1. Stroke Hemorrhagic Stroke perdarahan atau hemorrhagic stroke karena ditemukan adanya darah di dalam otak yang dalam keadaan normalnya tidak ada. Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang otak.
Gambar 1.Tipe-tipe Stroke Bagian otak yang terserang bisa hemisfer kanan atau kiri. Terdapat perbedaan tingkat defisit neurologis antara stroke lesi hemisfer kiri dan kanan. Perbedaan ini disebabkan karen terdapat perbedaan pada lapisan tunika intima media dan kecepatan aliran darah pada arteri cerebralis hemisfer kiri sehingga seringkali terjadi perbedaan outcome antara kedua hemisfer. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengatakan bahwa tingkat kardioemboli sangat tinggi terjadi pada stroke lesi hemisfer kiri, telah dilakukan validasi prospektif bahwa gelembung emboli tersebut lebih sering masuk kedalam sirkulasi perdarahan hemisfer kiri dari pada hemisfer kanan. Menurut Hedna et al (2013) terdapat perbedaan kebutuhan metabolisme pada masing-masing hemisfer, lesi hemisfer kiri memiliki metabolisme tingkat sel yang lebih tinggi sehingga memicu blood flow dihemisfer kiri lebih cepat, hal ini menyebabkan hemisfer kiri memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami penurunan fungsi dan memberikan pengaruh terhadap neuroplasticity pada kejadian stroke. Hal tersebut yang sampai saat ini menjadi dugaan penyebab terjadinya perbedaan outcome antara stroke lesi hemisfer kiri dan lesi hemisfer kanan.
3.2 Macam-macam Stroke Perdarahan 3.2.1 Perdarahan Intraserebral (PIS) 3.2.1.1 Definisi
Perdarahan yang paling sering timbul pada parenkim otak terjadi di daerah arteri kecil yang melayani ganglia basal, thalamus, dan batang otak dan oleh arteriopathy karena hipertensi kronik atau micratheroma. Penyakit ini, sering berhubungan dengan arteriosklerosis, karena terjadi penyumbatan pada infark lakunar atau kebocoran yang menyebabkan perdarahan otak. Perdarahan kecil dapat mendahului perdarahan besar dari arteri kecil dan dapat dideteksi dengan gema gradien MRI. Beberapa perdarahan timbul dari angiopathy amyloid congophilic, gangguan degeneratif yang mempengaruhi media dari arteri yang lebih kecil, terutama materi abu-abu otak, dan terlihat pada usia lanjut. Tumor otak, obat simpatomimetik, koagulopati, cavernomas dan malformasi arteriovenous juga menyebabkan perdarahan otak.
Gambar 2 Gambaran Intracerebral Hemorrhage
3.2.1.2 Patofisiologis Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik, Faktor resiko lain penyebab perdarahan intraserebral antara lain bertambahnya usia, merokok, konsumsi alkohol, dan serum kolesterol rendah. Keadaan ini menyebabkan perubahan arteriosklerotik pembuluh darah kecil, terutama pada cabang-cabang arteri serebri media, yang mensuplai ke dalam basal ganglia dan kapsula interna. Pembuluhpembuluh darah ini menjadi lemah, sehingga terjadi robekan dan reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan media dan akhirnya terbentuk aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma Charcot-Bouchard. Hal yang sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai pons dan serebelum. Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah menyebabkan perdarahan ke dalam substansi otak .
3.2.1.3 Gejala Klinis •Terjadinya perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarahan retina, dan epistaksis. •Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai kejang fokal / umum.
•Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi •Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya papil edema dan perdarahan subhialoid. 3.2.1.4 Diagnosis Computed Tomography (CT-scan) merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat diulang dalam 24 jam untuk menilai stabilitas. Bedah emergensi dengan mengeluarkan massa darah diindikasikan pada pasien sadar yang mengalami peningkatan volume perdarahan. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat menunjukkan perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. Perubahan gambaran MRI tergantung
stadium
disolusi
hemoglobinoksihemoglobin-deoksihemogtobin-
methemoglobin-ferritin dan hemosiderin.
Gambar 3 3.2.1.5 Terapi Pengobatan perdarahan akut intraserebral termasuk perlindungan jalan nafas, ventilasi yang memadai, dan tingkat tekanan darah di bawah tekanan arteri rata-rata 130 mmHg. Keseimbangan cairan dan suhu tubuh harus dipertahankan pada tingkat normal. Tekanan intrakranial meningkat mungkin memerlukan osmotheraphy, hiperventilasi terkontrol, atau barbiture-koma. Pemberian kortikosteroid umumnya dihindari. Terlepas dari kasus penderita perdarahan cerebellar, setiap keputusan tentang apakah, bagaimana, dan kapan melakukan intervensi neurosurgically setelah perdarahan intraserebral masih menjadi perdebatan saat ini dan menunggu hasil percobaan prospektif yang sedang berlangsung. Sampai saat ini semua upaya uji klinis telah gagal menunjukkan keunggulan evakuasi hematoma melalui terapi medis, kecuali perdarahan cerebellar, dimana operasi untuk massa besar mungkin menyelamatkan nyawa dan dapat diikuti oleh hasil klinis yang memuaskan.
3.2.2 Perdarahan subarachnoid (PAS) 3.2.2.1 Definisi Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer. Perdarahan subarakhnoid merupakan perdarahan yang terjadi di rongga subarakhnoid dimana diagnosa ini cenderung mempunyai konotasi sebagai sindrom klinis daripada diagnosa patologi. Perdarahan ini kebanyakan berasal dari perdarahan
arterial akibat pecahnya suatu aneurisma pembuluh darah serebral atau malformasi arterio-venosa yang rupture, di samping juga ada sebab-sebab lainnya. Perdarahan yang menumpuk dalam ruang subarachnoid dapat mencetuskan terjadinya stroke, kejang dan komplikasi lainnya.
3.2.2.2 Patofisiologis Perdarahan subarachnoid diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu : - Traumatic Subarachnoid Hemorrhages -Spontaneous Subarachnoid Hemorrhages Traumatic subarachnoid dapat juga menyebabkan kerusakan otak yang diakibatkan oleh karena kecelakaan. Sedangkan spontaneous subaracnoid hemoragik disebabkan oleh karena ruptur aneurisma atau abnormalitas pembuluh darah pada otak. Komplikasi tersering dari perdarahan subarachnoid adalah : a. Perdarahan Ulang Jika terjadi, lebih sering letal (50%) daripada perdarahan subarakhnoid awal. Resiko perdarahan ulang adalah 20% pada hari 14 pertama setelah SAH awal, dan 50% pada enam bulan pertama, jika aneurisma belum diobliterasi. Tidak seperti SAH awal, perdarahan ulang sering menimbulkan hematoma intraparenkimal yang besar, karena ruang subarakhnoid di sekitar aneurisma sebagian tertutup oleh adesi yang disebabkan oleh perdarahan awal. Pada kasuskasus tersebut, manifestasi klinis dan perjalanan perdarahan ulang aneurisma adalah seperti yang dideskripsikan mengenai perdarahan intraserebral spontan. b.Vasospasme Iskemia otak tertunda dari vasospasme untuk sebagian besar morbiditas dan mortalitas terjadi setelah SAH. Penyempitan arteri progresif berkembang setelah SAH pada sekitar 70% dari pasien, tetapi defisit iskemia tertunda berkembang hanya 20% sampai 30%. Proses ini dimulai 3 sampai 5 hari setelah pendarahan, menjadi maksimal pada 5 sampai 14 hari, dan selesai secara bertahap lebih dari 2 sampai 4 minggu. Vasospasme simptomatik biasanya meliputi penurunan tingkat kesadaran, hemiparesis, atau keduanya, dan proses ini biasanya paling parah pada aneurisma. Dalam kasus yang lebih parah, gejala berkembang sebelumnya setelah pecahnya aneurisma, dan daerah vaskular ikut terlibat. Meskipun tebal, darah subarachnoid merupakan faktor pemicu utama, penyebab yang tepat dari penyempitan arteri setelah SAH kurang dipahami. Vasospasme tidak hanya disebabkan oleh vaskular yang halus-kontraksi otot, perubahan arteriopathic terlihat di dinding pembuluh, termasuk edema subintimal dan infiltrasi dari leukosit. c. Hidrosefalus Hidrosefalus akut terjadi pada 15% sampai 20% pasien dengan SAH dan terutama berkaitan dengan volume intraventricular dan darah subarachnoid.
Dalam kasus ringan, hidrosefalus menyebabkan lesu, perlambatan psikomotor, dan gangguan memori jangka pendek. Temuan lainnya termasuk keterbatasan menatap ke atas, kelumpuhan saraf kranial keenam, dan hyperreflexia ekstremitas bawah. Dalam kasus yang lebih parah, hidrosefalus obstruktif akut menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Pasien yang terkena dampak stupor atau koma, dan progresif batang otak herniasi akan mengakibatkan produksi CSF yang menerus, kecuali kateter ventrikular dimasukkan.
3.2.2.3 Gejala Klinis • Gejala penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis, berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit. • Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, menggigil, mudah terangsang, gelisah dan kejang. • Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit sampai beberapa jam. • Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen • Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik perdarahan subarakhnoid. • Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan.
3.2.2.4 Diagnosis A. CT Scan CT harus menjadi diagnostik studi pertama untuk menetapkan diagnosis SAH, karena ketersediaan siap dan kemudahan penafsiran. Ketika SAH misdiagnosed, kesalahan diagnostik yang paling umum adalah kegagalan untuk memperoleh CT scan. CT paling sering menunjukkan baur darah di waduk basal; dengan lebih parah perdarahan, darah meluas ke sylvian dan celah interhemispheral, sistem ventrikel, dan di atas convexities.
B. Lumbar Puncture CSF biasanya terlalu berdarah. SAH dapat dibedakan dari traumatis oleh penampilan xanthochromic (kuning-diwarnai) centrifuged supernatant. Namun, xanthochromia dapat berlangsung hingga 12 jam, tekanan CSF hampir selalu tinggi dan protein juga meninggi. Pada awalnya, proporsi CSF leukosit untuk eritrosit adalah bahwa darah perifer, dengan rasio biasa 1:700. Setelah beberapa hari reaktif pleocytosis dan kadar glucose rendah dapat berkembang dari steril meningitis kimia yang disebabkan oleh darah. Sel darah merah dan xanthochromia menghilang sekitar 2 minggu, kecuali perdarahan berulang.
C. Angiografi
Angiografi otak adalah prosedur diagnostik definitif untuk mendeteksi aneurisma
intrakranial
dan
mendefinisikan
anatomi
mereka.
Meskipun
peningkatan ketersediaan dan gambar kualitas CT dan MRA telah memungkinkan beberapa pusat menggunakan tes ini untuk membuat diagnosis awal, angiogram empat-vessel yang melibatkan bilateral karotid internal dan arteri vertebralis suntikan wajib ketika tes ini negatif. Selain itu, angiografi dilakukan selama penyisipan kumparan atau setelah aplikasi bedah klip ini umumnya disarankan untuk mengevaluasi kecukupan aneurisma perbaikan dan layar untuk aneurisma sekunder lebih kecil yang dapat terjawab oleh CT atau Mr Vasospasm, trombosis lokal, atau sedikt teknik dapat mengakibatkan angiogram palsu-negatif. Untuk alasan ini, pasien dengan angiogram negatif pada pemeriksaan pertama harus memiliki studi lanjutan 1 untuk 2 minggu kemudian; aneurisma akan didapatkan sekitar 5% dari kasus ini. Pengecualian aturan ini adalah pasien dengan perimesencephalic SAH, yang biasanya tidak memerlukan angiografi. Gambar Angiogram menunjukkan timbulnya suatu pecah aneurisma, dengan ekstravasasi bahan kontras ke dalam ruang subarachnoid dari aspek anterosuperior dari aneurisma
bilobed
dalam
arteri
cerebellar
posteroinferior.
3.2.2.5 Terapi Tujuan awal dari pengobatan adalah untuk mencegah perdarahan ulang termasuk aneurisma dari sirkulasi intrakranial, serta menjaga arteri induk dan cabangcabangnya. Setelah aneurisma telah diamankan, fokus berpindah untuk memantau dan mengobati vasospasme dan komplikasi sekunder lainnya dari SAH. Hal ini paling baik dilakukan di ICU. Aneurisma dapat diterapi dengan operasi pembedahan saraf berupa penutupan leher aneurisma dengan metal clip. Dengan demikian, aneurisma terekslusi dari sirkulasi secara permanen, sehingga tidak dapat berdarah lagi. Bentuk terapi ini adalah terapi definitif, tetapi kerugiannya adalah terapi ini memerlukan operasi kepala terbuka (kraniotomi) dan manipulasi pembedahan saraf di sekitar dasar otak yang dapat menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Pembedahan sebaiknya dilakukan dalam 72 jam pertama setelah perdarahan subarakhnoid, yaitu sebelum periode dengan
resiko terbesar terjadinya vasospasme. Pembedahan dini diketahui
memperbaiki prognosis pasien dengan SAH grade 1, 2, atau 3 pada Hunt dan Hess. Tindakan ini merupakan bentuk terapi terpenting untuk mencegah perdarahan ulang.
Selain itu, bentuk terapi yang lebih tidak invasif adalah mengisi aneurisma dengan metal
coils
(“coiling”,
suatu
prosedur
yang
menjadi
bidang
neuroradiologiintervensional). Coil dihantarkan dari ujung kateter angiografik khusus, yang dimasukkan secara transfemoral dan didorong hingga mencapai aneurisma. Coiling menghindari perlunya kraniotomi, tetapi mungkin tidak sereliabel obliterasi aneurisma secara permanen. 3.3 Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Non Hemorhagik Gejala Klinis PIS
Stroke Hemoragik PSA
Stroke Non Hemoragik
1.
Gejala defisit lokal
Berat
Ringan
Berat/ringan
2.
SIS sebelumnya
Amat jarang
-
+/ biasa
3.
Permulaan (onset)
Menit/jam
1-2 menit
Pelan (jam/hari)
4. 5.
Nyeri kepala Muntah pada awalnya
Hebat Sering
Sangat hebat Sering
Ringan/ tak ada Tidak, kecuali lesi di batang otak
6.
Hipertensi
Hampir selalu
Biasanya tidak
Sering kali
7.
Kesadaran
Bisa hilang
Bisa hilang sebentar
Dapat hilang
8.
Kaku kuduk
Jarang
Bisa ada pada permulaan
Tidak ada
9. Hemiparesis 10. Deviasi mata
Sering sejak awal Bisa ada
Tidak ada Tidak ada
Sering dari awal mungkin ada
11. Gangguan bicara 12. Likuor 13. Perdarahan Subhialoid
Sering Sering berdarah Tak ada
Jarang Selalu berdarah Bisa ada
Sering Jernih Tak ada
14. Paresis/gangguan N III
-
Mungkin (+)
-
2. Pemeriksaan Neurologis a. PEMERIKSAAN NERVUS FACIALIS (N VII) Nervus facialis (N VII) mempunyai komponen somatosensorik eferen dan aferen dengan fungsi yang dapat dibedakan, yaitu: 1. Branchial motor (special visceral efferent), yang menginervasi otot-otot fasialis, otot digastrik bagian belakang, otot stylohyoideus dan stapedius. 2. Viseral motor (general visceral efferent), yang memberikan inervasi parasimpatik pada kelenjar lakrimal, submandibular dan sublingual; serta mukosa menginervasi mukosa nasofaring, palatum durum dan mole.
3.
Sensorik khusus (special afferent), yaitu memberikan sensasi rasa pada 2/3 anterior lidah dan inervasi palatum durum dan mole. 4. Sensorik umum (general somatic afferent), menimbulkan sensasi kulit pada konka, auricula dan area di belakang telinga. Serabut syaraf yang membentuk branchial motor merupakan komponen N. VII yang paling dominan, sedangkan ketiga komponen serabut lainnya menggabung menjadi satu terpisah dari branchial motor. Gabungan dari ketiga serabut terakhir membentuk nervus intermedius.
Gambar 14. Skema Serabut eferen dan aferen N. Facialis (diadaptasi dari Buckley, et al, 1980) Pemeriksaan fungsi nervus V II meliputi: 1. 2.
Pemeriksaan motorik nervus fasialis Pemeriksaan viserosensorik dan viseromotorik nervus intermedius.
Prosedur pemeriksaan nervus Fasialis 1.
Pemeriksaan motorik a. Meminta penderita untuk duduk dengan posisi istirahat (rileks). b. Pemeriksa mengamati muka penderita bagian kiri dan kanan apakah simetris atau tidak. c. Pemeriksa mengamati lipatan dahi, tinggi alis, lebar celah mata, lipatan kulit nasolabial dan sudut mulut. d. Meminta penderita menggerakkan mukanya dengan cara sbb: 1) 2) 3) 4) 5)
Mengerutkan dahi, bagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam. Mengangkat alis. Menutup mata dengan rapat, lalu pemeriksa mencoba membuka dengan tangan. Memoncongkan bibir atau nyengir. Meminta penderita menggembungkan pipinya, lalu pemeriksa menekan pipi kiri dan kanan untuk mengamati apakah kekuatannya sama. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar dari bagian yang lumpuh.
Gambar 15. Pemeriksaan motorik N. VII (diadaptasi dari Buckley, et al., 1980)
2. Pemeriksaan viseromotorik (parasimpatis) a. b. c. d. e. f. g.
Memeriksa kondisi kelenjar lakrimalis, basah atau kering Memeriksa kelenjar sublingualis Memeriksa mukosa hidung dan mulut. Pemeriksaan sensorik Meminta pemeriksa menjulurkan lidah. Meletakkan gula, asam garam, atau sesuatu yang pahit pada sebelah kiri dan kanan dari 2/3 bagian depan lidah. Meminta penderita untuk menuliskan apa yang dirasakannya pada secarik kertas. Catatan: Pada saat dilakukan pemeriksaan hendaknya: 1) Lidah penderita terus menerus dijulurkan keluar 2) Penderita tidak diperkenankan bicara, Penderita tidak diperkenankan menelan
b. PEMERIKSAAN NERVUS HIPOGLOSSUS (N XII) Nervus hipoglosus hanya mempunyai satu komponen motor somatik. Nervus ini menginervasi semua otot intrinsik dan sebagian besar otot ekstrinsik lidah (genioglosus, styloglosus dan hyoglosus).
Gambar 17. Nervus Hipoglossus Prosedur pemeriksaan Nervus Hipoglossus : Kelumpuhan pada N. Hipoglossus akan menimbulkan gangguan pergerakan lidah. 1. Akibat gangguan pergerakan lidah, maka perkataan-perkataan tidak dapat diucapkan dengan baik, disebut dengan disartria. 2. Dalam keadaan diam, lidah tidak simetris, biasanya bergeser ke daerah sehat karena tonus di sini menurun. 3. Bila lidah dijulurkan, lidah akan berdeviasi ke sisi sakit. PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK Pemeriksaan fungsi motorik, meliputi : A. Observasi B. Penilaian terhadap ketangkasan gerakan volunter C. Penilaian tonus otot D. Pemeriksaan trofi otot E. Pemeriksaan kekuatan ekstremitas A. OBSERVASI Dokter melakukan observasi terhadap pasien dengan gangguan motorik pada waktu ia masuk ke kamar periksa. Apakah ia berjalan sendiri ? Apakah ia dipapah ? Bagaimana gaya berjalannya ? Setiap gangguan somatomotorik yang ringan dapat diketahui dari observasi terhadap gerakan menutup/ membuka kancing baju, menggantungkan pakaian, melepaskan sandal, menaiki tempat periksa, merebahkan diri dan sebagainya. Bilamana pasien sudah berbaring di atas tempat periksa, simetri tubuh pasien harus diperhatikan. B. PENILAIAN TERHADAP KETANGKASAN GERAKAN VOLUNTER Gerakan volunter yang dimaksud ialah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa. Penilaian ini bersifat umum, yaitu untuk mengetahui apakah pasien masih dapat menekukkan lengannya di sendi siku, mengangkat lengan di sendi bahu, mengepal dan meluruskan jari-jari tangan, menekukkan di sendi lutut dan panggul serta menggerakkan jari-jari kakinya. Teknik pemeriksaan : 1.
Gerakan pada sendi bahu :
a. b.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi bahu yang meliputi : abduksi-adduksi, elevasi, fleksi-ekstensi, endorotasi-eksorotasi. Perhatikan apakah pasien dapat melakukan gerakan-gerakan tersebut dengan mudah (bebas), dapat melakukan tetapi tidak sempurna, misalnya bisa melakukan abduksi tetapi tidak mencapai 90o (bebas terbatas), atau tidak dapat melakukan gerakan sama sekali.
2. Gerakan pada sendi siku : a. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi siku yaitu : fleksi-ekstensi, pronasi-supinasi. b. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. 3. Gerakan pada sendi tangan : a. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi tangan yaitu : fleksi-ekstensi, pronasi-supinasi. b. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. 4. a. b.
Gerakan pada Jari Tangan Mintalah pasien untuk mengepalkan tangan, abduksi-adduksi ibu jari. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.
5. Gerakan pada sendi panggul : a. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi panggul yang meliputi : fleksi-ekstensi, abduksi-ekstensi, endorotasi-eksorotasi. b. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. 6. Gerakan pada sendi lutut : a. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi lutut yang meliputi : fleksiekstensi, endorotasi-eksorotasi. b. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. 7. Gerakan pada sendi kaki : a. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi kaki yang meliputi : dorsofleksi-plantar fleksi, inversi-eversi. b. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. C. PENILAIAN TONUS OTOT Pada waktu lengan bawah digerakkan pada sendi siku secara pasif, otot-otot ekstensor dan fleksor lengan membiarkan dirinya ditarik dengan sedikit tahanan yang wajar.
Tahanan ini dikenal sebagai tonus otot. Jika tonus otot meningkat, maka pemeriksa mendapat kesulitan untuk menekukkan dan meluruskan lengan. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak merasakan tahanan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat hasil pemeriksaan yang baik meliputi : 1. Pasien harus tenang dan santai. 2. Ruang periksa harus nyaman dan tenang. Teknik pemeriksaan tonus otot : 1. Memeriksa tonus otot bahu : a. Pemeriksa menggerakkan sendi bahu seperti abduksi-adduksi dan elevasi, kemudian merasakan adanya tahanan pada m. deltoideus. Nilailah tahanan tersebut apakah normal, meningkat atau menurun. b. Tonus yang meningkat berarti bahwa pemeriksa mendapat kesulitan untuk menggerakkan sendi bahu. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak merasakan tahanan. 2. Memeriksa tonus otot pada lengan atas : a. Pemeriksa menggerakkan sendi siku secara pasif, yaitu fleksi dan ekstensi berulang-ulang dan merasakan adanya tahanan pada otot-otot di lengan atas dan nilailah tahanan tersebut apakah normal, meningkat atau menurun. b. Jika tonus otot meningkat, maka pemeriksa mendapat kesulitan untuk memfleksikan dan mengekstensikan lengan. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak merasakan tahanan. 3. Memeriksa tonus otot pada lengan bawah : pemeriksa menggerakkan tangan pasien secara pasif (pronasi-supinasi) dan merasakan adanya tahanan pada otot-otot di lengan bawah dan nilailah tahanan tersebut apakah normal, meningkat atau menurun. 4. Memeriksa tonus otot pada tangan : pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan jarijari tangan pasien (menggenggam dan membuka) dan merasakan adakah tahanan pada otot tangan, apakah normal, meningkat atau menurun. 5. Memeriksa tonus otot pada pinggul : pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan kaki pasien pada articulatio coxae dan merasakan tahanan pada otot-otot pinggul, apakah normal, meningkat atau menurun. 6. Memeriksa tonus otot pada paha : pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan kaki pasien pada sendi lutut dan merasakan tahanan pada otot paha (m. quadriceps femoris), apakah normal, meningkat atau menurun. 7. Memeriksa tonus otot pada betis : pemeriksa melakukan dorsofleksi dan plantar-fleksi secara pasif pada kaki pasien dan merasakan adanya tahanan pada otot betis (m. gastrocnemius), apakah normal, meningkat atau menurun.
8.
Memeriksa tonus otot pada kaki : pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan jari kaki pasien dan merasakan adanya tahanan pada otot kaki (dorsum dan plantar pedis), apakah normal, meningkat atau menurun.
D. PEMERIKSAAN TROFI OTOT Pemeriksaan trofi otot dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pengukuran. 1.
Inspeksi : a. Perhatikan bentuk dan ukuran otot, baik masing-masing atau sekelompok otot, adanya gerakan abnormal, adanya kontraktur dan deformitas. b. Perhatikan apakah otot tampak normal (eutrofi), membesar (hipertrofi) atau tampak kecil (atrofi). c. Perkembangan otot ditentukan oleh faktor keturunan, profesi, cara hidup, gizi dan latihan/ olahraga. d. Bandingkan kanan dan kiri.
2.
Pengukuran : Bila terdapat asimetri, maka pengukuran kelompok otot yang sama harus dilakukan, meliputi panjang otot dan lingkaran otot. Patokan untuk mengukur lingkaran anggota gerak kedua sisi harus diambil menurut bangunan anggota gerak yang sama, misalnya 10 cm diatas olekranon.
3.
Palpasi : Otot yang normal akan terasa kenyal pada palpasi, otot yang mengalami kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN) akan lembek, kendor dan konturnya hilang. Periksalah bentuk otot pada otot bahu, lengan atas, lengan bawah, tangan, pinggul, paha, betis dan kaki.
E. PEMERIKSAAN KEKUATAN EKSTREMITAS 1. Otot bahu : a. Meminta pasien untuk melakukan elevasi (mengangkat tangan) kemudian tangan pemeriksa menahannya. b. Meminta pasien untuk melakukan abduksi kemudian tangan pemeriksa menahannya. 2.
Otot lengan : a. Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi siku kemudian tangan pemeriksa menahannya. Pemeriksaan ini terutama menilai kekuatan otot bisep dan brachioradialis.
b.
Meminta pasien untuk melakukan ekstensi pada sendi siku kemudian tangan pemeriksa menahannya. Pemeriksaan ini terutama menilai otot trisep.
3.
Otot tangan : a. Meminta pasien untuk menekuk jari-jari tangan (fleksi pada sendi interphalang), kemudian tangan pemeriksa menahannya. b. Meminta pasien untuk meluruskan jari-jari tangan, kemudian tangan pemeriksa menahannya. c. Meminta pasien untuk mengepalkan tangan dan mengembangkan jari-jari tangan.
4.
Otot panggul : a. Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi panggul, kemudian tangan pemeriksa menahannya. b. Setelah fleksi maksimal, pemeriksa meluruskan sendi panggul tersebut.
5.
Otot paha : a. Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi lutut, kemudian tangan pemeriksa menahannya. Pemeriksaan ini untuk menilai kekuatan m.biseps femoris. b. Setelah fleksi maksimal, pemeriksa meluruskan sendi lutut tersebut.
6.
Otot kaki : a. Meminta pasien untuk melakukan dorsofleksi pada kaki, kemudian tangan pemeriksa menahannya. b. Meminta pasien untuk melakukan plantar fleksi kemudian tangan pemeriksa menahannya.
Derajat tenaga otot ditetapkan sebagai berikut: 1. 0, jika tidak timbul kontraksi otot. 2. 1, jika terdapat sedikit kontraksi otot. 3. 2, jika tidak dapat melawan gravitasi. 4. 3, jika dapat melawan gravitasi tanpa penahanan. 5. 4, jika dapat melawan gravitasi dengan penahanan sedang. 6. 5, jika dapat melawan gravitasi secara penuh. PEMERIKSAAN SISTEM SENSORIK Pemeriksaan sensibilitas merupakan pemeriksaan neurologis yang bertujuan untuk mengetahui fungsi sensorik sistem saraf. Pemeriksaan sensibilitas meliputi : A. Pemeriksaan sensasi taktil (raba)
B. C. D. E. F.
Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial Pemeriksaan sensasi suhu Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi Pemeriksaan sensasi getar Pemeriksaan sensasi tekan. Gangguan di otak, medula spinalis, dan saraf perifer bisa menyebabkan gangguan fungsi sensorik. Gangguan semacam ini tidak sejelas kelainan motorik atau atrofi otot. Ganguan sensorik bisa bermanifestasi sebagai parestesi, atau yang jika menjadi lebih sensitif, dinamakan hiperestesi. Kelainan canalis centralis medulla spinalis bisa memperlihatkan gambaran disosiasi seperti: analgesik terhadap sensasi panas atau nyeri saja, sedangkan sensasi yang lain masih terasa normal. Seorang yang neurosis sering mengeluh mengenai perasaan “seperti ada serangga yang menggerayangi” seluruh permukaan kulitnya. Untuk melakukan pemeriksaan sensorik, hal-hal berikut di bawah ini sebaiknya dipahami: 1. Pasien harus dalam keadaan sadar penuh. 2. Pasien tidak sedang lelah/capek, kelelahan akan menyebabkan gangguan perhatian dan memperpanjang waktu reaksi. 3. Pasien harus tahu dan paham akan prosedur pemeriksaan. Kerja sama dokter-pasien sangatlah penting. 4. Dokter harus menjelaskan prosedur dan tujuan dilakukannya pemeriksaan terhadap pasien. 5. Mungkin muncul tanda-tanda yang bisa diamati oleh pemeriksa selama pemeriksaan seperti perubahan mimik, mengedipkan mata, gerakan tubuh. Mungkin juga didapatkan dilatasi pupil, peningkatan nadi per menit, hingga berkeringat. 6. Pemeriksa seharusnya tidak hanya memperhatikan perihal sensasinya saja, tetapi amati pula intensitas dan gradasi rangsangan yang dirasakan penderita (yang tercermin dari respon yang diberikan). 7. Tiap individu mungkin mempunyai perbedaan persepsi dan interpretasi untuk masing-masing rangsang yang dikenakan pada kulit (di tiap-tiap area tubuhnya), dan juga kemungkinan bahwa seseorang akan memberikan respon yang berbeda dalam situasi yang beda pula. 8. Prinsip kesimetrisan sangatlah penting, untuk membandingkan sisi kanan dan kiri. Prinsip ke-ekstriman juga tidak kalah penting untuk membandingkan nilai rata-rata dengan daerah yang terdeteksi ekstrem, untuk memastikan bahwa pemeriksaan sudah tepat. 9. Pemeriksaan fungsi sensorik harus dilakukan dengan tenang (tidak terburu-buru), menggunakan peralatan yang lengkap dan aman, dan pasien harus dalam keadaan rileks/santai. 10. Hasil dari pemeriksaan fungsi sensorik kadang diluar dugaan, rumit, dan sulit untuk diinterpretasikan, sehingga kita harus hati-hati dalam mengambil kesimpulan. A. PEMERIKSAAN SENSASI TAKTIL (RABA)
Alat berupa sikat halus, kain, tissue, bulu, sentuhan kulit menggunakan ujung jari dengan sangat lembut. Rangsangan tidak boleh sampai menekan daerah subkutis. Intensitas rangsang boleh sedikit dipertajam pada daerah-daerah telapak yang berkulit yang tebal. Seorang pemeriksa yang menghendaki jawaban rangsang akan meminta pasien menjawab “ya” atau “tidak” jika merasakan atau tidak merasakan adanya rangsang, mintalah pula pasien menyebutkan lokasi masing-masing rangsang, dan mintalah pasien untuk menyebutkan perbedaan lokasi rangsang antara dua titik. Area kulit yang diinduksi rangsang taktil harus bebas dari rambut karena rambut akan ikut bergerak sepanjang perangsangan sehingga akan mengakibatkan bias interpretasi. Abnormalitas sensasi taktil bisa berupa: 1. Adanya gangguan sensasi taktil diistilahkan dengan anestesi, hipoestesi, yang digunakan secara membingungkan untuk setiap perubahan sensasi. 2. 3. 4. 5.
Abnormalitas pada setiap sensasi taktil ringan dinamakan tigmanesthesia. Abnormalitas untuk setiap sensasi sentuhan pada rambut dinamakan trikoanesthesia. Abnormalitas ketika menyebutkan lokasi rangsang dinamakan topoanesthesia. Kesalahan dalam menyebutkan huruf yang digoreskan pada permukaan kulit dinamakan graphanesthesia. Pasien harus dalam posisi terlentang, mata tertutup-yaitu tertutup pasif tanpa penekanan bola mata. Pasien harus rileks dan area kulit yang dirangsang harus bebas dari pakaian. B. PEMERIKSAAN NYERI SUPERFISIAL Alat yang digunakan dalam pemeriksaan ini berupa jarum jahit biasa, jarum yang mempunyai dua ujung tumpul dan tajam, atau jarum dalam “hammer-reflex”; rangsang elektris atau rangsang panas tidak dianjurkan. Prosedur: 1. Mata pasien tertutup. 2. Pemeriksa harus mencobakan alat pada dirinya sendiri terlebih dahulu. 3. Pemeriksa melakukan pemeriksaan rangsang secara aman, tanpa mengakibatkan perdarahan atau luka. 4. Pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan benar menggunakan ujung tajam maupun tumpul alat yang digunakan. 5. Pemeriksa meminta pasien menjawab apakah rangsang yang diberikan tajam atau tumpul.
6. 7. 8.
1. 2. 3.
Pemeriksa meminta pasien menjawab mengenai tingkat ketajaman atas rangsang yang diberikan. Jika ditemukan kelainan sensasi turunnya intensitas, pemeriksa harus mengulang dari daerah mulainya sensasi turun hingga area normal. Jika ditemukan kelainan sensasi meningkatnya intensitas kepekaan, pemeriksa harus mengulang dari daerah dimulainya sensasi meningkat hingga area normal. Alganesthesia atau analgesia yang digunakan untuk area yang tidak sensitif terhadap setiap rangsang. Hipalgesia yang dikaitkan dengan penurunan kepekaan terhadap rangsang. Hiperalgesia yang dikaitkan dengan meningkatnya kepekaan terhadap rangsang.
C. PEMERIKSAAN SENSASI SUHU Prinsip dasar mengenai alat yang digunakan untuk pemeriksaan sensasi suhu adalah tabung yang diisi dengan air panas dan air dingin. Tabung logam lebih diutamakan daripada kaca karena logam merupakan konduktor yang lebih baik dari kaca. Sensasi dingin memerlukan air bersuhu 5-10oC dan sensasi panas menggunakan air bersuhu 40-50oC. Kurang dari 5oC atau lebih dari 45oC akan menimbulkan nyeri. Prosedur: 1. 2. 3. 4.
Pasien terlentang Mata pasien tertutup. Pemeriksa harus mencoba sensasi panas pada diri sendiri terlebih dahulu. Sensasi hangat bisa digunakan sebagai variasi.
Orang normal dapat menyebutkan perbedaan antara suhu 2oC-5oC. Abnormalitas sensasi suhu dinamakan thermanesthesia, thermhipesthesia, thermhiperesthesia, yang digunakan baik untuk istilah sensasi dingin dan panas.
D. PEMERIKSAAN GERAK DAN POSISI Prinsip umum: 1. Sensasi gerak juga disebut sebagai “sensasi kinetik” atau “sensasi gerak aktif/pasif”. 2. Istilah sensasi gerak menggambarkan kesadaran atas gerakan setiap bagian tubuh terhadap bagian lain tubuhnya sendiri. 3. Istilah sensasi posisi atau sensasi postur menggambarkan kesadaran atas gerakan tubuh terhadap tempat ia berdiri. 4. Istilah “arteresthesia” digunakan untuk persepsi setiap gerak sendi dan “statognosis” merupakan istilah yang mnggambarkan kesadaran atas postur tubuh.
5. 6.
Persepsi pergerakan tubuh tergantung pada pergerakan sendi dan regangan otot. Orang normal mampu merasakan perbedaan gerak sendi interphalangeal antara 1-2 derajat. Tujuan dari pemeriksaan adalah untuk mendapatkan respon pasien atas persepsinya terhadap gerak, terhadap arah gerak, kekuatan, rentang pergerakan (range of movement), sudut minimal ia dapat rasakan, dan kemampuan pasien menyebutkan lokasi atas jari – jarinya. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pemeriksaan ini tidak memerlukan peralatan khusus. Mata pasien tertutup, pasien dalam posisis terlentang atau duduk. Jari-jari pasien harus bebas dan rileks dan dapat digerakkan secara pasif oleh si pemeriksa, sentuhlah secara halus tanpa penekanan terhadap jari-jari tersebut. Jari-jari yang diperiksa tidak boleh bergerak-gerak, dan terbebas dari jari yang lain. Pasien akan ditanya apakah ada atau tidak ada gerakan pada jari yang diperiksa. Jika ada kelainan sensasi gerakan, pemeriksa harus mengulangi lagi pemeriksaan pada daerah tubuh lain yang lebih besar, misalnya pada tungkai atau lengan. Cara lain untuk memeriksa adalah dengan menempatkan jari yang diperiksa dalam posisi tertentu sewaktu pasien menutup mata; kemudian jari yang sama pada tangan yang lain disuruh menirukan sebagaimana posisi yang ditetapkan pemeriksa pada jari tangan yang sebelumnya.
E. PEMERIKSAAN SENSASI GETAR Sensasi getar juga disebut menggunakan istilah “palesthesia” yang menggambarkan kemampuan merasakan setiap pergerakan atas getaran ketika garputala disentuhkan pada tiap-tiap tulang. Peralatan yang digunakan: 1. Garputala 128A 2. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa akan lebih baik jika menggunakan garputala 256Hz. 3. Sistem pertulangan yang akan diperiksa dengan menyentuhkan garputala adalah jari kaki I, maleolus lateral/medial , tibia, sacrum, spina iliaca anterior superior, processus spinosus vertebra, sternum, klavikula, processusstyloideus radius/ulna, dan persendian kaki. Cara: 1. Getarkan garputala dengan memukulkan jari-jarinya ke benda keras. 2. Tempatkan jari-jari garputala sesegera mungklin di area tulang yang diperiksa. 3. Amati intensitas dan lama getaran. 4. Baik intensitas maupun lama getaran tergantung pada kekuatan getaran dan interval waktu “memukul” dan menempelkan”.
Hasil: Normal jika pasien dapat merasakan getaran maksimum, terutama jika pasien masih dapat merasakannya ketika getaran sudah berkurang, keadaan abnormal yang disebut sebagai palanesthesia, yaitu jika pasien tidak dapat merasakan getaran apapun. F. PEMERIKSAAN SENSASI TEKAN Prinsip umum: 1. Hal ini disebut juga sebagai piesthesia. 2. Sensasi tekan berhubungan erat dengan sensasi taktil, tetapi juga berkaitan dengan persepsi tekanan atas area subkutis. 3. Sensasi tekan juga berhubungan erat dengan sensasi posisi melalui kolumna posterior medulla spinalis. 1. Sembarang benda tumpul, bisa juga digunakan ujung jari. 2. Untuk pemeriksaan kuantitatif, gunakan aesthesiometer atau piesimeter. Prosedur: 1. 2. 3.
Pasien dalam posisi terlentang, mata tertutup. Tekankan benda tumpul pada otot atau tendon. Tanyakan pada pasien, adakah tekanan yang dirasakan dan kemudian minta pasien menyebutkan lokasinya.
G. PEMERIKSAAN NYERI TEKAN Pemeriksaan ini tidak membutuhkan peralatan khusus. Benda tumpul, bisa juga digunakan ujung jari-jari Prosedur: Massa otot, tendon, atau saraf superfisial diperiksa dengan menekankan ujung jarijari dengan menjepit. Pasien akan ditanya, adakah nyeri tekan yang dirasakan; jawaban harus dibandingkan dengan intensitas pemeriksaan. Delirium The pathogenesis of delirium is incompletely understood (Figure 12.3). There is reduced oxidative metabolism and cerebral blood flow, mainly in the frontal lobes and parietal lobes. There is evidence of a cholinergic deficit and of increased serum anticholinergic activity. However, other neurotransmitters such as serotonin, GABA, dopamine and glutamate are probably also involved. A role of inflammation
and of cytokines (interleukin-1,2,6, TNF-a) has been recently proposed. The stress-hypercortisolemia hypothesis of delirium is based on the finding of increased ACTH levels in the first hours of delirium and of higher post-dexamethasone cortisol levels in delirious patients. Gejala ICH can also occur extremely abruptly and loss of consciousness can occur within minutes after onset. This is the case in large putaminal or thalamic hematomas that rupture into the ventricles, or in pontine hemorrhages extending over the midline. Contralateral limb weakness and hemisensory symptoms are typical of mid-sized putaminal hemorrhages, whereas bleeding into the thalamus causes a distinct and total hemisensory loss and dense hemiplegia. Conjugate eye deviation to the side of the bleeding signals extension into the frontal lobe. This is a sign either of frontal lobar hemorrhage or of a putaminal hemorrhage extending into the deep frontal white matter. In contrast, thalamic hemorrhage can be accompanied by a conjugate spasm of both eyes, appearing as convergent downward gaze (the patient looks at his/her nose tip). The pupil which is smaller denotes the hemispheric side of the bleeding, and, when present, this invariably denotes involvement of subthalamic structures. Such cases have to be monitored closely because of the likelihood of rupture into the ventricles. This is the case when sudden, bilateral localizing signs appear and loss of consciousness is the rule. Vomiting is a frequent sign of ICH but can also indicate ischemic stroke. It can be a prominent sign in posterior fossa hemorrhage, and, although patients with cerebellar hemorrhages almost always vomitearly in the clinical course, it is not a reliable sign with either localizing or etiological value. Many patients with posterior fossa hemorrhage show severe impairment of sitting balance and ataxia that can be pronounced ipsilaterally. Close observation of vital parameters is crucial, as deterioration can be sudden or progressive over the first few days after onset. Evacuation of the hematoma can also become necessary after some days. Contrasting with lay beliefs, headache is also not a cardinal symptom of ICH. Headache can occur in large hematomas and has no localizing value unless it is very severe and then indicates rupturing in cerebrospinal fluid space. In patients with loss of consciousness meningeal irritation must not be apparent.