Lp Inkontinensia.docx

  • Uploaded by: Ardhia Winda Prastia
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Inkontinensia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,167
  • Pages: 11
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GERONTIK INKONTINENSIA URINE

Oleh: ARDHIA WINDA PRASTIA 1501460038

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN MALANG

A. Definisi Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif. Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Klasifikasi Menurut Brunner & Suddart: 1. Inkontinensia stress Merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen. Tipe inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cedera obstetric, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lainnya. Disamping itu, gangguan ini dapat terjadi karena kelainan congenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik). 2. Inkontinensia urgensi Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus, kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan factor yang menyertai; keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih atau pada pasien dengan gejala local iritasi akibat infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih. 3. Inkontinensia overflow Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terusmenerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal dan mengalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urin terjadi dengan

sering,kandung kemih tidak pernah kosong. Inkontinensia overflow dapat disebabkan oleh kelainan neurologi (yaitu, lesi medulla spinalis) atau oleh factor-faktor yang menyumbat saluran keluar urin (yaitu,penggunaan obat-obatan, tumor, struktur dan hyperplasia prostat). 4. Inkontinensia fungsional Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada factor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi. 5. Inkontinensia reflex Merupakan kehilangan urin yang tidak disadari bila volume tertentu telah tercapai, terjadi pada Interval yang dapat diperkirakan. Gangguan neurologic seperti pada lesi sumsum tulang belakang. (Barbara C. Long. 1996)

C. Etiologi 1. Persalinan pervaginan Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. 2. Proses menua Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul. 3. Gangguan urologi (peningkatan pada produksi urine) 4. Infeksi saluran kemih

D. Manifestasi Klinis 1. Inkontinensia stress: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejalagejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stress. 2. Inkontinensia urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.

3. Enuresis nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukan adanya kandung kemih yang tidak stabil. 4. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi(pancara lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal), fistula (menetes terus menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukan penyakit yang mendasari. 5. Ketidak nyamanan daerah pubis. 6. Distensi vesika urinaria. 7. Ketidak sanggupan untuk berkemih. 8. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50 ml). 9. Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya. 10. Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih. 11. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih. 12. Tidak merasakan urine keluar. 13. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil.

E. Pemeriksaan Diagnostik 1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin (Menurut

Ouslander),

tes

diagnostik

pada

inkontinensia

perlu

dilakukan

untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa urine setelah berkemih, dilakukan dengan cara : Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap spesimen urine yang bersih untuk mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :  Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.  Tes urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah

 Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dinamis  Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah. 2. Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuri. 3. Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.

F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu catat waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum. 2. Terapi non farmakologi Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urine, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :  Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.  Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.  Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.  Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.

 Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).  Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. 3. Terapi farmakologi Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:  Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine  Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu : seudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.  Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti : Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapidiberikan secara singkat. 4. Terapi pembedahan Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). 5. Modalitas lain Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan 6. Kateter Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karenadapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukanbatu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakanalat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih.Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkankandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi padasaluran kemih. 7. Alat bantu toilet Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjutyang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebutakan menolong lansia

terhindar dari jatuh serta membantu memberikankemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet. 8. Latihan Otot Dasar Panggul  Posisi tidur telentang dengan kedua kaki ditekuk sehingga otot panggul sejajar dengan lantai.  Tahan otot panggul seperti menahan kencing selama sepuluh hitungan atau sesanggupnya.  Lepaskan dan relaks selama sepuluh hitungan.  Lakukan lagi dan lepaskan lagi lebih kurang 5x latihan.  Lakukan sebanyak 3x sehari (pagi, siang dan malam)

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK INKONTINENSIA URINE

A. Pengkajian 1. Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis. 2. Riwayat kesehatan  Riwayat kesehatan sekarang Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.  Riwayat kesehatan dahulu Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.  Riwayat kesehatan keluarga Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan. 3. Pemeriksaan fisik Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia 4. Pemeriksaan Sistem : a

B1 (breathing) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.

b

B2 (blood) Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

c

B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh

d

B4 (bladder)

Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah suprapubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya. Palpasi :

Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di

urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing. e

B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.

f

B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

B. Diagnosa Keperawatan 1. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar penyokongnya. 2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama. 3. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine

C. Intervensi Keperawatan 1. Diagnosa I: Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis Tujuan : Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsia, klien dapat menjelaskan penyebab. Intervensi :  Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari.  Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang direncanakan.  Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat kandung kemih.  Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.  Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.

 Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya dengan latihan  Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia. 2. Diagnosa 2: Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama. Tujuan : Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri. Intervensi :  Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar.  Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine).  Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2 jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan. 3. Diagnosa 3 : Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine Tujuan :  Jumlah bakteri < 100.000 / ml.  Kulit periostomal tetap utuh.  Suhu 37° C.  Urine jernih dengan sedimen minimal. Intervensi :  Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.  Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira

setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.

Related Documents

Lp
August 2019 105
Lp
November 2019 101
Lp
May 2020 74
Lp
October 2019 102
Lp
October 2019 96
Lp Pneumoia.docx
December 2019 0

More Documents from "imam masrukin"