Lo1.docx

  • Uploaded by: ahmad
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lo1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,807
  • Pages: 12
LO. 1 MM ANATOMI PERNAPASAN ATAS 1.1 makroskopis

Hidung Hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran pernapasan. Ada 2 bagian dari hidung, yaitu:  Eksternal: menonjol dari wajah, disangga oleh Os. Nasi dan tulang rawan kartilago. Keduanya dibungkus dan dilapisi oleh kulit dan sebelah dalamnya terdapat bulu-bulu halus (rambut) yang membantu mencegah benda-benda asing masuk ke dalam hidung.

Gambar 1. Struktur hidung bagian eksternal (Hansen, 2010)  Internal: permukaan yang bermukosa berupa rongga (vestibulum nasi) yang disekat antara kanan-kiri oleh septum nasi. Pada vestibulum nasi terdapat cilia yang kasar berfungsi untuk menyaring udara. Bagian dalam rongga hidung yang berbentuk terowongan (cavum nasi) dimulai dari lubang hidung depan (nares anterior) sampai lubang hidung belakang (nares posterior, dibagian ini ada 3 concha nasalis , yaitu:  Concha nasalis superior  Concha nasalis media  Concha nasalis inferior

Gambar 2. Penampang lateral dari cavitas nasalis (Hansen, 2010)

Langit-langit dibentuk aloe tulang athmoidalis pada bagian dasar tengkorak dan lantai yang keras serta palatum lunak pada bagian langit-langit mulut. Dinding lateral rongga dibentuk oleh maksila, konkanasalis tengah dan sebelah luar tulang ethmoidalis yang tegak lurus dan vomertis, sementara bagian anterior dibentuk oleh tulang rawan. Beberapa tulang disekitar rongga dasar berlubang. Lubang didalam tulang tersebut disebut sinus parasinalis, yang memperlunak tulang dan berfungsi sebagai ruang bunyi suara, menjadikan suara beresonansi. Sinus maksilaris terletak dibawah orbit dan terbuka melalui dinding lateral hidung. Sinus frontalis terletak diatas orbit ke arah garis tengah tulang frontalis. Sinus frontalis cukup banyak dan merupakan bagian tulang ethmoidalis yang memisahkan lingkaran hidung dan sinus sfeinoidalis berada didalam tulang sfenoidalis. Semua sinus paranasalis dilapisi oleh membrane bermukosa dan semua terbuka kedalam rongga nasal, dimana mereka dapat terinfeksi. Faring Bagian sebelah atas faring dibentuk oleh badan tulang sfenoidalis dan sebelah dalamnya berhubungan langsung dengan esophagus. Pada bagian belakang faring dipisahkan dari vertebra servikalis oleh jaringan penghubung, semntara dinding depannya tidak sempurna dan berhubungan dengan hidung, mulut dan laring. Faring merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring. Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:  Nasofaring (terletak posterior dari cavitas nasalis di atas palatum)  Orofaring (membentang dari palatum menuju ujung superior epiglottis; terletak posterior dari cavitas oral)  Laringofaring (membentang dari ujung epiglottis ke bagian inferior dari cartilaginosa cricoidea)

Gambar 3. Subdivisi dari faring (Hansen, 2010)

Nasofaring adalah bagian faring yang terletak di belakang hidung di atas spalatum yang lembut. Pada dinding posterior terdapat lintasan jaringan limfoid yang disebut tonsil faringeal yang biasanya disebut adenoid. Jaringan ini kadang-kadang membesar dan menutupi faring serta menyebabkan pernafasan mulut pada anak-anak. Tubulus auditorium terbuka dari dinding lateral nasofaring dan melalui tabung tersebut udara dibawa ke bagian tengah telinga. Orofaring terletak di belakang mulut di bawah palatum lunak, dimana dinding lateralnya saling berhubungan. Di antara lipatan dinding ini, ada yang disebut arkus palate-glosum yang merupakan kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsil palatum. Laring Daerahnya dimulai dari aditus laringis (pintu laring) sampai batas bawah cartilago cricoid. Terbentuk oleh tulang dan tulang rawan. Tulangnya adalah Os. Hyoid. Tulang rawannya:  Epiglotis: tulang rawan berbentuk sendok. Pada saat ekspirasi inspirasibiasa, epiglotis terbuka. Pada waktu menelan, epiglotis menutup adituslaringis agar makanan tidak masuk ke laring.  Cartilago tyroid (adam’s apple): jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.  Cartilago arytenoid: ada 2. Digunakan dalam gerakan pita suaradengan cartilago thyroid.  Cartilago cricoid: adalah batas bawah laringDalam cavum laringis terdapat pita suara asli (plica vocalis) dan pita suarapalsu (plica vestibularis).

Gambar 4. Kartilago laring, ligamen, dan membran (Hansen, 2010)

Tulang rawan tiroid dibentuk oleh dua lempeng tulang rawan datar yang digabungkan bersama kebagian depan untuk membentuk tonjolan laryngeal atau adam’s apple (buah jakun). Disebelah atas tonjolan laring tersebut terdapat suatu noktah tiroid. Tulang rawan tiroid pada pria lebih besar daripada wanita. Bagian atas dilapisi oleh epitel berjenjang dan bagian bawahnya oleh epitel bersilia. Tulang hyoid dan tulang rawan laringeus digabungkan oleh ligament dan membrane. Salah satunya ialah membrane krikotiroid, sekelilingnya menyatu dengan sisi atas tulang rawan krikoid dan memiliki batas sebelah atas yang bebas, yang tidak sirkular seperi batasan sebelah

bawah, tetapi membentuk dua garis paralel yang melintas dari depan kebeakang. Kedua batasan parallel tersebut adalah ligament suara (vocal ligament). Mereka terikat pada bagian tengah tulang rawan tiroid disebelah depan dan pada tulang rawan aritenoid pada bagian belakang dan mengandung banyak jaringan elastic. Ketika otot intrinsic lain menggantikan posisi tulang rawan aritenoid, ligament suara ditarik bersama, menyempitkan celah diantara mereka. Apabila udara digerakkan melalui celah sempit yang disebut chink selama ekspirasi, ligamen suara bergetar dan menghasilkan bunyi. Nada dari bunyi yang dihasilkan tergantung pada panjang dan kekencangan ligamen. Tekanan yang meningkat menghasilkan not yang lebih tinggi sedangkan tekanan yang lebih kendur menghasilkan not yang lebih rendah. Suara bergantung kepada tenaga yang menyebabkan udara terhisap. Perubahan suara menjadi kata-kata yang berbeda tergantung pada gerakan mulut, lidah, bibir dan otot muka.

Gambar 5. Laring (Hansen, 2010) Di 1/3 anterior terdapat celah yaitu septum nasi yang membagi 2 lubang. Kemudian ostium nasalis interna merupakan bagian yang paling smepit di rongga hidung. Udara yang dihirup melalui ostium ini mendapat tahanan lima puluh persen lebih tinggi dariapda mulut. Palatum molle membagi faring menjadi 2, naso dan oro. Pada nasofaring terdapat jaringan limfoid berserta sel adenoid, kemudian tonsil terletak antara anterior dan posterior membatasis rongga mulut dengan orofaring. Laring terdiri atas beberapa kartilago, pita suara, otot, dan ligamentum. 1. Mikroskopis

Gambar 6. Gambaran umum sistem respirasi (Cui, 2011) Secara fungsional, saluran pernafasan dibagi menjadi dua, yaitu bagian konduksi (bagian yang mentransport udara) dan bagian respiratori (tempat pertukaran gas). Bagian konduksi meliputi saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah, sementara bagian respiratori meliputi bronchiolus respiratori, ductus alveolaris, sacus alveolaris dan alveoli. Bagian Konduksi a. Saluran pernafasan atas

Gambar 7. Vestibulum nasi (Cui, 2011). Cavitas nasalis memiliki sepasang ruangan yang dipisahkan oleh septum nasi; udara yang melewati cavitas ini dilembabkan dan dihangatkan sebelum masuk ke paru-paru. Terdapat 3 jenis epitel yang ada pada cavitas nasalis, yaitu: a) regio vestibularis dilapisi oleh sel epitel gepeng berlapis, b) regio mucosa nasal dilapisi oleh epitel respiratori, dan c) mucosa olfactorius dilapisi oleh epitel olfactori yang terspesialisasi. (Cui, 2011)

Gambar 8. Membrana mucosa nasalis. Pada kasus infeksi saluran pernfasan atas, ataupun karena reaksi alergi, dapat terjadi inflamasi pada mucosa hidung (terutama concha inferior), sehingga menghambat udara yang masuk melalui cavitas nasalis. Kondisi ini disebut rhinitis. (Cui, 2011)

Gambar 9. Epiglottis (Cui, 201) Laring merupakan jalur pendek yang menghubungkan faring dengan trake; fungsi utamanya adalah untuk menghasilkan suara dan untuk mencegah makanan/minuman masuk ke trakea. Bangunan yang terdapat di laring antara lain epiglottis, pita suara, dan sembilan kartilago yang terletak pada dindingnya (termasuk juga cartilago thyroidea atau ‘jakun’). Epiglottis dilapisi oleh dua jenis sel epitel, yaitu sel epitel gepeng berlapis (pada bagian lingual) dan sel epitel respiratori (pada bagian laringeal). (Cui, 2011) b. Saluran pernafasan bawah

Gambar 10. Trakea (Cui, 2011) Trakea merupakan penampang yang fleksibel, fungsinya adalah untuk menghubungkan laring dengan bronchus primer. Panjangnya adalah sekitar 10-12 cm, dan diameternya adalah 2-2.5 cm. Posisinya adalah anterior dari esofagus. Strukturnya terdiri dari mucosa, submucosa, tulang rawan hyaline, dan adventitia. (1) Mucosa melapisi bagian dalam dari trakea, dan terdiri dari epitel respiratori serta lamina propia. (2) pada submucosa terdapat jaringan penyambung yang lebih padat dari lamina propia. (3) Tulang rawan hyaline memiliki bentuk yang sangat khas, yaitu seperti huruf C (beberapa hewan, misalnya tikus, memiliki tulang rawan hyaline berbentuk O), dan jumlahnya adalah sebanyak 16-20 cincin sepanjang trakea. (4) Adventitia terdiri dari jaringan penyambung, yang melapisi bagian luar dari tulang rawan dan menghubungkan trakea ke jaringan sekitarnya.

LO. 2 MM FISIOLOGI SALURAN PERNAPASAN ATAS

a. Fungsi mukosa serta aktivitas cilia Permukaan seluruh saluran pernafasan (dari hidung hingga ke bronchiolus terminalis), dijaga agar sebisa mungkin lembab. Kelembaban ini dijaga oleh mukosa yang melapisi seluruh permukaannya. Mukosa ini dihasilkan sebagian oleh sel goblet pada sel-sel epitel saluran pernafasan, dan juga oleh glandula submucosa. Selain itu, untuk selalu menjaga agar saluran pernafasan tetap lembab, ada mekanisme yang menyebabkan terperangkapnya partikel-partikel kecil yang terbawa oleh udara. Fungsi ini bermanfaat agar partikel tersebut tidak masuk hingga alveoli. Mukosa, dalam kasus ini, berperan untuk mengeluarkan partikel tersebut dengan cara sebagai berikut: Seluruh permukaan saluran pernafasan, baik dari hidung hingga bronchiolus terminalis, dilapisi oleh epitel bersilia (dengan 200 cilia per 1 sel epitel). Cilia ini terus menerus bergerak sebanyak 10-20 kali per detik, dan arah gerakannya adalah menuju faring. Oleh karena itu, sifat gerakan cilia dari paru adalah ke atas, sementara gerakan cilia dari hidung adalah ke bawah. Pergerakan yang terus menerus ini menyebabkan mukosa untuk mengalir secara perlahan, dengan kecepatan beberapa milimeter per menit menuju faring.

Kemudian, mukosa dan partikel-partikel yg terlarut bisa tertelan, ataupun keluar karena mekanisme batuk. (Hall, 2006) b. Mekanisme refleks batuk Broncus dan trakea sangat sensitif terhadap sentuhan yang sangat halus, bahkan bendabenda asing yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan iritasi sehingga menyebabkan batuk. Laring dan carina (tempat bercabangnya trakea menjadi bronchi) adalah bagian tersensitif, sementara bronchiolus terminalis hingga ke alveolus sangat sensitif terhadap zat korosif, misalnya sulfur dioxide atau gas chlorine. Impuls saraf aferen dari saluran pernafasan umumnya melalui nervus vagus, yang diteruskan ke medulla otak. Oleh karena itu, beberapa urutan kejadian ‘mekanisme batuk’ dipicu oleh rangkaian neuron yang ada di medulla otak, dengan urutan sebagai berikut: (1) sebanyak 2.5 liter udara secara cepat diinspirasi. (2) Epiglottis menutup, dan pita suara menutup secara erat untuk menahan udara agar tidak keluar dari paru-paru. (3) Otot-otot abdominal berkontraksi secara kuat, sehingga dapat mendorong diafragma; bersamaan dengan itu, otot-otot ekspirasi (misalnya m. intercostalis interna) juga berkontraksi secara kuat. Akibatnya, tekanan di dalam paru-paru meningkat secara drastis, hingga pada tekanan 100 mmHg atau lebih. (4) Pita suara dan epiglottis secara cepat membuka, menyebabkan udara yang bertekanan tinggi dari paru-paru ‘meledak’ ke luar. Oleh karena itu, kadang-kadang udara dapat dikeluarkan dari paru secepat 75-100 mph karena mekanisme batuk ini. Kompresi yang kuat oleh paru-paru ini menyebabkan kolapsnya bronchi dan trachea, akibatnya, struktur non-kartilago yang mereka miliki menjadi cekung ke dalam. Udara yang keluar secara cepat ini biasanya juga mengandung benda-benda asing yang ada di bronchi ataupun trachea. (Hall, 2006) c. Respon refleks bersin Mekanisme terjadinya refleks bersin sebetulnya mirip dengan batuk, namun pada bersin, mekanisme utama terjadi pada rongga hidung. Stimulus yang merangsang terjadinya bersin mengiritasi bagian nasal; impuls aferen dihantarkan melalui nervus V menuju medulla, tempat di mana reflex dapat dipicu. Serangkaian mekanisme selanjutnya sama dengan batuk, namun pada bersin, terjadi depresi pada uvula, sehingga banyak udara yang keluar melalui hidung; hal ini dapat membersihkan saluran hidung dari benda asing. (Hall, 2006) Fungsi Respiratori Normal Hidung Ketika udara masuk melalui hidung, terdapat 3 fungsi utama yang terjadi pada hidung, yaitu (1) Udara dihangatkan oleh permukaan conchae dan septum; luas permukaan yang dapat menghangatkan udara ini kurang lebih 160 cm2. (2) Udara dilembabkan sebelum masuk bagian lebih dalam lagi dari hidung. (3) Udara disaring secara partial. Ketiga fungsi ini dinamakan fungsi ‘air conditioning’ saluran nafas atas. Biasanya, temperatur udara yang diinspirasi naik hingga suhunya menjadi 0,5°C lebih dingin atau hangat dari suhu tubuh. Ketika seseorang bernafas secara langsung dari trachea (misalnya pada tracheostomy), dinginnya udara (dan keringnya udara) yang dihirup dapat menyebabkan kerusakan serius pada paru-paru karena dapat menyebabkan crusting dan infeksi.

Ukuran Partikel yang Terperangkap di Saluran Pernafasan Turbulensi pada hidung memiliki fungsi untuk memisahkan partikel-partikel dari udara. Mekanisme ini cukup efektif karena partikel dengan ukuran lebih dari 6 µm dapat tersaring, sehingga tidak masuk hingga ke paru-paru. Ukuran ini sebetulnya lebih kecil dari satu sel darah merah. Sisa partikelnya, dengan ukuran antara 1-5 µm dapat bersarang di bronchiolus (akibat dari gravitational precipitation). Contohnya, orang-orang yang bekerja sebagai penambang batubara dapat mengalami gangguan bronchiolus akibat dari penumpukan partikel-partikel debu halus. Beberapa partikel yang lebih kecil lagi (ukurannya di bawah 1 µm) dapat berdifusi dengan dinding alveoli dan beradhesi ke cairan alveolar. Partikel yang lebih kecil dari 0,5 µm dapat bertahan di udara alveolus, dan dapat dikeluarkan dengan cara ekspirasi. Misalnya saja, partikel rokok dengan ukuran 0,3 µm sebetulnya tidak dapat terpresipitasi sebelum masuk ke alveolus. Namun, sebanyak 1/3 dari partikel tersebut dapat berdifusi dengan alveoli. Partikel-partikel yang terperangkap di alveoli dapat dihilangkan oleh makrofag alveolus, dan sebagiannya lagi dapat dibawa oleh saluran limfatik yang ada di paru-paru. (Hall, 2006)

Vokalisasi Mekanisme ‘berbicara’ tidak hanya melibatkan sistem respirasi, tetapi juga melibatkan (1) Pusat saraf pengatur berbicara di cortex cerebral, (2) Pusat pengatur respirasi di otak dan (3) Struktur artikulasi dan resonansi mulut dan saluran hidung. Secara mekanis, berbicara melibatkan 2 fungsi, yaitu (1) Fonasi, yang dapat dilakukan oleh laring, dan (2) Artikulasi, yang dapat dilakukan oleh struktur mulut. (Hall, 2006) Fonasi Laring merupakan tempat yang sudah beradaptasi menjadi vibrator. Elemen getar pada laring adalah plica vocalis, atau lebih sering dikenal sebagai pita suara. Pada gambar B, terlihat bentuk-bentuk bukaan pita suara apabila dilihat dengan menggunakan larngoscope. Pada saat pernafasan biasa, pita suara ini terbuka lebar agar udara lebih mudah masuk. Pada saat fonasi, kedua pitanya bergerak mendekat sehingga terdapat celah yang dilewati udara dan menimbulkan getaran. Nada yang dihasilkan oleh vibrasi ini ditentukan oleh seberapa meregangnya pita suara, dan juga ditentukan oleh seberapa dekatnya jarak celah antara satu pita suara dengan pita suara lainnya. (Hall, 2006)

Gambar 11. (A) Anatomi laring; (B) Fungsi fonasi dari laring, menunjukkan posisi dari pita suara pada keadaan fonasi yang berbeda-beda (Hall, 2006) Artikulasi dan Resonansi Tiga organ utama yang terkait dengan artikulasi adalah bibir, lidah, dan palatum. Pergerakan dari ketiga organ tersebut dapat mengubah artikulasi. Sementara resonansi dapat dipengaruhi oleh mulut, hidung, sinus nasalis, dan juga fraing, serta rongga dada. Misalnya saja, pada saat orang terkena flu (dan biasanya mengalami blokade hidung karena pilek), suaranya menjadi berubah, hal ini akibat dari berubahnya resonansi yang terjadi di bagian hidung. (Guyton & Hall, 2006) Sistem Pertahanan di Hidung dan Oropharynx Udara yang dihirup masuk melalui hidung atau mulut dan diteruskan ke bagian glotis, kemudian ke bagian extrathorax sebelum masuk ke thorax. Apabila bernafas dengan menggunakan hidung, udara disaring dan dilembabkan serta suhunya disesuaikan dengan suhu tubuh oleh turbinat (conchae) dan mucosa faring posterior. Apabila terjadi obstruksi nasal, ataupun kebutuhan pernafasan yang melebihi 20-30 L/menit, maka diperlukan pernafasan dari mulut. Udara yang dihirup dari mulut dapat masuk ke trakea tanpa dikondisikan (tanpa disaring dan disesuaikan suhunya). Beberapa substansi yang ada di sekresi hidung dapat membantu mengendalikan populasi bakteri maupun virus. Substansi yang dimaksud terutama adalah lysozyme dan immunoglobulin (secretory IgA yang membasahi permukaan mucosa saluran pernafasan). Sekresi nasal kaya akan IgA, di mana imunoglobulin tipe ini disintesis secara lokal di bagian sel plasma submucosa. Selain IgA, terdapat juga imunoglobulin tipe lain seperti IgG, namun dalam jumlah yang lebih sedikit. IgE secara normal tidak diproduksi, terutama pada orang yang tidak mengalami atopy (nonatopic). Meski demikian, IgE memiliki peranan yang penting pada penderita rhinitis alergi. (Fishman, et. al., 2008)

Gambar 12. Komponen lumen mucosal saluran pernafasan. Sel epitel silindris berlapis dengan cilia dilapisi oleh mucus (diproduksi oleh sel goblet dan glandula bronchialis), dan juga cairan yang mengandung berbagai macam protein, termasuk immunoglobulin dan komponen sekretori. Beberapa sel juga dapat ditemukan di permukaannya, misalnya limfosit dan makrofag. Pada lapisan submucosa di bawah membrana basalis, terdapat sel plasma dan sel mast; sel plasma menghasilkan immunoglobulin A sementara sel mast menghasilkan mediator alergi, misalnya histamine. (Fishman, et. al., 2008).

LO. 3 MM RHINITIS ALERGI 3.1 DEFINISI Rinitis, yang terjadi paling umum sebagai rinitis alergi, adalah peradangan pada selaput hidung yang ditandai oleh bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung, dan rinore, dalam kombinasi apa pun. Meskipun rinitis alergi sendiri tidak mengancam jiwa (kecuali disertai dengan asma atau anafilaksis yang parah), morbiditas dari kondisi ini bisa menjadi signifikan. 3.2 ETIOLOGI Beberapa virus yang sering menyebabkan rinitis diantaranya (diurutkan dari yang terbanyak) : rhinovirus, virus parainfluenza rsv, dan coronavirus. Sedangkan untuk penyebab yang dapat menghasilkan rinitis adalah adenovirus, enterovirus, virus influenza, virus parainfluenza, reovirus, dan mycoplasma pneumoniae. Untuk yang jarang menyebabkan berupa caccioides immitis, histoplasma capsulatum, bordatella pertusis, chylomedia pstiacci, coxiella burnetti. 3.3 Epidemologi

Untuk masalah anak rinitis merupakan masalah yang tersering, dengan intensitas lebih banyak dari dewasa 6.-8 kali pertahun. Sedangkan dewasa 2-4 kali pertahun. Selama 1 tahun pertama kehidupan anak laki2 lebih sering terkena dibandingkan perempuan. Rinitis alergi dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi insidensnyan bergantung pada musim. Di belahan bumi utara, insiden rinitis meningkat . rinitis tetap ti nggi selama musim dingin dan menurun pada musim semi, sedangkan di daerah tropis, rinitis terutama terjadi pada musim hujan. Di amerika sendiri kurang lebih 25 juta pasien datang ke dokter untuk mengatasi infeksi saluran pernapasan atasnya tanpa komplikasi. 3.4 Patofisiologi Penularan rinitis dapat terjadi melalui inhalasi aerosol yang mengandung partikel kecil (influenza), deposisi droplet mada mukosan dan konjungtiva( rhinovirus), dan memlaui kontak tangan dengan sekret yang mengandung virus dari lingkungan atau penyandang (rhinovirus). Patogenesisnya sendiri terjadi melibatkan interkasi antara replikasi virus dan repsoin inflamasi penjamu. Dengan lokasi berbeda2 di tiap virus, rhino di epitel nasofaring. Influenza di epitel trakeobronkial. Mulanya infeksi dimulai dengan deposit virus di hidung anterior atau mata. Daru mata, virus menuju ke hidung melalu duktus lakrimalis, lalu berpindah ke nasofaring posterior akibat gerakan mukosilier. Di daerah adenoid virus memasuki epitel dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik. Untuk rino menggunakan reseptor ICAM-1

More Documents from "ahmad"

M1.docx
July 2020 52
0478_s18_qp_11.pdf
July 2020 41
November 2019 21
709 R01 List.txt
November 2019 36