Longcase Tonsilitis Kronis.pdf

  • Uploaded by: Hapsari Kartika Dewi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Longcase Tonsilitis Kronis.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 6,441
  • Pages: 40
LONGCASE TONSILITIS KRONIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorok RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada : dr. Agung Raharjo, Sp.THT-KL Disusun oleh : Hapsari Kartika Dewi 20174011056 SMF ILMU TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2019

1

LEMBAR PENGESAHAN

LONGCASE TONSILITIS KRONIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorok Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh Hapsari Kartika Dewi 20174011056

Telah disetujui dan dipresentasikan Pada Tanggal

Februari 2019

Pembimbing

dr. Agung Raharjo, Sp.THT-KL

2

KATA PENGANTAR Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. Alhamdulillahirabbil’alamin, hanya itu kalimat pujian yang pantas penulis persembahkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, petunjuk dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan longcase ini yang diberi judul “Tonsilitis Kronis“. Shalawat dan salam buat junjungan alam Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Longcase ini selain disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mengikuti ujian akhir di bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok dan juga untuk memberikan informasi kepada tenaga kesehatan maupun masyarakat mengenai Tonsilitis Kronis. Penulis menyadari presentasi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan. Dalam kesempatan yang sangat baik ini perkenankanlah penulis mengucapkan penghargaan dan terimakasih yang tidak ternilai kepada: 1. Allah SWT, telah memberikan segala nikmat yang tidak terhingga sehingga mampu menyelesaikan Longcase ini dengan baik. 2. dr. Agung Raharjo, Sp.THT-KL selaku dokter pembimbing dalam menyelesaikan longcase ini. 3. Teman-teman Co-Assistensi seperjuangan di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Wassalamu’alaikumwarahmatullahwabarakatuh. Bantul, Februari 2019 Penulis

3

BAB I IDENTITAS PASIEN Nama

: Tn. BS

Umur

: 48 tahun

Jenis kelamin

: Laki - laki

Pekerjaan

: Pengrajin

Status Perkawinan

: Menikah

Alamat

: Kasongan, Bantul

No. RM

: 47 – 49 – 93

Keluhan utama: Nyeri telan Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke poli THT RS Panembahan Senopati Bantul dengan keluhan nyeri telan. Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu disertai sulit saat menelan serta demam sehingga membuat pasien merasa tidak nyaman. Keluhan tidak disertai batuk, pilek maupun suara serak. Sebelumnya pasien sudah mendapatkan obat dari IGD RSUD Panembahan Senopati (Amoxicilin 3x500mg dan Intunal 3x1) namun karena keluhan dirasa tidak membaik, pasien lalu memutuskan untuk berobat ke dokter spesialis THT. Pasien tidak memiliki riwayat minum makan dingin maupun makan makanan pedas. Pasien memiliki kebiasaan merokok selama 25 tahun dan menghabiskan 4 – 10 batang sehari. Riwayat Hipertensi (+) dengan pengobatan teratur Amlodipine 5mg. A. Riwayat Penyakit Dahulu: -

Riwayat keluhan serupa (+)

-

Riwayat asma (-)

-

Riwayat alergi Obat (-)

-

Riwayat Hipertensi (+)

-

Riwayat DM (-)

-

Riwayat gastritis (-)

B. Riwayat penyakit pada keluarga: -

Riwayat keluhan serupa (-)

-

Riwayat asma (-) 4

-

Riwayat alergi Obat (-)

-

Riwayat DM, Hipertensi (-)

C. Riwayat personal sosial dan ekonomi Pasien merupakan seorang pengarajin yang tinggal bersama seorang istri dan 2 orang anaknya. Pasien memiliki riwayat merokok selama 25 tahun dengan menghabiskan 4-10 rokok dalam 1 hari. D. Anamnesis Sistem •

Sistem serebrospinal

: demam (-), pusing (-), riwayat demam (+)



Sistem respiratorius

: mendengkur (-), pilek (-), batuk (-)



Sistem kardiovaskuler

: berdebar-debar (-)



Sistem gastrointestinal

: nyeri menelan (+), sulit menelan (+)



Sistem genitalia

: tidak ada keluhan



Sistem musculoskeletal : tidak ada hambatan dalam bergerak



Sistem integumentum

: tidak ada keluhan

E. Pemeriksaan Fisik Kesan umum : Baik Kesadaran

: Compos Mentis

Tanda vital

:

Tekanan darah : 130/90 mmHg Suhu

: Afebris

Nadi

: 84 x/menit

RR

: 20 x/menit

Status Generalis A. Kepala

: Normocephal

Mata : •

Konjungtiva

: Anemis -/-



Sklera

: Ikterik -/-



Pupil

: Bulat, Isokor, Reflek cahaya +/+

B. Leher

: Pembesaran kelenjar limfe (-) 5

C. Thorax •

Inspeksi

: Simetris hemitoraks kanan dan kiri



Palpasi

: Simetris hemitoraks kanan dan kiri



Perkusi

: Sonor diseluruh lapang paru



Auskultasi

:



Cor

: BJ I-II reguler murni, murmur (-), Gallop (-)



Pulmo

: SN Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-

D. Abdomen •

Inspeksi

: Simetris datar



Auskultasi

: Bising usus (+) Normal



Palpasi

: Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba



Perkusi

: Timpani pada lapang abdomen

E. Ekstremitas •

Edema

:

-

-



Sianosis :

-

-

-

F. Neurologis •

Refleks fisiologis

:Tidak diperiksa



Refleks patologis

: Tidak diperiksa

G. Genitalia

: Tidak diperiksa

Status Lokalis A. Telinga BAGIAN PREAURIKULER

AURIKULER

KANAN

KIRI

Edema

-

-

Nyeri tekan tragus

-

-

Hiperemis

-

-

Fistula

-

-

Fluktuasi

-

-

Edema

-

-

Nyeri tekan tragus

-

-

Hiperemis

-

-

Fistula

-

-

6

Fluktuasi RETRO-

Edema

-

-

AURIKULER

Nyeri tekan mastoid

-

-

Hiperemis

-

-

Fistula

-

-

Fluktuasi

-

-

MEATUS

Otorea

-

-

AKUSTIKUS

Serumen

+

+

EKSTERNUS

Edema

-

-

Atresia meatal

-

-

Massa

-

-

AS

AD D

MEMBRAN

Warna

Putih perak

Putih perak

TIMPANI

Perforasi

-

-

(OTOSKOPI)

Refleks Cahaya

+ (diarah jam 5)

+ (diarah jam 7)

Bulging

-

-

Sekret

-

-

7

D

S

Membran timpani

Membran timpani

intak

intak

Refleks cahaya (+)

Refleks cahaya (+)

pukul 5

pukul 7

Uji Garputala (menggunakan garputala 512Hz) Telinga

Kanan

Rinne

Kiri +

+

Weber Swabach

Tidak ada Lateralisasi Sama dengan pemeriksa

Sama dengan pemeriksa

Kesan : Telinga kanan dan kiri dalam batas normal B. Hidung PEMERIKSAAN

KANAN

KIRI

Normal

Normal

Normal

Normal

KEADAAN

Bentuk dan

LUAR

Ukuran

RHINOSKOPI

Mukosa

ANTERIOR

Sekret

-

-

Krusta

-

-

Merah muda,

Merah muda,

hipertrofi

hipertrofi

Septum deviasi

-

-

Polip tumor

-

-

Pasase udara

(+)

(+)

Konka Inferior

septum

Mukosa

ditengah D S Konka media Konka inferior

8

C. Cavum oris dan Orofaring BAGIAN

KETERANGAN

Mukosa

Merah muda

Lidah

Atrofi papil (-)

Gigi geligi

Caries (+)

Uvula

Merah muda, ditengah

Pilar

Merah muda, simetris + / +

HALITOSIS

-

TONSIL: - Mukosa

Merah muda

- Ukuran

T3 – T2

- Kripta

Melebar

- Detritus

+/+

- Perlengketan

-/-

T2

T3 D

S Faring

Uvula di tengah

FARING - Mukosa

Merah muda

- Granula

-

- Post nasal drip

-

F. Diagnosis Kerja Tonsilitis Kronis Diagnosis Banding Tonsilitis Akut Faringitis Akut Bakterial

9

G. Penatalaksanaan Medikamentosa : •

Amoxicillin 500 mg 3x1 no.XV



Paracetamol 500 mg 3x1 no. XV (kalau perlu)

Non Medikamentosa : Pro operasi tonsilektomi Edukasi : •

Minum obat secara teratur sesuai dengan anjuran dokter.



Menjaga higienitas diri dan lingkungan, terutama kebersihan mulut dengan menggosok gigi.



Berhenti merokok.



Diet : makan makanan lunak selama keluhan masih ada, tidak makan minum dingin dan makan makanan pedas dan sambal.



Segera kontrol ke dokter apabila obat habis / keluhan memburuk .



Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. EMBRIOLOGI

Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3 - 6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil (Iskandar, 2017). Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Pada sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel-sel limfatik (Iskandar, 2017). 2. ANATOMI Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi : Tonsilla Lingualis yang terletak pada radix linguae, Tonsilla Palatina (tonsil) yang terletak pada ismus faucium antara arcus glossopalatinus dan arcus glossopharingicus, Tonsilla Pharingica (adenoid) yang terletak pada dinding dorsal dari nasofaring, Tonsilla Tubaria yang terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar

11

ostium tuba auditiva dan Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak pada ileum (Iskandar, 2017). Dari kelima macam tonsil tersebut, Tonsilla lingualis, Tonsilla palatina, Tonsilla pharingica, dan Tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada umur 5 tahun dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas(Iskandar, 2017). Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer. Tonsil palatina adalah masa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertical dan di atas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas ke bawah sampai ke dinding atas esophagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan leteral dinding faring (Iskandar, 2017).

12

Gambar 1 : Cincin Waldeyer

Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: •

Lateral : M. konstriktor faring superior



Anterior : M. palatoglosus



Posterior : M. palatofaringeus



Superior : Palatum mole



Inferior : Tonsil lingual

Gambar 2 : Lokasi Tonsil

Tonsila Faringeal (adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil berbentuk triangular yang terletak pada aspek posterior.. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi dan sinus

13

paranasals pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga tengah- kavum mastoid pada bagian lateral (Iskandar, 2017). Adenoid terletak pada nasofaring yaitu pada dinding atas nasofaring bagian belakang. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius Pada masa pubertas adenoid ini akan menghilang atau mengecil sehingga jarang sekali dijumpai pada orang dewasa. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi (Iskandar, 2017). Adenoid mendapat darah dari cabang-cabang faringeal A. Karotis interna dan sebagian kecil dari cabang-cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam V. Jugularis interna. Sedangkan persarafan sensoris melelui N. Nasofaringeal yaitu cabang dari saraf otak ke IX dan juga melalui N. Vagus (Iskandar, 2017). Tonsila Lingualis Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina dan meluas ke arah anteroposterior dari papilla sirkumvalata ke epiglottis. Jaringan limfoid ini menyebar ke arah lateral dan ukurannya mengecil. Dipisahkan dari otot-otot lidah oleh suatu lapisan jaringan fibrosa. Jumlahnya bervariasi, antara 30-100 buah. Pada permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritos (Iskandar, 2017). Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan cabang dari A. Karotis eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke V. Jugularis 14

interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui cabang lingual N. IX (Iskandar, 2017). Tonsila Palatina Tonsil terletak di bagian samping belakang orofaring, dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm, tebal 15 mm, dan berat sekitar 1,5 gram. Berat tonsil pada laki-laki berkurang dengan bertambahnya umur, sedangkan pada wanita berat bertambah pada masa pubertas dan kemudian menyusut kembali (Iskandar, 2017). Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah: (Soepardi et al, 2007). •

Anterior

: arcus palatoglossus



Posterior

: arcus palatopharyngeus



Superior

: palatum mole



Inferior

: 1/3 posterior lidah



Medial

: ruang orofaring



Lateral

: kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh

jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsila. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi M. konstriktor faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil, membentuk septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.

15

Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika triangularis, dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang-kadang membesar. Plika ini penting karena sikatrik yang terbantuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil. Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak antara tonsil dengan fosa tonsilaris mudah dipisahkan (Iskandar, 2017). 3. HISTOLOGI Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium) (Adam GL et al, 2001). Jaringan germinativum yang terletak dibagian tengah jaringan tonsil, merupakan sel induk pembentukan sel-sel limfoid. Jaringan interfolikel terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Pada tonsilitis kronis terjadi infiltrasi limfosit ke epitel permukaan tonsil. Peningkatan jumlah sel plasma di dalam subepitel maupun di dalam jaringan interfolikel. Hiperplasia dan pembentukan fibrosis dari jaringan ikat parenkim dan jaringan limfoid mengakibatkan terjadinya hipertrofi tonsil (Adam GL et al, 2001).

16

Gambar 3. Gambaran Histologi Tonsil

4. VASKULARISASI Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu : •

Palatina Ascenden, cabang A. Fasialis, memperdarahi bagian postero inferior



Tonsilaris, cabang A. Fasialis, memperdarahi daerah antero-inferior



Lingualis Dorsalis, cabang A. Maksilaris Interna, memperdarahi daerah antero-media



Faringeal Ascenden, cabang A. Karotis Eksterna, memperdarahi daerah postero-superior



Palatida Descenden dan cabangnya, A. Palatina Mayor dan A. Palatina Minor, memperdarahi daerah antero-superior Daerah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis

dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis Interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding faring (Iskandar, 2017).

Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil 17

5.

ALIRAN LIMFE Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula, yang kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus M. Konstriktor faringeus superior, selanjutnya menembus fascia bukofaringeus dan akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar leher, di belakang dan di bawah arkus mendibula. Kemudian aliran limfe ini dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada, untuk selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus (Iskandar, 2017).

Gambar 5. Kelenjar Limfe

6.

INERVASI Tonsil dipersarafi oleh nervus trigeminus dan glossofaringeus. Nervus trigeminus mempersarafi bagian atas tonsil melalui cabangnya yang melewati ganglion sfenopalatina yaitu nervus palatine. Sedangkan nervus glossofaringeus selain mempersarafi bagian tonsil, juga dapat mempersarafi lidah bagian belakang dan dinding faring. (Nurjanna Z, 2011) 18

7.

IMUNOLOGI TONSIL Fungsi jaringan limfoid faring adalah memproduksi sel-sel limfosit tetapi peranannya sendiri dalam mekanisme pertahanan tubuh masih diragukan. Penelitian menunjukkan bahwa tonsil memegang peranan penting dalam fase-fase permulaan kehidupan terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah (Iskandar, 2017). Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50% : 50%, sedangkan di darah 55-75% : 15-30% (Iskandar, 2017). Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik(Iskandar, 2017). Hasil penelitian mengenai kadar antibodi pada tonsil menunjukkan bahwa perenkim tonsil mempunyai kemampuan untuk memproduksi antibodi. Penelitian terakhir menyatakan bahwa tonsil memegang peranan dalam memproduksi Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen (Iskandar, 2017). Sewaktu baru lahir tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yamg pada permulaan kehidupan masa kanakkanak dianggap normal dan dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu 19

pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi (Adam GL et al, 2001). Kuman-kuman patogen yang terdapat dalam flora normal tonsil dan faring tidak menimbulkan peradangan, karena pada daerah ini terdapat mekanisme pertahanan dan hubungan timbal balik antara berbagai jenis kuman. Terdapat 2 bentuk mekanisme pertahanan tubuh, yaitu (Iskandar, 2017) : 1.

Mekanisme pertahanan non spesifik Berupa kemampuan sel limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa tonsil sangat tipis sehingga menjadi tempat yang lemah terhadap masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Dengan masuknya kuman ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini akan ditangkap oleh sel fagosit, dalam hal ini adalah elemen tonsil. Selanjutnya sel fagosit akan membunuh kuman dengan proses oksidasi dan digesti.

2.

Mekanisme pertahanan spesifik Merupakan mekanisme pertahanan yang penting dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap udaran pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Disamping itu, tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu histamin. Sel basofil yang terutama adalah sel basofil dalam sirkulasi (sel basofil mononuklear) dan sel basofil dalam jaringan (sel mastosit). Bila ada alergen, maka alergen tersebut akan bereaksi dengan IgE sehingga permukaan sel membrannya terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses ini 20

akan menyebabkan keluarnya histamin sehingga timbul reaksi hipersensitivitas tipe 1, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema. Dengan teknik immunoperoksida, dapat diketahui bahwa IgE dihasilkan dari plasma sel terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil. Sedangkan mekanisme kerja IgA, bukanlah menghancurkan antigen akan tetapi mencegah substansi tersebut masuk ke dalam proses imunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, IgA mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu, IgA merupakan barier untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis. 8. TONSILITIS KRONIS DEFINISI Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau Gerlach’s tonsil) (Soepardi, 2007). Sedangkan menurut Reeves (2001) tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel. Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya menahun. Yang dimaksud kronis adalah apabila terjadi perubahan histologis pada tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan fibrotik dan dikelilingi oleh zona sel – sel radang yang dapat menjadi fokal infeksi bagi organ – organ lain, seperti sendi, ginjal, jantung dan lain – lain. (Soepardi et al, 2007). Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut yang tidak mendapat terapi adekuat; mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam waktu pendek 21

kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini biasanya diikuti dengan pengobatan dan serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3 – 4 bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal. (Amarudin, 2005). Faktor predisposisi lain timbulnya tonsillitis kronis ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, dan kelelahan fisik. Kuman penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi kadang kuman berubah menjadi kumah golongan gram negatif (Soepardi et al, 2007). EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI Tonsilitis sering terjadi pada anak-anak usia 2-3 tahun dan sering meningkat pada anak usia 5-12 tahun (Rukmini, 2003). Tonsilitis paling sering terjadi di negara 22onsilliti. Pada negara iklim dingin angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi di negara tropis, infeksi Streptococcus terjadi di sepanjang tahun terutama pada waktu musim dingin (Rusmarjono, 2003). Tonsillitis kronis merupakan serangan ulangan dari 22onsillitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Bakteri penyebab 22onsillitis kronis pada umumnya sama dengan 22onsillitis akut, yang paling sering adalah kuman gram positif. Bakteri merupakan penyebab pada 50% kasus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang paling banyak ditemukan pada jaringan tonsil adalah Streptococcus β hemolyticus. Beberapa jenis penyebab lain yang dapat ditemukan adalah Staphylococcus, Pneumococcus, jamur, virus, Adenovirus, virus influenza serta herpes. (Nurjanna Z, 2011)

22

Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu (Iskandar, 2017) : •

Rangsangan kronis (rokok, makanan)



Higiene mulut yang buruk



Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah)



Alergi (iritasi kronis dari allergen)



Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)

PATOFISIOLOGI Terjadinya tonsilitis dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kripte-kriptenya secara aerogen (melalui hidung, droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil), maupun secara foodvorn yaitu melalui mulut bersama makanan. (Nurjanna Z, 2011) Saat bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, amandel berperan sebagai filter, menyelimuti organism yang berbahaya tersebut sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus ataupun dikarenakan infeksi yang sudah berulang sehingga tonsil tidak bisa membunuh kuman-kuman semuanya, akibatnya kuman bersarang di tonsil. Bakteri atau virus yang menginfeksi lapisan epitel lama kelamaan akan membuat epitel tonsil menjadi terkikis dan terjadi peradangan serta infeksi pada tonsil. Infeksi tonsil jarang menampilkan gejala tetapi dalam kasus yang ekstrim pembesaran ini dapat menimbulkan gejala nyeri menelan. Infeksi tonsil dapat

23

menyebabkan peradangan di tenggorokan terutama dengan tonsil yang abses (abses peritonsiler). Abses besar yang terbentuk di belakang tonsil menimbulkan rasa sakit yang intens dan demam tinggi (390C - 400C). Abses secara perlahan-lahan mendorong tonsil menyeberang ke tengah tenggorokan. Dimulai dengan sakit tenggorokan ringan sehingga menjadi parah, pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan (Iskandar, 2017). Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah di dalam daerah submandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental (Iskandar, 2017).

Gambar 6. Patofisiologi Tonsilitis KLASIFIKASI 1. Tonsilitis Akut, yang terbagi menjadi (Iskandar, 2017) : 24

a.

Tonsilitis viral Ini lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab paling tersering adalah virus Epstein Barr.

b.

Tonsilitis Bakterial Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Stereptococcus beta hemoliticus yang dikenal sebagai strept throat, pneumococcus, Streptococcus viridian dan streptococcus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mulai mati. • Tonsilitis Folikularis : Adalah tonsillitis akut dengan detritus yang jelas • Tonsilitis Lakunaris : Bila bercak detritus ini memjadi satu membentuk aluralur .

Gambar 7. Perbedaan Tonsilitis Bakterial vs Nonbakterial/Virus

25

Gambar 8. Dari kiri kekanan, tonsilitis folikularis dan tonsilitis lakunaris 2.

Tonsilitis Membranosa (Iskandar, 2017) a.

Tonsilitis Difteri Penyebabnya yaitu oleh kuman Coryne bacterium diphteriae kuman ini dikenal juga dengan sebagai basil Klebs-Löfler dan termasuk kuman Gram positif. Sering ditemukan pada anak berusia < 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2 – 5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

b.

Tonsilitis Septik Penyebab streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam susu sapi sehingga menimbulkan epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.

3.

Angina Plout Vincent (Iskandar, 2017) Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. Gejala berupa demam sampai 39° C, nyeri kepala , badan lemah dan kadang gangguan pecernaan.

26

Gambar 9. Angina Plout Vincent 4.

Tonsillitis Kronis Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca kelemahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang tidak adekuat kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif. (Soepardi EA,dkk 2007)

MANIFESTASI KLINIS Menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007), yang merupakan manifestasi klinis: •

Gejala local yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan.



Gejala sistemis seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian.



Gejala klinis seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaanyang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kriptus terisi oleh detritus.

27

Rasa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan kering di tenggorokan dan nafas berbau. Apabila terjadi peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin waldeyer, maka dapat terjadi pembesaran tonsil. Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4 : •

T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai 1⁄4 jarak pilar anterior – uvula.



T2 : batas medial tonsil melewati 1⁄4 jarak pilar anterior – uvula sampai 1⁄2 jarak anterior – uvula.



T3 : batas medial tonsil melewati 1⁄2 jarak pilar anterior – uvula sampai 3⁄4 jarak pilar anterior – uvula.



T4 : batas medial tonsil melewati 3⁄4 jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih.

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale (Paradise JL, 2009). Gejala klinis sleep obstructive apnea lebih sering ditemui pada anak – anak (Akcay, 2006).

28

Gambar 10. Derajat Pembesaran Tonsil T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula T2 : batas medial tonsil melewati ¼ pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior uvula T3 : batas medial tonsil melewati ½ pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterioruvula T4 (kissing tonsils): batas medial tonsil melewati ¾ pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih. PENEGAKAN DIAGNOSIS Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut (Iskandar, 2017) 1. Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher. 2. Pemeriksaan fisik pasien dengan tonsilitis dapat menemukan: •

Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi pus.



Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju. 29



Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat menyebabkan tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan petechiae palatal.



Pernapasan melalui mulut serta suara terendam disebabkan pembesaran tonsil yang obstruktif.



Tenderness pada kelenjar getah bening servikal.



Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).



Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses peritonsilar.



Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke telinga mungkin didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.



Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil. (American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2014).

Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula (Aritomoyo D, 1980 dalam Farokah, 2005). 3. Pemeriksaan Penunjang Uji kultur dan resistensi (sensitifitas)kuman dari sediaan apus tonsil. Kita juga bias menggunakan biakan swab. Sering menghasilkan derajta keganasan yang rendah. Biasanya kuman penyebabnya antara lain adalah Streptococcus haemoliticus, Streptococcus viridans, Staphylococcus atau Pneumococcus. Rapid Antigen Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi streptokokus Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini lebih mahal daripada kultur agar darah, tesnya 30

memberikan hasil yang lebih cepat. RADT memiliki akurasi 93% dan spesifisitas > 95% dibandingkan dengan kultur darah. Hasil tes false positive jarang berlaku. Identifikasi yang cepat dan pengobatan pasien dapat mengurangi resiko penyebaran tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus grup A dan terapi yang tepat dapat diperkenalkan (Bisno et al., 2002). TATA LAKSANA Terapi pada tonsillitis kronis dapat berupa : a. Medikamentosa Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat hisap, pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral (Rusmarjono, 2007). Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis yaitu antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar kasus karena efektif dan harganya lebih murah. Menurut Mansjoer (2000) pemberian antibiotic ini dapat diberikan selama 5 hari guna mendapat penangan antibiotic yang adekuat dan mencegah infeksi sekunder. Namun, pada anak dibawah 12 tahun, golongan sefalosporin menjadi pilihan utama karena lebih efektif terhadap streptococcus. Golongan makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap penisilin, hal ini disebabkan efek samping yang ditimbulkan golongan makrolida lebih banyak (Nelson, 2000). Pemberian obat-obatan untuk mengurangi gejala simptomatis juga dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien.

31

b. Operatif Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal. Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan dengan pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang. (Dedya et al, 2009) Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan antibiotik. Oleh sebab itu, penanganan yang efektif bergantung pada identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil. Pemeriksaan apus permukaan tonsil tidak dapat menunjukkan bakteri pada parenkim tonsil, walaupun sering digunakan sebagai acuan terapi, sedangkan pemeriksaan aspirasi jarum halus (fine needle aspiration/FNA) merupakan tes diagnostik yang menjanjikan. (Nurjanna Z, 2011) Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology, Head and Neck Surgery: a. Indikasi absolut -

Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar.

32

-

Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofacial

-

Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang dengan pengobatan. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.

-

Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi

-

Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)

b. Indikasi relatif : -

Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun meskipun dengan terapi yang adekuat

-

Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis tidak responsif terhadap terapi media

-

Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman Streptococus yang resisten terhadap antibiotik betalaktamase

-

Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma

c. Kontra indikasi : -

Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi

-

Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi

-

Infeksi saluran nafas atas yang berulang

-

Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.

-

Celah pada palatum

33

TONSILEKTOMI Tonsilektomi didefinikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina. Tonsiloadenoktomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.

Gambar 11. Tonsilektomi Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi (Dingar, 2008). 1. Guillotine Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat. 2. Teknik Diseksi Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut. 34

3. Teknik Elektrokauter Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung. 4. Cryogenis Tonsilectomy Tindakan pembedaha tonsil dapat menggunakan cara Cryogenic Tonsillectomy yaitu proses pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin yang dipakai adalah Freon dan cairan Nitrogen. 5. Radio Frekuensi Pada teknik ini radiofrekuensi elektroda disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4- 6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. PROGNOSIS Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus (Edgren, 2004).

35

BAB III PEMBAHASAN

Seorang pasien datang dengan keluhan nyeri dan sulit menelan yang sebelumnya diawali oleh demam, tanpa adanya batuk dan pilek. Ketika dimintai keterangan lebih lanjut, pasien mengaku sejak dulu pasien sering merasa sulit menelan. Saat dilakukan pemeriksaan pada daerah tenggorok, terlihat tonsil membesar T3 (dextra) dan T2 (sinistra) dengan tampilan hiperemis, bengkak, kripte melebar, dan terlihat detritus. Keterangan tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk mendiagnosa pasien dengan tonsillitis kronis eksaserbasi akut. Hal ini diperkuat dengan riwayat infeksi yang sedang diderita pasien saat ini yaitu adanya riwayat demam, nyeri telan serta pengakuan pasien yang sudah sering mengeluhkan hal yang sama sebelumnya. Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Hal ini terjadi karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kebiasaan merokok yang dimiliki pasien sejak 20 tahun yang lalu menjadi salah satu faktor resiko yang besar dalam kasus ini. Menurut studi yang dilakukan oleh Cinamon et al pada tahun 2016 yang dituliskan dalam The Impact of Tobacco Smoking Upon Chronic/Recurrent Tonsillitis and Post Tonsillectomy Bleeding menyatakan bahwa merokok memiliki efek buruk pada permukaan mukosa mulut, gingiva, dan faring serta menyebabkan perubahan struktural dan atrofi. Selain kebiasaan merokok juga dapat mengurangi produksi 36

dari kelenjar saliva dan penurunan kekebalan dari lapisan mukosa pada mulut, merokok juga telah terbukti mempengaruhi keseimbangan mikroflora pada oral. Hal ini dikarenakan terjadinya gangguan pada keseimbangan flora normal pada mulut dimana bakteri aerob dan anaerob yang menjadi lebih sedikit dikarenakan adanya peningkatan jumlah pathogen potensial pada mulut perokok dibandingkan dengan mulut pada pasien yang tidak merokok. Tingginya jumlah patogen dan rendahnya jumlah flora normal pada mulut yang ditemukan di nasofaring perokok kembali ke tingkat normal setelah penghentian sempurna dari kebiasaan merokok. Sehingga dalam mengurangi angka kejadian tonsillitis dapat dimulai dengan pola hidup sehat dimana menjaga kebersihan gigi dan mulut, menjaga kebersihan dan higienitas dari makan minum yang masuk ke dalam tubuh, serta menghentikan paparan asap rokok terhadap tubuh.

37

BAB IV KESIMPULAN

Tonsil ialah suatu jaringan yangberkapsul dengan jaringan limfoid di dalamnya dan memiliki kontak dengan epitel dari rongga mulut dan faring. Tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring yang menyeliuti organisme berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis. Tonsillitis disebabkan oleh bakteri Streptococcus beta hemolitikus grup A, Pneumococcus, Streptococcus viridans, Pyogens, Haemophilus influenza dan kadang-kadang bakteri Gram negative. Sedangkan tonsillitis kronis merupakan tonsillitis berulang yang merupakan akibat penatalaksanan tonsillitis akut yang tidak adekuat, juga bias dipengaruhi oleh hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan merokok. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksan penunjang. Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronis adalah pemberian antibiotik yang efektif, terapi hygiene mulut yang dapat berupa obat kumur, irigasi serta terapi simptomatik. Terapi radikal dengan tonsilektomi apabila terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil dengan memperhatikan indikasi maupun kontraindikasi.

38

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L., Boies, L.R., dan Hilger, P.A., 2013. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC. Akcay A, 2006. Variation in Tonsil Size in 4-to17-Year Old Schoolchildren. The Journal of Otolaryngology, Volume 35, Number 4, p: 270-4. Amarudin, T., Chrisanto, A. 2007. Kajian Manfaat Tonsilektomi. Dalam: Setiawan, B., Sadana, K., Zahir, S.S., Fadli, S. Majalah Cermin Dunia Kedokteran No. 155. Grup PT Kalbe Farma Tbk; 61-68. American Academy Of Otolaryngology – Head and Neck Surgery. 2014. Tonsils and Adenoids. American Academy of Otolaryngology— Head and Neck Surgery 2011 Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children. Bisno, L., 2002. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Group A Streptococcal Pharyngitis. Cinnamon, U., Goldfarb, A., Marom, T.. 2017. The Impact of Tobacco Smoking Upon Chronic/Recurrent Tonsillitis and Post Tonsillectomy Bleeding. International Archives of Otorhinolaryngology Vol. 21 No. 2 : page 165:170. Dedya, et. Al. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Anak . Bagian/Smf Ilmu Penyakit Tht Fk Unlam. 2009. Edgren, A.L., Davitson, T., 2004. Sore Throat. Journal of the American Association. p:13. 39

Farokah, Suprihati, Suyitno S, 2003. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Cermin Dunia Kedokteran, 155, hal.16-22. Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al(ed). 2017. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Mansjoer, Arif, dkk., 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001 Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. 2002. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG. p1463-4 Nurjanna Z. 2011. Karakteristik penderita tonsillitis kronis di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2007 – 2010. Medan : Universitas Sumatera Utara. Paradise, J.L., 2009. Tonsillectomy and adenoidectomy in children. UpToDate. Reeves, Charlene J., Roux, Gayle, Lockhart, Robin, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Salemba Medika (Edisi 1). Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. 2007. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta. p212-25. Soepardi, EA, Iskandar, N., & Bashiruddin, J., et al(ed). 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

40

Related Documents

Longcase Fix.docx
June 2020 21
Tonsilitis Akut.docx
November 2019 24
Longcase Mata.docx
December 2019 30

More Documents from "Ibnu wp"