Ll.docx

  • Uploaded by: Aulia Qudusi Ramadhani
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ll.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,124
  • Pages: 39
Learning Issue Tutorial Hipoglikemia, Glimepiride, Metformin, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang

Nama

: Aulia Qudusi Ramadhani

NIM

: 04011281621105

Blok

: 12

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA TAHUN AJARAN 2017/2018

I. Hipoglikemi 1.1. Definisi Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar glukosa 2 plasma lebih rendah dari 45 mg/dl– 50 mg/dl. Bauduceau, dkk mendefinisikan hipoglikemia sebagai keadaan di mana kadar gula darah di bawah 60 mg/dl disertai adanya gelaja klinis pada penderita. Pasien diabetes yang tidak terkontrol dapat mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, sedangkan pada pasien diabetes dengan pengendalian gula darah yang ketat (sering mengalami hipoglikemia) dapat mentoleransi kadar gula darah yang rendah tanpa mengalami gejala hipoglikemia. Pendekatan diagnosis kejadian hipoglikemia juga dilakukan dengan bantuan Whipple’s Triad yang meliputi: keluhan yang berhubungan dengan hipoglikemia, kadar glukosa plasma yang rendah, dan perbaikan kondisi setelah perbaikan kadar gula darah. Hipoglikemia akut diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat menurut gejala klinis yang dialami oleh pasien (Tabel 1) Tabel 1.1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut. Ringan

Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari – hari yang nyata


Sedang

Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari – hari yang nyata

Berat

Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari – hari yang nyata
Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari – hari yang nyata

Tabel 1.2. Klasifikasi Hipoglikemia menurut American Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia tahun 2005. Severe hypoglycemia

Kejadian hipoglikemia yang membutuhkan bantuan dari orang lain


Documented symptomatic hypoglycemia

Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl disertai gejala klinis hipoglikemia

Asymptomatic hypoglycemia

Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl tanpa disertai gejala klinis hipoglikemia


Probable symptomatic Gejala klinis hipoglikemia tanpa disertai hypoglycemia pengukuran kadar gula darah plasma Relative hypoglycemia

Gejala klinis hipoglikemia dengan pengukuran kadar gula darah plasma ≥ 70 mg/dl dan terjadi penurunan kadar gula darah

1.2. Gejala dan tanda hipoglikemia Gejala dan tanda dari hipoglikemia merupakan akibat dari aktivasi sistem saraf otonom dan neuroglikopenia. Pada pasien dengan usia lajut dan pasien yang mengalami hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom dapat berkurang sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari kalau kadar gula darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat memperberat akibat dari hipoglikemia karena penderita terlambat untuk mengkonsumsi glukosa untuk meningkatkan kadar gula darahnya. Tabel 1.3. Gejala dan tanda yang muncul pada keadaan hipoglikemia Kadar Gula Darah

Gejala Neurogenik

Gejala Neuroglikopenik

79,2 mg/dL

gemetar, goyah, gelisah

irritabilita, kebingungan

70,2 mg/dL

gugup, berdebar – debar

sulit berpikir, sulit berbicara


59,4 mg/dL

berkeringat


ataxia, paresthesia

50,4 mg/dL

mulut kering, kelaparan pucat, midriasis

39,6 mg/dL

rasa sakit kepala, stupor kejang, kematian

koma,

1.3. Etiologi Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita Diabetes dan Non diabetes dengan etiologi sebagai berikut : 1. Pada Diabetes 1. Overdose Insulin 2. Asupan Makanan berkurang 3. Aktivitas Berlebihan 4. Gagal Ginjal 5. Hipotiroid 2. Pada Non Diabetes 1. Peningkatan Produksi Insulin 2. Paska Aktifitas 3. Konsumsi Makanan rendah Kalori 4. Konsumsi Alkohol 5. Post Melahirkan 6. Post Gastroctomy 7. Penggunaan Obat-obatan 1.4. Epidemiologi Hipoglikemia biasanya ditemukan pada pasien diabetes melitus. Sekitar 90% dari semua pasien yang menerima insulin mengalami episode hipoglikemia. Frekuensi hipoglikemia lebih rendah pada orang dengan diabetes mellitus tipe 2 dibandingkan tipe 1. Diperkirakan 2-4% dari mortalitas akibat diabetes melitus dikaitkan dengan hipoglikemia. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada DM tipe 1 dengan angka kejadian 10%-30% pasien per tahun dengan angka kematiannya 3%-4% sedangkan pada DM tipe 2 angka kejadiannya 1,2 % pasien pertahun. Rata-rata kejadian hipoglikemia meningkat dari 3,2per 100 orang per tahun menjadi 7.7 per 100 orang per tahun pada penggunaan insulin. Menurut penelitian lain didapatkan data kejadian hipoglikemia terjadi sebanyak 30% per tahun pada pasien yang mengonsumsi obat hipoglikemik oral seperti Sulfonilurea. Sebagai penyulit akut pada DM tipe 2, hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan insulin dan Sulfonilurea. 1.5. Faktor risiko 1.5.1. Usia
 Menurut Lefebvre, gejala (symptom) hipoglikemia muncul lebih berat dan terjadi pada kadar gula darah yang lebih inggi pada orang tua dibanding dengan usia yang lebih muda.

Sedangkan menurut Studenski dalam buku ajar Harrison’s Princle of Internal Medicine 18th Ed dikemukankan bahwa hipoglikemia pada penderita diabetes usia lanjut lebih sulit diidentifikas karena simptom autonomik dan neurogenik terjadi pada kadar gula darah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penderita diabetes pada usia yang lebih muda. sedangkan reaksi metabolik dan efek cedera neurologisnya sama saja antara pasien diabetes muda dan usia lanjut. Simptom autonom hipoglikemia sering tertutupi oleh penggunaan beta- blocker. Penderita diabetes usia lanjut memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipoglikemia daripada penderita diabetes usia lanjut yang sehat dan memiliki fungsi yang baik. Kelebihan (ekses) insulin
 o Dosis insulin atau obat penurun gula darah yang terlalu tinggi.
 o Konsumsi glukosa yang berkurang.
 o Produksi glukosa endogen berkurang, misal setelah konsumsi alkohol. o Peningkatan penggunaan glukosa oleh tubuh, misal setelah berolahraga. o Peningkatan sensitivitas terhadap insulin. o Penurunan ekskresi insulin, misal pada gagal ginjal. 1.5.3. Ekses insulin disertai mekanisme kontra regulasi glukosa yang terganggu 1.5.2.

Hipoglikemi merupakan interaksi antara kelebihan (ekses) insulin dan terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa. Kejadian ekses insulin saja belum tentu menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Faktor risiko yang relevan dengan terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa pada penderita diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 tahap lanjut antara lain : a. Defisiensi insulin pankreas, menandakan bahwa insulin yang ada merupakan insulin eksogen, sehingga apabila gula darah turun di bawah batas normal, tidak terjadi penurunan sekresi insulin.
 b. Riwayat hipoglikemia berat, ketidaksadaran hipoglikemia (hypoglycemia unawareness), atau keduanya.
 c. Terapi penurunan kadar gula darah yang agresif, ditandai dengan kadar HbA1c yang rendah, target kadar gula darah yang rendah, atau keduanya.

1.5.4. Frekuensi Hipoglikemia
Pasien yang sering mengalami hipoglikemia akan mentoleransi kadar gula darah yang rendah dan mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih

rendah daripada orang normal. 1.5.5. Obat hipoglikemik oral yang berisiko menyebabkan hipoglikemia Penggunaan obat hipoglikemik oral yang memiliki cara kerja meningkatkan sekresi insulin pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Obat – obat tersebut antara lain dipeptydil peptidase-4 inhibitor, glucagon-like peptide-1, golongan glinide, golongan sulfonylurea: glibenclamide, glimepiride a. Sulfonylurea

Sulfonylurea bekerja dengan memacu pelepasan insulin dari sel beta pankreas dengan cara berikatan dengan reseptor sulfonylurea pada sel beta pankreas yang menyebabkan inhibisi efluks ion kalium dan menyebabkan depolarisasi dan pelepasan insulin. Pemakaian sulfonylurea jangka panjang pada pasien DM tipe 2 dapat menurunkan kadar serum glukagon yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia. Mekanisme inhibisi glukagon ini terjadi karena stimulasi pelepasan insulin dan somatostatin menghambat sekresi sel alfa pankreas. Obat golongan sulfonylurea yang saat ini cukup banyak digunakan merupakan sulfonylurea generasi ke-2 yaitu glibenclamide dan glimepiride. Glibenclamide (glyburide) dimetabolisme di hepar menjadi produk dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah. Dosis awal pemberian Glibenclamide yaitu 2,5 mg per hari dan dapat ditingkatkan hinga mencapai 5-10 mg dosis tunggal per hari dan diberikan pada pagi hari. Pemberian dosis lebih dari 20 mg per hari tidak direkomendasikan. Glibenclamide berisiko menyebabkan hipoglikemia. Efek samping glibenclamide yang lain adalah dapat menyebabkan flushing apabila berinteraksi dengan alkohol. Insufisiensi ginjal dan hepar merupakan kontraindikasi penggunaan glibenclamide. Glimepiride digunakan dengan dosis sekali sehari, sebagai terapi tunggal ataupun sebagai kombinasi dengan terapi insulin. Glimepiride mencapai pengendalian gula darah pada dosis yang paling rendah bila dibandingkan dengan sulfonylurea yang lain. Dosis tunggal 1 mg tiap hari dapat menunjukkan kerja yang efektif dan dapat digunakan dosis hingga 8 mg per hari. Glimepiride memiliki waktu paruh selama 5 jam sehingga dapat diberikan dalam dosis tunggal sekali sehari. Glimepiride dimetabolisme di hepar menjadi bentuk yang inaktif.

b. Meglitinide
Meglitinide bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin sel beta pankreas dengan mengatur efluks kanal kalsium. Meglitinide memiliki tempat perlekatan (binding sites) yang sama dengan yang dimiliki oleh golongan sulfonylurea. Obat yang termasuk dalam golongan meglitinide yaitu repaglinide. Repaglinide memiliki onset kerja sangat cepat, dengan konsentrasi puncak dan efek puncak kurang dari satu jam setelah obat ditelan, sedangkan durasi kerja repaglinide selama 5–8 jam. Repaglinide dimetabolisme di hepar oleh enzim CYP3A4 dengan waktu paruh plasma selama 1 jam. Sifat kerja yang cepat ini membuat Repaglinide diindikasikan untuk mengatasi peningkatan glukosa setelah makan (post-prandial). Repaglinide diminum tepat sebelum makan, dengan dosis 0.25–4 mg (maksimum 16 mg per hari). Repaglinide berisiko menimbulkan hipoglikemia bila pasien tidak segera makan setelah mengkonsumsi obat, atau makan dengan jumlah karbohidrat yang tidak adekuat. Repaglinide perlu mendapat perhatian khusus pada pasien dengan gangguan hepar dan ginjal. Repaglinide dapat digunakan sebagai terapi tungal ataupun dikombinasikan dengan biguanide (metformin). Repaglinide dapat diberikan pada pasien diabetes yang alergi dengan sulfonylurea karena repaglinide tidak mengandung unsur sulfur.

1.5.6. Terapi Salisilat
 Salisilat menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan sekresi insulin yang distimulasi glukosa (glucose-stimulated insulin secretion) pada orang normal dan pasien diabetes. Salisilat menghambat sintesis prostaglandin pada berbagai jaringan, termasuk jaringan pankreas. Penurunan produksi prostaglandin di pankreas berhubungan dengan peningkatan sekresi insulin, dibuktikan dalam penelitian sebelumnya bahwa pada orang normal, infus prostaglandin E2 dan analog E2 termetilasi menghambat respon insulin akut setelah asupan glukosa.

Pemberian aspirin dalam dosis 1,8g – 4,5g per hari dapat menurunkan kebutuhan suntikan insulin pada pasien diabetes dan pemberian 6g aspirin per hari selama 10 hari menurunkan rata-rata gula darah puasa dari 371mg/dl menjadi 128mg/dl. 1.5.7. Terapi Insulin
 Terapi insulin dapat menyebabkan hipoglikemia karena apabila kadar gula darah turun melampaui batas normal, tidak terjadi fisiologi penurunan kadar insulin dan pelepasan glukagon, dan juga refleks simpatoadrenal.

Berdasarkan berbagai penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin pada pasien hiperglikemia memperbaiki luaran klinis. Insulin, selain dapat memperbaiki status metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga memiliki efek lain yang bermanfaat, antara lain

perbaikan inflamasi. Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes melitus tipe 1 (DMT1). Namun demikian, pada kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1. Pasien DMT2 yang memiliki kontrol glukosa darah yang tidak baik dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin tunggal. Berdasarkan onset kerjanya, terapi insulin diklasifikasikan sebagai berikut:
 a. Rapid acting insulin (insulin kerja sangat cepat)

Insulin kerja sangat cepat memiliki onset kerja dan puncak kerja yang memungkinkan terapi insulin yang menyerupai fisiologi sekresi insulin postprandial. Insulin kerja sangat cepat dapat digunakan sesaat sebelum pasien makan. Durasi kerja insulin kerja sangat cepat tidak lebih dari 4 – 5 jam, dengan demikian memiliki risiko hipoglikemia pasca makan (late postmeal hypoglycemia) yang lebih kecil. Yang termasuk insulin kerja sangat cepat antara lain insulin lispro, insulin aspart, dan insulin glulisine. b. Short acting insulin (insulin kerja singkat)
 Insulin reguler adalah insulin kerja singkat yang larut dalam bentuk kristal zinc. Efek kerja insulin kerja singkat muncul dalam 30 menit, mencapai puncak kerja dalam 2-3 jam setelah injeksi subkutan, dan memiliki durasi kerja 5-8 jam.

Dalam konsentrasi yang tinggi, molekul insulin ini mengalamai aggregasi di sekitar ion zinc sehingga membentuk molekul heksamer. Bentuk heksamer inilah yang menyebabkan insulin reguler membutuhkan waktu untuk dapat bekerja aktif. Setelah injeksi subkutan. molekul hexamer insulin akan mengalami pengenceran (dilusi) oleh cairan interstitial jaringan dan terpecah menjadi molekul dimer dan monomer. Insulin kerja singkat baru dapat bekerja optimal dalam bentuk monomer tersebut. Apabila insulin disuntikan pada saat pasien makan, maka akan terjadi kenaikan kadar gula darah setelah makan (early post-prandial

hyperglycemia) karena insulin belum bekerja, menimbulkan hipoglikemia pasca makan (late hypoglycemia) karena kerja insulin yang terlambat. singkat harus disuntikkan 30 – 45 menit sebelum mencapai penurunan kadar gula yang tepat.

dan berisiko post-prandial Insulin kerja makan untuk

Insulin kerja singkat bermanfaat dalam terapi intravena pada pasien ketoasidosis diabetes dan pada pembedahan ataupun infeksi akut. c. Intermediate acting insulin (insulin kerja sedang)
 Neutral Protamine Hagedorn insulin (NPH) insulin kerja sedang yang absorbsi dan kerjanya dihambat dengan cara mengkombinasikan insulin dengan protamine dalam jumlah yang tepat.
Setelah penyuntikan subkutan, enzim proteolitik jaringan menguraikan protamin sehingga insulin dapat diabsorbsi dan diedarkan ke seluruh tubuh. NPH memiliki onset kerja 2 – 5 jam dan masa kerja 4 – 12 jam.

NPH biasanya dicampur dengan rapid acting insulin (lispro, aspart, atau glulisin) dan diberikan 2-4 kali sehari sebagai pengganti insulin endogen (replacement therapy). Dosis NPH mempengaruhi profil kerja, misal dosis kecil memiliki puncak kerja yang lebih rendah dan lebih cepat dan masa kerja yang singkat, dan terjadi sebaliknya pada penambahan dosis yang lebih besar. Kerja NPH sangat sulit diprediksi dan memliki variabilitas absorbsi yang tinggi. d. Long acting insulin (insulin kerja panjang)
 Insulin glargine adalah insulin kerja panjang yang tidak memliki puncak masa kerja (peakless). Insulin glargine didesain untuk mencapai terpi insulin yang nyaman dan stabil. Molekul Insulin glargine larut dalam suasana yang asam (pH pelarut = 4,0) dan mengalami presipitasi sesaat setelah disuntikkan secara subkutan karena pH tubuh yang netral. Monomer insulin secara perlahan-lahan dilepaskan dari kumpulan presipitat insulin pada jaringan sekitar lokasi penyuntikan sehingga menghasilkan profil insulin plasma yang rendah, stabil, dan kontinyu.

Insulin glargine memiliki onset kerja yang lambat (1 – 1,5 jam) dan mencapai kerja maksimum dalam 4-6 jam. Kerja maksimum ini bertahan selama 11 – 24 jam. Glargine diberikan dalam suntikan sekali sehari, atau dapat dibagi dalam 2 dosis untuk pasien dengan resistensi insulin ataupun hipersensitivitas terhadap insulin.

Glargine tidak dapat dicampur dengan insulin jenis lain karena dapat menurunkan efikasinya karena glargine harus dilarutkan dalam suasana asam. Pencampuran dengan insulin lain dalam spuit yang sama juga harus dihindari dan harus disuntikkan dengan spuit yang berbeda. Pola absorbsi insulin glargine tidak terikat dengan letak penyuntikan. Insulin detemir adalah insulin kerja panjang yang dikembangkan paling baru dan memiliki efek hipoglikemik yang lebih rendah daripada NPH insulin. Insulin detemir memiliki onset kerja yang bergantung pada dosis (dose dependent) selama 1 – 2 jam dan durasi kerja 24 jam. Insulin detemir diberikan dua kali sehari untuk mencapai kadar insulin yang tepat. 1.5.8. Aktivitas Fisik / Olahraga
 Aktivitas fisik atau olahraga berperan dalam pencegahan dan penanganan diabetes. Olahraga dapat memicu penurunan berat badan, meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan hepar dan perifer, meningkatkan pemakaian glukosa, dan kesehatan sistem kardiovaskuler. Namun pada penderita diabetes dengan pengendalian gula darah yang intensif, olahraga dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia bila tanpa disertai penyesuaian dosis terapi insulin, dan atau suplementasi karbohidrat. Hipoglikemia dapat terjadi saat berolah raga, sesaat setelah berolahraga, ataupun beberapa jam setelah berolahraga. Beberapa studi terakhir menemukan bahwa hipoglikemia setelah olah raga dipengaruhi oleh kegagalan sistem otonom pada penderita diabetes. Pada saat olah raga terjadi penurunan insulin secara fisiologis, sedangkan pada penderita diabetes yang tergantung pada terapi insulin eksogen, penurunan insulin fisiologis ini tidak terjadi karena insulin yang beredar di dalam tubuh adalah insulin eksogen dan tidak dapat dikendalikan oleh pankreas. Berbeda dengan penurunan sekresi insulin yang tidak terjadi pada penderita diabetes, pada saat berolah raga sekresi glukagon dari sel – sel alfa pankreas tetap terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Hilangnya penurunan kadar insulin juga menghambat proses glikogenolisis dan glukoneogenesis karena kadar insulin yang relatif tinggi beredar dalam darah. Pada penderita diabetes juga terjadi kegagalan sekresi epinefrin. Secara fisiologis, epinefrin berfungsi meningkatkan glikogenolisis dan

menghambat pemakaian glukosa pada saat olahraga. 1.5.9. Keterlambatan asupan glukosa
 Berkurangnya asupan karbohidrat atau glukosa pada pasien hiperglikemia karena terlambat makan atau menjalani puasa dengan tidak mengurangi dosis obat – obatan antidiabetes, dapat terjadi hipoglikemia karena berkurangnya asupan glukosa dari saluran cerna. 1.5.10. Gangguan Ginjal
 Hipoglikemia pada gangguan fungsi ginjal dapat diakibatkan oleh penurunan glukoneogenesis, kerja insulin yang berlebih atau berkurangnya asupan kalori. Pada gangguan fungsi ginjal dapat terjadi penurunan kebutuhan insulin karena perubahan pada metabolisme dan ekskresi insulin (insulin clearance). Insulin eksogen secara normal dimetabolisme oleh ginjal. Pada gangguan fungsi ginjal, waktu paruh insulin memanjang karena proses degradasi insulin berlangsung lebih lambat.

1.6.Faktor predisposisi terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mendapat pengobatan insulin (sulfonilurea)

1.6.1.

Faktor yang berkaitan dengan pasien a. Pengurangan/keterlambatan makan 
 b. Kesalahan dosis obat 
 c. Latihan jasmani yang berlebihan 
 d. Penurunan kebutuhan insulin i. Penyembuhan dari penyakit 
 ii. Nefropati diabetik 
 iii. Hipotiroidisme 
 iv. Penyakit addison 
 v. Hipupituitarisme 


e. Hari pertama persalinan 
 f. Penyakit hati yang berat 
 1.6.2.

Faktor yang berkaitan dengan dokter a. Pengendalian glukosa darah yang tetap 
 b. Pemberian obat-obat hipoglikemia 


yang

mempunyai

potensi

c. Pergantian jenis insulin 


1.7. Manifestasi klinis Pada hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan tanda hipoglikemia ditandai dengan Triad Whipple, yaitu : a. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa plasma yang rendah b. Kadar glukosa darah yang rendah < 3 mmol/L (55 mg/dl) c. Kepulihan gejala stelah kelainan dikoreksi Hipoglikemia dapat dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang, dan berat. a. Hipoglikemia Ringan Simptomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas seharihari yang nyata. b. Hipoglikemia Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata. c. Hipoglikemia Berat Sering tidak simptomatik, karena gangguan kognitif pasien tidak mampu mengatasi sendiri. Tabel 1.4. Jenis Hipoglikemia. Jenis Hipoglikemia Sign dan Simptom Ringan

Sedang

Dapat diatasi sendiri dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari Penurunan glukosa (stressor) merangsang saraf simpatis : perpirasi, tremor, takikardia, palpitasi, gelisah Penurunan glukosa merangsang saraf parasimpatis : lapar, mual, tekanan darah menurun Dapat diatasi sendiri, mengganggu aktivitas sehari-hari Timbul gangguan pada SSP : headache, vertigo,

Berat

penurunan daya ingat, perubahan emosi, pelaku irasional, penurunan fungsi rasa, double vision. Membutuhkan orang lain dan terapi glukosa Disorientasi, kejang, penurunan kesadaran

Hipoglikemia juga terbagi menjadi hipoglikemia akut, subakut dan kronik. Hipoglikemia akut adalah penurunan cepat glukosa plasma sehingga menvapai kadar rendah. Hipoglikemia akut dapat terjadi pada penderita diabetes ataupun tidak. Pada penderita diabetes hipoglikemia disebabkan penyerapan insulin eksogen berlebihan. Sedangkan pada non diabetes hipoglikemia disebabkan hipersekresi insulin reaktif. Gejalanya adalah perasaan cemas, gemetar, palpitasi, takikardi, berkeringat, dan perasaan lapar. Hipoglikemia subakut dan kronik adalah penurunan glukosa plasma secara relative lambat. Hipoglikemia ini merupakan akibat dari hiperinsulinemia ataupun gangguan metabolic fungsi hati. Gejalanya yaitu perasaan kacau progresif, tingkah laku tidak wajar, rasa lelah, dan mengantuk. Dapat timbul kejang dan koma bila pasien tidak makan. Gejala-gejala hipoglikemia terdiri dari 2 fase, yaitu ; Fase I : gejala-gejala akibat aktivasi pusat otonom di hipotalamus sehingga hormone epinefrin masih dilepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karena pada fase ini pasien masih sadar. Fase II : gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak, karena itu dinamakan gejala neurologis. Pada awalnya tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah dengan melepaskan epinefrin dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi juga menyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, gelisah, gemetar, pingsan, jantung berdebardebar, rasa lapar). Hipoglikemia yang lebih berat menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak dan menyebabkan ousing, bingung, lelah, lemah, perilaku yang tidak biasa, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang, hingga koma. Hipoglikemia yang berlangsung lama bias menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Gejala yang menyerupai kecemasan maupun gangguan fungsi otak bias terjadi secara perlahan maupun secara tiba-tiba. Tabel 1.5. Kadar Glukosa dan Terapi yang Sesuai Kadar Glukosa (mg/dl)

Terapi Hipoglikemia

< 30 mg/dl

Injeksi IV Dex 40 % (25 cc) bolus 3 flacon

30-60 mg/dl

Injeksi IV Dex 40 % (25 cc) bolus 2 flacon

60-100 mg/dl

Injeksi IV Dex 40 % (25 cc) bolus 1 flacon

Follow Up : Periksa kadar gula darah lagi, 30 menit setelah injeksi Sesudah bolus, setelah 30 menit dapat diberikan 1 flakon lagi sampai 2-3 kali untuk mencapai kadar kurang lebih 120 mg/dl

1.8. Tatalaksana Tatalaksana hipoglikemia meliputi pemberian glukosa oral, glukosa intravena, dan monitoring kadar gula darah. Terapi berbeda pada pasien sadar dan tidak sadar. Pada stadium permulaan (pasien sadar) berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirup/permen atau gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet), atau bisa juga memberikan makanan yang mengandung karbohidrat. Pantau gukosa sewaktu tiap 1-2 jam. Pada stadium lanjut (pasien tidak sadar), berikan larutan dextrose 40% sebanyak 2 flakon bolus intra vena, dan berikan infuse dextrose 10 %, dan pantau gula darah sewaktu. 1.9.Edukasi dan pencegahan Hipoglikemia dicegah dengan mengikuti pola makan, penyuntikan insulin dan latihan yang teratur. 
 Makan cemilan antara jam-jam makan dan saat akan tidur malam diperlukan untuk melawan efek insulin yang maksimal. 
 Pasien harus menghadapi saat puncak kerja insulin dengan mengkonsumsi cemilan dan makanan tambahan pada saat melakukan aktivitas fisik dengan intensitas yang lebih besar. 
 Pemeriksaan rutin kadar glukosa darah harus dilakukan sehingga perubahan kebutuhan insulin dapat diantisipasi dan disesuaikan. 


1.10.

Komplikasi a. Kerusakan otak b. Koma c. Kematian

1.11.

Prognosis Prognosis hipoglikemia dinilai dari penyebab, nilai glukosa darah, dan waktu onset. Apabila bersifat simtomatik dan segera diobati memiliki prognosis baik (dubia et bonam) dibandingkan dengan asimtomatik tanpa segera diberikan oral glucose (dubia et malam).

1.12.

SKDI a. Hipoglikemia Ringan (4A) Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. (4A) Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. (level kompetensi tertinggi) b. Hipoglikemia Berat (3B) Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk. (3B) Gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikanterapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

1.13.

Algoritme penegakan diagnosis dan dd  Diagnosis Hipoglikemia Diagnosis hipoglikemia ditegakkan berdasarkan gejalagejalanya dan hasil pemeriksaan kadar gula darah. Dari gejala bisa didapatkan dari adanya Trias Whipple. Berdasarkan pemeriksaan penunjang dapat ditegakkan bila kadar glukosa <70mg/dl. Walaupun demikian berbagai studi fisiologis menunjukan bahwa gangguan fungsi otak dapat terjadi pada kadar glukosa darah 55 mg/dl (3 mmol/L). Lebih lanjut diketahui bahwa kadar glukosa darah 55mg/dl (3 mmol/L) yang terjadi berulang kali dapat merusak mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat. Respon regulasi non pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar glukosa darah 63-65mg/dl (3,5-3,6mmol/L). Oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa plasma kurang dari sama dengan 63 mg/dl (3,5 mmol/L).  Diagnosis Banding 1. Syncope vagal 2. Stroke/TIA

II. Glimepiride

2.1.Indikasi a. Merupakan obat golongan sulfonylurea untuk pengobatan diabetes melitus tipe II, diresepkan sebagai tambahan pada diet dan olahraga. 
 b. Menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang tubuh memproduksi insulin lebih banyak. 2.2.Dosis dan cara pemakaian Bentuk sediaan glimepiride adalah tablet.
 Dosis
 Kadar glukosa darah pasien dan HbA1c harus diukur secara berkala untuk menetapkan dosis minimum yang efektif bagi pasien tersebut dengan tujuan: 
 - Untuk mendeteksi kegagalan primer yaitu tidak adanya penurunan berarti dari gula darah pada pemberian dosis maksimum yang diperbolehkan. 
 - Untuk mendeteksi kegagalan sekunder yaitu hilangnya respon penurunan glukosa darah setelah adanya periode keefektifan inisial. 
 Dosis awal
 1-2 mg satu kali sehari, diberikan bersamaan makan pagi atau makanan utama yang pertama. Untuk pasien yang lebih sensitif terhadap obat-obat hipoglikemik, dosis awal yang diberikan sebaiknya dimulai dari 1 mg satu kali sehari, kemudian boleh dinaikkan (dititrasi) dengan hati- hati.
 Dosis pemeliharaan
 1-4 mg satu kali sehari. Dosis maksimum yang dianjurkan 8 mg satu kali sehari. Pada saat pemberian telah mencapai dosis 2 mg maka kenaikan dosis tidak boleh melebihi 2 mg dengan interval 1-2 minggu tergantung dari respon gula darah pasien. Efikasi jangka panjang harus dimonitor dengan mengukur kadar HbA1c setiap 3-6 bulan. 
 2.3.Kontraindikasi . Pasien yang hipersensitif terhadap obat ini, obat-obat golongan sulfonamida lain, atau bahan-bahan tambahan lain (yang menimbulkan resiko hipersensitif). . 
Pasien dengan ketoasidosis diabetes, dengan atau tanpa koma. Keadaan seperti ini harus diatasi dengan terapi insulin. 


2.4.Efek samping  Gangguan pada saluran cerna seperti muntah, nyeri lambung dan diare. 
  Reaksi alergi seperti pruritus, erythema, urtikaria, erupsi morbiliform atau maculopapular, reaksi ini bersifat sementara dan akan hilang meskipun penggunaan glimepiride harus 
dihentikan. 
  Gangguan metabolisme berupa hiponatremia. 
  Perubahan pada akomodasi dan/atau kaburnya penglihatan. 
  Reaksi hematologik seperti leukopenia, agranulositosis, trombositopenia, anemia 
hemolitik, anemia aplastik, dan pansitopenia. 
 2.5.Interaksi antar obat  Risiko hipoglikemia akan meningkat pada pemberian glimipiride bersama-sama dengan obat-obat tertentu, yaitu NSAID dan obat lain dengan ikatan protein tinggi, seperti salisilat, sulfonamida, kloramfenikol, kumarin, probenesid, MAO inhibitors, βadrenergic blocking agents. 
  Daya kerja glimepiride dalam menurunkan kadar glukosa darah akan menurun jika diberikan bersamaan dengan obat-obat yang cenderung menimbulkan hiperglikemia, seperti tiazid dan diuretik lain, kortikosteroid, fenotiazin, produk-produk kelenjar tiroid, estrogen, kontrasepsi oral, fenitoin, asam nikotinat, simpatomimetik dan isoniazid. 
  Pemberian propanolol (40 mg tid) dan glimepiride meningkatkan Cmax, AUC, dan T1⁄2 dari glimepiride sebesar 23%, 22% dan 15% serta menurunkan CL/f sebesar 18%, pasien perlu diperingatkan akan potensi hipoglikemia yang akan terjadi. 
  Pemberian glimepiride bersamaan dengan warfarin akan menurunkan respon farmakodinamik dari warfarin. 
  Interaksi antara mikonazol oral dan obat hipoglikemia oral dilaporkan dapat menyebabkan hipoglikemia. 
  Glimepiride berpotensi terjadi interaksi dengan fenitoin, diklofenak, ibuprofen, naproksen dan asam mefenamat, karena seluruhnya dimetabolisme oleh sitokrom P450 II C9. 


2.6. Mekanisme kerja glimepiride dengan metformin Metformin menstimulasi uptake glukosa, menekan produksi glukosa hepatik berlebih, dan mengurangi absorpsi glukosa di usus. Golongan biguanid ini juga memperbaiki resistensi insulin, memiliki kecepatan

respons awal yang tinggi, aman, tidak menyebabkan kenaikan berat badan, dan menguntungkan terhadap profil lipid. Sulfonilurea dan biguanid memiliki mekanisme kerja yang saling melengkapi, dengan efek antihiperglikemik yang sinergis dan tidak meningkatkan reaksi simpang dari masing-masing golongan. Sulfonilurea (glimepirid) menstimulasi sel Beta untuk melepaskan insulin, sedangkan metformin mengurangi produksi glukosa hepatik, menurunkan absorpsi glukosa di usus, serta memperbaiki sensitivitas insulin melalui perbaikan uptake dan penggunaan glukosa perifer.

Gambar 1. Mekanisme kerja glimepiride dan metformin

Glimepirid merupakan SU generasi ketiga dengan durasi kerja lebih panjang dan onset yang lebih cepat. Berbeda dengan SU lainnya, glimepirid mampu mengurangi komplikasi kardiovaskular (ischemic preconditioning) dan menyesuaikan kadar insulin yang disekresikan dengan kadar gula darah, terutama dalam keadaan post prandial, sehingga insiden hipoglikemia glimepirid lebih rendah daripada glibenklamid. Dengan profil yang dimiliki keduanya, kombinasi metformin/glimepirid lebih efektif dan aman bagi penyandang DM tipe 2 yang telah gagal dengan monoterapi AHO. Berikut merupakan mekanisme kerja kombinasi glimepiride dengan biguanides (metformin) yang saling melengkapi satu sama lain: o Kedua senyawa memiliki efek antihipperglycaemic sinergis tanpa meningkatkan efek samping kelas farmakologis.

o Glimepiride bertindak melalui sel beta pankreas yang merangsang untuk melepaskan insulin dan juga meningkatkan sensitivitas perifer insulin. o Metformin menurunkan produksi glukosa hepatik, menurunkan penyerapan glukosa usus dan meningkatkan sensitivitas insulin dengan meningkatkan penyerapan glukosa dan pemanfaatan perifer.

III. Metformin 3.1.Indikasi Kegunaan metformin adalah untuk pengobatan kondisi-kondisi berikut : 2) Obat ini adalah obat lini pertama untuk pengobatan diabetes melitus tipe 2, terutama bagi pasien dengan kelebihan berat badan atau obesitas dan bila pengaturan gula darah dengan berolahraga dan pengaturan pola makan tidak memberikan hasil yang memuaskan. 3) Obat ini juga digunakan sebagai terapi prediabetek yaitu, pengobatan bagi orang-orang yang beresiko terkena diabetes tipe 2. Tetapi latihan fisik secara intensif dan pengaturan diet memberikan hasil yang lebih baik untuk tujuan ini. 4) Untuk diabetes gestasional (diabetes pada wanita hamil) : metformin sudah jarang digunakan untuk tujuan ini, karena alasan keamanan obat ini pada janin. 3.2.Dosis Dosis obat ini ditentukan secara individual untuk setiap pasien berdasarkan manfaat dan tolerabilitas masing-masing pasien. metformin umumnya diberikan dengan dosis sebagai berikut : 1. Dewasa dan anak > 10 tahun : dosis awal 500 mg setelah sarapan. Obat diberikan setidaknya untuk 1 minggu. 2. Pada minggu kedua : 500 mg setelah sarapan dan makan malam. Obat diberikan setidaknya untuk 1 minggu. 3. Selanjutnya 500 mg setelah sarapan, setelah makan siang dan setelah makan malam. Dosis maksimum : 2 g / hari dalam dosis terbagi. 4. Bila perlu dikombinasikan dengan anti diabetes oral golongan sulfonilurea seperti glibenclamide. Dalam kombinasi ini dosis diberikan mula-mula 1 tablet 500 mg atau ½ – 1 tablet 850 mg kemudian dinaikkan perlahan sampai diperoleh kontrol optimal. 5. Obat diberikan saat makan atau sesudah makan. 3.3.Administrasi ( cara pemakaian ) 1. Obat ini digunakan setelah makan atau dengan makanan. Obat harus ditelan utuh, tidak dihancurkan, dilarutkan dalam air, atau dikunyah. 2. Tidak boleh digunakan sebagai obat anti diabetes mellitus tipe 1 atau ketoasidosis diabetik.

3. Jika digunakan untuk terapi jangka panjang, fungsi ginjal dan hati sebaiknya diperiksa setidaknya setahun sekali. 4. Jika pasien adalah seorang ibu menyusui, sebaiknya tidak menggunakan obat ini mengingat efek hipoglikemik yang mungkin terjadi pada bayi. Sebaiknya pasien menggunakan insulin untuk mengontrol gula darah. 5. Kurangi atau hentikan konsumsi alkohol. Keamanan dan efektivitas pada anak usia di bawah 18 tahun belum bisa dipastikan 3.4.Kontra indikasi 1. Jangan diberikan untuk pasien yang memiliki riwayat hipersensitif pada metformin atau obat golongan biguanid lainnya. 2. Dikontraindikasikan untuk penderita gangguan ginjal, penyakit paruparu, penyakit hati dan kondisi-kondisi lain yang bisa menyebabkan peningkatan resiko asidosis laktat. 3. Untuk penderita gagal jantung misalnya angina tidak stabil atau gagal jantung kongestif, meskipun penyakit ini meningkatkan resiko terjadinya asidosis laktat, metformin tetap merupakan obat anti diabetes oral pilihan pertama dibandingkan obat-obat antidiabetes oral lain. 4. Jangan diberikan jika terjadi hipoksia jaringan misalnya kegagalan pernafasan, menderita infark miokardial, sepsis atau gangguan hati. 5. Jangan diberikan untuk wanita hamil atau ibu menyusui. 6. Saat menjalani pemeriksaan radiologi yang menggunakan media iodin, pemakaian harus dihentikan. Bisa dilanjutkan setelah fungsi ginjal normal. Jika anda harus menggunakan obat anestesi umum misalnya pembedahan, pemakaian harus dihentikan. Bisa dilanjutkan bila kondisi ginjal telah normal kembali. 3.5.Efek samping Berikut adalah beberapa efek samping metformin : 1. Efek samping metformin yang paling umum adalah iritasi pada saluran pencernaan misalnya diare, kram perut, mual, muntah, perut kembung dan lebih sering kentut. Efek samping obat ini pada saluran pencernaan lebih tinggi dibandingkan obat anti diabetes lainnya. 2. Efek samping yang lebih serius namun jarang terjadi adalah asidosis laktat. Kejadian lebih sering bila pasien juga menderita gangguan hati, ginjal paru, gangguan jantung kongestif atau mengkonsumsi alkohol secara berlebihan. Jika efek samping ini terjadi segera hentikan pemakaian obat dan hubungi pihak medis. Tanda-tanda asidosis laktat adalah : merasa sangat lemah, lelah, atau tidak nyaman, nyeri otot, kesulitan bernapas, gangguan perut, merasa kedinginan, pusing, detak jantung lambat atau tidak teratur.

3. Pada penggunaan jangka panjang, waspadai terjadinya malabsorpsi vitamin B12. 4. Efek samping lain eritema, pruritus, urtikaria dan bisa menyebabkan hepatitis jika diberikan pada dosis tinggi dan jangka waktu lama. 3.6.Interaksi antar obat Metformin berinteraksi dengan obat-obat berikut : 1. Cimetidine, antibiotik cefalexin mengurangi clearance metformin oleh ginjal sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasinya dalam plasma. 2. Obat kationik misalnya amilorid, digoxin, morfin, procainamide, quinidine, kina, ranitidine, triamterene, trimetoprim, atau vankomisin, secara teoritik juga bisa menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma metformin dengan mekanisme yang sama. IV. Pemeriksaan Fisik 4.1.Derajat Kesadaran a. Compos Mentis yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. b. Apatis yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. c. Somnolen (Obtundasi, Letargi) yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. d. Stupor yaitu gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap rangsangan nyeri, pendengaran dengan suara keras dan penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin terjadi tapi terbatas pada satu atau dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan kepala. e. Semi Koma yaitu tidak terdapat respon verbal, reaksi rangsangan kasar dan ada yang menghindar (contoh menghindari tusukan). f. Koma yaitu tidak bereaksi terhadap stimulus. 4.2.Tanda – Tanda Vital a. Tekanan darah Tekanan darah adalah kekuatan darah ketika mendorong dinding arteri. Tekanan darah tergantung pada luaran kardiak, volume darah yang diejeksi oleh ventrikel permenit, dan tahanan pembuluh darah perifer. Normal : 120/80 mmHg Pre-hipertensi : 120-139/80-89 mmHg Hipertensi  Derajat 1 : 140-159/90-99 mmHg  Derajat 2 : ≥160/≥100 mmHg b. Nadi

Ketika jantung berdenyut, jantung memompa darah melalui aorta dan pembuluh darah perifer. Pemompaan ini menyebabkan darah menekan dinding arteri, menciptakan gelombang tekanan seiring dengan denyut jantung yang pada perifer terasa sebagai denyut/detak nadi. Bayi baru lahir : 70-170 x/menit 1-6 tahun : 75-160 x/menit 6-12 tahun : 80-120 x/menit Dewasa : 60-100 x/menit Usia lanjut : 60-100 x/menit c. Suhu badan Rentang suhu tubuh normal untuk dewasa asalah 36,4-37,2°C (97,5 – 99,0 °F). Sejalan dengan pertambahan usia, suhu rata-rata tubuh menurun dari 37,2°C (99,0°F) pada anak-anak menjadi 37°C (98,6°C) pada dewasa dan menjadi 36°C pada orang lanjut usia. d. Frekuensi Napas Kecepatan Pernafasan (Respiratory Rate/ RR) Inspeksi dilakukan untuk mengevaluasi kecepatan pernafasan pasien. 2-6 tahun : 21-30 x/menit 6-10 tahun : 20-26 x/menit 12-14 tahun : 18-22 x/menit Dewasa : 12-20 x/menit Lanjut usia : 12-20 x/menit V. Pemeriksaan Penunjang 5.1.HB (Hemoglobin) Hemoglobin adalah molekul di dalam eritrosit (sel darah merah) dan bertugas untuk mengangkut oksigen. Kualitas darah dan warna merah pada darah ditentukan oleh kadar Hemoglobin. Nilai normal Hb : Wanita : 12-16 gr/dL Pria : 14-18 gr/dL Anak : 10-16 gr/dL Bayi baru lahir : 12-24gr/dL Penurunan Hb terjadi pada penderita: anemia penyakit ginjal, dan pemberian cairan intra-vena (misalnya infus) yang berlebihan. Selain itu dapat pula disebabkan oleh obat-obatan tertentu seperti antibiotika, aspirin, antineoplastik (obat kanker), indometasin (obat antiradang). Peningkatan Hb terjadi pada pasien dehidrasi, penyakit paru obstruktif menahun (COPD), gagal jantung kongestif, dan luka bakar. Obat yang dapat meningkatkan Hb yaitu metildopa (salah satu jenis obat darah tinggi) dan gentamicin (Obat untuk infeksi pada kulit). 5.2.Leukosit

Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Nilai normal : Bayi baru lahir : 9000 -30.000 /mm3 Bayi/anak : 9000 – 12.000/mm3 Dewasa : 4000-10.000/mm3 Peningkatan jumlah leukosit (disebut Leukositosis) menunjukkan adanya proses infeksi atau radang akut,misalnya pneumonia (radang paruparu), meningitis (radang selaput otak), apendiksitis (radang usus buntu), tuberculosis, tonsilitis, dan Iain-Iain. Selain itu juga dapat disebabkan oleh obat-obatan misalnya aspirin, prokainamid, alopurinol, antibiotika terutama ampicilin, eritromycin, kanamycin, streptomycin, dan Iain-Iain. Penurunan jumlah Leukosit (disebut Leukopeni) dapat terjadi pada infeksi tertentu terutama virus, malaria, alkoholik, dan Iain-Iain. Selain itu juga dapat disebabkan obat-obatan, terutama asetaminofen (parasetamol),kemoterapi kanker, antidiabetika oral, antibiotika (penicillin, cephalosporin, kloramfenikol), sulfonamide (obat anti infeksi terutama yang disebabkan oleh bakter). 5.3.Gula Darah  Hipoglikemi → < 70 mg/dL  Gula darah puasa → normal : 70 – 100 mg/dL  Gula darah sewaktu → normal : 70 – 139 mg/dL  Pre-diabet → 140 – 199 mg/dL  Diabet → > 200 mg/dL 5.4.Kreatinin Produk limbah kimia yang berada dalam darah, limbah ini kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang ke dalam urin. Kreatinin merupakan produk sampingan dari kontraksi otot normal, di mana kreatinin terbuat dari creatine yang merupakan pemasok energi untuk otot. Normal : 0,5 – 15 mg/dL 5.5.Ureum Ureum adalah hasil akhir metabolisme protein. Berasal dari asam amino yang telah dipindah amonianya di dalam hati dan mencapai ginjal, dan diekskresikan rata-rata 30 gram sehari. Normal : 10 – 50 mg/dL

DAFTAR PUSTAKA

Budidharmaja, Eko. 2013. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Hipoglikemia pada Diabetes Melitus di Poliklinik RSUP Dr. Kariadi. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. [Diakses pada tanggal 22 Januari 2018 pukul 18.07 WIB] Herawati, Fauna. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Korytkowski M, Thomas A, Reid L, Tedesco MB, Gooding WE, Gerich J. 2002. Glimepiride improves both first and second phases of insulin secretion in type 2 diabetes. Pittsburgh: Diabetes Care. Salim, William. 2007. Pendekatan Holistik Terhadap Penyakit
 Diabetes Melitus Tipe II dan Kardiovaskuler (Aterosklerosis). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma [Diakses pada tanggal 22 Januari pukul 20.59 WIB]

Analisis masalah Analisis Masalah 1. Ny. S., 62 tahun, ibu rumah tangga, dibawa ke IGD pada pukul 19.20 WIB dalam kondisi tidak sadar sejak 4 jam yang lalu. Keringat dingin ada, suara napas seperti sedang mendengkur, kejang tidak ada. a. Bagaimana mekanisme gejala pada kasus?

Gambar 2. Mekanisme gejala hipoglikemia. b. Apa penyebab Ny. S tidak sadarkan diri sejak 4 jam yang lalu? Penyakit diabetes mellitus yang diderita serta intake makanan yang sedikit menyebabkan gula darah menurun dan menimbulkan respon SSP dan otak. Korteks cerebri kurang mendapatkan suplai energi sehingga terjadi kekaburan penglihatan, sulit berkonsentrasi, gemetar, hingga tidak sadarkan diri. 2. Pada pagi harinya pasien mengonsumsi tablet glimepiride 2 mg, selanjutnya pasien makan pagi dan siang tapi hanya sedikit. Sebelum mengalami penurunan kesadaran, pasien mengeluh pusing, mual-mual dan tampak gelisah. a. Bagaimana farmakologi, dosis, cara pemakaian, indikasi dan efek samping serta kontra indikasi dari glimepiride?

a. Indikasi 1. Merupakan obat golongan sulfonylurea untuk pengobatan diabetes melitus tipe II, diresepkan sebagai tambahan pada diet dan olahraga. 
 2. Menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang tubuh memproduksi insulin lebih banyak. b. Dosis dan cara pemakaian Bentuk sediaan glimepiride adalah tablet.
 Dosis
 Kadar glukosa darah pasien dan HbA1c harus diukur secara berkala untuk menetapkan dosis minimum yang efektif bagi pasien tersebut dengan tujuan: 
 - Untuk mendeteksi kegagalan primer yaitu tidak adanya penurunan berarti dari gula darah pada pemberian dosis maksimum yang diperbolehkan. 
 - Untuk mendeteksi kegagalan sekunder yaitu hilangnya respon penurunan glukosa darah setelah adanya periode keefektifan inisial. 
 Dosis awal
 1-2 mg satu kali sehari, diberikan bersamaan makan pagi atau makanan utama yang pertama. Untuk pasien yang lebih sensitif terhadap obat-obat hipoglikemik, dosis awal yang diberikan sebaiknya dimulai dari 1 mg satu kali sehari, kemudian boleh dinaikkan (dititrasi) dengan hati- hati.
 Dosis pemeliharaan
 1-4 mg satu kali sehari. Dosis maksimum yang dianjurkan 8 mg satu kali sehari. Pada saat pemberian telah mencapai dosis 2 mg maka kenaikan dosis tidak boleh melebihi 2 mg dengan interval 1-2 minggu tergantung dari respon gula darah pasien. Efikasi jangka panjang harus dimonitor dengan mengukur kadar HbA1c setiap 3-6 bulan. 
 c. Kontraindikasi . Pasien yang hipersensitif terhadap obat ini, obat-obat golongan sulfonamida lain, atau bahan-bahan tambahan lain (yang menimbulkan resiko hipersensitif). . 
Pasien dengan ketoasidosis diabetes, dengan atau tanpa koma. Keadaan seperti ini harus diatasi dengan terapi insulin. 


d. Efek samping  Gangguan pada saluran cerna seperti muntah, nyeri lambung dan diare. 
  Reaksi alergi seperti pruritus, erythema, urtikaria, erupsi morbiliform atau maculopapular, reaksi ini bersifat sementara dan akan hilang meskipun penggunaan glimepiride harus 
dihentikan. 
  Gangguan metabolisme berupa hiponatremia. 
  Perubahan pada akomodasi dan/atau kaburnya penglihatan. 
  Reaksi hematologik seperti leukopenia, agranulositosis, trombositopenia, anemia 
hemolitik, anemia aplastik, dan pansitopenia. 
 e. Interaksi antar obat  Risiko hipoglikemia akan meningkat pada pemberian glimipiride bersama-sama dengan obat-obat tertentu, yaitu NSAID dan obat lain dengan ikatan protein tinggi, seperti salisilat, sulfonamida, kloramfenikol, kumarin, probenesid, MAO inhibitors, β-adrenergic blocking agents. 
  Daya kerja glimepiride dalam menurunkan kadar glukosa darah akan menurun jika diberikan bersamaan dengan obat-obat yang cenderung menimbulkan hiperglikemia, seperti tiazid dan diuretik lain, kortikosteroid, fenotiazin, produk-produk kelenjar tiroid, estrogen, kontrasepsi oral, fenitoin, asam nikotinat, simpatomimetik dan isoniazid. 
  Pemberian propanolol (40 mg tid) dan glimepiride meningkatkan Cmax, AUC, dan T1⁄2 dari glimepiride sebesar 23%, 22% dan 15% serta menurunkan CL/f sebesar 18%, pasien perlu diperingatkan akan potensi hipoglikemia yang akan terjadi. 
  Pemberian glimepiride bersamaan dengan warfarin akan menurunkan respon farmakodinamik dari warfarin. 
  Interaksi antara mikonazol oral dan obat hipoglikemia oral dilaporkan dapat menyebabkan hipoglikemia. 
  Glimepiride berpotensi terjadi interaksi dengan fenitoin, diklofenak, ibuprofen, naproksen dan asam mefenamat, karena seluruhnya dimetabolisme oleh sitokrom P450 II C9. 


b. Bagaimana mekanisme gejala sebelum mengalami penurunan kesadaran?

Gambar 3. Mekanisme gejala hipoglikemia. c. Apa hubungan porsi makanan sedikit serta konsumsi glimepiride dengan penurunan kesadaran? Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita Diabetes dan Non diabetes dengan etiologi sebagai berikut : Pada Diabetes 1. Overdose Insulin 2. Asupan Makanan berkurang 3. Aktivitas Berlebihan 4. Gagal Ginjal 5. Hipotiroid 3. Pasien memiliki riwayat DM sejak 12 tahun yang lalu. Selama ini makan obat glimepiride 2 mg dan metformin 3x500 mg secara teratur. a. Bagaimana farmakologi, dosis,cara pemakaian,indikasi dan efek samping serta kontra indikasi dari metformin? a. Indikasi Kegunaan metformin adalah untuk pengobatan kondisi-kondisi berikut : 1) Obat ini adalah obat lini pertama untuk pengobatan diabetes melitus tipe 2, terutama bagi pasien dengan kelebihan berat badan

atau obesitas dan bila pengaturan gula darah dengan berolahraga dan pengaturan pola makan tidak memberikan hasil yang memuaskan. 2) Obat ini juga digunakan sebagai terapi prediabetek yaitu, pengobatan bagi orang-orang yang beresiko terkena diabetes tipe 2. Tetapi latihan fisik secara intensif dan pengaturan diet memberikan hasil yang lebih baik untuk tujuan ini. 3) Untuk diabetes gestasional (diabetes pada wanita hamil) : metformin sudah jarang digunakan untuk tujuan ini, karena alasan keamanan obat ini pada janin. b. Dosis Dosis obat ini ditentukan secara individual untuk setiap pasien berdasarkan manfaat dan tolerabilitas masing-masing pasien. metformin umumnya diberikan dengan dosis sebagai berikut : 1. Dewasa dan anak > 10 tahun : dosis awal 500 mg setelah sarapan. Obat diberikan setidaknya untuk 1 minggu. 2. Pada minggu kedua : 500 mg setelah sarapan dan makan malam. Obat diberikan setidaknya untuk 1 minggu. 3. Selanjutnya 500 mg setelah sarapan, setelah makan siang dan setelah makan malam. Dosis maksimum : 2 g / hari dalam dosis terbagi. 4. Bila perlu dikombinasikan dengan anti diabetes oral golongan sulfonilurea seperti glibenclamide. Dalam kombinasi ini dosis diberikan mula-mula 1 tablet 500 mg atau ½ – 1 tablet 850 mg kemudian dinaikkan perlahan sampai diperoleh kontrol optimal. 5. Obat diberikan saat makan atau sesudah makan. c. Administrasi ( cara pemakaian ) 1. Obat ini digunakan setelah makan atau dengan makanan. Obat harus ditelan utuh, tidak dihancurkan, dilarutkan dalam air, atau dikunyah. 2. Tidak boleh digunakan sebagai obat anti diabetes mellitus tipe 1 atau ketoasidosis diabetik. 3. Jika digunakan untuk terapi jangka panjang, fungsi ginjal dan hati sebaiknya diperiksa setidaknya setahun sekali. 4. Jika pasien adalah seorang ibu menyusui, sebaiknya tidak menggunakan obat ini mengingat efek hipoglikemik yang mungkin terjadi pada bayi. Sebaiknya pasien menggunakan insulin untuk mengontrol gula darah. 5. Kurangi atau hentikan konsumsi alkohol. Keamanan dan efektivitas pada anak usia di bawah 18 tahun belum bisa dipastikan

d. Kontra indikasi 1. Jangan diberikan untuk pasien yang memiliki riwayat hipersensitif pada metformin atau obat golongan biguanid lainnya. 2. Dikontraindikasikan untuk penderita gangguan ginjal, penyakit paru-paru, penyakit hati dan kondisi-kondisi lain yang bisa menyebabkan peningkatan resiko asidosis laktat. 3. Untuk penderita gagal jantung misalnya angina tidak stabil atau gagal jantung kongestif, meskipun penyakit ini meningkatkan resiko terjadinya asidosis laktat, metformin tetap merupakan obat anti diabetes oral pilihan pertama dibandingkan obat-obat antidiabetes oral lain. 4. Jangan diberikan jika terjadi hipoksia jaringan misalnya kegagalan pernafasan, menderita infark miokardial, sepsis atau gangguan hati. 5. Jangan diberikan untuk wanita hamil atau ibu menyusui. 6. Saat menjalani pemeriksaan radiologi yang menggunakan media iodin, pemakaian harus dihentikan. Bisa dilanjutkan setelah fungsi ginjal normal. Jika anda harus menggunakan obat anestesi umum misalnya pembedahan, pemakaian harus dihentikan. Bisa dilanjutkan bila kondisi ginjal telah normal kembali. e. Efek samping Berikut adalah beberapa efek samping metformin : 1. Efek samping metformin yang paling umum adalah iritasi pada saluran pencernaan misalnya diare, kram perut, mual, muntah, perut kembung dan lebih sering kentut. Efek samping obat ini pada saluran pencernaan lebih tinggi dibandingkan obat anti diabetes lainnya. 2. Efek samping yang lebih serius namun jarang terjadi adalah asidosis laktat. Kejadian lebih sering bila pasien juga menderita gangguan hati, ginjal paru, gangguan jantung kongestif atau mengkonsumsi alkohol secara berlebihan. Jika efek samping ini terjadi segera hentikan pemakaian obat dan hubungi pihak medis. Tanda-tanda asidosis laktat adalah : merasa sangat lemah, lelah, atau tidak nyaman, nyeri otot, kesulitan bernapas, gangguan perut, merasa kedinginan, pusing, detak jantung lambat atau tidak teratur. 3. Pada penggunaan jangka panjang, waspadai terjadinya malabsorpsi vitamin B12. 4. Efek samping lain eritema, pruritus, urtikaria dan bisa menyebabkan hepatitis jika diberikan pada dosis tinggi dan jangka waktu lama. f. Interaksi antar obat

Metformin berinteraksi dengan obat-obat berikut : 1. Cimetidine, antibiotik cefalexin mengurangi clearance metformin oleh ginjal sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasinya dalam plasma. 2. Obat kationik misalnya amilorid, digoxin, morfin, procainamide, quinidine, kina, ranitidine, triamterene, trimetoprim, atau vankomisin, secara teoritik juga bisa menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma metformin dengan mekanisme yang sama.

b. Bagaimana hubungan riwayat DM dengan gejala? Riwayat diabetes mellitus yang diderita mengharuskan Ny. S mengkonsumsi kombinasi obat glimepiride dan metformin yang dapat menyebabkan hipoglikemia; gangguan penglihatan sementara, gejala GI (diare, mual, muntah, nyeri perut, flatulen dan anoreksia, perasan penuh di perut, sakit perut), rasa logam pada pengecapan, asidosis laktat (jarang, bila terjadi hentikan terapi), penurunan penyerapan vitamin B12, eritema, pruritus, urtikaria, hepatitis; kerusakan fungsi hati kemungkinan terjadi, trombositopenia, anemia, alergi vaskulitis, kulit yang hipersensitif terhadap cahaya, penurunan kadar natrium dalam serum.

c. Bagaiman interaksi antara obat glimepiride dan metformin? Metformin menstimulasi uptake glukosa, menekan produksi glukosa hepatik berlebih, dan mengurangi absorpsi glukosa di usus. Golongan biguanid ini juga memperbaiki resistensi insulin, memiliki kecepatan respons awal yang tinggi, aman, tidak menyebabkan kenaikan berat badan, dan menguntungkan terhadap profil lipid. Sulfonilurea dan biguanid memiliki mekanisme kerja yang saling melengkapi, dengan efek antihiperglikemik yang sinergis dan tidak meningkatkan reaksi simpang dari masing-masing golongan. Sulfonilurea (glimepirid) menstimulasi sel Beta untuk melepaskan insulin, sedangkan metformin mengurangi produksi glukosa hepatik, menurunkan absorpsi glukosa di usus, serta memperbaiki sensitivitas insulin melalui perbaikan uptake dan penggunaan glukosa perifer.

Gambar 5. Mekanisme kerja glimepiride dan metformin Glimepirid merupakan SU generasi ketiga dengan durasi kerja lebih panjang dan onset yang lebih cepat. Berbeda dengan SU lainnya, glimepirid mampu mengurangi komplikasi kardiovaskular (ischemic preconditioning) dan menyesuaikan kadar insulin yang disekresikan dengan kadar gula darah, terutama dalam keadaan post prandial, sehingga insiden hipoglikemia glimepirid lebih rendah daripada glibenklamid. Dengan profil yang dimiliki keduanya, kombinasi metformin/glimepirid lebih efektif dan aman bagi penyandang DM tipe 2 yang telah gagal dengan monoterapi AHO. d. Apa efek konsumsi jangka panjang (12 tahun) kedua obat tersebut?

4. Pemeriksaan fisik : Tekanan darah : 180/90 mmHg; Frekuensi Nadi 112/menit; Frekuensi napas 24/menit; Suhu : 36,2 C. Pemeriksaan lain dalam batas normal. a. Bagaimana interpretasi dari pemfis diatas? Pemeriksaan Fisik Nilai Normal Interpretasi Tekanan darah 180/90 mmHg

: Normal : 120 / 80 mmHg Pre-hipertensi : 120139/80-89 mmHg Hipertensi  Derajat 1: 140159/90-99 mmHg  Derajat 2:

≥160/≥100 mmHg Frekuensi 112/menit

Frekuensi 24/menit

Suhu : 36,2 C

Nadi Bayi baru lahir : 70170 x/menit 1-6 tahun: 75-160 x/menit 6-12 tahun: 80-120 x/menit Dewasa: 60-100 x/menit Usia lanjut: 60-100 x/menit napas 2-6 tahun: x/menit 6-10 tahun: x/menit 12-14 tahun: x/menit Dewasa: x/menit Lanjut usia: x/menit

21-30

Takikardia

Takipnea

20-26 18-22 12-20 12-20

36,4-37,2°C atau 97,5 – 99,0 °F

Suhu di bawah batas normal

b. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan fisik diatas?

Gambar 4. Mekanisme gejala hipoglikemia. Intake makanan yang tidak cukup sehingga gula darah menurun dan memengaruhi respon saraf pusat dan memicu adanya respon otak. Korteks cerebri kekurangan suplai energi dan menyebabkan penglihatan kabur. Respon SSP tadi juga memicu adanya respon vegetative dan terjadi pelepasan norepinefrin serta adrenalin sehingga terjadi takikardia, pucat, dan gemetar. 5. Pemeriksaan Penunjang : GDS low, Hb 8,8 mg/Dl , leukosit darah 19.000/ mm3, Ureum 88 mg/dL , Kreatinin 4,2 mg/Dl. Urine : Leukosit penuh Ro toraks : Kardiomegali a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan penunjang diatas? Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi Penunjang Gula Darah Sewaktu Di bawah nilai normal low

Hb 8,8 mg/dL

Pria : 13-18 g/dL

Di bawah nilai normal

Wanita: 12-16 g/dL 


Leukosit 19.000/ mm3

darah Nilai normal : 3200 – 10.000/mm3

Leukositosis

Ureum 88 mg/dL

Normal dalam darah: 20-40 mg/dL.

Di atas nilai normal (uremia)

Kreatinin 4,2 mg/dL.

Nilai normal : 0,6 – 1,3 mg/d

Di atas nilai normal (kreatinemia)

Urine : Leukosit penuh

Nilai normal:

Menunjukkan adanya infeksi pada ginjal. Cell cast : Negatif Data ini konsisten White cell cast : 0- dengan peningkatan 5/hpf leukosit, nadi dan RR. Infeksi pada saluran RBC : 0-3/hpf kemih pada pasien tersebut disebabkan Epitel : 0-2/hpf oleh kondisi yang Bakteri : < 2/hpf atau memungkinkan 1000/mL bakteri berkembangbiak Kristal : Negatif

Implikasi Klinik: Cell cast : Menunjukkan acute tubular necrosis.
White cell cast biasanya terjadi pada acute pyelonephritis atau interstitial nephritis Red cell cast timbul pada glomerulonefritis

akut RBC : Peningkatan nilai menunjukkan glomerulonefritis, vaskulitis, obstruksi ginjal atau penyakit mikroemboli, atau proteinuria WBC : peningkatan nilai menunjukkan penyakit ginjal dengan inflamasi Bakteri : jumlah bakteri > 105/mL menunjukkan adanya infeksi saluran kemih. Kristal : meliputi kristal kalsium oksalat, asam urat, amorf, triple fosfat. Adanya kristal menunjukkan peningkatan asam urat dan asam amino

Ro toraks : Kardiomegali

b. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan penunjang diatas?

c. Apa DD berdasarkan alloanamnesis, pemfis dan pemeriksaan penunjang?

d. Apa diagnosis kerja dari kasus? Ny. S. mengalami hipoglikemia ringan dengan gejala penurunan kesadaran, pasien mengeluh pusing, mual-mual dan tampak gelisah. e. Apa SKDI dari kasus? Hipoglikemia Ringan (4A) Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. (4A) Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. (level kompetensi tertinggi. f. Bagaimana patofisiologi hipoglikemi? Pada waktu makan (absorptive) cukup tersedia sumber energi yang diserap dari usus. Kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai makro molekul, karena itu fase ini dinamakan sebagai fase anabolic. Hormon yang berperan adalah insulin. 60 % dari glukosa yang diserap usus dengan pengaruh insulin akan disimpan di hati sebagai glikogen, sebagian lagi akan disimpan di jaringan lemak dan otot juga sebagai glikogen. Sebagian lain dari glukosa akan mengalami metabolisme anaerob maupun aerob untuk memperoleh energi yang digunakan seluruh jaringan tubuh terutama otak. Sekitar 70 % dari seluruh penggunaan glukosa berlangsung di otak. Berbeda dengan jaringan lain otak tidak dapat menggunakan asam lemak bebas sebagai sumber energi. Pada waktu sesudah makan atau sesudah puasa 5 – 6 jam kadar glukosa darah mulai turun, keadaan ini menyebabkan retensi insulin juga menurun, sedangkan hormon kontralateral yaitu glikogen, epinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan meningkat. Terjadilah keadaan sebaliknya (katabolik) yaitu sintesis glikogen, protein dan trigliserida akan menurun sedangkan pemecahan zat-zat tersebut akan meningkat. Pada keadaan penurunan glukosa darah mendadak glukagon dan epinefrin yang berperan. Kedua hormon tersebut akan memacu glikogenolisis dan glukenogenesis dan proteolisis di otot dan liposis di jaringan lemak. Dengan demikian tersedia bahan untuk glukoneogenesis yaitu asam amino terutama alanin, asam laktat, piruvat dan gliserol. Hormon kontraregulator yang lain berpengaruh

sinergistik terhadap glukagon dan adrenalin tetapi perannya lambat. Selama homeostasis glukosa tersebut di atas berjalan hipoglikemia tidak akan terjadi. Hipoglikemia terjadi karena ketidakmampuan hati memproduksi glukosa. Ketidakmampuan hati tersebut dapat disebabkan karena penurunan bahan pembentuk glukosa, penyakit hati atau ketidakseimbangan hormonal. Kenaikan penggunaan glukosa di perifer tidak menimbulkan hipoglikemia selama hati masih mampu mengimbangi dengan menambah produksi glukosa.

More Documents from "Aulia Qudusi Ramadhani"

Vezi (e).docx
May 2020 4
Ll.docx
May 2020 8
Resensi Buku.docx
June 2020 9
Downloadfile-1.docx
April 2020 6
Downloadfile-1.docx
April 2020 11