Li Sken Bb.docx

  • Uploaded by: ratuurizky
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Li Sken Bb.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,318
  • Pages: 8
Learning Issues A. Corynebacterium diphtheriae 1. Morfologi dan Identifikasi Korinebakteria berdiameter 0,5-1 mikromter dan panjangnya beberapa mikrometer. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya yang menghasilkan bentuk seperti “gada”. Pada ujung batangnya tersebar granula-granula secara tidak beraturan yang dengan pewarnaan dapat memberikan bentuk seperti tasbih. Karinobakteria cenderung terletak paralel dan jarang ditemui bentuk percabangan. Pada agar darah, koloni C. diphtheriae terlihat bewarna keabuan, kecil, bergranula, batasnya tidak teratur, memiliki hemolisis kecil. C. diphtheriae tumbuh secara aerob.

2. Patogenesis Di alam, C. diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, luka, atau kulit seseorang yang terinfeksi atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang lain. Bakteri tumbuh dalam selaput mukosa atau kulit yang lecet dan bakteri mulai menghasilkan toksin. Eksotoksin yang dihasilkan dibentuk secara in vitro dan tergantung dengan kadar besi. Kadar besi yang optimal untuk pembuatan toksin adalah 0,14 μg/ml tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang memengaruhi pembentukan toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan adanya sumber karbon serta nitrogen yang cocok. Toksin difteri adalah polipeptida yang tidak thana panas. toksin ini dapat menjadi mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan sulfida dipecahkan, molekul akan terbagi menjadi fragmen A-B. Fragmen B diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A memiliki fungsi untuk menghambat pemanjangan rantai polipeptida dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2 (Elongation Factor 2). EF-2 diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menghasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin difosfat-

ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Efek nektortik dan neurotoksik toksin difteria ini disebabkan oleh penghentian sintesis protein secara mendadak.

3. Patologi Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan respons peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, membentuk pseudomembran yang berwarna kelabu. Pseudomembran ini sering melapisi tonsil, laring, dan faring. Upaya untuk membuang pseudomembran ini dapat menyebabkan keruskaan pada kapiler dan mengakibatkan pendarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membesar dan terjadi edema di seluruh leher. Bakteri difteria dalam selaput terus menghasilkan toksin yang dapat diabsorpsi dan mengakibatkan keruskaan di tempat yang jauh, seperti degenrasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal, dan terkadang pendarahan. Toksin daat menghasilkan kerusakan saraf yang dapat mengakibatkan paralisis palatum molle, otot-oto mata dan ekstremisitas.

4. Gambaran Klinik Radang difteria di saluran pernapasan menimbulkan rasa sakit di tenggoroka dan demam. Obstruksi yang disebakan oleh selaput menyebabkan lemah dan sesak napas serta rasa tercekik bila tidak segera diatasi dengan intubasi dan trakeotomi. Kerusakan jantung dapat dideteksi denga irama jantung yang tidak teratur. Ditemukan juga gangguan pengelihatan, bicara, menelan, dan pergerakan lengan atau tungkai yang dapat menghilang secara spontan. 5. Tes Diagnostik Laboratorium a) Bahan : dari usapan hidung, tenggorokan, atau lesi yang dicurigai terinfeksi sebelum diberi obat-obat antimikroba. b) Sediaan : sediaan diwarnai dengan metilen biru alkali atau pewarnaan Gram untuk menemukan batang-batang dalam susunan yang khas. c) Biakan : Usapan yang dimasukan ke dalam lempeng agar darah, agar miring Loeffler, dan lempeng telurit disimpan dalam suhu 37 derajat. Dalam 12-18 jam, agar miring Loeffler dapat menghasilkan organisme yang morfologinya seperti difteria. Dalam 36-48 jam koloni cukup jelasuntuk mengenali tipe C. diphtheriae. 6.

Resistensi dan Imunitas Resistensi terhadap penyakit sebagian besar bergantung kepada tersedianya antitoksin netralisasi spesifik dalam darah dan jaringan. Umumnya difteria hanya menyerang orang yang tidak mempunyai antitoksin atau antitoksinnya kurang dari 0,01 Lf unit/mL.

7. Pengobatan Pengobatan bakteri tergantung pada kecepatan obat dalam menekan produksi toksin dan pemberian antitoksin spesifik secara dini. Dosis 20.000 samapi 100.000 unit disuntikkan intramuskuler atau intravena setelah dilakukan tindakan

pengamanan (tes kulit dan konjunktiva) untuk menyingkirkan hipersensitivitas terhadap serum hewan. Antitoksin sebaiknya diberikan ketika diagnosis klinik difteria dilakukan. Obat-obat antimikroba (penisilin, eritomisin) menghambat pertumbuhan basil difteria dan dapat menghentikan pembentukan toksin. Obat-oba ini juga dapat membentu menghasilkan streptokokus yang biasanya ditemukan bersama C. diphtheriae dari saluran pernapasan penderita atau pembawa kuman. 8.

Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengendalian Imunisasi aktif toksoid difteri pada masa kana-kanak menghasilkan kadar antitoksin yang secara antitoksin yang secara umumcukup adekuat sampai usia dewasa. Orang dewasa muda harus diberikan booster toksoid untuk mencegah infeksi subklinik dan pembentukan resistensi. Kadar antitoksin menurun bersama waktu sehingga orang yang lebih tua tidak memiliki jumlah antitoksin yang mencukupi untuk melindungi mereka terhadap difteria. Tujuan dasar pecegahan adalah membatasi penyebaran bakteri difteria toksigenik pada penduduk dan mempertahankan tingkat imunisasi aktif setinggi mungkin. Cara pengendaliannya adalah sebagai berikut : a) Isolasi b) Imunisasi Aktif (Toksoid)

B. Difteri Difteri merupakan infeksi yang disebabakan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan/ atau rongga hidung. Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet (bersin atau batuk) dari penderita. Jarang sekali seseorang terkena penyakit dari bersinggungan dengan luka terbuka (lesi kulit) atau pakaian yang tepegang dengan luka terbuka dari orang yang terinfeksi difteri. Seseorang juga dapat terkena difteri dengan berkontak dengan objek seperti mainan yang terkontaminasi bakteri difteri. Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bullneck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan pengangkatan. Ketika bakteri masuk ke saluran pernapasan, termasuk bagian tubuh yang membantu bernapas, bakteri akan mengeluarkan toksin yang dapat menyebabkan : a) Kelemahan b) Sakit tenggorokan c) Demam d) Kelenjar di leher membengkak

Toksin merusak jaringan di sistem pernapasan. Dalam waktu dua sampai tiga, jaringan yang mati membentuk lapisan tebal berwarna kelabu yang menumpuk di tenggorokan atau hidung. Lapisan tebal kelabu ini disebut pseudomembran. Pseudomembran dapat menutupi jaringan di hidung atau tenggorokan yang menyebbakan kesulitan bernapas dan menelan. Toksin juga dapat menuju ke aliran darah dan menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal, dan saraf. Komplikasi dari difteri antara lain adalah : a) Tersumbatnya jalur pernapasan b) Kerusakan oto jantung (Myocarditis) c) Kerusakan saraf (Polyneuropathy) d) Paralisis e) Infeksi paru-paru f) Kematian Diagnosis terhadap penyakit difteri dapat dilakukan dengan melihat gejala klinisnya. Swab tenggorokan dapat dilakukan untuk melihat bakteri yang menyebakan difteri. Pengambilan sampel dari lesi kuliat dan melakukan pembiakan juga dapat dilakukan untuk memastikan seorang pasien memiliki difteri. Pengobatan difteri termasuk penggunaan antitoksin untuk menghentikan toksin memproduksi bakteri dari merusak tubuh dan menggunakan antibiotik untuk membunuh bakteri. Pasien difteri biasanya diisolasi sampai mereka tidak lagi menular. Hal ini biasanya berlangsung selama 48 jam setelah menggunakan antibiotik. Setelah pasien memakai antibiotik, dokter akan melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa bakteri tidak ada lagi di tubuh pasien.

C. Pemeriksaan Fisik Konjungtiva anemis ialah suatu kondisi dimana konjungtiva (selaput lendir yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan permukaan luar bola mata) berwarna putih dan kelihatan pucat. Sklera Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada sklera karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin yang tinggi. Tonsil terbagi menjadi beberapa ukuran tonsil, yaitu :

a) 0 : Tonsil sepenuhnya berada dalam fossa tonsila, b) 1 : Tonsil menempati kurang dari 25% dari dimensi lateral orofaring yang diukur antara pilar tonsil anterior, c) 2 : Tonsil menempati kurang dari 50% dimensi lateral orofaring, d) 3 : Tonsil menempati kurang dari 75% dimensi lateral orofaring, e) 4 : Tonsil menempati 75% atau lebih dari dimensi lateral orofaring.

Pseudomembran merupakan gambaran dari infeksi yang menyebabkan nekrosis sel disertai dengan inflamasi dan eksudat fibrin. Faring hiperemis merupakan pelebaran pembuluh darah di sekitar faring.

Daftar Pustaka Fagondes, S. C., & Moreira, G. (2010). Obstructive sleep apnea in children. Jornal brasileiro de pneumologia: publicacao oficial da Sociedade Brasileira de Pneumologia e Tisilogia. Hartoyo, E. (2018). Difteri pada Anak. Jawetz. (2007). Mikrobiologi Kedokteran . Jakarta: EGC.

Analisis Masalah 2. c. Bagaimana hubungan riwayat keluarga dan penyakit yang diderita pada kasus ini? Jawab : tidak ada hubungan riwayat keluarga pada kasus ini. penyakit difteri bukan merupakan penyakit keturunan. 5.c. berdasarkan skenario, bakteri apa yang dapat menyebabkan penyakit pada kasus ini? sebutkan ciri-cirinya! Corynebacterium diphtheriae.

Related Documents

Li Sken D Fix.docx
May 2020 2
Li Sken Bb.docx
June 2020 3
Li Ghp Sken 13 D.docx
June 2020 4
Li
August 2019 58
Vat Li
June 2020 24
Li Hongzhang
May 2020 19

More Documents from ""