LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS GENERALISATA
A. Definisi Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan pathogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. (Fauci et al, 2008). Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal. Pada saat ini penanganan peritonitis dan abses peritoneal melingkupi pendekatan multimodal yang berhubungan juga dengan perbaikan pada faktor penyebab, administrasi antibiotik, dan terapi suportif untuk mencegah komplikasi sekunder dikarenakan kegagalan sistem organ.
B. Etiologi 1) Infeksi bakteri a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal b. Appendisitis yang meradang dan perforasi c. Tukak peptik (lambung / dudenum) d. Tukak thypoid e. Tukan disentri amuba / colitis
1
f. Tukak pada tumor g. Salpingitis h. Divertikulitis Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii. 2) Faktor ekstrinsik (dari luar) a. Operasi yang tidak steril b. Trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa, ruptur hati
C. Patofisiologi Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang akan dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia. Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut.Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria. Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut
menyebabkan
mukus
yang
diproduksi
mukosa
mengalami
bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga oedem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.
D. Klasifikasi Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Peritonitis bakterial primer Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Spesifik : misalnya Tuberculosis 2. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa) Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari: 1. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal. 2. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis
yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. 3. Komplikasi
dari
proses
inflamasi
organ-organ
intra
abdominal,
misalnya
appendisitis. c. Peritonitis tersier, misalnya: 1. Peritonitis yang disebabkan oleh jamur 2. Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. 3. Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
d. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis: 1. Aseptik/steril peritonitis 2. Granulomatous peritonitis 3. Hiperlipidemik peritonitis 4. Talkum peritonitis
E. Tanda dan Gejala Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease.Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatrik.
F. Manifestasi Klinis Diagnosis peritonitis biasanya didapatkan secara klinis. Umumnya semuapasien hadir dengan keluhan berbagai derajat nyeri abdomen. Nyerinya dapat akut maupun kronis. Umumnya nyerinya dalam bentuk nyeri tumpul dengan tidak terlokalisasi dengan baik
(peritoneum visceral) yang kemudian berkembang menetap, makin parah dan makin terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika proses infeksi tidak terbendung, nyeri akan menjadi difus. Pada beberapa penyakit penyebab (seperti perforasi gaster, pakreatitis akut yang berat, iskemi intestin) nyeri abdomen dapat tergeneralisasi dari awal. Anoreksia dan nausea sering muncul dan dapat mendahului perkembangan nyeri abdomen. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal. Pada pemeriksan fisik, pasien dengan peritonitis sering tampak tidak sehat dan pada keadaan berbahaya. Demam dengan temperatur melebihi 38°C dapat ditemukan, tapi pasien dengan sepsis berat dapat ditemukan dalam keadaan hipotermia. Takikardi muncul akibat mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit, demam serta hilangnya sepertiga ruang peritoneal. Dengan dehidrasi yang progresif, pasien akan menjadi hipotensi, yang menunjukan penurunan output urin dan dengan peritonitis berat. Pada pemeriksaan abdomen, pada dasarnyasemua pasien menunjukan adanya tenderness pada palpasi, (pada saat pemeriksaan pasien dengan suspect peritonitis sebaiknya pasien sebaiknya berbaring dengan posisi lutut lebih tinggi agar pasien dapat lebih relaksasi pada dinding abdomennya). Pada banyak pasien (baik pada peritonitis dan nyeri abdomen difus yang berat) titik tenderness maksimal atau atau referred rebound tenderness terletak pada tempat proses patologis. Pada banyak pasien menunjukan adanya peningkatan rigiditas dinding abdomen. Peningkatan tonus otot dinding abdomen dapat secara volunter akibat respon atau antisipasi pada pemeriksaan abdomen atau secara involunter karena iritasi peritoneal. Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari banyak gerak dan memfleksikan pinggulnya untuk mengurangi tekanan dinding abdomen. Abdomen terkadang distensi, dengan suara usus
hipoaktif hingga tidak terdengar.Pemeriksaan rektal kerap mengakibatkan nyeri abdomen. Massa peradangan lunak yang terletak pada anterion kanan mungkin mengindikasikan appendisitis dan anterio fullness dan fluktuasi dapat mengindikasikan sebuah abses cul de sac. Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual dan vaginal dapat mengarahkan pada differential diagnosis penyakit inflamasi pelvis (seperti endometritis, salfingo-oovoritis, abses tuba ovarii). Tapi temuannya kerap sulit untuk diinterpretasikan sebagai peritonitis berat. Pada saat mengevaluasi pasien dengan dugaan infeksi peritoneal, melakukan pemeriksaan fisik yang lengkap adalah hal yang sangat penting. Prosesus thoracic dengan iritasi diafragma (seperti empiema), proses ekstraperitoneal (seperti pyelonephritis, cystitis, retensi urin akut), dan proses dinding abdomen (seperti infeksi, hematoma recti) dapat terlihat seperti tanda-tanda maupun gejala peritonitis. Sering kali hasil dan temuan pemeriksaan klinis sama sekali tidak reliable pada pasien dengan immunosupresi yang berarti (seperti pasien diabetes berat, pengguna steroid, status post-transplantasi, HIV), pada pasien dengan perubahan status mental (seperti cedera kepala, ensepalopati toksik, shock sepsis, agen analgesik), pada pasien paraplegi dan apda pasien usia lanjut. Dengan infeksi peritoneal dalam yang terlokalisasi, demam dengan atau tanpa peningkatan hitung WBC mungkin satu-satunya tanda yang ditemukan. Kebanyakan pasien dengan TP menunjukan hanya gejala vagal dan mungkin afebril..
G. Penatalaksanaan 1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk mengganti elektrolit
dan kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan melalui hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus. 2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan perbaikan dapat diupayakan. 3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti apendiktomi. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase terhadap abses.
H. Komplikasi 1. Eviserasi Luka 2. Pembentukan abses
I. Pemeriksaan Penunjang 1. Test laboratorium a.
Leukositosis
b.
Hematokrit meningkat
2. X. Ray Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan : a.
Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b.
Usus halus dan usus besar dilatasi.
c.
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3. USG USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada kuadran kanan atas (abses perihepatik, kolesistitis, dll), kuadran kanan bawah dan kelainan di daerah pelvis. Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu karena penderita merasa tidak nyaman, adanya distensi abdomen dan gangguan distribusi gas abdomen. USG juga dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan peritoneum (asites), tetapi kemampuan mendeteksi jumlah cairan < 100 ml sangat terbatas. Area sentral dari rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan dengan baik dengan USG tranabdominal. Pemeriksaan melalui daerah flank atau punggung bisa meningkatkan ketajaman diagnostik. USG dapat dijadikan penuntun untuk dilakukannya aspirasi dan penempatan drain yang termasuk sebagai salah satu diagnosis dan terapi pada peritonitis. 4. CT SCAN Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, maka CT Scam tidak lagi diperlukan. CT Scan abdomen dan pelvis lebih sering digunakan pada kasus intraabdominal abses atau penyakita pada organ dalam lainnya. Jika memungkinkan, CT Scan dilakukan dengan menggunakan kontra ntravena. CT Scan dapat mendeteksi cairan dalam jumlah yang sangat minimal, area inflamasi dan kelainan patologi GIT lainnya dengan akurasi mendekati 100%. Abses peritoneal dan pengumpulan cairan bisa dilakukan aspirasi dan drain dengan panduan CT Scan.
J. WOC (Web Of Caucion) Peritonitis
Infeksi bakteri
Faktor ekstrinsik
(E.coli, streptokokus aureus,enterokokus)
(operasi tidak steril,trauma kecelakaan)
Luka abdomen Invasi bakteri Robekan pada usus Eksudat fibrinosa Rupture usus Abses
Resiko penyebaran infeksi
Peritonitis
Infeksi peritoneum
Peradangan
Prognosis penyakit
Suhu tubuh Obstruksi usus
meningkat
Akumulasi gas dan cairan
Hipertermi
Penekanan / mendesak jaringan
Cedera sel
Klien tampak
Klien bertanya
gelisah
Tanya tentang
dalam lumen proksimal dari obstruksi
penyakitnya Degranulasi sel mast Ansietas Pelepasan mediator kimia
Mual dan
Susah
Muntah
BAB Nociseptor
Resiko tinggi Kekurangan volume cairan
Konstipasi Medulla spinalis
Korteks serebri Anoreksia Nyeri Akut Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
Kurang pengetahuan
K. Asuhan Keperawatan Teoritis Peritonitis
1. Pengkajian Data Subyektif a. Pasien mengatakan nyeri didaerah perutnya, nyeri sedang b. Pasien mengatakan mual dan muntah c. Pasien mengatakan tidak nafsu makan d. Pasien mengatakan demam e. Pasien mengatakan badannya meriang f. Pasien mengatakan susah buang air besar g. Pasien mengatakan dadanya berdebar-debar, pusing dan nafasnya cepat h. pasien bertanya-tanya tentang penyakitnya Data Obyektif a. Pasien tampak meringis b. Mukosa mulut pasien kering c. Turgor kulit pasien buruk d. Pasien tampak gelisah e. Pasien tampak lemas f. Badan pasien teraba panas g. RR pasien meningkat h. Nadi pasien meningkat i. Tekanan Darah pasien meningkat j. Berat badan pasien menurun k. Perut pasien kembung
2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen/peritoneal (distensi abdomen) yang ditandai dengan pasien mengatakan nyeri pada bagian abdomen, pasien tampak meringis kesakitan. 2. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder akibat infeksi atau inflamasi ditandai dengan pasien mengatakan demam, badan pasien teraba panas. 3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus ditandai dengan pasien mengatakan sembelit, terdapat benjolan dikuadran bawah atau pelvis. 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prognosis penyakitnya ditandai dengan pasien bertanya-tanya tentang penyakitnya.
3. Perencanaan No. 1.
Dx Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Rencana Keperawatan
Rasional
Nyeri akut yang
Tujuan : nyeri pasien dapat
Mandiri
Mandiri
berhubungan dengan
berkurang dengan
akumulasi cairan
Kriteria Hasil:
1. Kaji skala nyeri pasien
1. Mengetahui penyebab,
dalam rongga
1.Skala nyeri berkurang
abdomen/peritoneal
2.Pasien tidak meringis
lokasi, gejala dan
(distensi abdomen)
3.TTV pasien normal
periode nyeri yang
- RR = 16-20 x / menit
dialami pasien
- TD = 120/80 mmHg
sehingga dapat
- Nadi = 80-100 x/menit
memberikan
dengan metode PQRST
skala nyeri, kualitas,
penanganan yang sesuai dengan keadaan pasien
2. Kaji TTV pasien terutama nadi,RR dan tekanan darah
2. Sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya
3. Pertahankan posisi semi
3. Memudahkan drainase
fowler sesuai indikasi
cairan/luka karena gravitasi dan membantu
meminimalkan nyeri karena gerakan.
4. Ajarkan penggunaan
4. Agar pasien dapat
manajemen nyeri, tehnik
menggunakan tehnik-
keadaan hangat
tehnik meningkatkan nafsu makan pasien.
5. Berikan tindakan
5. Meningkatkan
kenyamanan contoh pijatan
relaksasi dan mungkin
punggung, nafas
meningkatkan
dalam,latihan
kemampuan koping
relaksasi/visualisasi
pasien dengan memfokuskan kembali perhatian.
Kolaborasi
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik
Kolaborasi 6. Menurunkan laju metabolik dan iritasi usus karena toksin sirkulasi/local yang membantu
menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan.
2.
Hipertermi
Tujuan : suhu tubuh pasien
berhubungan dengan
kembali normal dengan
kerusakan kontrol
Kriteria Hasil:
suhu sekunder akibat infeksi atau inflamasi.
1. Suhu tubuh pasien
Mandiri
Mandiri
1. Kaji TTV, terutama suhu
1. Sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
tubuh pasien
normal (36,5-370 C) 2. Pasien tidak meriang 3. Kulit tidak teraba hangat
2. Berikan
kompres
hangat
pada daerah dahi dan ketiak
2.
Perpindahan
panas
secara konduksi dari tubuh
pasien
kompres,
ke akan
membantu mempercepat penurunan suhu tubuh pasien.
3. Anjurkan
pasien
untuk
3. Mengatasi pengeluaran
mengkonsumsi cairan dalam
cairan melalui keringat
jumlah yang cukup (1500-
akibat
2000 ml)
suhu tubuh.
peningkatan
Kolaborasi
Kolaborasi
4. Kolaborasi dengan dokter
4. Membantu mempercepat
dalam pemberian antipiretik 3.
Konstipasi
Tujuan : BAB pasien lancar
berhubungan dengan
dengan
penurunan peristaltik
Kriteria Hasil:
usus.
1. BAB pasien teratasi 2. Peristaltik normal
penurunan suhu tubuh
Mandiri
Mandiri
1. Catat adanya distensi
1. Distensi dan hilangnya
abdomen dan auskultasi
peristaltic usus
peristaltic usus.
merupakan tanda fungsi defekasi hilang
3. Perut tidak kembung 2. Anjurkan pasien untuk
2. Untuk menstimulasi
miring kanan dan miring
peristaltic yang
kiri
memfasilitasi kemungkinan terbentuknya flatus
3. Beri pasien makanan yang mengandung serat
3. Makanan berserat dapat melembekkan feses Kolaborasi
Kolaborasi
4. Untuk memperlancar 4. Kolaborasi dalam pemberian huknah/lavement dan obat supositoria 4 Kurang pengetahuan
Tujuan : pengetahuan pasien
.
berhubungan dengan
tentang penyakitnya bertambah
prognosis penyakitnya.
dengan
Mandiri 1. Dorong
Kriteria Hasil: 1. Pasien tidak bertanyatanya lagi tentang
keluarnya feses.
Mandiri pasien
untuk
1. Pasien termotivasi untuk
menanyakan hal-hal yang
bertanya tentang hal-
ingin diketahui mengenai
hal yang ingin dia
penyakitnya.
ketahui
mengenai
penyakitnya, sehingga
penyakitnya.
pengetahuannya dapat
2. Pasien mengerti dan
bertambah.
memahami tentang penyakitnya 2. Berikan informasi mengenai hal-hal yang ingin diketahui pasien penyakitnya.
mengenai
2.
Pengetahuan tentang
pasien
penyakitnya
dapat bertambah.
3. Tanyakan kembali kepada pasien tentang hal-hal yang telah dijelaskan perawat
3.
Mengetahui
tingkat
pemahaman pasien.
DAFTAR PUSTAKA Doegoes, M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: ECG Smeltzer, Bare.2002. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta: EGC Mansjoer, Arif, DKK. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius