LITERATURE REVIEW
Mengidentifikasi Penyebab Terjadinya Penyakit Rabies dan Cara Pengendalianya
Dosen Pengampu: Balgis, dr, M. Sc, CM, FM.
Disusun Oleh: Nurul Isti’anah (R0218086) Rena Ayu Wulandari (R0218096)
PROGRAM STUDI D4 KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2019
LITERATUR REVIEW PENYAKIT DARI HEWAN Nurul Isti’anah 1, Rena Ayu Wulandari .2 D-IV Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
ABSTRAK Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang sistem saraf pusat manusia dan mamalia dengan mortalitas 100%.Penyebabnya adalah virus rabies yang termasuk genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae. Rabies adalah penyakit zoonosis, penularan melalui jilatan atau gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, sigung, serigala, raccoon dan kelelawar. Walaupun telah tersedia vaksin rabies yang efektif dan aman bagi manusia dan hewan untuk pencegahan, sampai saat ini rabies masih menjadi masalah kesehatan diberbagai negara termasuk Indonesia. Tujuan penulisan makalah ini untuk menjelaskan sifat-sifat virus rabies, patogenesis, gejala klinik, diagnosis, dan penatalaksanaannya. Metode yang digunakan adalah kajian kepustakaan dan data-data penelitian lainnya. Dapat disimpulkan bahwa rabies adalah penyakit zoonosis yang menyerang sistem saraf pusat binatang menyusui dengan mortalitas 100%. Mortalitas rabies dapat dikurangi bila penyakit ini cepat diketahui dan disertai penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Kata kunci : Penyakit dari hewan, Infeksi dan Pencegahan, Penyakit Rabies, Perhatian Masyarakat, Resiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
PENDAHULUAN Rabies adalah penyakit zoonosis dan telah dikenal sejak dulu dapat menular ke manusia melalui gigitan hewan terutama anjing gila. Pada manusia penyakit rabies sangat mematikan. Pada tahun 1998, menurut WHO 55.000 orang meninggal karena rabies dan pada tahun 2011, 11.000 orang meninggal di dunia karena rabies. Korban terbanyak dialami warga Asia (Knoble et al., 2005). Penyakit rabies menimbulkan dampak psikologis seperti kepanikan, kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan pada orang yang terpapar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah tertular terjad karena biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya post-exposure treatment. Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan eliminasi anjing liar/diliarkan, disamping
program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR). Vaksinasi massal merupakan cara yang efektif untuk pencegahan dan pengendalian rabies. Rabies dapat diberantas dengan cakupan vaksinasi yang memadai pada anjing berpemilik dan pengendalian populasi anjing jalanan (stray dog). Jepang berhasil bebas dari rabies sejak tahun 1957 dengan melakukan kontrol legislasi yang kuat, termasuk sistem karantina dan vaksinasi pada anjing setiap tahun (Inoue, 2003). Sesuai dengan pedoman pengendalian rabies terpadu, metoda pemberantasan rabies dilakukan dengan berbagai cara, yakni : a) vaksinasi dan eliminasi dilakukan pada anjing, kucing, dan kera dengan fokus utama pada anjing, b) vaksinasi dilakukan terhadap anjing dan kera berpemilik, dan c) eliminasi dilakukan terhadap anjing tidak berpemilik dan anjing berpemilik yang tidak
divaksinasi/diliarkan (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006). Pencegahan penyakit rabies terhadap manusia memang penting untuk dilakukan agar derajat kesehatan masyarakat semakin meningkat. Namun pada daerah pemukiman penduduk yang memiliki kepadatan anjing tinggi, pencegahan penyakit rabies terhadap manusia akan tercapai apabila dimulai dengan pencegahan penyakit rabies pada anjing yang dipelihara oleh manusia itu sendiri. Dengan demikian dalam lingkup kesehatan masyarakat, komunitas yang mendapat perhatian dalam studi ini adalah masyarakat yang memelihara anjing, sedangkan berdasarkan skema derajat kesehatan masyarakat H.L. Blum, faktor yang mendapat perhatian dalam studi ini adalah faktor perilaku yang mencakup pengetahuan, sikap, dan praktik dalam pemeliharaan anjing. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dan faktor risiko pengetahuan, sikap, dan praktik pemeliharaan anjing dengan kejadian rabies pada anjing. METODE Jenis metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah literature review baik internasional maupun nasional yang dilakukan dengan menggunakan database Google, Google Schoolar, dan Google Cendekia. Pada tahap awal pencarian artikel jurnal diperoleh 29.960 artikel dari 1991 sampai 2019 menggunakan kata kunci “Penyakit dari hewan”, “Infeksi dan Pencegahan”, serta “Penyakit Rabies” yang diidentifikasi dan belum dieksplorasi secara relevansi. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 7983 artikel yang dianggap relevan. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data, anjing yang tertular rabies terdiri dari anjing dewasa maupun anjing anakan. Dengan siklus penularan rabies,
diperkirakan bahwa secara rataan satu ekor anjing yang tertular rabies menggigit 3,6 anjing peka lainnya (Putra et al., 2009). Di Negara-negara Asia dan Afrika hewan anjing merupakan reservoir rabies (Perry, 1993). Keadaan tersebut membuat rabies menjadi penyakit yang selalu saja muncul di daerah tertular (Bingham, 2005). Penularan rabies terjadi sangat cepat, seperti tanpa hambatan, karena anjing-anjing relatif tidak memiliki kekebalan terhadap rabies, karena sebelum wabah, Bali merupakan daerah bebas rabies. Di daerah endemik rabies pun seperti di Kota Makassar, kekebalan kelompok anjing terhadap rabies juga sangat rendah. Rendahnya tingkat kekebalan tersebut membuat rabies seperti menunggu waktu untuk mewabah (Utami dan Sumiarto, 2012). Petugas kesehatan mempunyai peranan penting dalam pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan di masyarakat, salah satu perannya yaitu memberikan informasi kesehatan. Keterpaparan pada informasi kesehatan yang efektif sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap yang positif untuk mencegah suatu penyakit. Khususnya dalam penelitian ini, kasus gigitan hewan penular rabies di masyarakat meningkat sampai menimbulkan korban jiwa. Hal itu bisa terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit rabies, sehingga mengindikasikan peranan petugas kesehatan belum maksimal. Sebaliknya jika petugas kesehatan berperan aktif di masyarakat dapat berdampak pada pengendalian kasus dan tidak sampai menimbulkan korban. Penelitian oleh Timmerman (2014), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor dukungan tenaga kesehatan dengan tindakan pencegahan penyakit rabies di Kelurahan Kayawu Kota Tomohon. Petugas kesehatan hewan sebagai vaksinator (petugas pemberi vaksin pada hewan ternak) memiliki peranan yang penting dalam pengendalian penyakit rabies pada hewan penular rabies (HPR). Salah satu tugas
pokok dari petugas kesehatan hewan yaitu pencegahan penyakit pada hewan. Peningkatan kasus penyakit yang disebabkan oleh penularan dari hewan ke manusia menjadi tangung jawab dari petugas kesehatan hewan. Oleh karena itu, ketika terjadi peningkatan kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) di masyarakat dapat mengindikasikan masih kurangnya informasi tentang pencegahan rabies pada anjing. Perbedaan tindakan pencegahan rabies walaupun mendapatkan peranan petugas kesehatan yang aktif, namun hal ini bergantung dari cara menerima dan mengolah informasi yang berbeda-beda dari setiap orang. Seperti teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2010), pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang yang dalam hal ini tindakan pencegahan rabies. Faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan salah satunya ialah pendidikan seseorang. Menurut Notoatmodjo (2010), keterpaparan terhadap sumber informasi kesehatan yang efektif tentang rabies dan pencegahannya sangat penting kaitannya dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap yang positif untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Informasi dapat berasal dari mana saja, baik dari petugas kesehatan dan pemerintah ataupun keluarga dan teman. Keterpaparan terhadap media informasi yang dapat didengar, dilihat ataupun dibaca akan dapat meningkatkan pengetahuan dan dapat berpengaruh terhadap tindakan pengambilan keputusan untuk melakukan pencegahan rabies. Keadaan ini dapat pula dijelaskan karena perilaku kesehatan dipengaruhi oleh keterpaparan media sebagai salah satu faktor pemungkin “enabling factor”, dimana dengan adanya keterpaparan terhadap media informasi akan membuat pengetahuan dan pandangan seseorang berubah yang pada akhirnya akan diikuti oleh terjadinya perubahan perilaku yang dalam hal ini perilaku pencegahan rabies (Noor, 2010).
Sifat-sifat Virus Virus rabies adalah single stranded RNA, berbentuk seperti peluru berukuran 180 x 75 µm. Sampai saat ini sudah dikenal 7 genotip Lyssavirus dimana genotip 1 merupakan penyebab rabies yang paling banyak di dunia. Virus ini bersifat labil dan tidak viable bila berada diluar inang. Virus menjadi tidak aktif bila terpapar sinar matahari,sinar ultraviolet, pemanasan 1 jam selama 50 menit, pengeringan, dan sangat peka terhadap pelarut alkalis seperti sabun, desinfektan, serta alkohol 70%. Reservoir utama rabies adalah anjing domestik. (Jawetz,2010). Patogenesis Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan atau gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, musang, serigala, raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahanperubahan fungsinya. Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala, muka dan leher 30 hari,gigitan di lengan, tangan, jari tangan 40 hari, gigitan di tungkai, kaki, jari kaki 60 hari, gigitan di badan rata-rata 45 hari. Asumsi lain menyatakan bahwa masa inkubasi tidak ditentukan dari jarak saraf yang ditempuh , melainkan tergantung dari luasnya persarafan pada tiap bagian tubuh, contohnya gigitan pada jari dan alat kelamin akan
mempunyai masa inkubasi yang lebih cepat. Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada gigitan daerah wajah, menengah pada gigitan daerah lengan dan tangan,paling rendah bila gigitan ditungkai dan kaki. (Jackson,2003. WHO,2010). Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya. Risiko pada Pekerjaan Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang di sebabkan oleh perkerjaan atau lingkungan kerja. Dimana lingkungan kerja sendiri terdapat banyak faktor yang dapat memperngaruhi kesehatan pekerjanya. Salah satunya faktor biologi yang akan banyak ditemukan namun sering kali dianggap sepele. Sebagai salah satu penyakit zoonista, keterjangkitan rabies dapat terjadi di mana saja, tidak hanya di lingkungan permukiman yang memungkinkan memelihara hewan yang dapat menjadi inang reservoir, namun juga di area kerja, terutama untuk jenis pekerjaan yang berhubungan dengan hewan seperti : dokter hewan, teknisi yang bekerja dengan hewan, karyawan laboratorium yang bekerja dengan virus rabies, karyawan rumah potong hewan, petugas kesehatan yang menangani kasus luka 5 gigitan hewan penular rabies, petugas peternakan yang menangani hewan penular rabies. Pengendalian Pemotongan daur penularan di inang reservoir dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan rabies baik pada manusia, hewan, maupun inang yang lain. Pengendalian populasi inang merupaka faktor penting dalam
usaha memberantas penyebaran penyakit rabies dan merupakan upaya pengamanan terhadap kesehatan masyarakat. Penanganan rabies harus didasarkan atas pengetahuan epidemiologi dan pemahaman daur hidup HPR di daerah tertentu, karena, tidak semua tempat cocok dengan prosedur di tempat yang lain. Hal penting yang perlu diperhatikam yakni data inang bentuk, kepadatan populasi, penyebaran inang, kepemilikan anjing dan hewan lain di suatu tempat, dan bentu sosial yang mempengaruhi transmisi virus. Pemberin vaksin tidak hanya untuk hewan yang menjadi inang saja, melainkan pada manusia yang telah terjangkit rabies, terutama pada pekerjaan yang memiliki risiko tinggi terhadap penyebaran penyakit rabies. Selain itu pemberian SAR juga di perlukan. Dimana SAR merupakan imunisasi pasif yang bertujuan untuk segera memberikan neutralizing antibodies sebelum sistem imun penderita siap untuk menghasilkan antibodi sendiri yang terjadi 7-14 hari setelah VAR diberikan. Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak: a. Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada kulit yang intak karena tidak terpapar tidak perlu profilaksis, apabila anamnesis dapat dipercaya. b. Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan, dan kaki. Untuk luka resiko rendah diberi VAR saja. c. Kategori 3: jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka,kepala,leher),luka pada jari tangan/ kaki, genitalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang banyak (multiple)/ atau ada kontak dengan kelelawar, maka gunakan VAR dan SAR. Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat kontak dengan hewan pengidap rabies. Vaksin rabies yang lazim saat ini adalah tissue culture vaccine, suatu inactivated vaccine yang
ditumbuhkan pada kultur sel seperti human diploid cell vaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun 1964, purivied vero cell rabies vaccine (PVRV), diproduksi mulai tahun 1985, purified chick embryo cell vaccine (PCEC) yang mulai dipasarkan tahun 1985. Vaksin generasi lama seperti suckling mouse brain vaccine (SMBV), suatu nerve tissue vaccine dan duck embryo vaccine (DEV), suatu non-nerve tissue vaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan komplikasi ensefalomielitis post-vaksinasi dan reaksi anafilaksis. Namun demikian nerve tissue vaccine masih diproduksi dan dipergunakan di beberapa negara Asia. (WHO,2009). Selain itu, perhatian pemilik terhadap anjingnya sangat berperan penting dalam upaya memberantas rabies. Pemilik yang lebih perhatian terhadap anjingnya dan lebih sering berinteraksi dengan anjingnya akan lebih mengetahi perubahan tingkah laku apabila peliharaannya terjangkit rabies, sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin. Peran masyarakatpun akan memberikan pengaruh terhadap penyebaran rabies, kepedulian masyarakat terhadap kondisi sekitar akan memberikan dampak dalam keberjalanan upaya pencegahan rabies, diantaranya dengan melaporkan ke Dinas Kesehatan apabila menemukan anjing yang diduga terjangkit rabies.
2.
3.
4.
5. SIMPULAN. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Rabies adalah penyakit zoonosis ditemukan hampir diseluruh tempat di dunia kecuali Antartika. Sebagian besar kasus (95%) berasal dari Asia dan Afrika, dan korban umumnya anak-anak dibawah 15 tahun (30%60%)/. Di Indonesia ditemukan kejadian luar biasa (KLB), seperti di
6.
7.
8.
Kalimantan Barat, Maluku Utara, dan Maluku pada 2003, Banten pada 2007 dan Bali pada 2008.Sebagian besar kasus (98%) disebabkan gigitan anjing, sedangkan sisanya oleh hewan lain seperti kucing dan monyet. Sampai saat ini, rabies masih tersebar di 24 provinsi. Hanya 9 provinsi yang bebas dari rabies yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta,Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, Papua Barat dan Papua. Penyakit rabies dapat dicegah dengan memberikan vaksin pada binatang yang berpotensi sebagai penyebar virus rabies. Jika tergigit hewan yang dicurigai, luka harus segera dicuci dengan air sabun agar lemak yang menyelimuti virus rabies larut sehingga virus mati. Setelah itu, pasien harus diberi vaksin antirabies (VAR), sekaligus serum anti rabies (SAR). Hal itu untuk mencegah virus yang bergerak cepat menuju pusat saraf, yakni otak. Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan tindakan pencegahan penyakit rabies. Terdapat hubungan antara sikap dengan tindakan pencegahan penyakit rabies. Terdapat hubungan antara peranan petugas kesehatan dengan tindakan pencegahan penyakit rabies. Perhatian pemilik terhadap hewan peliharaannya sangat penting sebagai upaya mencegah dan pengendalian wabah rabies. Peran masyarakat juga dapat mempengaruhi perkembangan perjangkitnya rabies di suatu tempat. Ajing bukan satu-satunya inang bagi virus rabies, sehingga perhatian terhadap penyakit rabies harus
diberikan kepada hewan peliharaan lain, seperti kucing. 9. Beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan hewan yang dapat menjadi inang virus rabies harusnya mendapat perhatian khusus dari Dinas Kesehatan dan Ketenagakerjaan. 10. Sebagai penyakit yang berbahaya dan dapat menyerang siapa saja. Pencegahan dan pengendalian penyakit rabies harus dilakukan sedini mungkin untuk menciptakan lingkungan masyarakat dan lingkungan kerja yang aman dan nyaman.
DAFTAR PUSTAKA 1. Akoso, Budi Tri. 2007. Pencegahan & Pengendalian Rabies (Penyakit Menular pada Hewan dan Manusia). Yogyakarta: Kanisius. (Nurul Isti’anah) 2. Batan, I. W., Lestyorini, Y., Milfa, S., Iffandi, C., Nasution, A. A., Faiziah, N., ... & Suatha, I. K. (2014). Penyebaran Penyakit Rabies pada Hewan Secara Spasial di Bali pada Tahun 2008-2011 (THE SPATIAL DISTRIBUTION OF RABID ANIMAL IN BALI DURING 2008-2011). Jurnal Veteriner, 15(2), 205-211. (Rena Ayu Wulandari) 3. M, Susilawathi N. Raka Sudewi AA. (2009). Profilaksis Rabies. Jurnal Medicina, 40(1), 55-9 (Nurul Isti’anah) 4. Padaga, Masdiana C. dkk 2018. Penyakit Zoonosa Strategis di Indonesia (Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner). Malang: UB Press. (Nurul Isti’anah) 5. Pranamyaditia, Cokorde Dhio. (2016). Risiko Keselamatan dan Kesehatan
Kerja pada Pekerja Peternakan Sapi di PT X Cabang Kota Kediri. Jurnal The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, 5(1),1-10. (Nurul Isti’anah) 6. Ragunathan, Hemavalli. (2016). Rabies, Penyebab dan Manajemen PraPajanan serta Pasca-Prajanan. Jurnal ISM, 5(1), 17-20. (Nurul Isti’anah) 7. Rohyati, Eni, Bernadus Ndoen dan Cardial L. Penu. (2017). Kajian Kelayakan Operasional Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Oeba Pemerintah Kota Kupang Nusa Tenggara Timur dalam Menghasilkan Daging dengan Kualitas Asuh. Jurnal Patner, (2), 162-171. (Nurul Isti’anah) 8. Suartha, I Nyoman. dkk. (2012). Pengetahuan Masyarakat Tentang Rabies Dalam Upaya Bali Bebas Rabies. Jurnal Buletin Veteriner Udayana, 4(1), 41-46. (Nurul Isti’anah) 9. Suartha, I Nyoman. dkk. (2014). Perhatian Pemilik Anjing Dalam Mendukung Bali Bebas Rabies. Jurnal Buletin Veteriner Udayana, 6(1), 87-91. (Nurul Isti’anah) 10. Tanzil, K. (2014). Penyakit rabies dan penatalaksanaannya. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan, 1(1). (Rena Ayu Wulandari) 11. Wattimena, J. C. (2010). Beberapa faktor risiko kejadian rabies pada anjing di Ambon. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(1). (Rena Ayu Wulandari) 12. Tahulending, J. M., Kandou, G. D., & Ratag, B. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan pencegahan penyakit rabies di Kelurahan Makawidey Kecamatan Aertembaga Kota Bitung. JIKMU, 5(2). (Rena Ayu Wulandari)
13. Wera, E., Geong, M., & Sanam, M. U. E. (2012). Kerugian Ekonomi Akibat Penyakit Rabies di Provinsi Nusa Tenggara Timur (ECONOMICAL LOSSES OF RABIES DISEASE IN EAST NUSA TENGGARA PROVINCE). Jurnal Veteriner, 13(4), 389-394. (Rena Ayu Wulandari)