KEANEKARAGAMAN JENIS PAKU TERESTRIAL DI JALUR PENDAKIAN SAPU ANGIN, TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI A. Latar Belakang Diantara kelompok tumbuh-tumbuhan di hutan yang mempunyai keanekaragaman yang cukup tinggi adalah tumbuhan paku-pakuan (Pteridophyta). Indonesia memiliki lebih dari 4.000 spesies paku-pakuan (LBN-LIPI 1980). Tumbuhan paku-pakuan memiliki peran yang sangat penting bagi ekosistem hutan dan kehidupan manusia. Dalam ekosistem hutan, tumbuhan paku berperan dalam pembentukan humus dan melindungi tanah dari erosi, sedangkan dalam kehidupan manusia, tumbuhan paku-pakuan berpotensi sebagai bahan untuk sayur-sayuran (Contoh: Marsilea crenata), kerajinan tangan (Contoh: Lycopodium cernum), tanaman hias (Contoh: Asplenium nidus) maupun sebagai bahan obat-obatan tradisional (Contoh: Selaginella) (Rismunandar dan Ekowati 1991). Struktur tumbuhan paku dapat dibedakan dalam tiga bagian, yaitu akar, batang, dan daun. Tumbuhan paku umumnya mempunyai akar adventif. Pada paku pohon seperti Cyathea, akar ditemukan dekat dengan dasar batang, berfungsi untuk kestabilan. Kelompok lain dari tumbuhan paku mempunyai akar berupa benang yang tumbuh dari batang, misalnya Selaginella sp (Tjitrosoepomo 1991). Batang tumbuhan paku membentuk cabang lateral atau bercabang menggarpu (dikotom). Pada batang tumbuhan paku terdapat banyak daun yang dapat tumbuh secara terus-menerus (Tjitrosoepomo 1991). Tumbuhan paku memiliki daun tunggal atau daun majemuk. Pada permukaan bawah daun terdapat spora yang terbentuk dalam sporangium dan kumpulan dari sporangium membentuk sorus yang tumbuh teratur dalam barisan, menggerombol, atau menyebar (Sastrapradja dan Afriastini 1985). Persebaran paku sangat luas dan dapat ditemukan di berbagai tempat. Berdasarkan habitatnya, tumbuhan paku dibedakan dalam beberapa tipe yaitu paku terestrial, epifit dan akuatik. Berdasarkan hasil survei lapangan, ditemukan beragam paku epifit, sedangkan paku yang lain jarang bahkan tidak ditemukan. Paku terestrial adalah tumbuhan paku yang tumbuh dan hidup di atas tanah, paku epifit adalah tumbuhan paku yang memanfaatkan pohon inang sebagai tempat hidupnya (Sujalu 2007), dan paku akuatik adalah tumbuhan paku yang dapat hidup di dalam air. Umumnya di daerah
pegunungan, jumlah jenis paku lebih banyak dari pada di dataran rendah karena kelembaban yang lebih tinggi dan banyak aliran air. Tumbuhan paku dapat tumbuh pada semua zona iklim mulai dari daerah tropik hingga sub-tropik (Raven et al. 1992). Kekayaan tumbuhan paku di suatu daerah dipengaruhi oleh curah hujan dan intensitas cahaya matahari. Kedua faktor tersebut menjadikan hutan hujan tropis memiliki kekayaan spesies tumbuhan paku yang paling tinggi (Wee 2005). Lingkungan hidup tumbuhan paku mencakup tanah, sinar matahari, hujan, angin, dan perubahan suhu. Kondisi lingkungan hutan tertutup ditandai dengan sedikitnya jumlah sinar matahari yang menembus kanopi hingga mencapai permukaan tanah yang mengakibatkan kelembaban udara yang tinggi. Penelitian mengenai keanekaragaman tumbuhan paku sudah dilakukan di berbagai tempat. Namun, di daerah Sapu Angin, Taman Nasional Gunung Merapi belum pernah dilakukan identifikasi mengenai keanekaragaman tumbuhan paku di jalur ini. B. Kajian Teori Tumbuhan paku (Pteridophyta) tersebar di seluruh bagian dunia. Diperkirakan di seluruh dunia terdapat 2 juta-an spesies tumbuhan yang telah dikenali dan 60 % dari jumlah tersebutterdapat di Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari 4.000 spesies pakupakuan (LBN-LIPI: 1980). Tumbuhan paku dalam dunia tumbuh-tumbuhan termasuk golongan besar atau Divisi Pterodophyta. Tumbuhan paku merupakan tumbuhan peralihan antara tumbuhan bertalus dengan tumbuhan berkormus,sebab paku mempunyai campuran sifat dan bentuk antara lumut dan tumbuhan tingkat tinggi (Raven et al, 1992). Menurut Stern (1992) dan Tjitrosoepomo (1994) tumbuhan pakudiklasifikasikan berdasarkan perbedaan morfologi tubuh. Berdasarkan hal tersebut, tumbuhan paku dibagi menjadi empat divisi, yaituPsilophyta (paku purba/ paku telanjang), Lycophyta (Paku kawat/ paku rambat), Equisetophyta / Sphenophyta, dan Pterophyta / Felicinae(paku sejati). Tumbuhan paku memiliki daya adaptasi yang cukup tinggi, sehingga tidak sulit menjumpai tumbuhan paku karena dapathidup dimana-mana, diantaranya di daerha lembab di bawah pohon, di pinggiran sungai di lereng-lereng terjal, di pegunungan (Lugrayasa, 2014). Penyebaran tumbuhan paku sangat luas, mulai dari ketinggian 0-3200 mdpl. Menurut hasil penelitian Lubis (2009) dan Daryanti (2009), tumbuhan paku dapat
hidup dalam kisaran suhu 15,6 C– 22,08 C dan kelembaban berkisar antara 72,75% 95,08%. Tumbuhan paku terdapat di dalam semua zona iklim mulai dari daerah tropik hingga sub-tropik. Tumbuhan paku membutuhkan tempat yang lembab. Hanya sedikit spesies yang toleran terhadap iklim kering, namun bukan di daerah yang sama sekali tidak ada air (Raven et. al., 1992). Mengingat jumlah jenisnya banyak, paku dapat dijumpai dari tepi pantai sampai ke pegunungan tinggi. umumnya di daerah pegunungan, jumlah jenis paku lebih banyak di daratan rendah. Hal ini disebabkan kelembaban yang lebih tinggi, banyak aliran air dan adanya kabut. Banyaknya curah hujan pun mempengaruhi jumlah tumbuhan paku yang dapat tumbuh (Sari, 2005).Menurut hasil penelitian (Edwina, 2012), keanekaragaman jenis paku-pakuandipengaruhi oleh faktor lingkungan, semakin tinggi tempat kelembaban tinggi atau suhurendah dapat menyebabkan tumbuhan tidak dapat hidup, sehingga keanekaragaman jenis rendah. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman jenis tumbuhan paku terestrial di jalur pendakian Sapu Angin, TNGM
METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 3 hari, 19-21 November 2017. Eksplorasi dilakukan di jalur Sapu Angin, TNGM, Klaten. Pembuatan herbarium dan pengamatan morfologi tumbuhan dilakukan di laboratorium Biologi FMIPA UNY. B. Alat dan Bahan Lux meter, termometer, higrometer, oven, kertas karton putih, koran lembap, alkohol 70%. C. Prosedur Penelitian Pengukuran Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan yang diamati saat pengambilan sampel adalah cahaya, suhu udara, dan kelembaban udara dilakukan dengan selang jarak 100 meter dari pintu masuk Sapu Angin sampai pos 1 jalur pendakian. Iklim mikro diukur pada jam 07.00-10.00 WIB, pengukuran dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel paku terestrial dilakukan dengan menggunakan metode jelajah (Cruise method), yaitu dengan menjelajahi setiap sudut lokasi yang dapat mewakili tipe-tipe ekosistem ataupun vegetasi di jalur yang diteliti (Hartini 2011). Jalur yang dilalui untuk pengambilan sampel dimulai dari pintu masuk Sapu Agin sampai pos 1 jalur pendakian Sapu Angin yaitu sejauh 2.000 meter Setiap menemukan satu spesies tanaman paku diambil tiga duplikat. Bagian tumbuhan yang diambil adalah bagian tumbuhan yang telah memiliki spora agar mempermudah proses identifikasi. Paku terestrial yang ditemukan dibuat herbarium untuk keperluan identifikasi. Sampel paku terestrial yang dikoleksi dibersihkan dan disemprot dengan alkohol 70%. Selanjutnya sampel disusun dalam sasag dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50°C-60°C selama dua hingga tiga hari. Sampel yang sudah kering ditempel pada kertas karton putih dan diberi label. Pengamatan Struktur Reproduksi Pengamatan struktur reproduksi paku terestrial dilakukan terhadap daun fertil. Dari lapangan daun fertil disimpan dalam plastik sampel yang berisi koran lembap agar sporangium tidak pecah. Satu sporangium diambil di bawah mikroskop stereo menggunakan jarum, kemudian sporangium diletakkan di atas kaca objek yang telah ditetesi gliserin sebanyak 2 tetes. Kaca
objek ditutup menggunakan kaca penutup, kemudian kaca penutup diketuk-ketuk agar sporangium pecah. Selanjutnya spora diamati menggunakan mikroskop majemuk, kemudian kaca penutup direkatkan menggunakan kutek. Spora yang ditemukan difoto menggunakan Optilab dan ukuran spora diukur menggunakan software ImageRaster. Pembuatan Kunci Identifikasi Identifikasi paku dilakukan menggunakan buku identifikasi tumbuhan paku, seperti Fern of Malaysia in Color (Piggott 1998), Jenis Paku Indonesia (Sastrapraja 1979), dan Ferns of Queensland (Andrews 1990). Hasil identifikasi diverifikasi dengan mencocokkan dengan koleksi herbarium tumbuhan paku di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Data mengenai keragaman tumbuhan paku disusun menjadi deskripsi singkat untuk setiap spesiesnya, dan dibuat kunci identifikasi bentuk dikotom. Kunci identifikasi dibuat dengan cara menyusun ciri-ciri dalam matrik, kemudian dibuat kunci identifikasi bentuk sejajar. Pembuatan Deskripsi Deskripsi dibuat dengan cara mengamati dan mencatat ciri vegetatif dan generatif. Ciri struktur vegetatif yang diamati meliputi habitus, arah pertumbuhan, ukuran daun (mikrofil dan megafil), tipe daun, permukaan stipe dan rachis. Ciri struktur generatif diamati menggunakan mikroskop cahaya, dan ciri yang diamati adalah lokasi sori, tipe indusium, bentuk spora, dan keberadaan perispor. Penulisan deskripsi disusun secara berurutan mulai dari frond, stipe, bangun lamina, sorus, dan spora mengikuti Tjitrosoepomo (1998). Tabel 1 Rata-rata iklim mikro di jalur pendakian Sapu Angin, NO Lokasi Suhu Intensitas Kelemba Udara cahaya ban (°C) (lux) (%Rh)
Ciri habitat
Tabel 2 Ciri Vegetatif paku terestrial di jalur pendakian Sapu Angin, Nomor Koleksi Ukuran daun Habitus Tipe pertumbuhan
Jumlah spesies
Fond
Tabel 3 Ciri Generatif paku 6errestrial di jalur pendakian Sapu Angin, Nomor Koleksi lokasi sori tipe indusium bentuk spora
Tabel 4 Data paku terestrial di jalur pendakian Sapu Angin, Famili Genus Nomor Koleksi
Spesies
keberadaan perispor
Daftar Pustaka
LBN-LIPI. 1980. Jenis Paku Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Raven, P.H., R.F. Evert dan S.E. Eichhorn. 1992. Biology of Plant. New York: Word Publisher. Stren, K.R. 1992. Introductory Plant Biology. Lowa: Wm. C Brown Publisher Bubuque. Tjitrosoepomo, Gembong. 1994. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta:UGM Press.