Lp Ckd Hipoalbumin.docx

  • Uploaded by: Endang Lestari
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Ckd Hipoalbumin.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,535
  • Pages: 26
LAPORAN PENDAHULUAN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN HIPOALBUMIN DAN HEMODIALISA

1. KONSEP CKD 1.1. DEFINISI Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap akhir. CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer dan Bare, 2001). Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626). Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448). Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812).

1.2 ETIOLOGI Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price dan Wilson (2006) diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari golongan penyakit tersebut adalah : 1.

Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks nefropati.

2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis. 3.

Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, dan stenosis arteria renalis.

4. Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan seklerosis sistemik progresif.

5.

Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis tubulus ginjal.

6. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme, serta amiloidosis. 7. Nefropati toksik seperti penyalah gunaan analgetik, dan nefropati timah. 8. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang terdiri dari hipertropi prostat, setriktur uretra, anomali congenital leher vesika urinaria dan uretra. Sedangkan penyebab PGK menurut National Kidney Foundation / NKF (2010) adalah 1. Diabetes militus dan Hipertensi Dua penyebab utama penyakit ginjal kronis diabetes dan tekanan darah tinggi. Diabetes militus terjadi ketika gula darah terlalu tinggi, menyebabkan kerusakan pada banyak organ dan otot dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh darah, saraf, dan mata. Tekanan darah tinggi atau hipertensi, terjadi ketika tekanan darah meningkat pada dinding pembuluh darah. Jika tidak dikontrol dengan baik, tekanan darah tinggi bisa menjadi penyebab serangan jantung, stroke dan PGK. 2. Glomerulonefritis Glomerulonefritis menyebabkan peradangan dan kerusakan unit penyaringan ginjal, merupakan penyebab ketiga yang paling sering terjadi pada penyakit ginjal kronis. 3. Polikistik Ginjal Polikistik ginjal merupakan penyakit ginjal bawaan sejak lahir. Keadaan ini mengakibatkan kista pada ginjal yang akan merusak jaringan disekitarnya. 4. Lupus. Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. 5. Adanya sumbatan karena tumor, batu ginjal atau sumbatan karena ada pembesaran kelenjar prostat pada pria

1.3 KLASIFIKASI Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium : 1. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik. 2. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat. 3. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Menurut Suwitra (2006) dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD dapat ditunjukan dari laju filtrasi glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut : 1. Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat > 90 ml/menit/1,73 m2. 2. Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 60- 89 ml/menit/1,73 m2. 3. Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 30-59 ml/menit/1,73 m2. 4. Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 15- 29 ml/menit/1,73 m2. 5. Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2. Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus:

1.4. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinik menurut Long (1996) antara lain: a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.

Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi). Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut: a. Gangguan kardiovaskuler Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effuse perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema. b. Gannguan Pulmoner Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels. c. Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia d. Gangguan musculoskeletal Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas. e. Gangguan Integumen Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. f. Gangguan endokrin Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D. g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia. h. System hematologi

Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

1.5 Patofisiologi

Gangguan pada ginjal Kerusakan parenkim, kerusakan nefron Penurunan perfusi jaringan  penurunan darah, O2, dan nutrisi Peningkatan rennin  angiotensin I kemudian diubah mjd angiotensi II di paru

Peningkatan aldosteron

Vasokonstriksi arteriol

me↑kan reabs. Na+

pe↑tan tek. glomerulus

Retensi cairan di ekstravaskuler

Reabs. Cairan menurun banyak yang dibuang termasuk protein, terutama albuminhipoalbumin

Kelebihan volume cairan Mempengarugi tekanan di alveoli  peningkatan tekanan cairan di alveoli Kelebihan cairan di alveoli pertukaran O2 tidak maksimal Gangguan pertukaran gas

Mempengaruhi kerja tek.onkotik dan hidrostatik vaskuler  tek di vaskuler menurun Cairan yang ter retensi masuk secara bebas ke interstisiil  edema perifer Penurunan suplai darah ke jar. perifer Gangguan perfusi jaringan perifer

Sisa metabolisme ikut peredaran darah  masuk ke lambungmual muntah Penurunan intake pe↓nan nafsu makan

Penurunan pembuangan air, garam dan sisa metabolisme sindrom uremia

Perparahan penurunan GFRakibat kerusakan bertambah parah

Ketidakseimbangan antara kebutuhan tubuh dengan intake Gangguan nutrisi kurang daru kebutuhan tubuh

1.6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Pemeriksaan Laboratorium : a) Urin  Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada (anuria).  Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.  Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat).  Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio urine / ureum sering 1:1. b) Kliren kreatinin mungkin agak menurun. c) Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium. d) Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada e) Darah  Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).  Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 g/dL.  SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti pada azotemia.  GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolic (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.

 Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal (menunjukkan status dilusi hipernatremia).  Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selular (asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir , perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar. Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun. Protein (khuusnya albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial. Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine. 2.

Pemeriksaan Radiologi a) Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas. b) Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis. c) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal. d) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa e) KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan adanya obtruksi (batu). f) Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi ekstravaskuler, massa. g) Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal. h) Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk kedalam ureter, dan retensi. i) Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit tinggi kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat pula pada asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari. j) Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi, obat diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.

1.7. KOMPLIKASI

Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006) antara lain adalah : 1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan diit berlebih. 2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat. 3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin angiotensin aldosteron 4. Anemia akibat penurunan eritropoitin. 5.

Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.

6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh. 7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian. 8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah. 9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

1.8. PENATALAKSANAAN 1. Terapi konservatif Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006). a.

Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. b.

Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan

tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c.

Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah

diuresis mencapai 2 L per hari. d.

Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG

dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simtomatik a. Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L. b. Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. c. Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik. d. Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. e. Kelainan neuromuskular Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi. f. Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi. g. Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

3. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006 dalam Alamang 2012). a. Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat. Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal. b. Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anakanak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

b. Transplantasi ginjal Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu: 1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah 2. Kualitas hidup normal kembali 3. Masa hidup (survival rate) lebih lama 4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan 5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

2. KONSEP HIPOALBUMIN

2.1. DEFINISI Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL (Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso, 2006 dan Diagnose-Me.com, 2007). Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati (Murray, dkk, 2003).

2.2.

ETIOLOGI Menurut Iwan S. Handoko (2005), Adhe Hariani (2005) dan Baron (1995) hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien. Hipoalbuminemia dapat disebabkan olehmasukan protein yang rendah, pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat dan peningkatan kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut: 1.

Kurang Energi Protein,

2.

Kanker,

3.

Peritonitis,

4.

Luka bakar,

5.

Sepsis,

6.

Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi setelah trauma),

7.

Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa albumin menurun),

8.

Penyakit ginjal (hemodialisa),

9.

Penyakit saluran cerna kronik,

10.

Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis),

11. Diabetes mellitus dengan gangren, dan 12. TBC paru.

2.3. MANIFESTASI KLINIK 1. Ascites - akumulasi cairan di rongga perut; 2. dapat menyebabkan sesak napas.Hal ini menunjukkan akumulasi efusi pleura dan pengembangan edema paru; 3. Nafsu makan menurun 4. kelemahan.

2.4. KLASIFIKASI HIPOALBUMIN Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5–5 g/dl atau total kandungan albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram (Albumin.htm, 2007 dan Peralta, 2006). Klasifikasi hipoalbuminemia menurut Agung M dan Hendro W (2005) adalah sebagai berikut: 1.

Hipoalbuminemia ringan

: 3,5–3,9 g/dl

2.

Hipoalbuminemia sedang

: 2,5–3,5 g/dl

3.

Hipoalbuminemia berat

: < 2,5 g/dl

2.5. PENATALAKSANAAN 1. Therapi diet Tujuan utama terapi diet hipoalbuminemia adalah meningkatkan dan mempertahankan status gizi dalam hal ini kadar serum albumin serta mencegah seminimal mungkin penurunan kadar albumin untuk mencegah komplikasi. Kebutuhan energi pada hipoalbuminemia diupayakan terpenuhi karena apabila

asupan energi kurang dari kebutuhan maka bisa terjadi pembongkaran protein tubuh untuk diubah menjadi sumber energi sehingga beresiko memperburuk kondisi hopoalbuminemia. Oleh karena itu pada pasien-pasien hypoalbumin khususnya dan pasien bedah pada umumnya di RSUP Dr Kariadi diberikan diet TKTP, kalau perlu diberikan ekstra putih telur, ekstra ikan gabus, dan atau MPT. Modisco merupakan singkatan dari Modified Dried Skimmed Milk and Coconut. Modisco pertama kali dtemukan oleh May dan Whitehead pada tahun 1973. Modisco merupakan makanan atau minuman bergizi tinggi yang pertama kali dicobakan pada anak-anak yang mengalami gangguan gizi berat di Uganda (Afrika) dengan hasil yang memuaskan. Manfaat modisco yang paling utama adalah untuk mengatasi gizi buruk pada manusia dengan cepat dan mudah. Karena modisco mempunyai kandungan kalori yang tinggi serta mudah dicerna oleh usus manusia. Modisco juga dapat membantu mempercepat penyembuhan penyakit sehingga biaya pengobatan menjadi lebih ringan (Sudiana & Acep, 2005).

2. Therapi Medis Pasien-pasien yang rentan terhadap malnutrisi, terutama yang terkait dengan hipoalbumin seperti kasus-kasus di atas dari team medis diberikan transfusi FFP dan atau human albumin. Untuk pemberian kedua transfusi tersebut pada kasus yang kadar albumin dalam darah ≤ 2,5 gr/dl (Hill, 2000). Namun kedua therapi medis tersebut perlu beberapa pertimbangan antara lain : pertimbangan harga yang cukup mahal, tidak mudah untuk mendapatkannya khususnya untuk pasien dengan status kelas III / jamkesmas. 3. Peran Perawat Dalam Therapi Hypoalbumin Pemberian therapi pada pasien hypoalbumin baik therapi medis maupun therapi diet, perawat terlibat dalam mengoptimalkan pemberian therapi tersebut sesuai dengan peran dan fungsinya sebagai perawat diantaranya: sebagai conselor, educator, kolaborator, dan advocator. Karena perawat merupakan petugas kesehatan yang selalu berada di samping pasien 24 jam, sehingga baik buruknya kondisi / status keshatan pasien perawatlah yang pertama kali mengetahui baru kemudian dilanjutkan kolaborasi dengan pihak terkait (medis, gizi, fisiotherapi, dll).

Dalam pemberian therapi hypoalbumin peran perawat sangat penting diantaranya: memberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang therapi hypoalbumin, memonitor distribusi instrumen / suplemen sampai ke pasien dan benar-benar dikonsumsi pasien dengan benar . Setelah yakin suplemen dikonsumsi pasien dengan benar, kemudian dilanjutkan peran perawat untuk mengevaluasi baik secara klinis maupun biokimia. Salah satu indikator keberhasilan pemberian therapi diet hypoalbumin adalah meningkatnya kadar serum albumin dalam darah yang akan mempercepat proses penyembuhan penyakit dan kepulangan pasien sehingga akan memperpendek LOS.

3. KONSEP HEMODIALISA

3.1. DEFINISI Dialisis menghilangkan nitrogen sebagai produk limbah, mengoreksi elektrolit, air, dan kelainan asam-basa yang berhubungan dengan gagal ginjal. Dialisis tidak memperbaiki kelainan endokrin karena gagal ginjal, atau mencegah komplikasi kardiovaskular. Proses dialysis membutuhkan membran semipermeabel yang akan membersihkan bagian air dengan berat molekul kecil (zat terlarut), tetap tidak untuk molekul besar (misalnya protein). Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermiabel (dialyzer) ke dalam dialysate. Dialyzer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dialyzer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat dan dunia Dialyzer atau ginjal buatan memiliki dua bagian, satu bagian untuk darah dan bagian lain untuk cairan dialysate. Di dalam dialyzer antara darah dan dialisat tidak bercampur jadi satu tetapi dipisahkan oleh membran atau selaput tipis. Sel-sel darah, protein dan hal penting lainnya tetap dalam darah karena mempunyai ukuran molekul yang besar sehingga tidak bisa melewati membran. Produk limbah yang lebih kecil seperti urea, kreatinin dan cairan bisa melalui membran dan dibuang. Sehingga darah yang banyak mengandung sisa produk limbah bisa bersih kembali (National Kidney Foundation / NKF, 2006). Proses hemodialisis yang terjadi didalam membran semipermiabel terbagi menjadi tiga proses yaitu osmosis, difusi dan ultrafiltrasi (Curtis, Roshto & Roshto, 2008). Osmosis adalah proses perpindahan zat terlarut dari bagian yang berkonsentrasi rendah kearah konsentrasi yang lebih tinggi. Difusi adalah proses perpindahan zat terlarut dari konsentrasi tinggi kearah konsentrasi yang rendah. Sedangkan ultrafiltrasi adalah perpindahan cairan karena ada tekanan dalam membran dialyzer yaitu dari tekanan tinggi kearah yang lebih rendah (Curtis, Roshto., & Roshto, 2008)

3.2. TUJUAN HEMODIALISA Hemodialisis tidak mengatasi gangguan kardiovaskuler dan endokrin pada penderita PGK. Tindakan hemodialisis bertujuan untuk membersihkan nitrogen sebagai sampah hasil metabolisme, membuang kelebihan cairan, mengoreksi elektrolit dan memperbaiki gangguan keseimbangan basa pada penderita PGK (Levy, dkk., 2004). Tujuan utama tindakan hemodialisis adalah mengembalikan keseimbangan cairan intraseluler dan ekstraseluler yang terganggu akibat dari fungsi ginjal yang rusak (Himmelfarb & Ikizler, 2010)

3.3. PRINSIP DALAM PROSES HEMODIALISA Secara sederhana proses dialisis hanya memompa darah dan dializat melalui membran dializer (Levy,dkk., 2004) 1. Dialysate adalah larutan air murni yang mengandung, klorida, natrium kalium, magnesium, kalsium, dextrose, bicarbonat atau asetat. 2. Di dalam dialyzer darah dan dialysate dipisahkan oleh membrane semipermiabel. Darah mengandung sisa produk metabolism berupa ureum, creatin, dan lainnya. Sedangkan dialysate tidak mengandung produk sisa metabolisme. Karena perbedaan konsentrasi ini akan terjadi proses difusi dalam dialyzer. 3. Proses difusi akan maksimal bila arah aliran darah dan dialisa berlawanan (counter current flow). Kecepatan aliran darah dan dialisat dalam dialiser juga berpengaruh pada peningkatan proses difusi. 4. Proses konveksi dalam dialyzer dapat ditingkatkan dengan meningkatkan tekanan dalam membran dialyzer (trans membrane pressure). Pada proses Hemodialisa konvensional, molekul dengan ukuran kecil tidak semua terlepas denagan proses konveksi saja. Tetapi hampir semua molekul dengan ukuran kecil terlepas dengan proses difusi. Sebaliknya molekul dengan ukuran besar (B2- mikroglobulin dan vit B12) dikeluarkan efektif dengan proses konveksi. Hal ini telah menyebabkan peningkatan penggunaan metode UF di Hemodialisa untuk meningkatkan penghapusan molekul MW lebih besar.

3.4. KOMPONEN HEMODIALISA

1. Mesin Hemodialisa Mesin hemodialisa memompa darah dari pasien ke dialyzer sebagai membran semipermiabel dan memungkinkan terjadi proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi karena terdapat cairan dialysate didalam dialyzer. Proses dalam mesin hemodialisa merupakan proses yang komplek yang mencakup kerja dari deteksi udara, kontrol alarm mesin dan monitor data proses hemodialisa (Misra, 2005) 2. Ginjal Buatan (dialyzer) Dialyzer atau ginjal buatan adalah tabung yang bersisi membrane semipermiabel dan mempunyai dua bagian yaitu bagian untuk cairan dialysate dan bagian yang lain untuk darah (Levy,dkk., 2004). Beberapa syarat dialyzer yang baik (Heonich & Ronco, 2008) adalah volume priming atau volume dialyzer rendah, clereance dialyzer tinggi sehingga bisa menghasilkan clearance urea dan creatin yang tinggi tanpa membuang protein dalam darah, koefesien ultrafiltrasi tinggi dan tidak terjadi tekanan membrane yang negatif yang memungkinkan terjadi back ultrafiltration, tidak mengakibatkan reaksi inflamasi atau alergi saat proses hemodialisa (hemocompatible), murah dan terjangkau, bisa dipakai ulang dan tidak mengandung racun. Syarat dialyzer yang baik adalah bisa membersihkan sisa metabolisme dengan ukuran molekul rendah dan sedang, asam amino dan protein tidak ikut terbuang saat proses hemodialisis, volume dialyzer kecil, tidak mengakibatkan alergi atau biocompatibility tinggi, bisa dipakai ulang dan murah harganya (Levy, dkk., 2004) 3. Dialysate Dialysate adalah cairan elektrolit yang mempunyai komposisi seperti cairan plasma yang digunakan pada proses hemodialisis (Hoenich & Ronco, 2006). Cairan dialysate terdiri dari dua jenis yaitu cairan acetat yang bersifat asam dan bicarbonat yang bersifat basa. Kandungan dialysate dalam proses hemodialisis menurut Reddy & Cheung ( 2009 )

4. Blood Line (BL) atau Saluran Darah Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian arteri berwarna merah dan bagian vena berwarna biru. BL yang baik harus mempunyai bagian pompa, sensor vena, air leak detector (penangkap udara), karet tempat injeksi, klem vena dan arteri dan bagian untuk heparin (Misra, 2005). Fungsi dari BL adalah menghubungkan dan mengalirkan darah pasien ke dialyzer selama proses hemodialisis 5. Fistula Needles Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai Arteri Vena Fistula (AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien PGK yang akan menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu warna merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena

3.5. KOMPLIKASI SELAMA HEMODIALISIS Selama proses hemodialisis sering muncul komplikasi yang berbedabeda untuk setiap pasien. Komplikasi hemodialisis menurut Katanko dan Levin (2008) adalah intradialytic hipotension, kram otot, mual muntah, emboli udara dan sakit kepala. Menurut Armiyati (2010) salah satu komplikasi selama hemodialisis adalah hipertensi. 1.

Intradialytic Hypotension (IDH) Intradialytic Hypotension adalah tekanan darah rendah yang terjadi ketika proses hemodialisis sedang berlangsung. IDH terjadi karena penyakit diabetes

millitus, kardiomiopati, left ventricular hypertrophy (LVH), status gizi kurang baik, albumin rendah, kandungan Na dialysate rendah, target penarikan cairan atau target ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat badan kering terlalu rendah dan usia diatas 65 tahun 2. Kram otot Kram otot yang terjadi selama hemodialisis terjadi karena target ultrafiltrasi yang tinggi dan kandungan Na dialysate yang rendah. 3. Mual dan muntah Komplikasi mual dan muntah jarang berdiri sendiri, sering menyertai hipotensi dan merupakan salah satu presensi klinik disequillibrium syndrom. Bila tidak disertai gambaran klinik lainnya harus dicurigai penyakit hepar atau gastrointestinal. 4. Sakit kepala Penyebab tidak jelas, tapi bisa berhubungan dengan dialisat acetat dan disequillibrium syok syndrome (DDS). 5. Emboli udara Emboli udara dalam proses hemodialisis adalah masuknya udara kedalam pembuluh darah selama prose hemodialisis. 6. Hipertensi Keadaan hipertensi selama proses hemodialisis bisa diakibatkan karena kelebihan cairan, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, kelebihan natrium dan kalsium, karena erythropoietin stimulating agents dan pengurangan obat anti hipertensi. Komplikasi yang muncul dalam proses hemodialisis tidak bisa diduga sebelumnya dan harus segera diatasi. Menurut Sukandar (2006) ketika terjadi hipotensi intradialisis dan kram otot, penanganan yang harus dilakukan adalah menurunkan QB, menurunkan ultrafiltrasi dan memberikan cairan NaCl 0,9%. Bila terjadi komplikasi sakit dada atau terjadi disequillibrium syok syndrome (DSS) penanganan yang dilakukan adalah menurunkan QB, menurunkan quick of dialysate, menurunkan ultrfiltrasi, dan pemberian oksigen.

3.6. AKSES VASKULER

American Journal of Kidney Diseases (AJKD) merekomendasikan bahwa pasien PGK stadium 4 dan 5 sudah harus dipasang akses vaskuler untuk persiapan tindakan hemodialisis yang berupa kateter subklavia atau Arteriovenous shunt (AJKD, 2006). Pembuatan akses vaskuler untuk proses hemodialisis bertujuan untuk mendapatkan aliran darah yang optimal agar proses hemodialisis bisa berjalan dengan baik (Reddy & Cheung, 2009). Akses vaskuler yang disarankan adalah AV Shunt atau cimino, double lumen dan arteriovenosa grafts (AVG) (NKF DOQI, 2006). AV Shunt merupakan akses vaskuler yang paling aman saat ini tetapi bila saat insersi tidak menggunakan tehnik yang benar akan mengakibatkan kerusakan. 1.

Arteriovenous Fistula (AVF) AVF dibuat dengan cara menyambung sisi arteri dengan ujung dari vena yang dipotong atau dengan tehnik end to side.

2. Arteriovenous Graft (AVG) AVG dibuat apabila operasi pembuatan AVF sudah tidak mungkin dilakukan lagi. Pembuatan AVG dilakukan dengan cara menyambung antara arteri dan vena yang dihubungkan dengan saluran sintetis yang terbuat dari bahan Litetrafluoroetilena (PTFE) atau turunannya yaitu PTFE (ePTFE). Sedangkan untuk polyurethaneurea (PUU) jarang digunakan. Komplikasi dari akses arteriovenous yang sering muncul adalah stenosis, trombosis, iskemik bagian distal, anurisma, kematian jaringan, gagal jantung dan infeksi (Reddy & Cheung, 2009). 3. Double lumen atau temporary catheters Kateter sementara ini dipasang pada pasien di vena jugularis, vena femoralis atau vena subklaivia. Komplikasi yang sangat sering terjadi pada pemasangan kateter ini adalah infeksi.

4. ASUHAN KEPERAWATAN

4.1. 

Pengkajian Biodata Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.



Keluhan utama Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.



Riwayat penyakit 1) Sekarang Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik. 2) Dahulu Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia, prostatektomi. 3) Keluarga Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).



Tanda vital Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea. 

Pemeriksaan Fisik : 1) Pernafasan (B 1 : Breathing) Gejala: Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum, kental dan banyak. Tanda: Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa sputum. 2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding) Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat.Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.

Tanda Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan. 3) Persyarafan (B 3 : Brain) Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma. 4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder) Gejala: Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi. Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria. 5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel) Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan Diare 6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone) Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi. Tanda: Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak sendi. 

Pola aktivitas sehari-hari 1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan

untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien. 2) Pola nutrisi dan metabolisme Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang kurang.dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh. 3) Pola Eliminasi Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria. 4) Pola tidur dan Istirahat Gelisah, cemas, gangguan tidur. 5) Pola Aktivitas dan latihan Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak. 6) Pola hubungan dan peran Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran). 7) Pola sensori dan kognitif Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak. 8) Pola persepsi dan konsep diri

Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem). 9) Pola seksual dan reproduksi Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido, amenorea, infertilitas. 10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian. 11) Pola tata nilai dan kepercayaan Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien

4.2. Diagnosa Keperawatan:  Diagnosa Pre Hemodialisa -

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O

-

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penumpukan cairan (edema paru)

-

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan karena supply oksigen menurun

-

Gangguan pola seksual berhubungan dengan penurunan hormone seksual

-

Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan filtrasi ginjal

-

Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan tingginya kadar urochrome, toksik uremik

-

Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru

-

Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan supply darah dan oksigen ke jaringan menurun

-

Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan

-

Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta kadar asam basa dalam tubuh

-

Nyeri akut behubungan dengan aterosklerosis, perikarditis, efusi pericardial

 Diagnosa Intra Hemodialisa -

Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan dilakukannya dialisat darah

-

Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan atau penurunan kadar elektrolit tubuh

-

Resiko syok berhubungan dengan penarikan cairan (UF goal)

-

Resiko perdarahan berhubungan dengan penggunaan heparin

 Diagnosa Post Hemodialisa -

Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi

-

Resiko Infeksi berhubungan dengan port de entry akibat penusukan daerah insersi

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

Related Documents

Lp Ckd - Copy.docx
May 2020 16
Lp Ckd Gadar.docx
December 2019 30
Lp Ckd-ggk
August 2019 41
Ckd Lp Adnan
October 2019 32
Lp Ckd Hd Overload.docx
December 2019 31

More Documents from "Endang Lestari"

Kep Kel Remaja.docx
May 2020 24
Ok Sige Nasi
October 2019 34
Tumbang Anak.rtf
May 2020 22
Ca Paru.rtf
December 2019 19
Trarns.pdf
April 2020 8
Sap Dm 26 Ipd
October 2019 30