak menyerap
Kriteria hasil
keringat.
:
Tidak terjadi serangan
2.
Berikan kompres dingin
kejang ulang.
Rasional : perpindahan panas
2.
Suhu 36,5 – 37,5 ºC
secara konduksi
3.
Nadi 110 – 120 x/menit
4.
Respirasi
5.
30
–
3.
Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll)
40
x/menit
Rasional : saat demam
Kesadaran
kebutuhan akan cairan tubuh
composmentis
meningkat. 4.
Observasi kejang
dan tanda
vital tiap 4 jam Rasional : Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan. 5.
Batasi aktivitas selama anak panas Rasional : aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas.
6.
Berikan
antipiretik
dan
pengobatan sesuai advis. Rasional : Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis 2.
Risiko
trauma
fisik
Setelah dilakukan
b.d
1.
Beri
pengaman
pada
sisi
tindakan keperawatan
tempat tidur dan penggunaan
kurangnya
3x24 jam diharapkan tidak
tempat tidur yang rendah.
koordinasi otot
terjadi trauma fisik selama
Rasional : meminimalkan
perawatan.
injuri saat kejang
Kriteria Hasil 1.
2.
:
Tidak terjadi
trauma
Tinggalah
bersama
Rasional : meningkatkan
Mempertahankan
keamanan klien. yang
mengontrol
klien
selama fase kejang..
fisik selama perawatan.
tindakan
3.
2.
3.
aktivitas
Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.
kejang.
Rasional : menurunkan resiko
Mengidentifikasi
trauma pada mulut.
tindakan
yang
harus
4.
Letakkan klien di tempat yang
diberikan ketika terjadi
lembut.
kejang.
Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot volunter berkurang.
5.
Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang. Rasional : membantu menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu.
6.
Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal
3.
Hipertermia b.d
Setelah dilakukan
Fever treatment
proses infeksi
tindakan keperawatan
1.
Kaji faktor – faktor terjadinya
3x24 jam diharapkan tidak
hiperthermi.
terjadi peningkatan suhu
Rasional:
Mengetahui
tubuh.
penyebab
Kriteria Hasil :
hiperthermi
1. Suhu
tubuh
suhu tubuh.
2. Nadi dan RR dalam ada
pakaian/selimut
dapat menghambat penurunan
rentang normal.
3. Tidak
karena
penambahan
dalam
rentang normal.
terjadinya
2.
Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali.
perubahan
warna kulit dan tidak ada
Rasional: Pemantauan tanda
pusing.
vital
yang
teratur
menentukan
dapat
perkembangan
keperawatan yang selanjutnya.
3.
Pertahankan
suhu
tubuh
normal Rasional: Suhu tubuh dapat dipengaruhi aktivitas,
oleh
suhu
tingkat
lingkungan,
kelembaban
tinggiakan
mempengaruhi
panas
atau
dinginnya tubuh.
4.
Ajarkan
pada
keluarga
memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak. Rasional:
Proses
konduksi/perpindahan
panas
dengan suatu bahan perantara.
5.
Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun. Rasional:
Proses
hilangnya
panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap keringat.
6.
Atur sirkulasi udara ruangan. Rasional: Penyediaan udara bersih.
7.
Beri
ekstra
cairan
dengan
menganjurkan pasien banyak minum Rasional: Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.
8.
Batasi aktivitas fisik Rasional:
Aktivitas
meningkatkan metabolismedan meningkatkan panas.
4.
Kurangnya
Setelah dilakukan
pengetahuan
tindakan keperawatan
keluarga
b.d
1.
Kaji
tingkat
pengetahuan
keluarga
3x24 jam diharapkan
Rasional : Mengetahui sejauh
keterbatasan
pengetahuan keluarga
mana pengetahuan yang
informasi
bertambah tentang
dimiliki keluarga dan
penyakit bayi nya.
kebenaran informasi yang
Kriteria hasil :
didapat.
1.
Keluarga tidak sering bertanya
2.
tentang
Beri
penjelasan
kepada
keluarga sebab dan akibat
penyakit anaknya.
kejang demam
Keluarga
Rasional : penjelasan tentang
diikutsertakan
3.
2.
mampu dalam
kondisi yang dialami dapat
proses keperawatan.
membantu menambah
Keluarga mentaati setiap
wawasan keluarga
proses keperawatan.
3.
Jelaskan perawatan
setiap
tindakan
yang
akan
dilakukan. Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan 4.
Berikan
Health
Education
tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang demam, antara lain :
a. Jangan panik saat kejang b. Baringkan anak ditempat
rata dan lembut.
c. Kepala dimiringkan. d. Pasang
gagang
sendok
yang telah dibungkus kain yang
basah,
lalu
dimasukkan ke mulut.
e. Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan
obat
tunggu
sampai keadaan tenang.
f. Jika
suhu
tinggi
saat
kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak minum
g. Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama. Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri dalam mengatasi masalah kesehatan. 5.
Berikan Health Education agar selalu
sedia
obat
penurun
panas, bila anak panas. Rasional : mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang. 6.
Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari orang
atau
teman
yang
menderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan suhu. Rasional : sebagai upaya preventif serangan ulang 7.
Beritahukan keluarga jika anak
akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan kepada petugas
imunisasi
anaknya
pernah
bahwa menderita
kejang demam. Rasional : imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang demam.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius Brunner & Suddart . 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. Carolyn M. Hudak. 2001. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi VII. Volume II. Alih Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta : EGC Corwin, E.J. 2002. Handbook of Pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC Price, S.A. & Wilson, L.M. 2002. Pathophysiology : Clinical Concept of Disease Processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.