Lp-moderate-cholangitis.docx

  • Uploaded by: Rahil Zilfah
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp-moderate-cholangitis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,511
  • Pages: 21
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.S DENGAN MODERATE CHOLANGITIS DI RUANG 19 RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH Untuk Memenuhi Syarat Tugas Praktik Klinis Profesi NERS

OLEH : RAHIL ZILFAH 201810461011001

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2019

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan di ruang 19 RSUD dr. Saiful Anwar Malang yang disusun oleh: Nama

: Rahil Zilfah

NIM

: 201810461011001

Telah diperiksa dan disahkan sebagai salah satu tugas profesi Ners departemen Keperawatan Medikal Bedah

Malang,

Januari 2019

Mahasiswa (Ners Muda)

Rahil Zilfah. S.Kep

Mengetahui Pembimbing Akademik

Pembimbing Klinik

LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN DENGAN MODERATE CHOLANGITIS A. ANATOMI DAN FISIOLOGI Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung nya buntu dari kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu. Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.

Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.

B. DEFINISI Cholangitis adalah peradangan pada duktus biliaris (Dorland, 2011). Cholangitis adalah infeksi bakterial dari saluran empedu yang tersumbat, sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari dalam saluran empedu misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki duktus koledokus atau dari luar lumen misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus

koledokus, atau dari dinding saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur saluran empedu (Connor, 1991 dan Nurman, 1999). C. ETIOLOGI Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan obstruksi dari sistem bilier yang dapat menyebabkan terjadinya cholangitis, seperti kelainan anatomi atau benda asing dalam saluran empedu. Dalam keadaan ini terjadi kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan cholangitis. Penyebab yang paling sering dari cholangitis di USA adalah batu koledokus yang ditemukan pada ±10-20% pasien batu kandung empedu (Shailesh, 1993). Penyebab kedua cholangitis adalah obstruksi maligna dari saluran empedu oleh karsinoma pankreas, metastasis dari tumor peri pankreas, metastasis porta hepatis (Shailesh, 1993 dan Axon, 1990). Selain itu pemakaian jangka panjang stent biliaris seringkali disertai obstruksi stent oleh cairan biliaris yang kental dan debris biliaris yang menyebabkan cholangitis (Cameron, 1997). D. PATOFISIOLOGI Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan stasis cairan empedu dan apabila berlangsung lama maka akan terjadi kolonisasi bakteri dan pertumbuhan kuman yang berlebihan. Bakteri ini berasal dari flora duodenum yang masuk melalui sfingter Oddi, dapat juga dari penyebaran limfogen dari kandung empedu yang meradang akut (Nurman, 1999). Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi pada cholangitis akut yang sering dijumpai adalah bakteri gram (-) enterik E. Coli, Klebsiella, Streptococcus faecalis dan bakteri anaerob. Bakteri seperti Proteus, Pseudomonas dan Enterobacter enterococci juga tidak jarang ditemukan (Malet, 1996). Cholangitis terjadi akibat kombinasi dari adanya hambatan dari aliran cairan empedu yang berlangsung lama dan terjadi kolonisasi dan proliferasi bakteri. Adanya tekanan yang tinggi dari saluran empedu yang tersumbat, bakteri akan kembali (refluks) ke dalam saluran limfe dan aliran darah dan dapat

mengakibatkan sepsis (Nurman, 1999). Selain itu, beberapa dari efek serius cholangitis dapat disebabkan oleh endotoksemia yang dihasilkan oleh produk pemecahan bakteri gram negatif. Endotoksin diserap di usus lebih mudah bila terdapat obstruksi bilier, karena ketiadaan garam empedu yang biasanya mengeluarkan endotoksin sehingga mencegah penyerapannya. Selanjutnya kegagalan garam empedu mencapai intestin dapat menyebabkan perubahan flora usus. Selain itu fungsi sel-sel Kupfer yang jelek dapat menghambat kemampuan hati untuk mengekstraksi endotoksin dari darah portal. Bilamana cholangitis tidak diobati, dapat timbul bakteremia sistemik yang dapat menimbulkan abses hati (Malet, 1996). E. MANIFESTASI KLINIS Pada sekitar 50-60% kasus cholangitis, ditemukan manifestasi klinis berupa Trias Charcot yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Nyeri ini bersifat kolik, menjalar ke belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan (Cameron, 1997 dan Nurman, 1999). Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala lain seperti mual dan muntah yang dapat mengakibatkan penurunan nafsu makan (anoreksia) sehingga asupan nutrisi berkurang yang dapat mengakibatkan kelelahan serta menurunnya berat badan pada penderita cholangitis. Pasien dengan cholangitis supuratif selain menunjukkan manifestasi klinis berupa trias charcot tapi juga menunjukkan adanya penurunan kesadaran dan hipotensi (Cameron, 1997). F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Ultrasonografi (USG) Pada pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada ikterus onstruksi atau ikterus non obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah duktus biliaris yang paling sering adalah bagian distal maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian proximal. Untuk membedakan

obstruksi letak tinggi atau letak rendah dengan mudah dapat dibedakan karena pada obstruksi letak tinggi atau intrahepatal tidak tampak pelebaran dari duktus biliaris komunis. Apabila terlihat pelebaran duktus biliaris intra dan ekstra hepatal maka ini dapat dikategorikan obstruksi letak rendah (distal) (Soetikno, 2007). 2. Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian besar pasien. Jumlah sel darah putih biasanya melebihi 13.000.

Lekopeni

atau

trombositopenia

kadang-kadang

dapat

ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase (GGT) dan transaminase serum (SGOT/SGPT) juga sedikit meningkat yang menggambarkan proses kolestatik (Cameron, 1997; Shojamanes, 2006; Josh, 2006). Biasanya aPTT dan PTT tidak meningkat kecuali bila terdapat sepsis yang menimbulkan Koagulasi Intravaskuler Diseminata (DIC) atau apabila terdapat sirosis pada pasien tersebut. Pemeriksaan koagulasi tersebut diperlukan apabila pasien memerlukan intervensi operatif. Kadar C-reactive protein dan LED pada umumnya meningkat. Kultur darah (2 set): antara 20% dan 30% kultur darah memberikan hasil yang positif, banyak diantaranya menunjukkan infeksi polimikrobial. 3. Foto Polos Abdomen Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu opak dikandung empedu atau di duktus kholedekus. Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk skrening, melihat keadaan secara keseluruhan dalam rongga abdomen (Soetikno, 2007). 4. Magnetic

Resonance

Cholangiopancreatography

(MRCP)

adalah

pemeriksaan duktus billiaris dan duktus pankreatikus dengan memakai pesawat MRI, dengan memakai heavily T2W acquisition untuk memaksimalkan signal dari cairan yang menetap pada duktus biliaris dan duktus pankreatikus (Soetikno, 2007).

G. PENATALAKSANAAN Penalaksnaan Konservatif Penatalaksanaan awal kolangitis adalah terapi konservatif dimana keseimbangan cairan dan elektrolit harus harus dikoreksi dan penggunaan antibiotik. Antibiotik yang dipakai pada kasus ringan sampai berat adalah cephalosporin (misalnya cefazolin, cefixitin). Pada kasus berat digunakan aminoglikosida ditambah dengan clindamycin atau metronidazole. Saluran empedu yang mengalami obstruksi harus didrainase sesegera munkin pada pasien dengan kondisi stabil. Dekompresi Biliaris Sebagian besar pasien (sekitar 70%) dengan kolangitis akut akan berespon terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati kembali ke normal dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris dilakukan segera secara non operatif baik dengan jalur endoskopik maupun perkutan. Yaitu: (Sabiston, 1968 dan Cameron, 1997). a. Penanggulangan sfingterotomi endoskopik Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah serta membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih dahulu (De Jong, 1997 dan Burkitt, 1996). b. Lisis batu Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metil eter berhasil

setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif walaupun kerap disertai dengan penyulit (De Jong, 1997). ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalahpenghancuran batu saluran empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi dengan pencitraan flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi endoskopik dan pemasangan kateter nasobiliaris untuk memasukkan material kontras. Terapi dilanjutkan sampai terjadi penghancuran

yang adekuat atau telah diberikan pelepasan jumlah

gelombang kejut yang maksimum (Cameron, 1997; De Jong, 1997; Josh, 2006). c. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage) Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu mengambil batu intrahepatik (De Jong, 1997; Brunicardi, 2000). Penatalaksanaan Definitif a. Kolesistektomi Terbuka Merupakan operasi yang membutuhkan anestesi umum kemudian dilakukan irisan pada bagian anterior dinding abdomen dengan panjang 12-20cm Teknik operasi kolesistektomi terbuka Dilakukan dengan insisi subtotal kanan (Kocher) sebagai salah satu insisi yang serbs guna dalam diseksi lambung empedu dan saluran empedu. b. Kolangiografi operatif Dilakukan secara rutin untuk mendapatkan peta anatomik di daerah yang sering mengalami anomalidan untuk menyingkirkan batu empedu yang tidak dicurigai. Kolangiografi dilakukan mengan menggunakan kanlua kangiografi seperti Berci Lehman dn Colangiocath. Insisi dibuat di saluran sistikus Insisi harus cukup besar untuk memasukkan kanula Kanula

dipertahankan ditempatnya dengan hemoclip. Kemudian material kontras dimasukkan yaitu hypaque 25%. Sistem operasi kolangiografi adalah fluorokolangiopatidengan penguatan citra serta monitor televisi. Ini memungkinkan pengisian saluran empedu secara lambat dan pemaparan multiple saluran sistem saat diisi. c. Laparoskopi Kolesistektomi Merupakan cara invasif untuk mengangkat batu empedu dengan menggunakan teknik laparoskopi. Kontraindikasinya adalah sepsis abdomen, gangguan pendarahan kehamilan. d. Eksplorasi koledokus: eksplorasi laparoskopi duktus empedu Umumnya sebelum tindakan operatif batu duktus empedu dideteksi dengan kolangiografi intraoperatif mengalirkan saline melalui kateter kolangiografi setelah sfingter oddi direlaksasikan dengan glukagoN. Jika irigasi tidak berhasil, dapat dilakuakan pemasangan kateter balon melalui duktus sisikus dan turun ke duktus empedu

H. KOMPLIKASI Beberapa komplikasi dari penyakit cholangitis terutama yang derajat tinggi (cholangitis supuratif) adalah sebagai berikut: 1. Abses hati piogenik Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran empedu seperti cholangitis. Infeksi pada saluran empedu intrahepatik menyebabkan cholangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple (De Jong, 1997). 2. Bakteremia , sepsis bakteri gram negatif Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (2540%). Komplikasi bakteremia pada cholangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab terjadinya cholangitis adalah infeksi

bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15% (Josh, 2006). 3. Peritonitis sistem bilier Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis. Jika empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal. 4. Kerusakan duktus empedu Duktus

empedu

dapat

dengan

mudah

rusak

pada

tindakan

kolesistektomi atau pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang sangat fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus. 5. Perdarahan Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami trauma dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang terjadi kadang susah untuk dikontrol. 6. Cholangitis asendens dan infeksi lain Cholangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan sistem bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu dan usus besar bagian asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang menyebabkan drainase tidak adekuat. Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah abses subprenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami demam beberapa hari setelah operasi. Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada pasien yang diterapi dengan perkutaneus atau drainase endoskopik adalah perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus) dan sepsis.

I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SECARA UMUM 1. Pengkajian a. Identitas Cholangitis cukup jarang terjadi, biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi billier dan bactibilia misal setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami cholangitis. b. Keluhan utama pada penderita cholangitis, klien mengeluh demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Nyeri ini bersifat kolik, menjalar ke belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan. c. Riwayat penyakit ð Riwayat penyakit dahulu Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu, contohnya riwayat dari keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis  Batu kandung empedu atau batu saluran empedu  Pasca cholecystectomy  Manipula endoskopik atau ERCP cholangiogram  Riwayat cholangitis sebelumnya  Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids memliki ciri edema bilier ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi bilier ð Riwayat penyakit sekarang Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri abdomen kuadran lateral atas. Gejala lain yang dapat terjadi meliputi: jaundice, demam, menggigil dan kekakuan. ð Riwayat penyakit keluarga Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes mellitus, hipertensi, anemia. d. Pemeriksaan fisik Sistem pernafasan Inspeksi : pergerakan dinging dada simetris, pernafasan dangkal, klien tampak gelisah

Palpasi : vocal vremitus teraba merata Perkusi : sonor Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing) Sistem kardiovaskuler Terdapat takikardi dan diaphoresis Sistem neurologi Tidak terdapat gangguan pada system neurologi Sistem pencernaan Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas klien mengeluh mual muntah Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan atas, nyeri tekan epigastrium Sistem eliminasi Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat Sistem integument Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal Sistem musculoskeletal Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP 2. Diagnosa Keperawatan Pre operasi  Risiko infeksi berhubungan dengan supresi respon inflamasi dan statis cairan empedu  Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi  Nyeriberhubungandengandistensikandungempedu  Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, nyeri abdomen dan kurang minat pada makanan  Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah dan kehilangan cairan aktif  Keletihan berhubungan dengan kurang energi

 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan pigmentasi (ikterus) Post operasi  Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi  Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif  Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik 3. Intervensi Keperawatan Risiko infeksi berhubungan dengan supresi respon inflamasi dan statis cairan empedu Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam nyeri berkurang Kriteria hasil :  Tanda dan gejala infeksi berkurang/tidak ada  Memperlihatkan personal hygiene yang adekuat Intervensi :  Pantau tanda dan gejala infeksi  Kaji factor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi  Pantau hasil laboratorium  Amati penampilan praktek hygiene personal untuk perlindungan terhadap infeksi  Jelaskan pada pasien dan keluarga mengapa sakit atau terapi meningkatkan resiko terhadap infeksi  Instruksikan untuk menjaga personal hygiene  Ajarkan pasien dan keluarga tehnik mencuci tangan yang benar  Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruang pasien  Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi factor dilingkungan mereka, gaya hidup atau praktik kesehatan yang meningkatkan risiko infeksi

 Ajarkan keluarga bagaimana membuang balutan luka yang kotor dan sampah biologis lainnya Nyeri berhubungan dengan distensi kandung empedu Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam nyeri berkurang Kriteria hasil :  Keadaan umum normal pasien tampak nyaman  Nyeri berkurang pasien tampak rileks ditunjukkan dengan skala nyeri 1-3  Pasien melakukan managemen nyeri saat nyeri kembali dating  TTV dalam batas normal Intervensi :  BHSP  Observasi, catat lokasi dan skala nyeri dan karakter nyeri  Anjurkan pasien dalam posisi nyaman  Anjurkan managemen nyeri distraksi relaksasi nafas dalam  Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic  Observasi tanda tanda vital  Kaji respon pasien Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, nyeri abdomen dan kurang minat pada makanan Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam keseimbangan nutrisi terpenuhi Kriteria hasil :  Asupan nutrisi kembali seimbang  Pasien menunjukkan energy yang adekuat  TTV dalam batas normal  Mual muntah berkurang Intervensi :

 BHSP  Observasi tanda tanda vital  Anjurkan untuk makan sedikit tapi sering  Berkolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian program diet  Monitoring asupan gizi pasien  Kaji respon pasien Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam suhu tubuh kembali normal Kriteria hasil :  Suhu tubuh kembali normal pasien nyaman  Tanda vital dalam bats normal  Pasien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi suhu tubuh Intervensi :  BHSP  Observasi tanda vital  Anjurkan menggunakan pakaian tipis dan minum air putih  Anjurkan untuk melakukan kompres dingin pada daerah dada dan ketiak  Kolaborasi dalam pemberian antipiretik  Kaji respon pasien Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah dan kehilangan cairan aktif Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, risiko kekurangan volume cairan berkurang Kriteria hasil : 

Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal



Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal



Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan

Intervensi : 

Timbang popok/pembalut jika diperlukan



Pertahankan catatan intake dan output yang akurat



Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan



Monitor vital sign



Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian



Lakukan terapi IV



Monitor status nutrisi



Berikan cairan



Berikan cairan IV pada suhu ruangan



Dorong masukan oral



Berikan penggantian nesogatrik sesuai output



Dorong keluarga untuk membantu pasien makan



Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )



Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk



Atur kemungkinan tranfusi



Persiapan untuk tranfusi

Keletihan berhubungan dengan kurang energi Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, keletihan berkurang Kriteria hasil : Beradaptasi dengan keletihan yang dibuktikan oleh toleransi aktivitas, ketahanan, dan status nutrisi (energy dan energy psikomotor) Intervensi : 

Pantau bukti adanya keletihan fisik dan emosi yang berlebihan pada pasien



Pantau respon kardiorespirasi terhadap aktivitas missal takikardi, disritmia, dyspnea pucat dan sesak napas)



Pantau dan catat pola tidur pasien dan jumlah jam tidurnya



Pantau lokasi dan sifat ketidaknyamanannya atau nyeri selama bergerak dan beraktivitas



Tentukan persepsi pasien pada orang terdekat pasien tentang penyebab keletihan



Pantau asupan nutrisi untuk menjamin keadekuatan sumber energy

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan pigmentasi (ikterus) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, integritas kulit membaik Kriteria hasil :  Kebutuhan kulit tetap dapat dipertahankan  Tidak ada ikterus  Tidak ada eritema pada kulit Intervensi :  Kaji warna kulit tiap 8 jam  Bersihkan kulit saat terkena kotoran  Pantau bilirubin direk dan indirek  Rubah posisi setiap 2 jam  Jaga kebersihan kulit dan kelembabannya Risiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif Tujuan: setelah dilakukan tindkan keperawatan selama 1x24 jam, risiko infeksi pada klien minimal Kriteria hasil:  Tidak ada tanda infeksi  Tidak ada demam  Luka insisi tidak terbuka  Tidak ada komplikasi

Intervensi :  Observasi dan lapotkan tanda dan gejala infeksi seperti kemerahan, panas, nyeri, tumor dan adanya fungsiolaesa  Kaji temperature tiap 4 jam  Catat dan laporkan nilai laboratorium (leukosit, protein serum, albumin)  Kaji warna kulit kelembaban, tekstur, dan turgor  Gunakan strategi untuk mencegah infeksi nosokomial  Tingkatkan intake cairan  Istirahat yang adekuat  Ganti IV line sesuai dengan aturan yang berlaku  Pastikan perawatan yang efektif pada IV line  Dorong pasien untuk istirahat  Berikan terapi antibiotic sesuai instruksi  Ajari pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan kalau terjadi untuk melapor kepada perawat  Ajari pasien dan keluarga tentang bagaimana mencegah infeksi

Pathway Bakterichongalitis, kolesistisis Obesitas, Resisten insulin DM tipe 2 (Escherischia coli, klibsiella, streptococcus) Hipertensi, Hiperlipidemia

Penurunan pembentukan misel

Peningkatan sekresi kolestrol

Kalsiumpalmiat dan stearate

Batu kolestrol

Batu pigmen

Batu empedu

Oklusi dan obstruksi dari batu

Chongalitis

Obstruksi duktussistikus atau duktus billiaris

Peningkatan peristaltik

Gangguan gastrointestinal Mual muntah

Merangsang hipotalamus

Intake nutrisi dan cairan tidak adekuat

Ketidakseimbangan nutrisi Kurangdarikebutuhan

Respon sistemik

Set poin di hipotalamus

Malaise Intoleransi aktivitas

Cairan tidak adekuat Defisit volume cairan

Hipertermi

DAFTAR PUSTAKA Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of Surgery, Eight edition, New York ; McGraw-Hill, 2000, p : 1203-1213 Burkitt G, Quick C, Gatt D. Management of gallstone disease in essensial surgery, second edition, New York ; Churchill Livingstone, 1996, P : 215-220 Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta, 1997, hal : 476-479 De Jong, Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997 hal : 776-778. Josh, J. Adams, Cholangitus, in http://www.emidiche.com 2006, p : 1-11 Kaminstein, David, MD, Cholangitis, in : http://www.healthatoz.com 2006, p : 1-8 Kiriyama, Seiki et al. 2012. New diagnostic criteria and severity assessment of acute cholangitis in revised Tokyo guidelines. J Hepatobilliary Pancreat Sci (2012) 19: 548-556. Japan Sabiston C, Davidm Textbook of Surgery, WB. Sauders company, 1968, p : 1154 – 1161 Shojamanes, Homayoun, Mo, Cholangitis, in : http:/www.emidicine.com7 2006, p : 1-10 Soetikno, Rista D. 2007. IMAGING PADA IKTERUS OBSTRUKSI. Bandung : Bagian/UPF Radiologi FKUNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin

More Documents from "Rahil Zilfah"