LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL : FRAKTUR
A. Konsep Dasar Penyakit 1. Defenisi a. Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma. Fraktur dapat digolongkan sesuai jenis dan arah garis fraktur (Tambayong J, 2013). b. Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis (Arif Muttaqin, 2008). c. Fraktur kolum femur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa yang terjadi pada intrakapsular bagian proksimal femur mulai dari bagian distal permukaan kaput femoralis sampai dengan bagian proksimal dari intertrokanter. Jadi fraktur adalah terputus nya keutuhan tulang, rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, atau kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/ osteoporosis.
1
2
2. Klasifikasi
a. Complete
e. Transversal
j. Kompresi
c. Open
b. Closed
g. Spiral
f. Oblik
m. Patologik
d. Greenstick
h. Komunitif
k. Epifisial
i. Depresi
l. Impaksi
Gambar 2.1 Klasifikasi Fraktur menurut jenisnya (Sumber:http://brucerosemandmd.com/illustration 2.html, diakses pada tanggal 23 April 2015). Menurut (Brunner dan Suddarth, 2013 ), jenis – jenis fraktur adalah: a. Complete fracture (fraktur komplit), patah pada seluruh garis tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang. b. Closed fracture (simple fraktur), tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit masih utuh.
3
c. Open fracture (compound fraktur/ komplikata/ kompleks), merupakan fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai kepatahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi: Grade I : Luka bersih, panjang luka < 1 cm, kerusakan jaringan
lunak
sedikit, tidak ada tanda luka yang parah. Grade II : Luka lebih luas, panjang luka > 1 cm tampak kerusakan jaringan lunak yang tidak luas. Grade III : Luka sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif, meliputi struktur kulit,otot dan neuro vascular. d. Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang lainnya membengkok. e. Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang. f. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang. g. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang. h. Komunitif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen. i. Depresi, fraktur dengan fagmen patah terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah). j. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
4
k. Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, metastasis tulang, tumor). l. Epifisial, fraktur melalui epifisis. m. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya. Menurut Arif Muttaqin (2008), dua tipe fraktur femur adalah: a. Fraktur intrakapsular femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul, dan melalui kepala femur (femur capital). b. Fraktur ekstrakapsular 1) Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokanter femur yang lebih besar/ lebih kecil/ pada daerah intertrokanter. 2) Terjadi di bagian distal menuju leher femur, tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokanter minor.
Gambar 2.2 Jenis Fraktur femur (Sumber: http://www.ahlibedahorthopedic.com, diakses pada tanggal 23 april 2015 ).
5
3. Anatomi Fisiologi a. Anatomi Tulang Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus pergerakan. Komponen utama sistem muskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri atas tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligamen, bursa, dan jaringan khusus yang menghubungkan strukturstruktur ini.(Arif Muttaqim, 2008).
Gambar 2.3 Anatomi Sistem Muskuloskeletal (Sumber: http://www.brucerosemandmd.com/illustration2.html, diakses pada tanggal 20 April 2015
6
1) Bentuk Tulang Secara garis besar, tulang dibagi menjadi enam (Arif Muttaqim, 2008): a) Tulang panjang (long bone), misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan humerus. Daerah Batas disebut diafisis dan daerah yang berdekatan dengan garis epifisis disebut metafisis. Di daerah ini sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit karena daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan perkembangan pada daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan tulang. b) Tulang pendek (short bone), misalnya tulang-tulang karpal. c) Tulang pipih (flat bone), misalnya tulang parietal, iga, skapula, dan pelvis. d) Tulang tak beraturan (irregular bone), misalnya tulang vertebra. e) Tulang sesamoid, misalnya tulang patela. f)
Tulang sutura (sutural bone), ada di atap tengkorak. Tulang terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut
korteks dan bagian dalam (endosteum) yang bersifat spongiosa berbentuk trattekula dan di luarnya dilapisi oleh periosteum. Periosteum pada anak lebih tebal dari pada orang dewasa, yang memungkinkan penyembuhan tulang pada anak lebih cepat dibandingkan orang dewasa. 2) Fungsi tulang a) Penunjang jaringan tubuh dan memberi bentuk kerangka tubuh. b) Tempat melekatnya otot, tendon dan ligamen.
7
c) Membentuk pergerakan, otot melekat pada tulang untuk berkonsentrasi dan bergerak. d) Melindungi organ tubuh yang lunak. e) Tempat penyimpanan garam mineral, kalsium dan fosfat. f) Tempat pembentukan sel darah merah (dalam sumsum tulang). 3) Tulang Femur Femur merupakan tulang panjang terbesar di dalam tubuh dan di bagi dalam: corpus, collum, proximal, collum distal di bagi menjadi 3 bagian yaitu kaput, (ujung atas), korpus dan ujung bawah:
Gambar 2.4 Anatomi Tulang Femur ( Sumber : Syaifuddin. 2012 ) a) Corpus Pada corpus di bedakan menjadi 3 permukaan: facies anterior, facies lateral, fecies medial dan lateral di pisahkan oleh sisi dorsal oleh linea aspera yang merupakan daerah tebal tulang kompakta. Labium mediale
8
dan labium lateral aspera memancar ke proximal dan distal dan labium lateral berakhir pada tuberositas. Kadang-kadang tuberositas glutea lebih nyata dan di kenal sebagi trochanter ke tiga. b) Caput Caput femoralis dengan lekuler yang menyerupai puser. Peralihan dari collum ke corpus femoralis ditandai oleh ime trochanterila dan di posterior oleh linea intertrochanterica tepat di bawah trochanter mayor terdapat terletak fossa trochanterica trochanter minor menonjol ke posterior dan medial. c) Ujung distal Ujung distal di bentuk oleh epycondilus tepat dekat epucondilus terletak kondilus medialis dan lateralis, keduanya di satukan di sebelah permukaan anterior oleh facies patellariss dan di posterior di pisahkan oleh fossa intercondyloidea yang membentuk dasar segitiga yaitu planum poplitea yang di sisi-sisinya di bentuk oleh labium divergen linea aspera. Dibawah epycondilus lateralis terletak sikus popliteas dan di atas epicondilus medialis terdapat tuberculum adductorius. Tulang femur atau tulang paha pada ujung proksimalnya terdapat kaput femoris yang bulat sesuai dengan mangkok sendi (asetabulum). Kolumna femoris menghubungkan kaput femoris dengan korpus femoris. Di tengah kapid femoris terdapat lekuk kecil yang dinamakan fovea kapitalis tempat meiek ligamentum teres femoralis yang menghubungkan kaput femoris dengan fosa asetabulum. Bagian lateral dari kolumna femoris terdapat trokhanter mayor dan bagian
9
medial
trokhanter
minor
keduanya
dihubungkan
oleh
krista
interokhanterika. Antara trokhanter mayor dan kolumna femoris terdapat lekuk yang agak dalam disebut fossa trokhanterika. Pada dataran belakang tengah os femur terdapat terdapat linea aspera. Ujung distal femur mempunyai dua bongkol sendi, kondilus lateralis dan kondilus medialis. Di antara keduanya bagian belakang terdapat lekuk dinamakan fosa interkondiloid. Bagian medial dari kondilus medialis terdapat tonjolan kecil epikondilus medialis femoralis dan sebelah lateral epikondilus lateralis. (Syaifuddin,2012). b. Fisiologi Tulang Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel:osteoblas, osteosit, dan osteoklas. (Arif Muttaqim, 2008) 1) Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas menyekresikan sejumlah besar fosfatase alkali yang memegang peranan penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang. Sebagian dari fosfatase alkali akan memasuki aliran darah sehingga kadar fosfatase alkali di dalam darah dapat menjadi indikator yang balk tentang tingkat pembentukan tulang setelah mengalami patah tulang atau pada kasus metastasis kanker ke tulang. 2) Osteosit adalah sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu
10
lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. 3) Osteoklas adalah sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi. Tidak seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel ini menghasilkan enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah. Dalam keadaan normal, tulang mengalami pembentukan dan absorpsi pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa pertumbuhan kanak-kanak yang lebih banyak terjadi pembentukan daripada absorpsi tulang. Proses ini penting untuk fungsi normal tulang. Keadaan ini membuat tulang dapat berespons terhadap tekanan yang meningkat dan mencegah terjadi patah tulang. Bentuk tulang dapat disesuaikan untuk menanggung ke kuatan mekanis yang semakin meningkat. Perubahan tersebut juga membantu mempertahankan ke kuatan tulang pada proses penuaan. Matriks organik yang sudah tua berdegenerasi sehingga membuat tulang relatif menjadi lemah dan rapuh. Pembentukan tulang yang baru memerlukan matriks organik baru sehingga memberi tambahan kekuatan pada tulang. Metabolisme kalsium dan fosfat sangat berkaitan erat. Tulang mengandung 99% dari seluruh kalsium tubuh dan 90% dari seluruh fosfat tubuh. Kalsium memiliki beberapa fungsi penting dalam tubuh. Fungsi penting kalsium dalam tubuh :
11
1) Dalam mekanisme pembekuan darah 2) Transmisi impuls neuromuskular 3) Iritabilitas clan eksitabilitas otot 4) Keseimbangan asam-basa 5) Permeabilitas membran sel 6) Sebagai pelekat (adhesiveness) di antara sel-sel 7) Memberi rigiditas dan kekuatan mekanik tulang Vitamin D memengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D, hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu kalsifikasi tulang, antara lain dengan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus. Estrogen menstimulasi
osteoblas.
Penurunan
estrogen
setelah
menopause
mengurangi aktivitas osteoblastik, yang menyebabkan penurunan matriks organik tulang. Umumnya, kalsifikasi tulang tidak terpengaruh oleh osteoporosis yang terjadi pada wanita sebelum usia 65 tahun. Akan tetapi, berkurangnya matriks organiklah yang merupakan penyebab osteoporosis (Arif Muttaqim, 2008). c. Pertumbuhan tulang Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tulang di pengaruhi oleh: 1) Berbagai hormon hipofise, tyroid, korteks, adrenal, paratyroid estrogen dan androgen.
12
2) Vitamin. a) Vitamin A mempengaruhi kegiatan osteoklas (sel penyerap jaringan tulang). b) Vitamin B kompleks, mempercepat pertumbuhan kalus pada fraktur. c) Vitamin D mempengaruhi pertumbuhan bahan kolagen antar sel (merangsang osteoblast) juga mempengaruhi endapan mineral pada tulang. 3) Vaskularisasi/ Nutrisi a) Arteri nutrisi b) Pembuluh darah yang menembus periousteum
d. Penyembuhan Tulang 1) Tahap Inflamasi. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan akan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Saat tulang mengalami cedera, terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan pembentukan hematoma di tempat tulang yang patah. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar), yang akan membersihkan daerah tersebut. Pada saat itu terjadi inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. 2) Tahap Proliferasi Sel. Kira-kira lima hari hematoma akan mengalami organisasi, terbentuk
13
benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblas dan osteoblas. Fibroblas dan osteoklas (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang, tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak sruktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. 3) Tahap Pembentukan Kalus. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrosa, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrosa. Secara klinis fargmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. 4) Tahap Penulangan Kalus ( Osifikasi). Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai tiga minggu patah tulang, melalui proses penulangan endokondral. Patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan
14
waktu tiga sampai empat bulan. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif. 5) Tahap Menjadi Tulang Dewasa (Remodeling). Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahuntahun bergantung pada beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan kasus yang melibatkannya (apakah tulang kompak dan kanselus) stres fungsional pada tulang. Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat dari pada tulang kortikal kompak, khususnya pada titik kontak langsung. Selama pertumbuhan memanjang tulang, daerah metafisis mengalami remodeling (pembentukan) dan pada saat yang bersamaan epifisis menjauhi batang tulang secara progresif. Remodeling tulang terjadi sebagai hasil proses antara deposisi dan resorpsi osteoblastik tulang secara bersamaan. Ketika tulang tumbuh, bagian pusatnya dikikis dan diabsorpsi oleh osteoklas dan pada saat bersamaan osteoblas pada permukaan lain melanjutkan pembentukan tulang baru. Proses remodeling tulang berlangsung sepanjang hidup, di mana pada anakanak dalam masa pertumbuhan terjadi keseimbangan (balance) yang positif, sedangkan pada orang dewasa terjadi keseimbangan yang negatif. Remodeling juga terjadi setelah penyembuhan suatu fraktur. (Lukman dan Nigsih, 2013).
15
4. Etiologi Menurut Oswari E (2013), penyebab fraktur adalah: a. Kekerasan langsung: kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. b. Kekerasan tidak langsung: kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. c. Kekerasan akibat tarikan otot: patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekerasan dapat berupa pemuntiran, penekukan, dan penekanan, kombinasi dari ketiganya dan penarikan. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang. Kondisi
pathologis
seperti
adanya
kelainan/
Penyakit
yang
menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan) dapat menyebabkan fraktur yang dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan (Amin dan Hardhi, 2013).
5. Patofisiologi Fraktur
pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma dan adanya
gangguan gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik, dan patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka
ataupun
tertutup.
Kerusakan
pembuluh
darah
akan
16
mengakibatkan perdarahan, maka volume darah menurun. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal, maka penumpukan didalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu, fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit (Price, 2013). Sewaktu tulang patah, perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih
dan sel mast berakumulasi sehingga
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut (Corwin, 2013).
6. Tanda Dan Gejala Manifestasi fraktur menurut Brunner dan Suddarth (2013), adalah nyeri, hilangnya
fungsi,
deformitas,
pemendekan
estremitas,
krepitus,
pembengkakan lokal, dan perubahan warna. a.
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimmobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
17
b.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas ada ditempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1-2 inchi).
d.
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen fragmen satu dengan yang lainnya.
e.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
7. Test Diagnostik Pemeriksaan diagnostik fraktur menurut Wahid Abdul (2013) diantaranya: a. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi atau luasnya fraktur. b. Tonogram scan CT (Computerized Tomography) atau MRI (Magnetic Resonance Imaging): memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. c. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
18
d. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). e. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal. f. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cedera hati.
8. Penatalaksanaan Medis Menurut Arif Muttaqin (2013) , Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan 4 (R) yaitu: a.
Rekognisi, adalah menyangkut diagnosis dan penilaian fraktur pada tempat kejadian dan kemudian di Rumah Sakit.
b.
Reduksi, adalah restorasi fragmen fraktur sehingga posisi optimal didapatkan, usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya/ fungsi normal, dan mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas.
c.
Retensi, adalah imobilisasi fraktur, secara umum teknik penatalaksanaan yang digunakan adalah mengistirahatkan tulang yang mengalami fraktur dengan tujuan penyatuan yang lebih cepat antara kedua fragmen tulang yang mengalami fraktur.
d.
Rehabilitasi, adalah mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin
dengan
program
rehabilitasi,
dilakukan
dengan
mengoptimalkan seluruh keadaan pasien pada fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan kembali.
19
Metode pengobatan yang biasa dilakukan pada fraktur adalah dengan menggunakan beberapa metode (Arif Muttaqin, 2008) sebagai berikut: a.
Penatalaksanaan
konservatif,
merupakan
penatalaksanaan
non
pembedahan agar imobilisasi pada patah tulang dapat terpenuhi dengan cara: 1) Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi) Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah. 2) Imobilisasi dengan bidai ekterna (tanpa reduksi) Imobilisasi pada fraktur dengan bidai ekterna hanya memberikan sedikit imobilisasi, biasanya menggunakan plaster of paris (gips) atau dengan menggunakan bermacam-macam bidai dari plastik atau metal. Metode ini digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan. 3) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang menggunakan gips, traksi kulit dan traksi tulang, diindikasikan pada fraktur yang tidak stabil dan bersifat kominutif bergerak. 4) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi pada fraktur batang femur dan fraktur vertebra servikalis. b.
Penatalaksanaan pembedahan. Penatalaksanaan pembedahan pada fraktur meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-wire. Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang
20
tidak
bersifat
stabil,
reduksi
dapat
dipertahankan
dengan
memasukkan K-wire perkutan, misalnya pada fraktur jari. 2) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna/ ORIF dan fiksasi eksterna tulang/ OREF. a) ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Merupakan bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang fraktur untuk memanipulasi fragmenfragmen fraktur sedapat mungkin kembali seperti semula. Indikasi tindakan ini adalah: (1)
Fraktur
intra-artikular,
misalnya
fraktur
maleolus,
kondilus, olekranon patela. (2)
Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan, misalnya fraktur radius dan ulna disertai malposisi yang hebat (fraktur yang tidak stabil).
(3)
Bila terdapat interposisi jaringan di antara kedua fragmen.
(4)
Bila diperlukan fiksasi rigid, misalnya pada fraktur leher femur.
(5)
Bila terdapat kontraindikasi pada imobilisasi eksterna, sedangkan diperlukan mobilisasi yang cepat, misalnya fraktur pada orang tua.
(6)
Fraktur avulse, misalnya pada kondisi humeri.
b) OREF (Open Reduction External Fixation) Merupakan fiksasi eksternal yang digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini
21
memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur dan remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap posisinya, kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi memberikan kenyamanan bagi klien yang mengalami kerusakan fragmen tulang. Indikasi OREF adalah: (1)
Fraktur terbuka grade II dan grade III.
(2)
Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah.
(3)
Fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartrosis.
(4)
Fraktur yang miskin jaringan ikat.
(5)
Kadang-kadang pada fraktur tungkai bawah penderita diabetes mellitus.
Penatalaksanaan perawat menurut, adalah sebagai berikut: a. Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan kesadaran, baru periksa patah tulang. b. Atur posisi, tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah komplikasi. c. Pemantauan neorocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini dan pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cedera adalah : 1) Meraba lokasi apakah masih hangat. 2) Observasi warna. 3) Menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali kapiler. 4) Tanyakan apakah pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi pada lokasi cedera.
22
5) Meraba lokasi cedera apakah pasien bisa membedakan rasa sensasi nyeri. 6) Observasi apakah daerah fraktur apakah bisa digerakan. d. Pertahankan kekuatan dan pergerakan. e. Mempertahankan kekuatan kulit. f. Meningkatkan gizi, makanan-makanan yang tinggi serat, anjurkan intake protein 150-300 gr/ hari. g. Mempertahankan imobilisasi fraktur yang telah di reduksi dengan tujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
e. Komplikasi Komplikasi fraktur menurut (Price A dan L. Wilson , 2013), adalah: a. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya membentuk sudut atau miring. b. Delayed union, adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. c. Nonunion, adalah patah tulang yang tidak menyambung kembali. d. Compartmen syndroma, adalah suatu keadaan peningkatan tekanan yang berlebihan di dalam suatu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat. e. Shock terjadi karena kehilangan darah dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
23
f. Fase embolisme syndroma, tetesan lemak masuk kedalam pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70-80 tahun. g. Tromboembolik komplication, trombo vena dalam sering terjadi pada individu yang immobilisasi dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidakmampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedi. h. Infeksi, sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedik, infeksi dimulai dari kulit (superfisial) dan masuk kedalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan, seperti pin dan plat. i. Avaskular nekrosis, pada umumnya berkatian dengan aseptik atau nekrosis iskemia. j. Refleks symphathemik dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum
banyak dimengerti.
Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah, merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya secara mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Andra dan Yessie, 2013).
24
1. Pengkajian Keperawatan a. Identitas klien Meliputi: nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis, nomor registrasi. b.
Keluhan utama Pada umumnya, keluhan utama pada fraktur adalah nyeri. Nyeri tersebut bisa akut/ kronik, tergantung dari lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien, digunakan: 1) Provoking inciden: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor prepitasi nyeri. 2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut/ menusuk. 3) Region radiation, relief: apakah rasa nyeri bisa reda, apakah rasa nyeri menjalar/ menyebar, dan dimana rasa nyeri terjadi. 4) Saverity (scale of pain): seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri/ pasien menerangkan seberapa jauh rasa nyeri mempengaruhi kemampuan fungsinya. 5) Time: beberapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari/ siang hari.
c. Riwayat penyakit sekarang Pada pasien fraktur, dapat disebabkan oleh kecelakaan/ trauma, degeneratif dan patologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan
25
jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat/ perubahan warna kulit, dan kesemutan. d. Riwayat penyakit dahulu Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur), atau pernah punya penyakit yang menular/ menurun sebelumnya. e. Riwayat penyakit keluarga Pada keluarga pasien ada/ tidak yang menderita osteoporosis, athritis dan tubekolosis/ penyakit lain yang sifatnya menurun/ penular. f. Pola fungsi kesehatan : 1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Pada fraktur akan mengalami perubahan/ gangguan pada personal higiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK. 2) Pola nutrisi dan metabolisme Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan, meskipun menu berubah misalnya makan di rumah gizi tetap sama, sedangkan di rumah sakit disesuaikan dengan penyakit dan diet pasien. 3) Pola eliminasi Kebiasaan miksi/ defekasi sehari-hari, kesulitan waktu defekasi dikarenakan immobilisasi, feses berwarna kuning dan defekasi. Pada miksi, klien tidak mengalami gangguan. 4) Pola istirahat dan tidur Kebiasaan pola tidur dan istirahat mengalami gangguan yang disebabkan oleh nyeri, misalnya nyeri akibat fraktur.
26
5) Pola aktivitas dan latihan Aktivitas dan latihan mengalami perubahan/ gangguan akibat dari fraktur, sehingga kebutuhan pasien perlu dibantu oleh perawat/ keluarga. 6) Pola persepsi dan konsep diri Pada fraktur akan mengalami gangguan diri karena terjadi perubahan pada dirinya, pasien takut cacat seumur hidupnya/ tidak dapat bekerja lagi. 7) Pola sensori kognitif Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan, sedang pada pola kognitif atau cara berfikir pasien tidak mengalami gangguan. 8) Pola peran dan hubungan dengan sesama Terjadinya perubahan peran yang dapat mengganggu hubungan interpersonal, yaitu pasien merasa tidak berguna lagi dan menarik diri. 9) Pola penanggulangan stress Perlu ditanyakan apakah membuat pasien menjadi stress dan biasanya masalah dipendam sendiri/ dirundingkan dengan keluarga. 10) Pola reproduksi seksual Bila pasien sudah berkeluarga dan mempunyai anak, maka akan mengalami pola seksual dan reproduksi. Jika pasien belum berkeluarga, pasien tidak akan mengalami gangguan. 11) Pola tata nilai dan kepercayaan. Adanya kecemasan dan stress sebagai pertahanan. Apakah pasien meminta perlindungan/ pendekatan diri dengan Tuhan.
27
2. Diagnosa Keperawatan Menurut Arif Muttaqin (2008), diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan fraktur adalah: a. Nyeri akut berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf, cedera neuromuskular, trauma jaringan, dan refleks spasme otot sekunder. b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang, pemasangan fiksasi eksterna. c. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik, pemasangan fiksasi eksternal, pemasangan gips spalk dengan bebat. d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka post operasi atau luka terbuka di tungkai bawah. e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskular dan penurunan kekuatan tungkai bawah. f. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status ekonomi, perubahan fungsi peran.
3. Intervensi Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf, cedera neuromuskular, trauma jaringan, dan refleks spasme otot sekunder.
28
Tujuan perawatan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri berkurang, hilang atau teratasi Kriteria hasil: Secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat di atasi, mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri. Klien yang gelisah. Skala nyeri 0-1 atau teratasi. Intervensi: 1) Kaji nyeri dengan skala Rasional: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat di kaji dengan menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cedera. 2) Atur posisi imobilisasi pada tungkai bawah. Rasional:
imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab nyeri pada tungkai bawah. 3) Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor pencetus. Rasional: nyeri di pengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih, dan terbaring lama. 4) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif. Rasional:
pendekatan
dengan
menggunakan
relaksasi
dan
nonfarmakologi lainnya efektif dalam mengurangi nyeri. 5) Ajarkan relaksasi. Teknik-teknik mengurangi ketegangan otot rangka yang dapat mengurangi intensitas nyeri dan meningkatkan relaksasi masase.
29
Rasional:
teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga
kebutuhan O2 pada jaringan terpenuhi dan nyeri berkurang. 6) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. Rasional: mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang menyenangkan. 7) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman, misalnya waktu tidur, belakang tubuh kita di pasang bantal kecil. Rasional: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga meningkatkan kenyamanan. 8) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan dengan berapa lama nyeri akan berlangsung. Rasional:
pengetahuan
tentang
sebab-sebab
nyeri
membantu
mengurangi nyeri. Hal ini dapat membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik. 9) Observasi tingkat nyeri dan respons motorik klien dalam 30 menit setelah pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektivitasnya dan setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari. Rasional: setelah melaksanakan pengkajian yang optimal, perawat akan memperoleh data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat. 10) Pemberian analgesik Rasional: berkurang.
analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan
30
11) Pemasangan gips spalk atau sirkuler Rasional: gips spalk dapat menjaga kestabilan kontur tulang tibiafibula yang lemah karena adanya fraktur. Gips sirkuler dapat menjaga hasil reposisi yang di inginkan agar imobilisasi patah tulang dapat optimal. Pemasangan gips dapat menjaga proses imobilisasi sehingga mengurangi pergerakan fragmen tulang dan mengurangi nyeri. 12) Pemasangan traksi kulit. Rasional: traksi yang efektif akan memberikan dampak pada penurunan pergeseran fragmen tulang dan memberikan posisi yang baik untuk penyatuan tulang. 13) Operasi untuk pemangan fiksasi interna atau fiksasi eksternal. Rasional: fiksasi internal dan fiksasi eksternal dapat membantu proses imobilisasi fraktur kruris sehingga pergerakan fragmen berkurang. b. Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan diskontinuitas jaringan
tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang, pemasangan fiksasi eksterna. Tujuan perawatan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
klien
mampu
melaksanakan
aktifitas
fisik
sesuai
dengan
kemampuannya. Kriteria hasil: klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak mengalami kontraktur sendi, kekuatan otot bertambah, dan klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
31
Intervensi: 1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi tentang adanya peningkatan kerusakan. Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas. 2) Atur posisi mobilisasi pada tungkai bawah. Rasional:
imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang
yang mengkaji unsur utama penyebab nyeri pada
tungkai bawah. 3) Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak sakit. Rasional: gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan. 4) Bantu klien melakukan pelatihan ROM dan perawatan diri sesuai toleransi. Rasional: untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai dengan kemampuan. 5)
Kolaborasi dengan ahli fisioterafi untuk melatih fisik klien. Rasional:
Kemampuan mobilisasi ekstermitas dapat di tingkatkan
dengan latihan fisik dari tim fisioterafi. c. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik, pemasangan fiksasi eksternal, pemasangan gips spalk dengan bebat. Tujuan perawatan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam risiko trauma tidak terjadi.
32
Kriteria hasil: klien mau mau berpartisipasi dalam pencegahan trauma. Intervensi: 1) Pertahankan imobilisasi pada tungkai bawah. Rasional: meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen tulang dengan jaringan lunak di sekitarnya. 2) Bila klien menggunakan gips, pantau adanya penekanan setempat dan adanya sirkulasi perifer. Rasional:
mendeteksi adanya sindrom kompartemen dan menilai
secara dini adanya gangguan sirkulasi pada bagian distal tungkai bawah. 3) Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut untuk mempertahankan posisi yang netral. Rasional: mencegah perubahan posisi dengan tetap mempertahankan kenyamanan dan keamanan. 4) Evaluasi bebat terhadap resolusi edema. Rasional: bila fase edema telah lewat, kemungkinan bebat menjadi longgar dapat terjadi. 5) Pantau fiksasi eksternal. Evaluasi adanya bagian tajam dari fiksasi eksternal. Rasional: adanya bagian tajam pada fiksasi eksternal memungkinkan trauma pada kulit klien. Adanya bagian tajam dapat dimanipulasi dengan memberikan penumpul pada ujung- ujung bagian yang tajam. 6) Jangan tutup fiksasi eksternal dengan selimut atau kain.
33
Rasional:
menghindari ketidaktahuan orang lain terhadap adanya
pemasangan fiksasi eksternal pada klien. 7) Beritahukan kepada klien agar tidak menginjakan kaki yang telah dipasang fiksasi ekstrenal. Rasional: mencegah terjadinya pergerakan posisi akibat pergerakan fragmen tulang dari menahan berat tubuh. 8) Observasi adanya perdarahan atau keluarnya cairan dari sela- sela fiksasi eksternal. Rasional: adanya perdarahan atau keluarnya cairan dari sela- sela fiksasi eksternal merupakan tanda- tanda adanya pergerakan fragmen tulang. 9) Lakukan perawatan luka secara steril. Rasional: fiksasi eksternal mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi tulang karena adanya hubungan langsung dari luar tulang. Peran perawat dalam melakukan perawatan luka secara steril sangat penting dalam mengompreskan larutan antiseptik disekitar fiksasi eksternal. 10) Ajarkan klien dan keluarga mengenai perawatan fiksasi eksternal apabila pulang ke rumah. Rasional:
pengetahuan yang diberikan dapat mengurangi resiko
trauma akibat pemasangan fiksasi eksternal. 11) Kolaborasi pemberian obat antibiotik Rasional:
antibiotik bersifat
bakterisidal/
bakteriostatik untuk
membunuh/ menghambat perkembangan kuman.
34
12) Evaluasi tanda/ gejala perluasan cidera jaringan ( peradangan lokal/ sistemik, seperti peningkatan nyeri, edema, dan demam). d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka post operasi atau luka terbuka di tungkai bawah. Tujuan perawatan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasca operasi atau setelah patah tulang terbuka, infeksi tidak terjadi. Kriteria hasil: klien mengenal faktor-faktor resiko, mengenal tindakan pencegahan/ mengurangi faktor resiko infeksi, dan menunjukan/ mendemostrasikan teknik-teknik untuk meningkatkan lingkungan yang aman. Intervensi: 1) Kaji dan pantau luka operasi setiap hari. Rasional: mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin timbul sekunder akibat adanya pasca operasi. 2) Lakukan perawatan luka secara steril. Rasional: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi kontaminasi kuman. 3) Pantau atau batasi kunjungan. Rasional: mengurangi resiko kontak infeksi dari orang orang lain. 4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi, bantu program latihan. Rasional: menunjukan kemampuan secara umum dan kekuatan otot serta merangsang pengembalian sitem imun.
35
5) Berikan antibiotik sesuai indikasi. Rasional: satu atau beberapa agen di berikan yang bergantung pada sifat patogen dan infeksi yang terjadi. e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskular dan penurunan kekuatan tungkai bawah. Tujuan perawatan: setelah dilakukan tindakan keperawatan perawatan diri klien dapat terpenuhi. Kriteria hasil: klien dapat menunjukan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri, mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan, dan mengidentifikasi individu/ masyarakat yang dapat membantu. Intervensi: 1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Rasional: membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan untuk kebutuhan kemampuan. 2) Hindari apa yang tidak dapat di lakukan klien dan bantu bila perlu. Rasional: mencegah frustasi dan menjaga harga diri klien karena klien dalam keadaan cemas dan membutuhkan bantuan orang lain. 3) Ajak klien untuk berpikir positif terhadap kelemahan yang di milikinya, berikan klien motivasi dan izinkan klien melakukan tugas berikan umpan balik positif atas usahanya. Rasional: klien memerlukan empati. Perawat perlu mengetahui perawatan yang konsisten dalam menangani klien.Intervensi tersebut
36
dapat
meningkatkan
harga
diri,
memandirikan
klien,
dan
menganjurkan klien untuk terus mencoba. 4) Rencanakan tindakan untuk mengurangi tindakan pada sisi tungkai bawah yang sakit, seperti tempatkan makanan dan peralatan dalam suatu tempat yang berlawanan dengan sisi yang sakit. Rasional: klien akan lebih mudah mengambil peralatan yang di perlukan karena lebih dekat dengan lengan yang sehat. 5) Identifikasi kebiasaan BAB. Anjurkan minum dan meningkatkan latihan. Rasional:
meningkatkan
latihan
dapat
membantu
mencegah
konstipasi. f) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status ekonomi, perubahan fungsi peran. Tujuan perawatan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam ansietas hilang atau berkurang. Kriteria hasil: klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang memengaruhinya, dan menyatakan ansietas berkurang/ hilang. Intervensi: 1) Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas, damping klien, dan lakukan tindakan bila klien menunjukan perilaku merusak. Rasional: reaksi verbal/ nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah, dan gelisah.
37
2) Hindari konfrontasi. Rasional: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerjasama, dan mungkin memperlambat penyembuhan. 3) Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan yang tenang dan suasana yang penuh istirahat. Rasional: mengurangi ransangan eksternal yang tidak perlu. 4) Tingkatkan kontrol sensasi klien. Rasional: kontrol sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan, serta memberikan umpan balik yang positif. 5) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas yang di harapkan. Rasional: orientasi tahap-tahap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas. 6) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan ansietasnya. Rasional: dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak di ekspresikan. 7) Berikan privasi kepada klien dan orang terdekat. Rasional:
memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan serta
menghilangkan ansietas dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang di pilih klien untuk melakukan aktivitas dan
38
pengalihan perhatian (misalnya membaca) akan mengurangi perasaan terisolasi
4. Implementasi Keperawatan Menurut Andra dan Yessie (2013), implementasi keperawatan adalah tindakan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan yang sistematis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Apabila tindakan keperawatan dilakukan bersama dengan pasien dan atau keluarga hendaknya penjelasan diberikan terlebih dahulu mencakup tindakan yang akan dilakukan dan bantuan yang diharapkan dari pasien atau keluarganya. Juga apabila tindakan keperawatan dilakukan oleh beberapa orang tenaga perawat hendaknya tindakan yang akan dilakukan didiskusikan terlebih dahulu.
5. Evaluasi Keperawatan Evaluasi atau penilaian pada dasarnya adalah merujuk kepada suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengambil keputusan dalam rangka memberi nilai terhadap suatu/ orang, benda, fakta (Andra dan Yessie, 2013). Dalam konteks keperawatan evaluasi adalah penilaian fase proses keperawatan, mempertimbangkan efektifitas tindakan keperawatan dan menunjukan perkembangan pasien terhadap pencapaian tujuan.
6. Perencaan Pulang atau Discharge Planing Penyuluhan pada pasien dan keluarga:
39
1. Meningkatkan masukan cairan. 2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu. 3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat. 4. Kontrol sesuai jadwal. 5. Minum obat seperti yang diresepkan dan segera periksa jika ada keluhan. 6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang. 7. Aktifitas sedang dapat dilakukan untuk mencegah keletihan karena mengalami kesulitan bernafas. 8. Hindari trauma ulang.
40
DAFTAR PUSTAKA
Amin & Hardhi. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction Publishing. Andrea & Yessie. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2 (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika. Lukman dan Nigsih, Nuna. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskletal. Jakarta : Salemba Medika Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Muskuloskeletal. Jakarta: EGC
Keperawatan
Klien
Gangguan
Sistem
Syaifudiddin. 2011. Anatomi Fisiologi : Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk Keperawatan Dan Kebidanan . Jakarta : EGC Wahid, Abdul. (2013). Asuhan Keperawatan Muskuloskeletal. Jakarta: Trans Info Media.
Dengan
Gangguan
Sistem
(http://brucerosemandmd.com/illustration 2.html, diakses pada tanggal 1 April 2019). (www.brucerosemandmd.com/illustration2.html, diakses pada tanggal 1 April 2019)
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL : FRAKTUR
OLEH: AJIS SANTOSO NIM 20181988K
PROGRAM REKOGNISI PEMBLEJARAN LAMPAU AKADEMI KEPERAWATAN DHARMA INSAN PONTIANAK TAHUN 2019