BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Leukemia adalah salah satu penyakit keganasan yang sangat ditakuti oleh masyarakat dewasa ini. Meskipun telah dilakukan berbagai penelitian, etiologi dari keganasan hemopoetik ini tidak diketahui secara keseluruhan. Leukemia pertama kali diketahui sebagai suatu penyakit “darah putih” oleh Bannet dan Virchoe pada tahun 1845. Secara umum, leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang berbeda dari normal, jumlahnya berlebihan dan oleh karena menginfiltrasi sumsum tulang dapat menyebabkan anemia, trombositopenia atau granulositopenia, dan diakhiri dengan kematian. Kematian sering terjadi karena perdarahan akibat trombositopenia, atau infeksi karena granulositopenia. Leukemia dibagi menjadi akut dan kronik. Pada leukemia akut, sel darah sangat tidak normal, tidak dapat berfungsi seperti sel normal, dan jumlahnya meningkat secara cepat. Kondisi pasien dengan leukemia jenis ini memburuk dengan cepat. Pada leukemia kronik, pada awalnya sel darah yang abnormal masih dapat berfungsi, dan orang dengan leukemia jenis ini mungkin tidak menunjukkan gejala. Perlahan-lahan, leukemia kronik memburuk dan mulai menunjukkan gejala ketika sel leukemia bertambah banyak dan produksi sel normal berkurang. Leukemia juga digolongkan menurut tipe sel darah putih yang terkena. Maksudnya, leukemia dapat muncul dari sel limfoid (disebut leukemia limfositik) atau mieloid (disebut leukemia mieloid). Secara keseluruhan, leukemia dibagi menjadi : Leukemia limfositik kronik (mengenai orang berusia lebih 55 tahun, dan jarang sekali mengenai anak-anak), leukemia mieloid kronik (mengenai orang dewasa), leukemia limfositik akut (mengenai anak-anak, tetapi dapat juga mengenai dewasa dan leukemia mieloid akut (mengenai anak maupun orang dewasa dan merupakan 20 % leukemia pada anak). Leukemia mieloid (mielositik, mielogenous, mieloblastik, mielomonositik, AML) akut adalah penyakit yang bisa berakibat fatal, dimana mielosit (yang dalam keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang. Pemaparan terhadap radiasi (penyinaran) dosis tinggi dan penggunaan beberapa obat kemoterapi antikanker akan meningkatkan kemungkinan terjadinya AML.
Untuk pengobatan leukemia akut, bertujuan untuk menghancurkan sel-sel kanker sampai habis. Pelaksanaanya secara bertahap dan terdiri dari beberapa siklus. Tahapannya adalah induksi (awal), konsolidasi dan pemeliharaan. Tahap induksi bertujuan memusnahkan sel kanker secara progresif. Tahap konsolidasi untuk memberantas sisa sel kanker agar tercapai sembuh sempurna. Tahap pemeliharaan berguna untuk menjaga agar tidak kambuh. Terapi yang biasa dilakukan antara lain pemberian kemoterapi, radioterapi dan juga transplantasi sumsum tulang. Terapi awal pada AML bertujuan untuk menghilangkan gejala dan tanda / remisi. Kemudian, setelah gejala dan tanda menghilang, diberikan terapi lanjutan untuk mencegah kekambuhan / relaps (disebut terapi maintenance). Setelah kemoterapi tahap pertama dan penderita sembuh, bukan berarti seluruh sel kanker telah musnah. Sel kanker yang berjumlah kurang dari satu milyar tak terdeteksi. Sel-sel ini "pingsan" dan tidak aktif bermitosis (membelah diri). Namun, suatu saat akan aktif dan menyebabkan kekambuhan. Untuk memusnahkan sel-sel ini diperlukan konsolidasi, yaitu kemoterapi dengan dosis 10 kali lipat. Paling lambat satu bulan sesudah remisi (sembuh) pasien kembali kemoterapi. Permasalahan yang dihadapi pada penanganan pasien leukemia adalah obat yang mahal, ketersediaan obat yang belum tentu langkap, dan adanya efek samping, serta perawatan yang lama. Obat untuk leukemia dirasakan mahal bagi kebanyakan pasien apalagi dimasa krisis sekarang ini, Selain macam obat yang banyak , juga lamanya pengobatan menambah beban biaya untuk pengadaan obat. Efek samping sitostatika bermacam-macam
seperti
anemia,
pedarahan,
rambut
rontok,
granulositopenia
(memudahkan terjadinya infeksi), mual/ muntah, stomatitis, miokarditis dan sebagainya. Problem selama pengobatan adalah terjadinya relap (kambuh). Relaps merupakan pertanda yang kurang baik bagi penyakitnya dan dapat terjadi sekitar 20% pada penderita AML yang diterapi. Pada dasarnya ada 3 tempat relaps yaitu intramedular (sumsum tulang), ekstramedular (susunan saraf pusat, testis, iris), intra dan ekstra meduler. Relaps bisa terjadi pada relaps awal (early relaps) yang terjadi selama pengobatan atau 6 bulan dalam masa pengobatan dan relaps lambat (late relapse) yang terjadi lebih dari 6 bulan setelah pengobatan.
1.2. RUMUSAN MASALAH Bagaimana landasan teoritis Acute Myeloid Leukaemia (AML) dan asuhan keperawatan yang tepat yang dapat diberikan pada pasien yang mengalami AML terutama anak-anak?
1.3. TUJUAN a. Mengetahui definisi AML b. Mengetahui anatomi fisiologi sel darah c. Mengetahui etiologi AML d. Mengetahui patofisiologi AML e. Mengetahui klasifikasi AML f. Mengetahui manifestasi klinis AML g. Mengetahui komplikasi AML h. Mengetahui pemeriksaan penunjang AML i. Mengetahui penatalaksanaan AML j. Mengetahui prognosis AML
BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1. DEFINISI Leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum tulang menggantikan elemen sumsum tulang normal, juga terjadi proliferasi di hati limpa dan nodus limfatikus dan invasi organ non hematologis seperti meningen, traktus gastrointestinal, ginjal dan kulit (Bruner & Suddarth, 2002). Leukemia akut baik granulositik atau mielositik merupakan jenis leukemia yang banyak terjadi pada orang dewasa. Manifestasi klinis berkaitan dengan berkurangnya atau tidak adanya sel hematopoetik (Clarkson, 1983). Akut Mielogenus Leukemia (AML) adalah timbulnya disfungsi sumsum tulang, menyebabkan menurunnya jumlah eritrosit, neutrofil dan trombosit. Sel-sel leukemia menyusupi limfanodus, limpa, hati, tulang dan sistem saraf pusat (Cecilyl betz, 2002). Leukemia adalah penyakit Maligna proliferatif generalicata dari jaringan pembentuk darah dan biasanya melibatkan leukosit (Rosa.M. Sacharin, 2002). Akut mielogenus leukemia (AML) adalah penyakit yang ditandai dengan adanya proliferasi leukosit yang tidak terkontrol di dalam darah, sumsum tulang dan jaringan retikuloendotelial (Tucker, 1999). Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan akut mielogenus leukemia (AML) adalah penyakit yang ditandai dengan proliferasi leukosit yang tidak teratur sehingga timbul disfungsi sumsum tulang, menyebabkan turunnya jumlah neutrofil, eritrosit dan trombosit. 2.2. ANATOMI FISIOLOGI SEL DARAH a. Anatomi Beberapa pengertian darah menurut beberapa ahli : o Darah adalah jaringan cair dan terdiri atas dua bagian : bagian cair yang disebut plasma dan bagian padat yang disebut sel-sel darah (Pearce Evelyn, 2002 : 133). o Darah adalah suatu jaringan tubuh yang terdapat di dalam pembuluh darah yang warnanya merah (Syaifuddin, 1997 : 232). o Darah adalah suatu cairan kental yang terdiri dari sel-sel dan plasma (Guyton, 1992).
Proses pembentukan sel darah (Hemopoesis) terdapat tiga tempat, yaitu sumsum, hepar dan limpa. 1. Sumsum tulang Sumsum tulang yang aktif dalam proses hemopoesis adalah : a) Tulang vertebrae Vertebrae merupakan serangkaian tulang-tulang kecil yang tidak teratur bentuknya dan saling berhubungan, sehingga tulang belakang mampu melaksanakan fungsinya sebagai pendukung dan penopang tubuh. Tubuh manusia mempunyai 33 vertebrae, tiap vertebrae mempunyai korpus (badan ruas tulang belakang) berbentuk kotak dan terletak di depan dan menyangga berat badan. Bagian yang menjorok dari korpuas ke belakang disebut Arkus neoralis (lengkung neural) yang dilewati medulla spinalis, yang membawa serabutserabut dari otak ke semua bagian tubuh. Pada Arkus terdapat bagian yang menonjol pada vertebrae dan dilekati otot-otot yang menggerakkan tulang belakang, yang dinamakan Processus Spinalis. b) Sternum (tulang dada) Sternum adalah tulang dada. Tulang ini sebagai pelekatan tulang kosta dan klavikula. Sternum terdiri dari manubrium sterni, Corpus Sterni, dan Processuss Spinosis. c) Costa (tulang iga) Costa terdapat 12 pasang, 7 pasang costa vertebra sternalis, 3 pasang costa vertebrocondralis dan 2 pasang costa fluktuantes. Costa di bagian posterior tubuh melekat pada tulang vertebrae dan di bagian anterior melekat pada tulang sternum, baik secara langsung maupun tidak langsung, bahkan ada yang sama sekali tidak melekat.
2. Hepar Hepar merupakan kelenjar terbesar dari beberapa kelenjar pada tubuh manusia. Organ ini terletak di bagian kanan atas abdomen di bawah diafragma. Kelenjar ini terdiri dari 2 lobus yaitu lobus dextra dan lobus sinistra. Dari kedua lobus tampak adanya ductus hepaticus dextra dan ductus hepaticus sinistra, keduanya bertemu membentuk ductus hepaticus komunis. Ductus hepaticus comunis menyaut dengan ductus sistikus membentuk ductus coledakus. 3. Limpa Limpa terletak di bagian kiri atas abdomen, limpa berbentuk setengah bulan berwarana kemerahan. Limfa adalah organ berkapsula dengan berat normal 100 – 150 gr. Limpa mempunyai 2 fungsi sebagai organ limfoid dan memfagosit material tertentu dalam sirkulasi darah. Limpa juga berfungsi menghancurkan sel darah merah yang rusak. b. Fisiologi Volume darah pada tubuh yang sehat atau orang dewasa terdapat darah kirakira 1/13 dari berat badan atau kira-kira 4 – 5 liter. Keadaan jumlah tersebut pada tiap-tiap orang tidak sama tergantung pada umur, pekerjaan, keadaan jantung atau pembuluh darah. Tekanan viskositas atau kekentalan dari pada darah lebih kental dari pada air yaitu mempunyai berat jenis 1,041 – 1,067 dengan temperature 380C dan PH 7,37 – 7,45. 1. Fungsi darah secara umum terdiri atas : a) Sebagai alat pengangkut 1) Mengambil O2 atau zat makanan dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. 2) Mengangkut CO2 dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru-paru dan mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan dabagikan ke seluruh jaringan atau alat tubuh. 3) Mengangkut atau mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh untuk dikeluarkan melalui kulit dan ginjal. b) Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan bibit penyakit dan racun yang akan membinasakan tubuh dengan perantaraan leukosit, antibodi atau zat-zat anti racun. c) Menyebarkan panas ke seluruh tubuh
Fungsi khususnya diterangkan lebih banyak di struktur/bagian-bagian dari masing-masing sel-sel darah dan plasma darah. 2. Darah terdiri dari dua bagian, yaitu : a) Sel-sel darah, ada tiga macam yaitu : 1) Eritrosit (sel darah merah) Eritrosit merupakan cakram bikonkaf yang tidak berinti, ukurannya kira-kira 8 m, tidak dapat bergerak. Banyaknya kira-kira 5 juta dalam mm3. Eritrosit
berwarna
kuning
kemerah-merahan
karena
di
dalamnya
mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin. Warna ini akan bertambah merah jika di dalamnya banyak mengandung O2. Fungsi dari eritrosit adalah mengikat O2 dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan mengikat CO2 dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru-paru. Pengikatan O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin yang telah bersenyawa dengan O2 disebut oksi hemoglobin (Hb + O2 HbO2). Jadi O2 diangkut dari seluruh tubuh sebagai oksihemoglobin dan kemudian dilepaskan dalam jaringan HbO2 Hb + O2 dan seterusnya Hb akan mengikat dan bersenyawa dengan CO2 yang disebut karbodioksisa hemoglobin (Hb + CO2 HbCO2) yang mana CO2 akan dilepaskan di paruparu. Eritrosit dibuat dalam sumsum tulang, limpa, dan hati yang kemudian akan beredar ke seluruh tubuh selama 14 – 15 hari, setelah itu akan mati. Hemoglobin yang keluar dari eritrosit yang mati akan terurai menjadi dua zat yaitu hematin yang mengandung Fe yang berguna untuk pembuatan eritrosit baru dan berguna untuk mengikat O2 dan CO2. Jumlah Hb dalam orang dewasa kira-kira 11,5 – 15 mg%. normal Hb wanita 11,5 – 15,5 mg% dan laki-laki 13,0 – 17,0 mg%. Di dalam tubuh banyaknya sel darah merah ini bisa berkurang, demikian juga banyaknya hemoglobin dalam sel darah merah. Apabila keduanya berkurang maka keadaan ini disebut anemia. Biasanya hal ini disebabkan karena perdarahan yang hebat dan gangguan dalam pembuatan eritrosit. 2) Leukosit (sel darah putih) Sel darah yang bentuknya dapat berubah-ubah dan dapat bergerak dengan perantara kaki palsu (pseudopodia) mempunyai bermacam-macam
inti sel sehingga dapat dibedakan berdasarkan inti sel. Leukosit berwarna bening (tidak berwarna), banyaknya kira-kira 4000 – 11000/mm3. Leukosit berfungsi sebagai serdadu tubuh, yaitu membunuh dan memakan bibit penyakit atau bakteri yang masuk ke dalam tubuh jaringan RES (Retikulo Endotel System). Fungsi yang lain yaitu sebagai pengangkut, dimana leukosit mengangkut dan membawa zat lemak dari dinding usus melalui limpa ke pembuluh darah. Sel leukosit selain di dalam pembuluh darah juga terdapat di seluruh jaringan tubuh manusia. Pada kebanyakan penyakit disebabkan karena kemasukan kuma atau infeksi maka jumlah leukosit yang ada dalam darah akan meningkat. Hal ini disebabkan sel leukosit yang biasanya tinggal di dalam kelenjar limfe sekarang beredar dalam darah untuk mempertahankan tubuh terhadap serangan bibit penyakit tersebut. Macam-macam leukosit meliputi : (a) Agranulosit Sel yang tidak mempunyai granula, terdiri dari : (1) Limfosit Leukosit yang dihasilkan dari jaringan RES dan kelenjar limfe di dalam sitoplasmanya tidak terdapat granula dan intinya besar, banyaknya 20 – 25 %. Fungsinya membunuh dan memakan bakteri yang masuk ke dalam jaringan tubuh. (2) Monosit Fungsinya sebagai fagosit dan banyaknya 34% (3) Granulosit Neotrofil Mempunyai
inti,
protoplasma
banyaknya
bintik-bintik,
banyaknya 60 – 70 %. Eosinofil Granula lebih besar, banyaknya kira-kira 24%. Basofil Inti
teratur
dalam protoplasma terdapat
granula besar,
banyaknya ½%. 3) Trombosit (sel plasma) Merupakan benda-benda kecil yang bentuknya dan ukurannya bermacam-macam, ada yang bulat dan ada yang lonjong. Warnanya putih
dengan jumlah normal 150.000 – 450.000/mm3. Trombosit memegang peran penting dalam pembekuan darah, jika kurang dari normal. Apabila timbul luka, darah tidak lekas membeku sehingga timbul perdarahan terusmenerus. Proses pembekuan darah dibantu oleh zat Ca2+ dan fibrinogen. Fibrinogen mulai bekerja apabila tubuh mendapat luka. Jika tubuh terluka, darah akan keluar, trombosit pecah dan akan mengeluarkan zat yang disebut trombokinase. Trombokinase akan bertemu dengan protombin dengan bantuan Ca2+ akan menjadi thrombin. Thrombin akan bertemu dengan fibrin yang merupakan benang-benang halus, bentuk jaringan yang tidak teratur letaknya, yang akan menahan sel darah, dengan demikian terjadi pembekuan. b) Plasma darah Bagian darah yang encer tanpa sel-sel darah warna bening kekuningan hamper 90% plasma darah terdiri dari : 1) Fibrinogen yang berguna dalam proses pembekuan darah 2) Garam-garam mineral (garam kalsium, kalium, natrium, dan lain-lain yang berguna dalam metabolism dan juga mengadakan osmotik). 3) Protein darah (albumin dan globulin) meningkatkan viskositas darah dan juga menimbulkan tekanan osmotik untuk memelihara keseimbangan cairan dalam tubuh. 4) Zat makanan (zat amino, glukosa lemak, mineral, dan vitamin) 5) Hormone yaitu suatu zat yang dihasilkan dari kelenjar tubuh. 6) Antibody atau anti toksin. 2.3. ETIOLOGI Penyebab leukemia belum diketahui, tetapi hal ini dapat diakibatkan oleh interaksi sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut adalah : a. Neoplasma Ada persamaan antara leukemia dengan penyakit neoplastik lain, misalnya poliferasi sel yang tidak terkendali, abnormalitas morfologi sel, dan infiltrasi organ. Lebih dari itu, kelainan sumsum kronis lain dapat berubah bentuk yang akhirnya menjadi leukemia akut. b. Infeksi Pada manusia, terdapat bukti kuat untuk etiologi virus baik satu jenis leukemia/limforma sel T. beberapa hasil penelitaian yang menyokong teori sebagai
penyebab leukemia antara lain : enzyme reverase transciptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalam virus onkogenik seperti retrovirus tipe C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang. Enzim tersebut menyebabkan virus yang bersangkutan dapat membentuk bahan genetic yang kemudian bergabung dengan ganom sel yang terinfeksi. c. Radiasi Radiasi, khususnya sumsum tulang, bersifat leukaemogonik. Radiasi ionisasi (lingkungan kerja, prenatal, pengobatan kanker sebelumnya). Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia (ANLL) ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis . d. Keturunan/genetik Virus tertentu meyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (T cell leukemia-lymphoma virus/HTLV). Ada laporan beberapa kasus yang terjadi pada suatu keluarga pada kembar identik. Ada insiden yang lebih meningkat pada penyakit herediter, khususnya Sondron Down (dimana leukemia terjadi peningkatan frekuensi 20-30 kali lipat) anemia fanconui dan aoksia-talangfeksia. e. Zat kimia Terkena bensin kronis yang dapat menyebabkan dysplasia susmsum tulang dan perubahan kromosom, merupakan penyebab leukemia yang ditetapkan mantap, khususnya obat yang mengalkalisasi seperti khlorambusil, mustin, melfalan, dan prokarbazin. Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik (Fauci, et. al, 1998). f. Obat-obatan Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML. Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi AML (Fauci, et. al, 1998).
g. Leukemia Sekunder Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia. Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara. Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA . 2.4. PATOFISIOLOGI Leukemia adalah satu keadaan dimana terjadi pertumbuhan yang bersifat irreversible dari sel induk darah dan pertumbuhannya dimulai dari mana sel itu berasal. Sel-sel tersebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah yang berakibat sel yang spesifik akan dijumpai dalam jumlah yang banyak. Sebagai akibat dari proliferasi sel abnormal tersebut maka akan terjadi kompertisi metabolic yang akan menyebabkan anemia dan trombositopenia. Apabila proliferasi sel terjadi di limfa maka akan membesar sehingga dapat terjadi hiperplenisme yang selanjutnya menyebabkan makin memburuknya anemia dan trombositopenia. Pada leukemia yang disertai splenomegali sering terjadi komplikasi hemolisis. Infeksi terjadi oleh suatu nahan yang menyebabkan reaksi seperti ionfeksi oleh virus. Kelainan pada leukemia bukan merupakan penyakit primer akan tetapi merupakan suatu bagian dari respon pertahanan sekunder dari tubuh terhadap infeksi tersebut. Terdapat peninggian insiden leukemia pada orang-orang yang terkena radiasi sinar rontgen. Diduga bahwa peninggian insiden disini karena akibar radiasi akan merendahkan referensi terhadap bahan dari penyebab leukemia tersebut. Pada leukemia akut hepar, lien dan kelenjar getah bening membesar secara cepat, keluhan nyeri akibat regangan kapsel organ tersebut menjadi jelas. Infiltrasi ke otak akan menyebabkan keluhan sakit kepala dan infiltrasi ke tulang menyebabkan fraktur spontan. Infiltrasi ke gusi menimbulkan hipertrofi gusi dan sering disertai pendarahan gusi. Limfadenopati dapat menyertai leukemia dan apabila kelompokkam pembesaran kelenjar ini menekan pembuluh adarah dan pembuluh getah bening, maka akan terjadi edema local. Infiltarsi ke paru menyebabkan batuk dan sesak, pembesaran kelenjar getah bening di abdomen dapat menyebabkan keluhan rasa tidak enak di perut, dan rasa cepat kenyang. Infiltarasi ke ginjal dapat menyebabkan hematuria dan gagal ginjal. Keluhan
akibat adanya anemia lemah badan dan cepat lelah. Trombositopenia menimbulkan pendarahan baik dari kulit dan selaput lendir (Long, 2010 ; Issalbacher, 2010). 2.5. KLASIFIKASI AML terbagi atas berbagai macam subtipe. Hal ini berdasarkan morfologi, diferensiasi dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam sumsum tulang, serta penelitian sitokimia. Mengetahui subtipe AML sangat penting, karena dapat membantu dalam memberikan terapi yang terbaik. Klasifikasi AML yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dibuat oleh French American British (FAB) yang mengklasifikasikan leukemia mieloid akut terbagi menjadi 8 tipe : a. Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia ) Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML dengan diferensiasi minimal. b. M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi ) Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di M1. c. M2 ( Akut Myeloid Leukemia ) Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 %. Jumlah sel leukemik antara 30–90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit. d. M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia ) Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul . Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula berbentuk seperti debu. Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation (DIC) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini. e. M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia ) Terlihat 2 (dua) type sel, yakni granulositik dan monositik, serta sel-sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.
Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap kemoterapi-induksi standar. f. M5 ( Acute Monocytic Leukemia ) Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik. g. M6 ( Erythroleukemia ) Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang raksasa. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar. h. M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia ) Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit (Yoshida, 1998; Wetzler dan Bloomfield, 1998). 2.6. MANIFESTASI KLINIS a. Bukti anemia, perdarahan dan infeksi 1. Demam 2. Keletihan 3. Pucat 4. Anorexia 5. Petekia dan perdarahan 6. Nyeri sendi dan tulang 7. Nyeri abdomen yang tidak jelas 8. Berat badan turun 9. Pembesaran dan fibrosis organ-organ sistem retikuloendotelia hati, limfa dan linfonodus. b. Peningkatan tekanan intracranial karena infiltrasi meninges 1. Sakit kepala 2. Iritabilitas
3. Letargi 4. Muntah 5. Edema pupil 6. Koma c. Gejala-gejala sistem saraf pusat yang berhubungan dengan bagian sistem yang terkena 1. Kelemahan ekstremitas bawah 2. Kesulitan berkemih (Cecil betz, 2012). 2.7. KOMPLIKASI 1. Gagal sumsum tulang 2. Infeksi 3. Perdarahan 4. Splenomegali 5. Hepatomegali 2.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium 1. Angka Leukosit Pada umumnya, angak leukosit meningkat pada sebagian besar penderita LMA, tetapi angka leukosit juga bisa normal atau turun. Didapati angka leukosit bervariasi antara kurang dari 1000 hingga 100.000 per mm3. Pada angka leukosit normal atau turun, ini dinamakan sub leukemik leukemia, dimana masih dapat ditemukan sel blast dalam darah tepi. 2. Sel Blast darah tepi Sel blast meningkat dalam darah tepi pada penderita LMA. Jumlah sel blast dapat bervariasi dari nol hingga 200 x 109 / 1 median antara 15 – 20 x 109/1. Pada umumnya, ada korelasi antara jumlah sel blast dalam darah dan sumsum tulang dengan pembesaran lien atau manifestasi infiltasi sel leukemik lain. Bilamana didapati tiada sel blast dalam darah tepi dinamakan aleukemik leukemia. Keadaan ini bisa ditemukan ± 5% penderita LMA. 3. Angka trombosit Trombositopenia sebagai akibat infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia ditemukan pada kebanyakan penderita. Pada keadaan yang sangat jarang ada ditemukan trombositosis.
4. Sel eritrosit Anemia normositik normokromik ditemukan pada sebagian besar penderita LMA. Dalam apusan darah tepi juga didapatkan eritrosit bernukleus serta retikulositopenia. Anemia terjadi sebagai akibat gangguan produksi sel dalam sumsum tulang yang diakibatkan oleh infiltrasi sel-sel leukemia pada sumsum tulang. 5. Sumsum tulang Biasanya sumsum tulang dalam keadaan hiperseluler, dimana kepadatan selsel meningkat. Pada pemeriksaan mikroskopik sel-sel blat (mieloblast) dominan, jumlah megakariosit dan sel-sel normoblast sangat menurun. Bila dilakukan biopsi dan pengecatan retikulum akan didapatkan myelofibrosis ini dapat diperhatikan pada dua per tiga kasus LMA. 6. Asam urat darah Pada kira-kira separuh kasus LMA, dapat ditemukan asam urat darah meningkat dan begitu juga pada ekskresi asam urat dalam urin, tetapi jarang menimbulkan simptom gout. 7. Protein darah Protein darah biasanya berubah. Hiper gamma globulin yang difus didapatkan pada kebanyakan penderita, sedangkan albumin selalu normal waktu diagnosis dan menurut bila lanjut. Beta globulin biasanya naik dan umumnya kenaikkan alfa globulin didapatkan pada keadaan demam atau infeksi. Protein pengikat vitamin B12 bisa meningkat dalam darah pada penderita LMA khususnya bila ditemukan leukositosis. Protein pengikat asam folat meningkat bagi beberapa penderita, terutama pada leukemia mielomonoblastik.
Gambaran preparat darah apus tepi Leukemia Mieloblastik Akut
Pada LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan
sekitar 35% pasien mengalami neutropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA. Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi adalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam. Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3), sering terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien. Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi selsel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (lkoroma). Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.
2.9. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pasien AML adalah berupa terapi suportif, simptomatis dan kausatif. Terapi suportif dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui infus dan menaikkan kadar Hb pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Sedangkan terapi simptomatis diberikan untuk meringankan gejala klnis yang muncul seperti pemberian penurun panas. Yang paling penting adalah terapi kausatif, dimana tujuannya adalah menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh pasien AML. Terapi kausatif yang dilakukan yaitu kemoterapi. Penatalaksanaan terapi AML pada anak telah digunakan sejak tahun 1970an. Angka Five years survival meningkat dari kurang dari 5% pada tahun 1970 menjadi 43% sekarang ini. Hal ini merupakan manfaat dari pengobatan intensif, gabungan dari transplantasi stem sel sebagai terapi primer dan adanya perawatan suportif. Anak yang menderita AML memerlukan terapi intensif dengan menekan produksi sumsum tulang dan perawatan di rumah sakit. Terapi yang pertama kali dilakukan adalah menangani keadaan seperti demam, infeksi, perdarahan, leukositosis dan sindrom tumor lisis. Kemajuan terapi juga ditentukan oleh penggunaan antibiotik spektrum luas segera dan transfusi trombosit sebagai profilaksis juga memegang peranan penting dalam upaya survival. Berdasarkan terapi yang sesuai protokol, penderita AML pada anak dapat mengalami angka remisi total sebesar 75-90%. Pada beberapa pasien yang tidak berhasil mengalami remisi, setengah populasinya akan mengalami leukemia resistan dan separuhnya lagi akan meninggal akibat komplikasi penyakit tersebut atau akibat efek samping pengobatan itu sendiri. Terapi AML merupakan kombinasi antara cytarabine dan daunorubicin. Biasanya regimen terapi untuk anak digunakan cytarabine dan anthracyclin yang dikombinasikan dengan agen lain seperti etoposide dan atau thioguanine. Anthracycline yang paling banyak digunakan untuk terapi AML pada anak adalah daunorubicin. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa Regimen Cytosine arabinase, Daunorubicin, & Etoposide (ADE) lebih memberikan hasil yang memuaskan daripada regimen Daunorubisin, Cytosine arabinase & Thioguanine (DAT).
Dosis Kemoterapi
Tantangan paling besar dalam terapi AML pada anak adalah untuk memperpanjang durasi remisi inisial dengan kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang. Pada prakteknya, kebanyakan pasien yang diterapi dengan kemoterapi intensif setelah remisi dicapai karena hanya sebagian subset yang cocok dengan donor keluarga. Setelah
tercapai
remisi,
diberikan
kemoterapi
tambahan
(kemoterapi
konsolidasi) beberapa minggu atau beberapa bulan setelah kemoterapi induksi. Kemoterapi konsolidasi jangka pendek telah membuktikan bahwa terapi dosis tinggi dan ASCT (Autologous Stem Cell Transplantation) cukup efektif.36 Pencangkokan tulang bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap pengobatan. Pada AML terapi rumatan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan (untolerable side effect). Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut: 1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status penampilan ≤ 2 2. Jumlah lekosit ≥ 3000/ml 3. Jumlah trombosit ≥120.0000/ul 4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10 5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) 6. Bilirubin < 2 mg/dl ,SGOT dan SGPT dalam batas normal 7. Elektrolit dalam batas normal. 8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun. Kemoterapi pada AML sering menimbulkan efek samping yang bervariasi tiap individu antara lain rambut rontok, mulut kering, luka pada mulut (stomatitis), susah atau sakit menelan (esophagitis), mual, muntah, diare, konstipasi, kelelahan, pendarahan, lebih mudah terkena infeksi, infertilitas, hilangnya nafsu makan, dan kerusakan hati. Pasien AML hanya memberikan respon terhadap obat tertentu dan pengobatan seringkali membuat penderita lebih sakit sebelum mereka membaik. Penderita menjadi lebih sakit karena pengobatan menekan aktivitias sumsum tulang, sehingga jumlah sel darah putih semakin sedikit (terutama granulosit) dan hal ini menyebabkan penderita mudah mengalami infeksi.
2.10. PROGNOSIS Lowenberg et al, mengelompokkan prognosis pasien AML menjadi 3 kelompok berdasarkan temuan klinis dan laboratoris yaitu baik (favorable), menengah (intermediate) dan buruk (unfavorable). Kelompok dengan prognosis baik meliputi pasien usia < 60 tahun atau > 2 tahun, kelainan kromosomal minimal, infiltrasi sel blas multiorgan minimal, kadar leukosit < 20.000/mm3, respon yang baik terhadap kemoterapi induksi, tidak resisten terhadap multidrug therapy, tidak ditemukan leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 50-85%. Sedangkan kelompok dengan prognosis buruk meliputi pasien usia > 60 tahun atau < 2 tahun, ditemukan dua atau lebih kelainan kromosomal, infiltrasi sel blas pada banyak organ, kadar leukosit > 20.000/mm3, respon yang buruk terhadap kemoterapi induksi,
resisten
terhadap
multidrug
therapy,
serta
ditemukannya
leukemia
ekstramedullar dan leukemia sekunder.11,29 Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 10-20%.6 Sedangkan kelompok dengan prognosis menengah adalah peralihan dari baik dan buruk dan mencakup faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam kelompok prognosis baik maupun buruk dengan angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) sekitar 40-50%.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN 1. Pengkajian fokus a. Aktivitas : kelelahan, kelemahan, malaise, kelemahan otot b. Sirkulasi : palpitasi, takikardi, mur-mur jantung, membran mukosa pusat c. Eliminasi : diare, nyeri tekan perianal, darah merah terang, feses hitam, penurunan haluaran urine, darah pada urin. d. Integritas ego : perasaan tidak berdaya, menarik diri, takut, mudah terangsang, ansietas. e. Makanan/cairan : anoreksia, muntah, perubahan rasa, faringitis, penurunan BB dan disfagia. f. Neurosensori : penurunan koordinasi, disorientasi, pusing, kesemutan parestesia, aktifitas kejang otot mudah terangsang. g. Nyeri : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri sendi, perilaku hati-hati, gelisah. h. Pernafasan : nafas pendek, batuk, dispneu, takipneu, ronchi, gemericik, penurunan bunyi nafas. i. Keamanan : gangguan penglihatan, perdarahan spontan tidak terkontrol, demam, infeksi, kemerahan, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa/hati. 2. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien AML adalah sebagai berikut : a. Jumlah sel darah putih bisa berkurang, normal atau meningkat b. Pada sebagian besar kasus terjadi trombositopena c. Biasanya pada pemeriksaan fungsi lumbal memperlihatkan bahwa cairan spinal mempunyai tekanan yang meninggi dan mengandung sel leukemik d. Pemeriksaan dengan Sinar X dapat memperlihatkan lesi tulang e. Tes funsi hati dan ginjal dilakukan sebagai pedoman sebelum terapi f. Biopsy/Aspirasi sumsum tulang, untuk mengidentifikasi adanya blast dalam sumsum tulang g. Pemeriksaan rontgen dada, untuk mengidentifikasi massa mediastinum h. Hitung darah lengkap
: menunjukkan normositik, anemia normositik
i. Hemoglobulin : dapat kurang dari 10 gr/100ml j. Retikulosit : jumlah biasaya rendah k. Trombosit : sangat rendah (< 50000/mm)
l. SDP: mungkin lebih dari 50000/cm dengan peningkatan SDP immature m. PTT : memanjang n. LDH
: mungkin meningkat
o. Asam urat serum : mungkin meningkat p. Muramidase serum : pengikatan pada leukemia monositik akut dan mielomonositik q. Copper serum
: meningkat
r. Zink serum : menurun s. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen : kelemahan umum 2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan pembesaran organ atau modus limfe 3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, malaise, mual dan muntah 4. Risiko cedera : Pendarahan berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit 5. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder yang tidak adekuat 6. Gangguan pola napas berhubungan dengan dengan penurunan kapasitas suplai O2 ke sel jaringan 7. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke sel jaringan C. PERENCANAAN 1. Intoleransi Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen : kelemahan umum Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan terjadi peningkatan toleransi terhadap aktifitas Kriteria Hasil : a. Laporan peningkatan aktivitas yang dapat diukur b. Menunjukkan tanda fisiologis tidak toleran misalnya nadi, pernafasan dalam batas normal c. Intervensi : 1) Evaluasi laporan kelemahan perhatian ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam aktifitas 2) Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : Menghemat energy untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau penyembuhan jaringan 3) Implementasi teknik penghematan energi contoh lebih baik duduk dari pada berdiri 4) Berikan kebersihan mulut sebelum makan 5) Kolaborasi berikan oksigen tambahan Rasional : Memaksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan seluler (Doengoes, 2000) . 2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan pembesaran organ atau modus limfe Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang atau hilang Kriteria Hasil : a. Menyatakan nyeri hilang atau terkontrol b. Tampak relax dan mampu beristirahat dengan tenang Intervensi : 1) Mengkaji intensitas skala nyeri (skala 0-10) Rasional : Dapat mengidentifikasi terjadinya komplikasi 2) Monitor tanda-tanda vital perhatikan petunjuk non verbal misalnya Rasional : Dapat membantu mengevaluasi pernyataan verbal dan keefektifan intervensi 3) Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang Rasional : Meningkatkan istirahat 4) Tempatkan pada posisi ruangan dan sokong sendi ekstremitas dengan bantal Rasional : Dapat menurunkan ketidaknyamanan tulang/sendi 5) Berikan tindakan kenyamanan (misalnya : pijatan, kompres dingin) dan dukungan psikologis) Rasional : Meminimalkan kebutuhan/meningkatkan efek obat 6) Kolaborasi analgetik, narkotik Rasional : Menurunkan nyeri
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. Nursing Care Plans: Guidelines For Planning And Documenting Patient Care. Alih Bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC; 1999 Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994 Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I. Jakarta : Salemba Medika; 2001 Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998 http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/2/jtptunimus-gdl-s1-2007-erianiradi-97-2-bab2.pdf diakses pada tanggal 27 November 2018 pukul 11.00 WIB