LAPORAN PENDAHULUAN COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP) RUANG PERAWATAN ANAK (LONTARA 4 ATAS BELAKANG) DI RS WAHIDIN SUDIROHUSODO TAHUN 2018
Nama Mahasiswa Nim
:
Nur Alawiyah Khaerunnisa
:
R014172010
CI LAHAN
CI INSTITUSI
[Nazriah Nur, S. Kep.,Ns]
[Dr. Kadek Ayu Erika, S.Kep.,Ns., M.Kes]
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018
BAB 1 KONSEP MEDIS A. Definisi Pneumonia merupakan suatu peradangan pada paru yang dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, maupun parasit.
Sedangkan
peradangan
pada
paru
yang
disebabkan
oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2003). Pneumonia adalah proses inflamator parenkim paru yang umumnya disebabkan agen infeksius. Pneumonia adalah penyakit infeksius yang sering menyebakan kematian di Amerika Serikat (Smeltzer & Bare, 2006). Community acquired pneumonia merupakan penyakit infeksi yang sangat sering ditemukan dan menyebabkan jumlah kematian yang tinggi pada balita di negara berkembang khususnya di Indonesia (Baharirama & Artini, 2017). Pada perkembangannya, berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu pneumonia-masyarakat (communityacquired pneumonia/CAP), apabila infeksinya terjadi di masyarakat; dan pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia/HAP), bila infeksinya didapat di rumah sakit. B. Anatomi Paru Deskripsi awal dari pneumonia difokuskan pada anatomi atau penampakan patologi dari paru - paru,baik melalui inspeksi langsung pada waktu otopsi atau melalui mikroskop. Pneumonia lobarik adalah infeksi yang hanya melibatkan satu lobus atau bagian dari paru. Pneumonia lobarik sering disebabkan Streptococcus pneumoniae. Pneumonia multilobar melibatkan lebih dari satu lobus dan sering merupakan penyakit yang lebih berat dari pneumonia lobarik. Pneumonia interstisial
melibatkan area di antara alveoli dan munkin disebut sebagai
“pneumonia
interstisial.” Pneumonia interstisial lebih sering disebabkan oleh
virus atau oleh bakteri atipikal. Penemuan x - ray membuat menjadi mungkin untuk menentukan anatomi tipe dari
pneumonia tanpa pemeriksaan langsung dari paru pad otopsi dan
mengarah pada perkembangan dari klasifikasi radiologi. Penyelidikan awal membedakan antara pneumonia lobar dan atipikal (contoh:Chlamydophila) atau pneumonia yang disebabkan
oleh virus
menggunakan lokasi,distribusi dan
penampakan dari opasitas yang mereka lihat pada foto x – ray (Smeltzer & Bare, 2006). Penemuan x - ray dapat digunakan untuk membantu memprediksi bagian dari penyakit,meskipun tidaklah mung kin untuk secara jelas menentukan penyebab mikrobiologi dari pneumonia didasarkan hanya pada x - ray. Dengan datangnya
mikrobiologi
modern,
klasifikasi
yang
berdasar
penyebab
mikroorganisme menjadi mungkin. Menentukan mikroorganisme mana yang menjadi
penyebab
pneumonia pada masing - masing individu merupakan
langkah
penting dalam
menentukan jenis perawatan dan lamanya.Kultur
sputum,kultur darah,tes pada sekret pernapasan dan tes darah spesifik digunakan untuk menentukan klasifikasi mikrobiologi. Karena beberapa tes laboratorium umumnya memakan waktu beberapa hari,klasifikasi mikrobiologi biasanya tidak mungkin pada saat awal diagnosis (Fransisca S., 2004).
C. Patofisiologi Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan terjadinya infeksi saluran napas, paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah bakteri agar tidak masuk kedalam paru. mekanisme pembersihan tersebut adalah : 1. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi : • Reepitelisasi saluran napas • Aliran lendir pada permukaan epitel • Bakteri alamiah atau "ephitelial cell binding site analog" • Faktor humoral lokal (IgG dan IgA) • Komponen mikroba setempat •Sistem transpor mukosilier •Reflek bersin dan batuk Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan mekanisme pertahanan melalui barier anatomi dan mekanisme terhadap masuknya mikroorganisme yang patogen. Silia dan mukus mendorong mikroorganisme keluar dengan cara dibatukkan atau ditelan. Bila terjadi disfungsi silia seperti pada Sindrome Kartagener's, pemakaian pipa nasogastrik dan pipa nasotrakeal yang lama dapat mengganggu aliran sekret yang telah terkontaminasi dengan baktri patogen. Dalam keadaan ini dapat terjadi infeksi nosokomial atau "Hospital Acquired Pneumonia". 2. Mekanisme pembersihan di "Respiratory exchange airway", meliputi : • Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan • Sistem kekebalan humoral lokal (IgG) • Makrofag alveolar dan mediator inflamasi •Penarikan netrofil Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru (saluran napas atas). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung (10 % dari total protein sekret hidung). Penderita defisiensi IgA memiliki resiko untuk terjadi infeksi saluran napas atas yang berulang. Bakteri yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak IgA. Bakteri gram negatif (P.aeroginosa, E.colli, Serratia spp, Proteus spp, dan K.penumoniae) mempunyai kemampuan untuk merusak IgA. Defisiensi dan kerusakan setiap komponen pertahan saluran napas atas
menyebabkan kolonisasi bakteri patogen sebagai fasiliti terjadinya infeksi saluran napas bawah. 3. Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik Mekanisme pertahanan saluran napas subglotis terdiri dari anatomik, mekanik, humoral dan komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks batuk dari glotis merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofaring. Bila terjadi gangguan fungsi glotis maka hal ini berbahaya bagi saluran napas bagian bawah yang dalam keadaan normal steril. Tindakan pemasangan pipa Nasogastrik, alat trakeostomi memudahkan masuknya bakteri patogen secara langsung ke saluran napas bawah. Gangguan fungsi mukosiliar dapat memudahkan masuknya bakteri patogen ke saluran napas bawah, bahkan infeksi akut oleh M.pneumoniae, H.Influenzae dan virus dapat merusak gerakan silia. 4. Mekanisme pembersihan di"respiratory gas exchange airway" Bronkiolus dan alveol mempunyai mekanisme pertahanan sebagai berikut : • Cairan yang melapisi alveol : a. Surfaktan Suatu Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa komponen SP-A, SP-B, SP-C, SP-D yang berfungsi memperkuat fagositosis dan killing terhadap bakteri oleh makrofag. b. Aktifiti anti bakteri (non spesifik) : FFA, lisozim, iron binding protein. • IgG (IgG1 dan IgG2 subset yang berfungsi sebagai opsonin) • Makrofag Alveolar yang berperan sebagai mekanisme pertahanan pertama • Berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus (ada infeksi GNB, P. aeruginosa) • Mediator biologi Kemampuan untuk menarik PMN ke saluran napas termasuk C5a, produksi dari makrofag alveolar, sitokin, leukotriene.
D. Etiologi Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa
bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif (PDPI, 2003). E. Manifestasi Klinis Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat berrnafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub. Batuk-batuk bertambah, perubahan karakteristik dahak / purulent, suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam, pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki, leukosit > 10.000 atau < 4500 (Baharirama & Artini, 2017). F. Pemeriksaan Penunjang a. Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. b. Pemeriksaan
labolatorium
Pada
pemeriksaan
labolatorium
terdapat
peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20 - 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (Smeltzer & Bare, 2006).
G. Penatalaksanaan Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang resisten penisilin. Menurut ATS (2001) dalam PDPI (2003), yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah: a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin • Umur lebih dari 65 tahun • Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir • Pecandu alkohol • Penyakit gangguan kekebalan • Penyakit penyerta yang multipel b. Bakteri enterik Gram negatif • Penghuni rumah jompo • Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru • Mempunyai kelainan penyakit yang multipel • Riwayat pengobatan antibiotik c. Pseudomonas aeruginosa • Bronkiektasis • Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari • Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir • Gizi kurang Penatalaksanaan CAP dibagi menjadi: a. Penderita rawat jalan • Pengobatan suportif / simptomatik - Istirahat di tempat tidur - Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas - Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik - Pemberian terapi oksigen - Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit - Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif • Pengobatan suportif / simptomatik - Pemberian terapi oksigen. - Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit - Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik. • Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam. • Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik.
H. Web Of Caution (WOC)
BAB II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian dasar a.
Anamnesa. 1) Identitas pasien . 2) Identitas penanggung jawab pasien.
b.
Keluhan utama. Keluhan yang paling utama dirasakan oleh klien saat pengkajian yaitu nyeri dada dan sesak.
c.
Riwayat kesehatan terdahulu. Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit yang sama atau pernah dirawat sebelumnya.
d.
Riwayat kesehatan sekarang. Sesak yang dialami pasien dan kondisi fisik serta keadaan umum pasien seperti apa.
2. Focus pengkajian. a. Aktivitas/istrahat Dikaji ativitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan dianjurkan bedrest b. Sirkulasi. Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi. c. Eliminasi. Frekuensi pengeluaran urin dan feses setiap harunya beserta karakternya. d. Pernapasan. Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi. 3. Diagnosa Keperawatan a. Ketidakefektifan pola napas b. Intoleransi Aktivitas c. Hipertermi
4. Rencana Keperawatan Diagnosa
NIC
NOC
Rasional
Keperawatan 1. a. Kedalaman
Ketidakefektifan
Pengelolaan jalan nafas:
Status Respirasi:
Pola Nafas
Fasilitasi untuk kepatenan jalan nafas.
Pergerakan udara ke dalam dan ke kemudahan
1.
2.
a. Pantau kecepatan,irama, kedalaman luar paru-paru.
bernafas
dan
merupakan
indicator efektif atau tidaknya pola
dan usaha respirasi.
Ditandai dengan indikator:
b. Informasikan kepada pasien dan 1.
a. Kedalaman
inspirasi
nafas. dan 2. b. Tidak
adanya
otot
bantu
keluarga tentang tehnik relaksasi untuk kemudahan bernafas.
pernafasan menandakan pola nafas
meningkatkan pola pernafasan
dalam keadaan normal
3. c. Berikan
obat
nyeri
pengoptimalan pola pernafasan. 4. d.Posisikan
pasien
2. b. Tidak ada otot bantu.
untuk 3. c. Bunyi nafas tambahan tidak ada. 3. c. Pada pernafasan normal tidak 4. d. Nafas pendek tidak ada. untuk
mengoptimalkan pernafasan.
Hipertermi
inspirasi
NOC NIC Setelah dilakukan tindakan keperawatan a. pantau suhu dan tanda – tanda selama 3x24 jam diharapkan: vital lainnya a. Suhu tubuh dalam rentang normal b. monitor warna kulit dan suhu b. Nadi dan RR dalam rentang c. monitor asupan dan keluaran, normal sadari perubahan kehilangan c. Tidak ada perubahan warna kulit cairan yang tak dirasakan d. beri obat atau cairan IV (mis dan tidak ada rasa pusing
terdengar suara nafas tambahan. 4. d. Nafas pendek menandakan pola nafas terganggu.
a. Memperbaiki TTV b. Mengurangi risiko kejang c. Memperbaiki KU d. Memperbaiki cairan elektrolit
Intoleransi Aktivitas
NOC:
antipiretik, anti bakteri, dll) e. tutup pasien dengan selimut atau pakaian ringan, tergantung pada fase demam f. dorong konsumsi cairan g. fasilitasi untuk istirahat, terapkan pembatasan aktivitas; jika diperlukan h. berikan oksigen yang sesuai i. tingkatkan sirkulasi udara j. pastikan langkah keamanan pasien yang gelisah atau mengalami delirium k. lembabkan bibir dan mukosa hidung yang kering NIC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen energi 3x24 jam, pasien mampu bertoleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil : a. Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan kelelahan Kelelahan : efek yang mengganggu a. Tidak terjadi penurunan energi. sesuai dengan konteks usia dan b. Tidak ada gangguan dengan aktivitas perkembangan. sehari – hari. b. Pilih intervensi untuk c. Tidak terdapat perubahan nutrisi. mengurangi kelelahan baik d. Tidak ada malaise. secara farmakologi maupun non farmakologi dengan tepat. c. Tentukan jenis dan banyaknya Daya tahan a. Dapat melakukan aktivitas rutin. aktivitas yang dibutuhkan untuk b. Pemulihan energi saat istirahat tidak menjaga ketahanan.
dalam tubuh
a. Meningkatkan aktivitas klien yang masih dapat ditoleransi b. Melatih klien untuk tetap beraktivitas sebagai proses pemulihan fisik bertahap c. Memperbaiki edaran darah di seluruh tubuh
terganggu. c. Konsentrasi dan daya tahan otot tidak terganggu.
d.
e.
Monitor intake dan output nutrisi untuk mengetahui sumber energi yang adekuat. Bantu pasien memproritaskan kegiatan untuk mengakomodasi energi yang diperlukan.
Daftar Pustaka Baharirama, M. V., & Artini, I. G. A. (2017). ISSN : 2303-1395 POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA UNTUK PASIEN COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD BULELENG TAHUN 2013, 6(3), 5–10. Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J., & Wagner, C. M. (2013). Nursing Outcome Classification (NOC). Indonesia: Elsevier. Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC. Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses: Defenitions and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC. Fransisca S. (2004). Pneumonia. Fakultas Kedokteran Kusuma. Surabaya, 3–12. Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes classification. (I. Nurjanah, & R. D. Tumanggor, Eds.) united kingdom: Elsevier. Nanda International. (2016). Diagnosis Keperawatan definisi dan klasifilasi 2015-2017. H. Herdman, & S. Kamitsuru, Eds.) Jakarta: EGC. PDPI. (2003). Pneumonia komuniti 1973 - 2003. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2006). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
(T.