UNIVERSITAS JEMBER
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN NYERI DI INSTALASI BEDAH SENTRAL (IBS) RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER
OLEH: Kelompok 4 Rini Novitasari, S.Kep. NIM 122311101040 Saltish Aguinaga, S.Kep. NIM 132311101046 Ika Adelia Susanti, S.Kep. NIM 142311101093
PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER MEI, 2018
i
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Nyeri di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan di sahkan pada Hari, Tanggal : Selasa, 29 Mei 2018 Tempat : Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSD dr. Soebandi Jember
Jember, 29 Mei 2018
Pembimbing Akademik Stase Keperawatan Bedah FKep Universitas Jember
Pembimbing Klinik Instalasi Bedah Sentral RSD dr. Soebandi Jember
Ns. Baskoro Setioputro, M. Kep NIP. 19830505 200812 1 004
H. Mustakim, S.Kep. Ns. MMKes. NIP. 19750225 199703 1 003
ii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii DAFTAR ISI .............................................................................................. iii LAPORAN PENDAHULUAN ................................................................. 1 A. Pengertian Nyeri .................................................................................. 1 B. Etiologi Nyeri ....................................................................................... 2 C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri ........................................... 3 D. Klasifikasi Nyeri .................................................................................. 5 E. Manifestasi Klinis Nyeri .................................................................... 8 F. Patofisiologi Nyeri ............................................................................. 9 G. Pengukuran Nyeri ................................................................................ 11 H. Penatalaksanaan Nyeri ......................................................................... 17 I. Clinical Pathway .................................................................................. 21 J. Asuhan Keperawatan ........................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 29
iii
LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN FRAKTUR HUMERUS Oleh : Kelompok 4
A. Pengertian Nyeri Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, yang menyakitkan tubuh serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk, 2009). Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat individual. Dikatakan bersifat individual karena respons individu terhadap sensasi nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu dengan lainnya. Hal tersebut menjadi dasar bagi perawat dalam mengatasi nyeri pada klien. Nyeri diartikan berbeda-beda antar individu, bergantung pada persepsinya. Walaupun demikian, ada kesamaan mengenai persepsi nyeri. Secara sederhana, nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau faktor lain, sehingga individu merasa tersiksa, menderita yang akhirnya akan mengganggu aktivitas sehari-hari, psikis, dan lain-lain (Asmadi, 2008). Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah sesuatu yang menyakitkan tubuh yang diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya. Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentiftkasi. Meskipun beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. (Potter & Perry, 2005). Nyeri sering kali dikaitkan dengan kerusakan pada tubuh
1
yang merupakan peringatan terhadap adanya ancaman yang bersifat aktual maupun potensial (Kyle & Carman, 2015) Berdasarkan definisi- definisi di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensori yang tidak menyenangkan dan menyakitkan bagi tubuh sebagai respon karena adanya kerusakan atau trauma jaringan maupun gejolak psikologis yang diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya.
B. Etiologi Nyeri Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah, dan lain-lain. Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena adanya trauma psikologis. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan, ataupun luka. Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat. Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri (Asmadi, 2008). Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau kerusakan jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan, jepitan, atau metastase. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nyeri yang disebabkan oleh faktor fisik berkaitan dengan terganggunya saraf reseptor nyeri. Serabut saraf ini terletak dan tersebar pada lapisan kulit dan pada jaringan-jaringan tertentu yang terletak lebih dalam. Nyeri yang disebabkan faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab organik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Kasus ini dapat dijumpai pada kasus yang termasuk kategori psikosomatik. Nyeri karena faktor ini disebut pula physhogenic pain (Asmadi, 2008).
2
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional, pengalaman nyeri masa lalu, sumber nyeri dan dasar pengetahuan pasien. Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone & Burke, 2008). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain: 1. Pengalaman nyeri masa lalu Semakin sering individu mengalami nyeri, makin takut pula individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri; akibatnya, individu ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannva tidak adekuat (Potter & Perry, 2005). 2. Kecemasan Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik, kecemasan pasien menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada susunan saraf pusat. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone & Burke, 2008). 3. Umur Umumnya para lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain pihak, normalnya kondisi nycri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses
3
penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf normal (Le Mone & Burke, 2008). Cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena individu lansia mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada lansia. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakitnya (misalnya diabetes), akan tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Le Mone & Burke, 2008). 4. Jenis Kelamin Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan jenis kelamin (Le Mone & Burke , 2008). Di beberapa kebudayaan menyebutkan bahwa anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama. Toleransi nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis kelamin. Meskipun penelitian tidak menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik opioid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Potter & Perry, 2005). 5. Sosial Budaya Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya dapat membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan
4
pada harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif dalarn menghilangkan nyeri pasien (Potter & Perry, 2005). 6. Nilai Agama Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai cara untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu menghadapi nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini mungkin menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya; karena akan mengurangi persembahan mereka (Potter & Perry, 2005). 7. Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi nyeri seseorang. Pada beberapa pasien yang mengalami nyeri seringkali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, perlindungan. Walaupun nyeri tetap terasa, tetapi kehadiran orang yang dicintainya akan dapat meminimalkan rasa kecemasan dan ketakutan. Apabila keluarga atau teman tidak ada seringkali membuat nyeri pasien tersebut semakin tertekan. Pada anak-anak yang mengalami nyeri kehadiran orang tua sangat penting (Potter & Perry, 2005).
D. Klasifikasi Nyeri Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu lamanya serangan (Asmadi, 2008). 1. Nyeri berdasarkan tempatnya a) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada kulit, mukosa b) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral
5
c) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri d) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus, dan lain-lain. 2. Nyeri berdasarkan sifatnya a) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang b) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama c) Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit, lalu menghilag, kemudian timbul lagi. 3. Nyeri berdasarkan berat ringannya a) Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah b) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi c) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi 4. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan a) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri koroner b) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari 6 bulan. Nyeri kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahuntahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali lagi nyeri, dan begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan, artinya rasa nyeri tersebut terus-menerus terasa semakin lama semakin meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan. Misalnya, pada nyeri karena neoplasma.
6
Nyeri Akut :
Nyeri Kronis :
1. Waktu : kurang dari 6 bulan
1. Waktu : lebih dari 6 bulan
2. Daerah nyeri terlokalisasi
2. Daerah nyeri menyebar
3. Nyeri
terasa
tajam
seperti 3. Nyeri terasa tumpul seperti
ditusuk, disayat, dicubit, dan lain-lain
4. Respons
4. Respons sistem saraf simpatis : takikardia, tekanan
peningkatan darah,
pucat,
berkeringat, dan dilatasi pupil 5. Penampilan
ngilu, linu, dan lain-lain
klien
sistem
parasimpatis tekanan
:
penurunan
darah,
bradikardia,
kulit kering, panas, dan pupil konstriksi
tampak 5. Penamilan
cemas, gelisah, dan terjadi
saraf
klien
tampak
depresi dan menarik diri
ketegangan otot Berdasarkan sumbernya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri nosiseptif dan neuropatik (Potter & Perry, 2005). 1. Nyeri nosiseptif Nosiseptif berasal dari kata “noxsious/harmful nature” dan dalam hal ini ujung saraf nosiseptif, menerima informasi tentang stimulus yang mampu merusak jaringan. Nyeri nosiseptif berdifat tajam, dan berdenyut (Potter & Perry, 2005). 2. Nyeri neuropatik Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di luar sel saraf. Nyeri neuropatik terasa seperti terbakar kesemutan dan hipersensitif terhadap sentuhan atau dingin. Nyeri spesifik terdiri atas beberapa macam, antara lain nyeri somatik, nyeri yang umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit (superficial) pada otot dan tulang. Macam lainnya adalah nyeri menjalar (referred pain) yaitu nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang jauh letaknya dari jaringan yang menyebabkan rasa nyeri, biasanya dari cidera organ visceral. Sedangkan nyeri visceral adalah nyeri yang berasal dari bermacammacam organ viscera dalam abdomen dan dada (Guyton & Hall, 2008).
7
E. Manifestasi Klinis Nyeri Berdasarkan NANDA (2015-2017) tanda dan gejala nyeri antara lain: 1. Dilatasi pupil 2. Ekspresi wajah nyeri misalkan mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus, meringis) 3. Mengekspresikan perilaku misalnya gelisah, merengek, menangis, waspada 4. Perubahan perilaku untuk menghindari nyeri 5. Perubahan selera makan 6. Sikap melindungi area sekitar nyeri 7. Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkan nyeri 8. Keluhan tentang intensitas nyeri menggunakan standar skala nyeri. 9. Nyeri akut dapat mencetuskan takikardi, hipertensi dan midriasis, tetapi tidak bersifat diagnostik. Kozier, dkk. (2009) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan parasimpatis) sebagai berikut: 1. Respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis. 2. Respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat , berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan, kelelahan, dan pucat . Tanda dan gejala nyeri berdasarkan tingkat nyeri, yaitu : 1. Nyeri ringan Nyeri pada tingkat ringan masih dapat ditahan atau ditoleransi, tidak mengganggu aktivitas seseorang. Nyeri yang dirasakan dapat berupa seperti gigitan nyamuk, cubitan, atau saat disuntik. Nyeri ringan dapat hilang dalam waktu singkat dan tanpa dilakukan pemberian terapi obat.
8
2. Nyeri Sedang Nyeri pada tingkat sedang dapat mengganggu aktivitas seseorang. Nyeri yang dirasakan lebih kuat, dalam, dan menusuk, seperti sakit gigi, nyeri disengat tawon, terkilir, keseleo, seseorang dapat tidak fokus, penderita mengomel, tidak dapat diam tenang, postur tubuh melindungi daerah yang nyeri, berkeringat, dan komunikasi terganggu. Nyeri sedang dapat dilakukan pemberian terapi obat, nyeri tersebut akan hilang setelah beberapa saat dan tidak datang kembali. 3. Nyeri berat Nyeri pada tingkat berat biasanya dirasakan begitu kuat dan rasa nyeri sangat mendominasi penderita yang dapat menyebabkan penderita tidak mampu berkomunikasi dengan baik (penderita dapat berteriak dan menangis), tidak dapat berpikir jernih, mengalami perubahan kepribadian jika nyeri datang dan berlangsung lama, penderita mengalami gangguan pola tidur, tidak dapat ditolerir (ingin segera menghilangkan rasa nyeri bagaimanapun caranya), dan bahkan sampai penderita tidak sadarkan diri.
F. Patofisiologi Nyeri Nyeri merupakan suatu fenomena yang pebuh rahasia dan menggugah rasa ingin tahu para ahli. Begitu pula untuk menjelaskan bagaimana nyeri tersebut terjadi masih merupakan suatu misteri. Namun, demikian ada beberapa teori yang menjelaskan mekanisme transmisi nyeri (Asmadi, 2008). Teori tersebut diantaranya adalah :
1. The Specificity Theory (Teori Spesifik) Otak menerima informasi mengenai objek eskternal dan struktur tubuh melalui saraf sensori. Saraf sensosi untuk setiap indera perasa bersifat spesifik. Artinya, saraf sensori dingin hanya dapat dirangsang oleh sensasi dingin, bukan oleh panas. Begitu pula saraf sensori lainnya. Ada dua tipe serabut saraf yang menghantarkan stimulus nyeri yaitu serabut saraf tipe delta A dan serabut saraf tipe C.
9
Serabut Saraf Tipe Delta A:
Serabut Saraf Tipe C :
1. Daya hantar sinyal relatif cepat
1. Daya hantar sinyal lebih lambat
2. Bermielin halus dengan diameter 2. Tidak bermielin dengan diameter 2-5 mm
0,4-1,2 mm
3. Membawa rangsangan nyeri yang 3. Membawa menusuk
rangsangan
nyeri
terbakar dan tumpul
4. Serabut saraf tipe ini berakhir di 4. Serabut saraf tipe ini berakhir di kornu dorsalis dan lamina I.
lamina II, III, dan IV.
Menurut teori spesifik ini, timbulnya sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh perubahan mekanik, rangsangan kimia, atau temperatur yang berlebihan. Persepsi nyeri yang dibawa oleh serabut saraf nyeri diproyeksikan oleh spinotalamik ke spesifik pusat nyeri di talamus. 2. The Intensity Theory (Teori Intensitas) Nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada reseptor. Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika intesitasnya cukup kuat. 3. The Gate Control Theory (Teori Kontrol Pintu) Teori ini menjelaskan mekanisme transmisi nyeri. Kegiatannya bergantung pada aktivitas serat saraf aferen berdiameter besar attau kecil yang dapat memengaruhi sel saraf di substansia gelatinosa. Aktivitas serat yang berdiameter besar menghmabat transmisi yang artinya “pintu ditutup” sedangkan serat saraf yang berdiameter kecil mempermudah transmisi yang artinya “pintu dibuka”. Tetapi menurut penelitian terakhir, tidak ditemukan hambatan presinaptik. Hambatan oleh presinaptik pada serat berdiameter besar mamupun kecil hanya terjadi bila serat tersebut dirangsang berturutturut. Oleh karena tidak semua sel saraf di subtansia geltinosa menerima input konvergen dari sel saraf besar mapun keil baik membahayakan atau tidak, maka penanan kontrol pintu ini menjadi tidak jelas. Reseptor nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor mencakup ujung-ujung saraf bebas yang berespon terhadap berbagai rangsangan termasuk tekanan mekanis,
10
deformasi, suhu yang ekstrim, dan berbagai bahan kimia. Pada rangsangan yang intensif, reseptor-reseptor lain misalnya badan Pacini dan Meissner juga mengirim informasi yang dipersepsikan sebagai nyeri. Zat-zat kimia yang memperparah nyeri antara lain adalah histamin, bradikini, serotonin, beberapa prostaglandin, ion kalium, dan ion hydrogen. Masing-masing zat tersebut tertimbun di tempat cedera, hipoksia, atau kematian sel. Nyeri cepat (fast pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat A delta, nyeri lambat (slow pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat C lambat. Serat-serat C tampak mengeluarkan neurotransmitter substansi P sewaktu bersinaps di korda spinalis. Setelah di korda spinalis, sebagian besar serat nyeri bersinaps di neuron-neuron tanduk dorsal dari segmen. Namun, sebagian serat berjalan ke atas atau ke bawah beberapa segmen di korda spinalis sebelum bersinaps. Setelah mengaktifkan sel-sel di korda spinalis, informasi mengenai rangsangan nyeri dikirim oleh satu dari dua jaras ke otak - traktus neospinotalamikus atau traktus paleospinotalamikus. Informasi yang di bawa ke korda spinalis dalam serat-serat A delta di salurkan ke otak melalui serat-serat traktus neospinotalamikus. Sebagian dari serat tersebut berakhir di reticular activating system dan menyiagakan
individu terhadap adanya nyeri, tetapi
sebagian besar berjalan ke thalamus. Dari thalamus, sinyal-sinyal dikirim ke korteks sensorik somatik tempat lokasi nyeri ditentukan dengan pasti. Informasi yang dibawa ke korda spinalis oleh serat-serat C, dan sebagian oleh serat A delta, disalurkan ke otak melalui serat-serat traktus paleospinotalamikus. Serat-serat ini berjalan ke daerah reticular dibatang otak, dan ke daerah di mesensefalon yang disebut daerah grisea periakuaduktus. Serat- serat paleospinotalamikus yang berjalan melalui daerah reticular berlanjut untuk mengaktifkan hipotalamus dan system limbik. Nyeri yang di bawa dalam traktus paleospinotalamik memiliki lokalisasi difus dan menyebabkan distress emosi berkaitan dengan nyeri.
G. Pengukuran Nyeri Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri
11
adalah hal yang sulit. Ada beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain : a. Numeric Rating Scale (NRSs) Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10. “0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan “10” menggambarkan nyeri yang hebat.
b. Neonatal Infant Pain Scale (NIPS) Neonatal Infant Pain Scale menggunakan enam indicator meliputi facial expression (skor 0-1), Cry (skor 0-2), Breathing Pattern (skor 0-1), Arms (skor 0-1), Legs (skor 0-1) dan State of Arousal (skor 0-1). Skala direkomendasikan untuk anak dibawah satu tahun.
12
c. Skala Wajah Whaley dan Wong Skala wajah dapat digunakan untuk anak-anak, karena anak-anak dapat diminta untuk memilih gambar wajah sesuai rasa nyeri yang dialaminya. Pilihan ini kemudian diberi skor angka. Skala wajah Whaley dan Wong menggunakan 6 kartun wajah, yang menggambarkan wajah tersenyum, wajah sedih, sampai menangis, dan tiap wajah ditandai dengan angka 0 sampai 5.
13
d. Behavioural Pain Scale (BPS) BPS merupakan skala yang terdiri dari tiga indikator yaitu: ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas atas, dan toleransi terhadap ventilasi mekanik. Alasan penggunaan tiga indikator ini adalah sebagai berikut: Pergerakan saat dilakukannya suatu prosedur biasanya dianggap sebagai indikator nyeri perilaku dan banyak disertakan dalam skala nyeri perilaku pada anak. Ekspresi wajah dihubungkan dengan berbagai stimulasi nosiseptif yang menghasilkan bukti untuk ekspresi wajah dapat diterima secara luas sebagai indikator nyeri. Toleransi terhadap ventilasi mekanik sebagai suatu respon terhadap stimulasi nosiseptif belum banyak mendapat perhatian. Pengamatan rutin dari perawat menunjukkan bahwa pasien yang terintubasi memberikan respon terhadap nyeri dengan perubahan toleransi terhadap ventilasi mekanik (batuk, melawan).
e. Verbal Rating Scale (VRSs) Menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan
14
karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri, yaitu: a) Tidak nyeri (none) b) Nyeri ringan (mild) c) Nyeri sedang (moderate) d) Nyeri berat (severe) e) Nyeri sangat berat (very severe)
f. Visual Analogue Scale (VASs) Paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien berada dalam nyeri hebat.
g. McGill Pain Questionnaire (MPQ) Menggunakan check list untuk mendeskripsikan gejala-gejala nyeri yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain 15
sensorik, afektif, dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan meranking dari “0” sampai “3”.
16
H. Penatalaksanaan Nyeri 1. Farmakologi Manajemen farmakologi yang dilakukan adalah pemberian analgesik atau obat penghilang rasa sakit (Blacks & Hawks, 2009). Penatalaksanaan farmakalogi adalah pemberian obat-obatan untuk mengurangi nyeri. Obat-obatan yang diberikan dapat digolongkan kedalam: a) Analgesik opioid (narkotik) Analgesik opioid terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan kodein. Opioid meredakan nyeri dan memberi rasa euforia lebih besar dengan mengikat reseptor opiat dan mengaktivasi endogen (muncul dari penyebab di dalam tubuh) penekan nyeri dalam susunan saraf pusat. Perubahan alam perasaan dan sikap serta perasaan sejahtera membuat individu lebih nyaman meskipun nyeri tetap dirasakan (Kozier, et al., 2010). Opioid adalah obat yang aman dan efektif. Obat-obatan ini bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas dan durasi yang lebih lama dalam menurunkan nyeri yang dialami seseorang (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002). b) Obat-obatan anti-inflamasi nonopioid/nonsteroid (non steroid antii nflamation drugs/NSAID) Non opioid mencakup asetaminofen dan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti ibuprofen. NSAID memiliki efek anti inflamasi, analgesik, dan antipiretik, sementara asetaminofen hanya memiliki efek analgesik dan antipiretik. Obat-obatan ini meredakan nyeri dengan bekerja pada ujung saraf tepi di tempat cedera dan menurunkan tingkat mediator inflamasi serta mengganggu produksi prostaglandin di tempat cedera (Kozier, et al., 2010). Non opioid dan NSAID memiliki peran yang berguna dalam manajemen
nyeri,
khususnya
pada
kondisi-kondisi
gangguan
muskuloskletetal. Obat-obatan yang biasanya digunakan diantaranya adalah ibuprofen, naproxen dan diclofenac (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002). c) Analgesik penyerta Analgesik penyerta adalah sebuah obat yang bukan dibuat untuk penggunaan analgesik tetapi terbukti mengurangi nyeri kronik dan kadang kala nyeri akut, selain kerja utamanya. Misalnya, sedatif ringan atau penenang dapat membantu mengurangi ansietas, stres dan ketegangan
17
sehingga pasien dapat tidur dengan baik di malam hari. Antidepresan digunakan untuk mengatasi gangguan depresi atau gangguan alam perasaan yang mendasari tetapi dapat juga meningkatkan strategi nyeri yang lain. Antikonvulsan, biasanya diresepkan untuk mengatasi kejang, dapat berguna dalam mengendalikan neuropati yang menyakitkan (Kozier, et al., 2010). 2. Non farmakologi Blacks dan Hawks (2009) penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi dapat dilakukan dengan cara terapi fisik (meliputi stimulasi kulit, pijatan, kompres hangat dan dingin, TENS, akupunktur dan akupresur) serta kognitif dan biobehavioral terapi (meliputi latihan nafas dalam, relaksasi progresif, rhytmic breathing, terapi musik, bimbingan imaginasi, biofeedback, distraksi, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnosis, humor dan magnet). Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai salah satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun begitu banyak aktifitas keperawatan nonfarmakologi yang membantu dalam menghilangkan nyeri. Bentuk-bentuk penatalaksanaan nonfarmakologi menurut Smeltzer & Bare (2002) : a) Stimulasi dan Massage Massage Stimulasi tubuh secara umum, sering dipusatkan pada pinggang dan bahu, massage menstimulasi reseptor tidak nyeri, massage juga membantu pasien lebih nyaman karena membuat relaksasi otot. b) Terapi Es dan Panas Terapi Es Dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitifitas reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran darah yang dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan nyeri. c) Stimulasi Syaraf Elektris Transkutan (TENS) TENS merupakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektrode yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan atau menggetar pada area nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori gate kontrol dimana mekanisme ini akan menutup transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden sistem syaraf pusat untuk menurunkan intensitas nyeri.
18
d) Tehnik Distraksi Dilakukan dengan memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri Universitas Sumatera Utara yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan trasmisi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. e) Tehnik Relaksasi Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress yang mampu memberikan individu kontrol ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri fisik dan emosi pada nyeri. 6. Hipnosis Efektif menurunkan nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu pereda nyeri terutama dalam periode sulit 3. Terapi invasif Terapi invasif adalah suatu tindakan atau terapi untuk menghilangkan nyeri yang sifatnya permanen, dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir, secara umum tindakan ini dilakukan untuk mengatasi nyeri yang tidak terkendali (Kozier, et al., 2010). Menurut University Hospital and Manhattan Campus (2011) terapi invasif terdiri atas: a) Stimulasi saraf invasif Stimulasi saraf invasif dapat memberikan bantuan nyeri untuk beberapa pasien yang tidak menanggapi terapi lain. Dalam teknik ini, elektroda ditanamkan dalam tubuh pasien untuk mengirim arus listrik lembut ke saraf di tulang belakang atau otak. Stimulasi saraf tulang belakang telah digunakan untuk nyeri punggung kronis dan / atau sakit pada daerah kaki setelah operasi lumbal, nyeri akibat kerusakan saraf (kompleks sindrom nyeri regional dan postherpetic neuralgia). Kekurangan dari terapi ini adalah biaya yang tinggi dan risiko pengobatan invasif seperti infeksi. b) Tindakan pembedahan (operasi) Operasi untuk mengobati rasa sakit bukanlah tindakan untuk mengobatai penyakit yang mendasar, hanya dilakukan pada kasus di mana pendekatan atau penatalaksanaan yang lebih konservatif telah gagal dilakukan. Tindakan
19
ini membutuhkan ahli bedah saraf yang terlatih dan ketersediaan unit perawatan tindak lanjut. Penatalaksanaan berdasarkan tingkat nyeri, yaitu : a) Nyeri Ringan Nyeri ringan dapat ditolerir atau ditahan dan tidak mengganggu aktivitas sehingga nyeri pada tingkat ringan dapat menghilang dengan sendirinya tanpa harus diberikan suatu terapi. b) Nyeri Sedang Nyeri pada tingkat sedang dapat mengganggu aktivitas seseorang, nyeri ini dapat dilakukan pemberian terapi obat seperti analgesik opionoid yang dapat dikolaborasikan dengan pemberian terapi non farmakologis seperti teknik nafas dalam, kompres hangat dan dingin, distraksi dan relaksasi, pijatan, dan lain-lain. c) Nyeri Berat Nyeri berat dirasakan begitu kuat dan tidak dapat ditolerir kembali, nyeri pada tingkat ini hanya dapat dilakukan pemberian terapi obat seperti pemberian analgesik (morfin dan kodein).
20
I. Clinical Pathways
Fisik : Trauma, neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah, dan lain-lain
Psikis : Trauma psikologis (psikosomatik)
Paparan Karsinogen Terputusnya jaringan
Sintesa Prostaglandin
Pengeluaran histamin dan serotonin
Melalui serabut A delta dan serabut C
Sensasi nyeri pada perifer
Impuls mengalami medulasi di medula spinalis Thalamus
Persepsi nyeri
Nyeri akut
21
Nyeri kronis
J. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Melakukan pengkajian riwayat nyeri untuk mendapatkan data dari klien. Observasi langsung pada respons perilaku dan fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan pemahaman objektif terhadap pengalaman subjektif. (Doenges Morhouse Geissler) Karakteristik Nyeri (PQRST) a) P (Provokative) : faktor yg mempengaruhi gawat dan ringannya nyeri b) Q (Quality):seperti apa: tajam, tumpul, atau tersayat c) R (Region) : daerah perjalanan nyeri d) S (Severity/Skala Nyeri) : keparahan/intensitas nyeri e) T (Time) : lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri Hal-hal yang perlu dikaji : a) Lokasi Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik minta klien untuk menunjukkan area nyerinya, bisa dengan bantuan gambar. Klien bisa menandai bagian tubuh yang mengalami nyeri. b) Intensitas Nyeri Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk menetukan intensitas nyeri pasien. c) Kualitas Nyeri Terkadang nyeri bisa terasa seperti dipukul-pukul atau ditusuk-tusuk. Perawat
perlu
mencatat
kata-kata
yang
digunakan
klien
untuk
menggambarkan nyerinya. Sebab informasi berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri. d) Pola Pola nyeri meliputi waktu kaitan, durasi, dan kekambuhan atau interval nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang, dan kapan nyeri terakhir muncul.
22
e) Faktor Presipitasi Terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu munculnya nyeri sebagai contoh, aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor lingkungan (lingkungan yang sangat dingin atau sangat panas), stressor fisik dan emosional juga dapat memicu munculnya nyeri. f) Gejala Yang Menyertai Gejala ini meliputi mual, muntah, pusing, dan diare. Gejala tersebut dapat disebabkan awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri. g) Pengaruh Pada Aktivitas Sehari-hari Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien akan membantu perawat memahami perspektif klien tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, napsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpersonal, hubungan pernikahan, aktivitas dirumah, aktivitas diwaktu senggang serta status emosional. h) Sumber Koping Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh agama atau budaya. i) Respon Afektif Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, bergantung pada situasi, derajat, dan durasi nyeri, interpretasi tentang nyeri, dan banyak faktor lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah, depresi, atau perasaan gagal pada klien. j) Observasi Respon Perilaku dan Fisiologis Respon non verbal yang bisa dijadikan indikator nyeri. Salah satu yang paling utama adalah ekspresi wajah. Perilaku seperti menutup mata rapatrapat atau membukanya lebar-lebar, menggigiti bibir bagian bawah, dan sering wajah dapat mengidentifikasikan nyeri. Selain ekspresi wajah, respon perilaku lain yang dapat menandakan nyeri adalah vokalisasi (misalnya serangan, menangis, berteriak), imobilisasi bagian tubuh yang
23
mengalami nyeri, gerakan tubuh tanpa tujuan (misalnya menendangnendang, membolak-balikan tubuh diatas kasur), dll. 1) espon fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada sumber dan durasi nyeri. 2) Pada awal awitan nyeri akut, respon fisiologis dapat meliputi peningkatan tekanan darah, nadi, dan pernafasan, diaphoresis, serta dilatasi pupil akibat terstimulasinya system saraf simpatis. 3) Akan tetapi, jika nyeri berlangsung lama, dan saraf simpatis telah beradaptasi, respon fisiologis tersebut mungkin akan berkurang atau bahkan tidak ada. Karenanya, penting bagi perawat untuk mengkaji lebih dari satu respon fisiologis sebab bisa jadi respon tersebut merupakan indikator yang buruk untuk nyeri.
2. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan agens cidera biologi (infeksi, iskemia, neoplasma), agens cidera fisik (abses, amputasi, luka bakar, terpotong, mengangkat berat, prosedut bedah, trauma, olahraga berlebihan), agens cidera kimiawi (luka bakar, kapsaisin, metilen klorida, agens mustard) b. Nyeri kronis berhubungan dengan cidera, disres, fraktur, iskemik, gangguan muskuloskeletal kronis, tumor, kerusakan sistem saraf, kompresi oto, kontusio, pasca trauma.
24
3. Intervensi Keperawatan Diagnosa Keperawatan Nyeri akut (00132)
NOC
NIC
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri (1400) selama 1x24 jam klien mampu 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang mengontrol nyeri dengan kriteria hasil: meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, 1.Penurunan tingkat nyeri kualitas, intensitas atau berat nyeri dan faktor 2.Penurunan tingkat kecemasan pencetus 3.Klien mampu memanajemen nyeri 2. Pastikan perawatan analgesik bagi pasien dilakukan 4.Tanda vital dalam rentang normal dengan pemantauan yang ketat 3. Evaluasi pengalaman nyeri di masa lalu yang meliputi riwayat nyeri kronik individu atau keluarga atau nyeri yang menyebabkan ketidakmampuan dengan tepat 4. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan driasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat dari prosedur yang akan dilakukan 5. Ajarkan prinsip prinsip manajemen nyeri 6. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (seperti biofeedback, TENS, hypnosis, relaksasi, bimbingan antisipatif, terapi musik, terapi bermain, terapi aktivitas, akupressur, aplikasi panas dingin, dan masase sebelum atau sesudah aktivitas yang menyebabkan nyeri 7. Berikan individu peneurun nyeri yang optimal dengan peresepan analgesik
25
Nyeri Kronis (00133)
Dukungan Emosional (5270) 8. Diskusikan dengan pasien mengenai pengalaman emosinya 9. Eksplorasi apa yang memicu emosi pasien 10. Buat pernyataan yang mendukung dan berempati 11. Bantu pasien mengenali perasaan seperti adanya cemas, marah atau sedih 12. Diskusikan konsekuensi dari tidak mengatasi perasaan bersalah dan malu 13. Berikan dukungan selama fase denial, anger, bargaining, depression, hingga acceptance 14. Dampingi pasen dan berikan jaminan keselamatan dan keamanan selama periode cemas 15. Berikan bantuan dalam membuat keputusan Manajemen Obat (2380) 16. Tentukan obat apa yang diperlukan dan kelola menurut resep dan protokol 17. Monitor efektifitas cara pemberian obat yang sesuai 18. Monitor pasien mengenai efek terapeutik obat 19. Monitor efek samping obat 20. Monitor serum darah yang sesuai dengan pengobatan 21. Identifikasi jenis dan jumlah obat bebas yang digunakan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri (1400) selama 1x24 jam klien mampu 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang mengontrol nyeri dengan kriteria hasil: meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, 1.Penurunan tingkat kecemasan kualitas, intensitas atau berat nyeri dan faktor 2.Peningkatan/ nafsu makan terjaga pencetus
26
3.Klien mampu memanajemen nyeri 4.Klien mampu mengenali gejala nyeri 5.Penurunan tingkat depresi 6.Peningkatan kualitas hidup klien 7.Kualitas tidur dan pola tidur terjaga
27
2. Pastikan perawatan analgesik bagi pasien dilakukan dengan pemantauan yang ketat 3. Evaluasi pengalaman nyeri di masa lalu yang meliputi riwayat nyeri kronik individu atau keluarga atau nyeri yang menyebabkan ketidakmampuan dengan tepat 4. Bantu keluarga dalam mencari dan menyediakan dukungan 5. Ajarkan prinsip prinsip manajemen nyeri 6. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (seperti biofeedback, TENS, hypnosis, relaksasi, bimbingan antisipatif, terapi musik, terapi bermain, terapi aktivitas, akupressur, aplikasi panas dingin, dan masase sebelum atau sesudah aktivitas yang menyebabkan nyeri 7. Kurangi faktor yang dapat mencetuskan atau meningkatkan nyeri (seperti ketakutan, kelelahan, kurang pengetahuan) 8. Dorong pasien untuk memodifikasi pengalaman nyeri sesuai kebutuhan 9. Libatkan keluarga dalam modalitas penurun nyeri jika memungkinkan Peningkatan Koping (5230) 10. Berikan penilaian mengenai dampak dari situasi kehidupan pasien terhadap peran dan hubungan yang ada. 11. Dukung pasien untuk mengidentifikasi deskripsi yang realistik terhadap adanya perubahan dalam
peran 12. Berikan penilaian mengenai pemahaman pasien terhadap proses penyakit 13. Gunakan pendekatan yang tenang 14. Ciptakan suasana penerimaan 15. Dukung sikap pasien terkait dengan harapan realistis sebagai upaya untuk mengatasi rasa ketidakberdayaan 16. Evaluasi pasien dalam membuat keputusan 17. Dukung kemampuan mengatasi situasi secara berangsur-angsur pada pasien 18. Dukung pasien dalam meningkatkan aktivitas sosial dan keluarga 19. Kenali latar belakang budaya dan spiritual pasien 20. Dukung penggunaan sumber spiritual 21. Dukung keterlibatan keluarga dengan cara yang tepat Manajemen Obat (2380) 22. Tentukan obat apa yang diperlukan dan kelola menurut resep dan protokol 23. Monitor efektifitas cara pemberian obat yang sesuai 24. Monitor pasien mengenai efek terapeutik obat 25. Monitor efek samping obat 26. Monitor serum darah yang sesuai dengan pengobatan 27. Identifikasi jenis dan jumlah obat bebas yang digunakan
28
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika. Black, M. J. & Hawks, H .J. 2009. Medical surgical nursing : clinical management for continuity of care, 8th ed. Philadephia : W.B. Saunders Company. Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC. Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC. Kozier, Erb, Berman, Snyder. 2009. Buku Ajar Fundamental keperawatan Konsep, Proses & Praktek. Edisi 5. Jakarta: EGC. Kozier, Erb, Berman, Snyder. 2010. Buku Ajar Fondamental Keperawatan : Konsep, Proses & Praktik, Volume : 1, Edisi : 7: Jakarta: EGC. Kyle, T. & Carman, S. 2015. Buku Ajar Keperawatan Pediatri Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. LeMone, P, Burke, Karen. 2008. Medical Surgical Nursing, Critical Thinking in Client Care (4th Edition). New Jersey: Prentice Hall Health. Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey Backwell. Potter, P.A & Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik.Edisi 4.Volume 2. Jakarta: EGC.
29