PERBAIKAN LINGKUNGAN SEBAGAI INSTRUMEN PENUNJANG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Oleh : Romi Novriadi1) 1) Dosen Akademi Analis Kesehatan Putra Jaya Batam 1) Staff Lingkungan Balai Budidaya Laut Batam Jl. Raya Barelang, Pulau setokok, Batam Alamat Surat : PO BOX 60 Sekupang, Batam-29422 E-mail :
[email protected] Pemilu sebagai ajang demokrasi sudah diambang mata, namun sangat disayangkan bahwa sedikit sekali politisi yang berbicara tentang strategi pembangunan kelautan dan perikanan, sementara politisi memiliki peranan cukup penting dalam mengambil kebijakan arah pembangunan perekonomian bangsa. Secara umum saat ini banyak politisi hanya berkutat di beberapa permasalahan klasik seperti penurunan harga makanan pokok, bahan bakar minyak, dan peningkatan anggaran di berbagai sektor khususnya pendidikan dan kesehatan. Namun kalau bicara tentang kelautan dan perikanan ? sepertinya banyak calon legislatif khususnya di Provinsi Kepulauan Riau melupakan sektor yang sebenarnya sudah menjadi andalan nenek moyang bangsa Indonesia sejak dahulu kala untuk menjadi bangsa yang disegani dunia, seperti yang telah dirintis oleh beberapa kerajaan nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan beberapa kerajaan lainnya yang menjadi kuat karena penguatan ekonomi berbasiskan sektor kelautan. Pengembangan dan pembangunan kelautan menurut Dahuri (2003), meliputi beberapa sektor, antara lain : (1) Sektor kegiatan perikanan (perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri bioteknologi kelautan), (2) Sektor kegiatan pariwisata bahari, Sektor kegiatan pertambangan dan energi (minyak dan gas bumi, pasir laut, sumberdaya mineral, sumberdaya energi yang berasal dari dinamika lautan), Sektor kegiatan transportasi laut, Sektor kegiatan industri kelautan, Sektor kegiatan jasa kelautan lainnya (pendidikan, penelitian dan fungsi lingkungan, pulau-pulau kecil, dan benda-benda berharga). Hal ini menunjukkan bahwa cukup banyak yang dapat kita kembangkan dari sektor kelautan ini, namun mengapa sektor kelautan ini menjadi sektor yang paling sangat jarang untuk diperbincangkan, padahal jikalau kita mau jujur untuk melihat kondisi geografis bangsa kita, maka Bangsa Indonesia (baca: Provinsi Kepulauan Riau) merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia yang kaya akan Sumber Daya Alam pesisir dan kelautan. Dan merupakan pilihan yang tepat jikalau kita lebih menghargai dan mencintai berbagai keragaman yang ada di laut sebagai penopang pembangunan ekonomi bangsa. Rendahnya perhatian terhadap sektor Kelautan dan Perikanan khususnya di Provinsi Kepulauan Riau menyebabkan banyak faktor-faktor pendukung pembangunan sektor ini menjadi ikut terlupakan. Salah satu aspek yang dilupakan adalah pengelolaan/managemen lingkungan yang dilakukan untuk pengembangan budidaya perikanan. Apa yang dapat kita lakukan jikalau banyak masyarakat pembudidaya mengalami kerugian akibat rusaknya lingkungan di lokasi budidaya yang mereka lakukan? Bagaimana
hukum berpihak kepada masyarakat pembudidaya menghadapi kerusakan lingkungan ? hal ini yang menjadi fokus utama untuk mencari solusi terhadap problematika pembangunan kelautan dan perikanan. Pembangunan Kelautan dan Perikanan: Perspektif Hukum Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi cenderung bersifat eksploitatif dan mengabaikan kaidah-kaidah kelestarian, konservasi, dan keberlanjutan. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah timbulnya dampak negatif yang berupa degradasi kualitas sumberdaya alam serta pencemaran lingkungan hidup. Degradasi kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup (ecological losses) secara empiris juga berarti: (1) Menghilangkan sebagian sumber-sumber kehidupan dan mata pencaharian masyarakat (economic resources losses); (2) Mengerosi kearifan lokal melalui perusakan sistem pengetahuan, teknologi, institusi, religi, dan tradisi masyarakat lokal (social and cultural losses); dan (3) Mengabaikan hak-hak masyarakat dan kemajemukan hukum dalam masyarakat (the political of legal pluralism ignorance). Penyelamatan terhadap degradasi lingkungan saat ini terbentur oleh berbagai regulasi yang dibuat Pemerintah cenderung memperlihatkan karakteristik yang bersifat eksploitatif, sentralistik dan mengabaikan hak-hak masyarakat serta mengingkari adanya kemajemukan hukum dalam komunitas masyarakat. Sebagai contoh kasus yang dapat mewakili hak-hak masyarakat yang terabaikan adalah Kematian Ikan di Batu Licin-Tanjung Pinang pada bulan Februari 2006. kematian ikan budidaya dengan komoditas Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus yang dialami oleh masyarakat adalah sebanyak 64.455 ekor ukuran konsumsi. Dan bila dikonversi ke Rupiah maka nilai nominal kerugian yang dialami oleh pembudidaya ikan Batu Licin mencapai 3 milyar rupiah. Hal ini terasa sangat menyesakkan bila mengingat sebagian besar masyarakat Batu Licin-Tanjung Pinang menggantungkan mata pencahariannya sebagai pembudidaya ikan. Dan dengan kondisi lingkungan yang menyebabkan usaha budidaya tutup total berakibat kepada peningkatan persentase pengangguran di masyarakat Batu Licin. Hal ini yang menjadi dorongan masyarakat menempuh jalur hukum untuk mendapatkan keadilan dari kejadian yang mereka alami. Dan Pada saat itu, kegiatan yang dapat dilakukan oleh para pembudidaya hanyalah ”memanen” ikan-ikan yang mati dengan jumlah ratusan hingga ribuan tiap harinya. Bila kita perhatikan PP No. 82 Tahun 2001, yang dikatakan sebagai pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya, sebenarnya sudah dapat menjawab kegelisahan masyarakat Batu Licin untuk memperoleh ganti rugi atas dimasukkannya bahan galian/timbunan dermaga yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi tidak layak lagi untuk pengembangan budidaya ikan yang notabene merupakan makhluk hidup juga. Namun realita yang terjadi adalah hingga pengajuan kasasi ke tingkat Mahkamah Agung saat ini (Tahun 2009 : yang berarti sudah 3 tahun menunggu) masyarakat belum mendapatkan ganti rugi yang seharusnya sudah mereka terima walaupun tanpa harus menepuh jalur hukum. Kekalahan pembudidaya pada
tingkatan hukum semakin menunjukkan ketidak berpihakan hukum terhadap ekosistem lingkungan perairan. Contoh kasus lain yang dapat diungkap adalah pencemaran air laut di teluk jakarta pada tahun 2004 ataupun kisah tragis di minamata. Keseluruhan masalah ini berujung kepada kerugian yang menimpa masyarakat. Sungguh suatu fenomena yang sangat dilematis dan mengiris hati di tengah kekayaan sumber daya laut di negeri bahari yang besar ini. Ibarat petani yang kehilangan lahannya, tercemarnya perairan laut sama dengan menghilangkan lahan tempat mencari nafkah nelayan dan pembudidaya ikan. Yang pada akhirnya juga mematikan banyak usaha yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan. Di samping lemahnya penegakan hukum, kerusakan lingkungan perairan laut dihadapkan juga pada minimnya instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan nasional yang lebih rinci dan komprehensif dalam mengatur pengelolaan wilayah pesisir, perlindungan serta pelestarian lingkungan laut. Bahkan UU No. 23 Tahun 1997 yang disebutkan “paling lengkap” itu ternyata sangat kering dan jauh dari bahasan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. (Akhmad Solihin). Pertanyaan yang diajukan saat ini adalah sampai kapan masyarakat dirugikan dengan keadaan seperti ini? dan apakah tidak ada regulasi yang dapat melindungi masyarakat bila mengalami kejadian seperti ini ? boleh saja sekarang kita berpihak kepada pembangunan ekonomi dari sektor eksploitasi bahan alam bila dibandingkan dengan sektor kelautan dan perikanan melalui budidaya perikanan. Namun bila sektor eksploitasi bahan alam yang membutuhkan waktu sangat lama untuk renewable sudah habis dieksploitasi, sektor apa lagi yang akan digarap? tentunya kita akan berpaling kepada sektor kelautan dan perikanan yang memiliki siklus produksi terus menerus dapat diperbaharui. Hal ini juga mengingat kondisi geografis wilayah Kepulaun Riau dengan luas perairan yang mencapai ± 95%. Sangat banyak fakta yang telah dikemukakan oleh para ahli untuk memunculkan hubungan kausalitas antara sumber pencemar dengan objek yang tercemar, namun kekalahan masyarakat nelayan/pembudidaya terbentur hanya kepada hal-hal kecil seperti tindakan administrasi yang seharusnya tidak harus menafikan beberapa pandangan ilmiah yang tentunya juga disertai dengan bukti ilmiah (Scientific eveidence) pada sebuah persidangan. Sampai kapan hukum dapat berpihak kepada masyarakat yang minim terhadap berbagai pengetahuan hukum namun dan pada akhirnya harus selalu menjadi pihak yang dirugikan. Ada beberapa strategi yang dapat kita lakukan untuk meminimalisir tingkat kerusakan lingkungan untuk penguatan di sektor kelautan dan perikanan bagi para pengambil kebijakan (Baca: Caleg) khususnya di Provinsi Kepulauan Riau, diantaranya adalah : Pembentukan Tata Ruang Wilayah Hal ini sangat diperlukan masyarakat agar mendapatkan kepastian bahwa lahan yang mereka buka untuk budidaya perikanan nantinya tidak akan diganggu oleh pembangunan di sektor lainnya. Dan ini juga menghindari adanya tumpang tindih kebijakan terhadap pengelolaan suatu wilayah.
Pengembangan Peraturan Daerah Untuk Mendukung Penerapan Hukum Lingkungan Seperti yang telah dikemukakan diawal bahwa banyak regulasi yang dibuat Pemerintah Pusat justru sangat jarang berpihak kepada masyarakat. Beberapa peraturan yang tertuang dalam UU No.23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peratutran Pemerintah No.19 Tahun 1999 dan secara khusus UU No. 23/1997 beserta seluruh Peraturan perundangundangan yang bersifat teknis di bidang lingkungan hidup masih belum mampu untuk membantu masyarakat yang awam tentang hukum namun selalu menjadi pihak yang dirugikan akibat dari pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang hanya mementingkan kepentingan sesaat tanpa memperdulikan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas eksploitasi Sumber Daya Alam. Untuk itu daerah dirasa perlu untuk membuat pengembangan peraturan daerah untuk mendukung penerapan hukum lingkungan yang sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Pembangunan Kembali Lingkungan Perairan Belum dikatakan terlambat apabila mulai saat ini kita melakukan revitalisasi pembangunan lingkungan khususnya lingkungan perairan. Banyak hal yang dapat dilakukan seperti penanaman kembali areal mangrove yang telah banyak rusak, dan berbagai aktivitas lain yang mendukung terciptanya kelestarian lingkungan. Mudah-mudahan ini menjadi renungan untuk berbagai pihak bahwa saatnya kita kembali berorientasi kepada pembangunan kelautan dan perikanan seperti yang telah dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu. Khususnya bagi para politisi yang maju dalam pemilihan legislatif baik tingkat Kabupaten/kota hingga ke tingkat pemerintahan pusat/DPR. Dan salah satu instrumen pendukungnya adalah terciptanya perbaikan lingkungan perairan khususnya bagi masyarakat pembudidaya perikanan. Saat ini yang menjadi harapan masyarakat sangat sederhana, mereka mengharapkan terciptanya keadilan bagi masyarakat pembudidaya melalui regulasi hukum yang tidak berbelit-belit hingga kepada suasana kondusif yang mendukung mereka untuk tetap eksis sebagai ujung tombak pembangunan kelautan dan perikanan. Terus jaya Kepulauan Riau ***